‘Kau cemburu?’Rose ingat betul pertanyaan tersebut sebelum Xelle berpamitan pergi, dan dia harus menyusul kepergian suster ke kamar utama. Istri mana yang akan berdiam diri jika di hadapannya sesuatu yang tidak beres sedang mengintai. Rose merasakan hal tersebut. Di matanya suster itu sama sekali tidak mencerminkan seseorang yang berkecimpung di dunia keperawatan, seharusnya tidak menunjukkan secara terang – terangan dada membusung di balik pakaian. Rose harus mewaspadai bahwa mungkin suster itu akan melakukan tindakan di luar nalar. Atau sebenarnya Xelle memang benar ... Rose cemburu untuk hal yang satu itu. Dia tidak bisa menahan diri. Di sisi lain, perkara bukti video dari Xelle sudah Rose sepakati akan menyelidiki siapa pelaku sesungguhnya bersama – sama Theo suatu hari nanti ketika suaminya benar – benar pulih. Sekarang dia harus fokus tentang bagaimana hingga kapan Theo akan membuka mata, dan yang terpenting harus teliti dalam memantau tindakan yang diperagakan suster kepadan
“Oh, astaga. Kenapa husky itu mengejarku!” Suster yang berlalu pergi mempercepat langkah sembari menggerutu kesal. Derap demi derap dia lewati dengan debaran jantung berpacu cepat. Jarak keduanya semakin menipis. Jika dia tidak mewabas diri, gigitan esmeralda akan menjadi bagian terburuk yang tak terelak. Sudah melewati undakan tangga. Suster itu engap – engap kesulitan mengontrol keseimbangan. Dia nyaris mencapai gerbang keluar tepat di hadapannya ... dari arah yang sama Lion mengernyit membaca isi pesan yang dikirimkan Rose beberapa saat lalu. Sialnya bagi suster tersebut kemunculan Lion merupakan bantuan besar yang datang untuk menyelamatkannya dari kejaran esmeralda.“Help me, Lion—“Lolongan esmeralda tepat bersisihan sangat dekat dari saku pakaian suster tersebut, seakan dari sejak awal tujuan esmeralda persis untuk mendapatkan benda yang dikantongi. “Apa yang kau lakukan!” Suster merogoh sakunya sendiri demi menggenggam benda diinginkan Rose sebelumnya. Lebih sial lagi, ket
‘Kau tidak kenal aku siapa?’Merupakan satu pertanyaan tunggal membingungkan dari wanita dengan seraut wajah pias dan air mengenang di pelupuk mata yang kemudian merembes basah di mana saja, termasuk butiran kegelisahan itu mengucur jatuh hingga menyebar di atas permukaan selimut putih tebal.Tidur panjang seperti merobek sisa – sisa ingatan yang pernah ada. Pemilik manik kelabu itu berusaha keras untuk mengingat kapan terakhir dia pernah berada di tempat asing, yang sebenarnya tidak pernah dia singgahi.Beberapa keanehan muncul di benaknya, terutama sedikitpun dia tidak tahu siapa wanita berambut cokelat gelap yang sepanjang pagi tidak memberinya ruang sekadar bergerak.Sedikit kaku—benar. Namun, dia berusaha bangkit ingin memastikan lebih lanjut di mana dia saat ini. Ingatannya pudar samar – samar tak mampu digapai dengan baik. Sebagian yang diharapkan tidak muncul. Sebaliknya yang tidak diinginkan bersisihan sangat dekat.“Kau yakin tidak mengenalku?”Suara lembut itu kembali bertan
