Seorang pria gagah dengan stelan bewarna abu-abu memasuki sebuah ruangan dengan raut datarnya. Kedua tanganya ia masukan ke dalam saku celana. "Akhirnya, kau ingat akan apa yang seharusnya kau lakukan." Suara bariton lain yang tengah duduk terdengar mengintimidasi saat seseorang itu berdiri tepat di hadapannya.Pria itu tersenyum sinis. Ikut duduk tanpa menunggu persetujuan darinya atau tanpa disuruh olehnya."Jika bukan karena suatu hal, aku tidak akan pernah mau menginjakkan kakiku ke sini," jawabnya acuh. Ia menghela nafas untuk beberapa saat.Pria lain terkekeh mendengar nada sinis lelaki di hadapannya ini."Kau masih saja Bara yang sama yang tidak suka berbasa-basi."Ya, seorang pria dengan stelan jas bewarna abu itu tak lain adalah Bara."Aku ingin segera menyelesaikan semua ini," ketusnya. Walau begitu nampak dalam nada bicaranya tidak terdengar kesal melainkan pasrah?Pria itu bergeming."Setidaknya kau tidak lupa akan hal ini, Bara."Bara mengangguk mengiyakan. Dalam hatinya
Suasana pagi ini begitu ricuh dipenuhi orang-orang yang berlalu lalang. Beberapa orang saling disibukkan oleh kesibukan masing-masing. Termasuk seorang lelaki yang baru menginjak tanah selepas turun dari roda empat."Ini uangnya. Terima kasih, Pak." Lelaki itu menyodorkan uang 20 ribu, yang dibalas senang oleh sang supir.Lelaki yang baru saja menyerahkan uang itu langsung berbalik pasca mobil yang baru ia tumpangi berjalan menjauh.Kakinya melangkah dengan tergesa. Sedangkan tangannya tengah menjing-jing sesuatu. Ia menyadari bahwa dirinya terlambat menghadiri acara yang sahabatnya adakan.Jalan raya begitu dipenuhi dengan roda empat dan roda dua. Keduanya saling melintas sana-sini, membuat lelaki itu mau tak mau menunggu jalanan sedikit kosong. Ah, hanya sekali seberangan saja, setelahnya ia akan sampai menuju tempat acara.Namun setelah beberapa menit lamanya, kendaraan terus saja melintas, bahkan tidak sedikit yang melintas dalam kecepatan tinggi, membuatnya mengurungkan niat kem
“Paman?” Bara tersentak. Ia terkejut, segera menutup kitab yang tengah ia pegang.“Apa yang kau lakukan, Nak? Kenapa di sini?” tanya Rahman. Ia duduk bersila dekat Bara atau yang ia kenal dengan nama Radit. “Paman juga, kenapa ada di sini?” Bara berusaha menutupi kecanggungannya. Berusaha menutupi sesuatu yang sedari tadi ia pegang menggunakan sarung. Dan semua itu tidak lepas dalam pandangan Rahman.“Apa yang kau sembunyikan,Nak? Sini, biar Abi lihat?”“Abi?” sahut Bara tiba-tiba. Hal itu justru membuat Rahman tertawa. Ia melihat wajah Bara yang amat menggemaskan. “Iya, sekarang kamu panggil Paman dengan nama Abi aja, ya?” Entah dari mana lontaran itu, hanya saja Rahman ingin sekali dipanggil Abi oleh anak yang baru saja ia kenal ini.“Tapi...”“Abi bakalan senang kalau kamu panggil seperti itu.”Bara nampak terdiam, dia bingung akan sikap Paman di sampingnya ini. Kenapa dia,tiba-tiba mengatakan hal itu dan ... tentu bukankah mereka baru bertemu?“Kenapa malah melamun?” tanya Rahma
"Setelah pertemuan lamanya ... ternyata Abi bertemu kembali dengannya, Laila." Rahman, lelaki berkepala empat taunan itu tersenyum tipis, sedangkan matanya menatap Laila yang tengah terdiam-mendengarkan dirinya bercerita."Kau tau Laila? Setelah 1 hari pertemuan itu ... Abi bahkan ingin sekali menjadikan dia menantu Abi." Rahman tertawa renyah mengatakan itu, membuat Laila yang semula terdiam langsung menyunggingkan senyumnya."Tapi, apa kau tau? Ternyata sahabat Abi, Nizar... dia juga ingin menjadikan dia menantunya."Seketika senyum diwajah Laila langsung pudar."Abi kira, setelah pertemuan itu sahabat Abi memang sudah menikahkan dia dengan putri bungsunya, tapi saat di mana malam itu dia datang ... Abi benar-benar sangat terkejut. Terkejut saat keberuntungan itu datang pada putri Abi ini." Rahman mencolek sedikit dagu Laila, membuat sang empu malah tersipu malu."Sekarang Abi ingin bertanya? Apa kau ... mencintainya?" Laila yang tengah menunduk langsung mendongak menatap Abinya."