Ragu – ragu jemari Rose menyentuh ganggang pintu kamar utama. Kegiatan menikmati waktu untuk menenangkan diri dan menerima semua kenyataan secara keseluruhan maupun gamblang sudah berakhir sejak dia memutuskan untuk kembali menemui Zever. Kali ini Rose harus terbiasa dengan panggilan demikian. Bukan Theo yang dia hadapi, walau Rose sebetulnya ingin bersitatap langsung bersama pribadi yang satu itu. Rose merindukan Theo. Namun, kenyataan seperti buyar mempertemukan keduanya. Rose tidak tahu bagaimana Zever, apakah pria itu bisa menerima fakta bahwa ‘dia’ adalah pria yang telah menikah. Zever pendiam dan tidak banyak bicara. Itu yang Lion katakan saat Rose melakukan sesi curhat yang kebetulan sebentar saja meminjam dada Lion sekadar memastikan seperti apa reaksi tato di lengannya. Tidak ada. Rose tidak menemukan apa pun yang berkilauan di sana, dan mulai berasumsi bahkan mengerti bahwa hanya terhadap Theo/Zever-lah tato itu akan mencuak. Dan lagi yang Rose ingat dari perkataan Lion
“Dia sudah tidur?” gumam Rose ketika masuk ke dalam kamar, justru menemukan Zever meringkuk dengan posisi membelakangi sisi ranjang bagiannya. Hati – hati Rose menderap lalu merangkak pelan ke atas. Mendekati suaminya yang ntah tertidur atau tidak. Seingat Rose Zever memakai pakaian serba tebal dan panjang, keningnya bertaut heran begitu selimut disadari membalut hampir penuh tubuh pria tersebut.Rose ikut memosisikan diri menyamping dengan sebelah lengan sebagai penyangga. Lambat laun jemarinya terulur menyentuh dahi Zever untuk memastikan suhu badan pria di sampingnya dalam kondisi normal. Dan sepertinya Zever memang baik – baik saja, atau Rose seharusnya memastikan jika pria itu sedang bertelanjang dada. Bukankah kebiasaan Theo tidur tanpa sehelai benang menutup tubuh bagian atas.Helaan napas Rose singkat menyibak kain tebal itu sampai separuh kaki Zever. Pakaian suaminya utuh tak berkurang sedikitpun. Mungkin merupakan salah satu bentuk yang bertolak belakang dari Theo. Benar –
Rose mengernyit ingin merengangkan sekujur tulang punggung. Gerakannya tertahan oleh posisi yang diketahui menyandarkan wajah di puncak dada seseorang. Semalam tidur mereka tidak seperti itu, tetapi Rose tidak ingin memusingkan bagaimana kerapatan dia dan pria yang sedang mendengkur kecil bisa sesempurna saling mendekap. Rose pelan – pelan menegadah demi menelusuri wajah terpejam suaminya. Dia ingin menebak siapa yang akan mungkin disapa jika netra abu itu terbuka. Theo-kah, atau Zever .... Sedikit bermuluk Rose harap Theo muncul, setidaknya masih banyak permasalahan yang harus mereka selesaikan bersama. Antara kesalahpahaman, yang barangkali masih membuat Theo berpikir pria itu telah membunuh kedua orang tuanya. Dan mengenai tato hingga beberapa puzzle kosong yang harus disatukan. Hanya Theo, karena Rose yakin Zever carut – marut masih ragu dengannya hingga yang sebenarnya Zever tidak tahu menahu segala macam konflik selama Theo mengambil alih. Jemari Rose bermain asal di atas perm
Sugar.Sebuah panggilan khusus dari satu orang untuknya. Rose mengerjap cepat sekadar mencerna betul – betul situasi kacau beberapa saat lalu jika Theo benar kembali.Sedikit memisahkan diri Rose meneliti manik abu itu dalam. Ada kilatan lain yang membedakan cara Zever dan Theo ketika kedua pria itu bersitatap. Theo bersamanya, dan seketika euforia di dada Rose meledak. Dia sudah menunggu saat – saat seperti ini, tidak akan pernah melepas pria yang sudah bersamanya untuk kedua kali.“Kau bermain terlalu jauh!” ucap Rose nyaris tak terdengar. Dia berhamburan masuk memeluk Theo sedemikian erat. Benar – benar melampiaskan semua perasaan tertahan yang hampir melubangi kegilaan Rose. Apa yang bisa Theo katakan sekarang untuk membuat Rose lebih tenang. Ceruk leher Theo menjadi sasaran kegiatan Rose yang mengendus kerinduan, walau sejak kemarin dia bertemu satu tubuh yang sama.“Kau membuatku sesak, Sugar.”Suara bariton Theo berbisik pelan, tetapi lengan itu turut melingkar hangat di tubuh
“Keguguran ... lagi, Rose?”Pertanyaan Theo sarat akan kecewa. Rasa tidak ingin terbawa suasana membuat Rose segera memperat kembali dekapan, tetapi sepertinya Theo memiliki kuasa penuh memisahkan diri dari jangkauannya. Sorot abu itu tajam, menuntut Rose tanpa kata terucap.Ntah apa yang Theo pikirkan selama diam menatapnya. Rose ragu – ragu tidak cukup berani untuk menangkup rahang yang bergemelatuk keras. Apakah Theo marah. Apa Theo akan menumpahkan kesalahan kepadanya. Rose masih bertanya – tanya ... bibirnya perlahan bergerak ingin mengutarakan sesuatu.“Theo—“Ucapan Rose tertahan di ujung tenggorokan. Dia mematung memahami manik mata yang berulang kali mengerjap. Theo mendesis seperti menekan sesuatu. Pandangan Theo sering kali berubah. Sebentar – sebentar Rose seolah menemukan Zever di sana. Sebentar kemudian dia tahu Theo sedang memainkan perannya.“Theo.” Rose memanggil pelan. Berharap Theo akan bertahan, kemudian hilang oleh keberadaan Zever yang menetap.Mula – mula Rose m
Kepergian Zever secara tiba – tiba cukup membekas di benak Rose. Saat itu dia dan Travis diam memperhatikan punggung milik dua orang yang menjauh. Rose tak berani mengatakan apa pun kala dia sendiri menyadari Travis seketika meninggalkannya—Travis menunduk dan Rose harap pria itu baik – baik saja, lantas ikut menyusul dengan langkah hati – hati membawa bayi kembarnya masuk ke dalam gedung mansion.Dua jam usai kejadian di taman belakang, dan setelah menidurkan anak – anak Rose segera menyusul keberadaan Zever. Lewat pesan – pesan yang diberikan kepada Lion, Rose tentu memantau apa pun yang terjadi di luar. Termasuk menanyakan bagaimana kondisi Travis. Pria itu sudah bersikap seperti semula, tetapi satu yang bermasalah. Zever di ruang tamu dengan riak wajah begitu dingin dan manik mata kelabu yang menatap setengah kosong menyusun sambungan miniatur di atas meja.Berulang kali Rose menarik napas sekadar memantapkan diri duduk di samping suaminya.“Zever,” panggil Rose ingin memastikan p
“Aku sudah selesai, Theo. Sekarang giliranmu—“ Pikir Rose, setelah keluar dari kamar mandi sekaligus mengganti pakaian di sana. Dia akan menemukan Theo menjaga ketiga bayi mereka dengan posisi semestinya, tetapi tubuh besar itu—dalam tidur menyampingnya seolah lebih lelap dari ketiga bayi yang memejam tenang. Kelelahan. Begitu yang Rose tafsirkan, karena hari – hari belakangan ini Theo sering sekali menyibukkan diri di tengah malam—menjaga bayi – bayi mereka, sementara Rose dipaksa untuk tetap beristirahat. Senyum Rose tipis sambil mengusap puncak kepala Theo. Hanya sesaat dia beralih pada tiga bayi kembarnya untuk dipindahkan ke dalam troli. Rose akan membawa mereka untuk berjalan – jalan di taman belakang. Selesai memindahkan dia kembali mendekati Theo sekadar menutup tubuh suaminya dengan selimut tebal. “Kami pergi dulu.” Singkat Rose mengecup sudut wajah Theo. Dia mendorong troli dengan hati – hati menuju lift. Rose sudah tahu di mana letaknya, cukup tersembunyi—dan Theo memang