P.O.V LAILA2 hari telah berlalu. Dan hari ini adalah hari ketiga di mana Mas Bara, suamiku besok akan pulang. Sangat tidak sabar, hati ini sungguh berdebar tak karuan. Rasa rindu yang makin menggebu membuat jiwa ini tak bisa berpikir jernih. Semuanya ... hanya tentangnya. Entah bagaimana ceritanya tapi kini, aku mulai menerimanya sebagai suamiku, cintaku dan ...separuh jiwaku.Aku yang tengah memejam menikmati akan kerinduan ini tersentak saat dering ponsel terdengar nyaring. Segera aku langsung bangkit dari rebahanku, mengambil ponsel dan melihat siapa yang menelfon.'Suamiku'Ah, bibir ini langsung terbit melihat nama yang tertera di sana, segera aku tekan untuk menyambungkan.'Assalamu'alaikum, Sayang...'Suara di sebrang sana membuat desiran jantung dihatiku kian berdetak. Suara lembutnya seakan menjadi penghantar senyum ini terbit. "Wa'alaikumussalam...," balasku berusaha mungkin menetralkan jantung ini. Walau akhir-akhir ini kami memang sering bertukar pesan atau bercakap,vnam
Air mata Laila lolos begitu saja. Ia menangis seraya menunduk."Kak Shaka...," ucapnya begitu lirih."Siapa kau, hah! Dengar! Lebih baik kau pergi atau kami semua akan menjadikanmu mayat dan membawanya pada ibumu!" teriak salah satu pria berbadan kekar itu. Ia masih memegang bahu Laila kuat-kuat."Lelaki bodoh seperti dia bisa apa?" ujar pria lain dengan tampang sombongnya."Paling-paling setelah ini dia akan menjadi daging kecil yang bertebaran di jalanan. Hahahah!"Preman itu tertawa terbahak-bahak, sedangkan Laila ia hanya menangis menatap Shaka di depan sana. Dia ... tengah bersedekap dada menghiraukan remehan dari pria itu."Baiklah. Sudah selesai tertawanya?" Shaka. Pria itu kini bertanya santai. Kepalanya ia putar ke kiri-kanan sampai menimbulkan bunyi.Kriek KriekTidak hanya di situ, Shaka menggerakan jarinya lima sekaligus, ikut menimbulkan bunyi. Sedangkan para preman menatap tajam setelah berhenti dari tawanya."Beraninya kau!!" geram salah satu dari mereka."Silahkan maju
18.00, waktu di mana seseorang kini tengah menyunggingkan senyumannya. Ia menatap sebuah bingkai foto bersamaan senyum yang tidak pernah luntur dari bibir tipisnya."Sekarang aku pulang. Muach!" Pria itu mencium bingkai foto tersebut. Amat merindukan sosok di dalam fotonya ini."Laila ... Mas merindukanmu." Dia, yang tak lain adalah Bara, mencium kembali foto pernikahan mereka. Setelahnya dia memeluk foto tersebut.Azan magrib berkumandang. Melantunkan dengan suara merdunya, membuat Bara langsung beringsut untuk melaksanakan shalat. Sebelum itu ia simpan terlebih dahulu foto tersebut.Dan,ya. Satu kebenaran tentang Bara yang tidak orang ketahui, bahwa dia pernah mondok juga. Heum, atau mungkin hanya satu,dua yang mengetahui kalau dia pernah belajar mondok. Hal itu juga menjadikan ia tahu kewajiban yang harus ia jalankan.Selesai melaksanakan salat magrib, Bara dengan cepat keluar sembari menarik koper dari ruangan apartemennya. Niat yang akan pulang besok berubah menjadi malam ini. Y
Selepas Laila mandi ia dengan segera melaksanakan salat magrib dengan cara di qodo. Karena jelas ia sudah telat. Pukul 20.15, Laila segera beringsut pergi ke dapur untuk memasak. Menyiapkan beberapa makanan untuk suaminya. Tidak lupa susu murni kesukaan suaminya. Terasa aneh memang, tapi ia mulai menyukai atas apa yang disukai suaminya juga.Selepas menyiapkan semuanya, Laila segera membawanya ke atas. Namun saat pintu itu terbuka ia melihat suaminya sudah tidur dengan selimut yang membungkus tubuhnya.Ia menghela nafas gusar, menyimpan terlebih dahulu nampan berisi makanan."Mas? Bangun dulu yuk? Kita makan." Laila menepuk pelan pipi suaminya. Tapi sang empu tak kunjung ada pergerakan sama sekali. "Mas?" Ya ampun ... dosa besar yang ia lakukan benar-benar membuat suaminya enggan bangun. Ia tahu bahwa suaminya itu sudah bangun hanya saja ia sengaja memejamkan matanya.Aish!Laila terdiam sejenak. Ia bangkit menuju lemari dan membawa sebuah baju. Ia menatap terlebih dahulu baju ters