“Aku mendapat cucu yang banyak.”Tawa O’Douglas pecah persis seperti kapten bajak laut yang baru saja menemukan harta karun bersejarah. Masing – masing lengan pria paruh baya itu mengapit dua bayi mungil, sementara bayi mungil yang lain berada di dekapan Verasco—yang terus menimang, sesekali mendekatkan bayi – bayi tersebut dengan guyonan ringan.Ntah apa yang bisa Rose katakan ketika menyaksikan anak – anaknya langsung diserbu begitu Verasco dan O’Douglas masuk ke ruang rawat. Dia baru selesai menyusui, sehingga bayi – bayi yang kekenyangan hanya akan tidur sepanjang hari, dan tidak merepotkan kedua kakek mereka.“Kau dari tadi tak pernah berhenti menatapku,” ucap Rose pelan. Sering kali Theo menyorot wajahnya, tetapi saat ini manik kelabu itu membinarkan sesuatu yang berbeda. Begitu penuh cinta dan sebagian tak bisa Rose tafsirkan dengan benar. Bagaimana mungkin Rose tahan dibidik sedemikian lamat. Theo harus, sekali saja, berpaling darinya.“Terima kasih, Sugar.”Sentuhan lembut di
Rose tak menyangka Theo akan membawanya sampai ke pulau Ortogia, pusat sejarah Kota Sirakusa, Sisilia, untuk menikmati keindahan laut Mediterania. Aroma – aroma di tepi laut itu memberi keindahan yang menyejukkan. Rose bahkan tak melupakan bahwa Theo tidak sekali pun melepaskan tubuhnya di pundak lebar pria tersebut setelah menyusuri sepanjang gedung – gedung tua di pulau – pulau Ortogia.“Ini rumah siapa?” tanya Rose memandangi sebuah bangunan kokoh yang seperti dikhususkan untuk ditinggali dua orang.“Rumah kita.”Tidak banyak yang dapat Rose katakan, kecuali menyematkan wajahnya dalam – dalam di ceruk leher Theo. Aroma maskulin itu masih sangat menguak, bahkan usai sepanjang hari mereka memberikan jamuan kepada para tamu, seakan – akan cairan parfum pun sangat betah menjamah kulit liat Theo.“Mau langsung tidur atau mandi dulu, Sugar?”Di depan sebuah pintu Theo menghentikan langkah sekaligus membiarkan Rose berpijak di atas lantai. Antara ragu dan butuh sesuatu yang segar akhirnya
“Sudah siap?”Rose mengangguk saat Theo bicara di atas puncak kepalanya. Dia memang berdiri membelakangi Theo, memegang ganggang pisau pemotong kue yang panjang, sementara jemari besar Theo menggenggam hangat tiap – tiap buku tangannya.Kue bertingkat – tingkat itu, atau tak jauh berbeda dengan menara rapuh sedang terbelah. Irisan mata pisau perlahan menurun ke bawah menjadi simbol ketajaman. Rose tersenyum nyaris meleburkan tawa ketika Theo membisikkan sesuatu yang lucu untuknya, yang lucu tapi tak akan Rose beritahu pada siapa pun. Biar dia menyimpan sendiri dan menjadikan itu momen menyenangkan yang penting.Setelah potongan kue pertama seharusnya Rose dan Theo saling memberi suapan. Alih – alih demikian Theo sebaliknya mencongkel krim dan segera mengoleskan ke bibir bawah Rose. Wajah Rose tampak berepotan, namun itulah yang Theo inginkan. Dia merampas bibir Rose seperti merampas kue yang sangat lezat.Manis dari campuran gula dan mentega seakan membuat Theo tak pernah puas. Dia mem
“Sudah. Aku sudah kenyang.”Lagi – lagi Rose harus menahan diri saat jemari besar Theo berusaha menyingkirkan semangkok bubur putih di tangannya.“Sedikit lagi, Theo. Kau harus menghabiskan buburmu.”“Ayo.”Sesendok bubur kembali Rose dekatkan, tetapi wajah itu menolak.“Jangan memaksaku makan bubur yang tidak enak, Sugar. Rasanya hambar.”“Makanya kalau makan sambil lihat aku, biar ada rasanya.”“Satu suapan lagi. Aku janji setelah ini selesai.”“Aku tidak percaya. Kau mengatakan itu sejak tadi, apa kau tidak ingat?”Rose menyengir lebar benar – benar mengelabuhi Theo. Pria itu persis anak kecil yang kehilangan nafsu makan. Sulit sekali dibujuk untuk membuka mulut.“Kali ini aku serius yang terakhir. Ahk ... buka yang lebar.”Rose pikir Theo akan segera menerima suapan darinya. Pria itu justru menggerakkan siku tangan Rose, memindahkan haluan sendok ke bibir Rose sendiri.“Kau juga harus makan.”“Tadi aku sudah makan,” bantah Rose, tetap saja dia tak bisa menyangkal satu suapan mendar
Satu hari setelah Theo sadar akhirnya Rose memutuskan kembali sejenak ke rumah, tempat di mana dia pernah tinggal seorang diri yang bersebelahan dengan restoran kecil miliknya. Saat ini tidak banyak yang Rose lakukan selain mempersiapkan diri menemui Theo di rumah sakit. Rose segera mengendarai mobil—milik ayahnya yang dipinjam. Di kursi penumpang belakang dia meletakkan sebuah kotak berukuran sedang dengan beberapa lubang di dalamnya yang dibungkus sangat cantik. Sementara di sampingnya duduk seekor anjing kecil lucu berbulu keriting dan warna putih seperti kapas. Kemarin Rose baru saja membeli ras anjing pudel tersebut di toko hewan. Tertarik. Hanya itu yang menggambar keinginan Rose membawa pulang pudel yang diberi nama Cocomelo.“Kita sudah sampai.”Rose menyiapkan tas ransel khusus untuk membawa Cocomelo di pundak, agar saat pertama kali masuk ke ruang rawat Theo tak langsung bertemu dengan Cocomelo-nya selain Rose yang akan memperlihatkan. Dan di tangannya, dia membawa kotak be
Sekembali dari kamar mandi Rose pikir akan dihadapkan pada situasi yang sama. Dia sudah mewanti dengan menunggu lebih lama di ruang lembab sampai beberapa suara dari luar meredup. Tetapi semua yang Rose perkirakan tidak benar adanya. Rembesan darah di lantai ketika dia membuka pintu sudah hilang tak berjejak. Bawahan Verasco ... bahkan Verasco itu sendiri pun sudah tak terlihat ada di sana, di ruang rawat suaminya. Hanya tersisa Lion yang menunggu sangat tenang, bersedekap dada sambil memperhatikan Theo tanpa suara.“Kau masih di sini, Lion? Di mana yang lain?” tanya Rose begitu langkahnya menyisir di sisi blankar.“Tuan Verasco meminta saya menunggu di sini, Nona.”Perhatian Lion akhirnya teralihkan. Rose menduga pria itu baru pulang dari kantor kepolisian lalu membantu Verasco dan Elijah untuk mengeksekusi George. Terkait pengkhianatan yang dilakukan George, mungkin itu menjadi kecamuk rasa waspada bagi Verasco agar lebih intoleran terhadap niat – niat terselubung dan apa pun yang ba
“Dalam perjalanan menuju rumah. Kisah mereka berakhir bahagia. Selesai.”Rose menutup buku setebal kurang lebih 400 halaman dan meletakkan buku tersebut di atas nakas. Membacakan kisah – kisah manis menjadi rutinitasnya beberapa hari terakhir. Senyum Rose tipis menatap wajah suaminya yang terbaring begitu tenang. Pagi tadi alat bantu napas baru saja dilepas menandakan kondisi Theo semakin membaik pasca kejadian tombak berdarah. Beruntung mereka segera membawa Theo untuk mendapat penanganan tepat. Tiga kali Theo harus menjalani tindakan operasi. Pria itu kehilangan banyak darah, sehingga membutuhkan transfusi secepatnya. Rose ingat beberapa perdebatan terjadi di antara mereka terkait Theo yang memiliki darah sangat langkah, bahkan Verasco pun tak berdaya tentang itu. Hanya Dara ....Demikian yang Verasco katakan saat itu dengan nada suara gemetar penuh. Seperti begitu sesal. Benar – benar menyesal, sampai akhirnya Travis menyarankan beberapa orang yang masih tertinggal di Italia untuk