“Oh, astaga. Kenapa husky itu mengejarku!” Suster yang berlalu pergi mempercepat langkah sembari menggerutu kesal. Derap demi derap dia lewati dengan debaran jantung berpacu cepat. Jarak keduanya semakin menipis. Jika dia tidak mewabas diri, gigitan esmeralda akan menjadi bagian terburuk yang tak terelak. Sudah melewati undakan tangga. Suster itu engap – engap kesulitan mengontrol keseimbangan. Dia nyaris mencapai gerbang keluar tepat di hadapannya ... dari arah yang sama Lion mengernyit membaca isi pesan yang dikirimkan Rose beberapa saat lalu. Sialnya bagi suster tersebut kemunculan Lion merupakan bantuan besar yang datang untuk menyelamatkannya dari kejaran esmeralda.“Help me, Lion—“Lolongan esmeralda tepat bersisihan sangat dekat dari saku pakaian suster tersebut, seakan dari sejak awal tujuan esmeralda persis untuk mendapatkan benda yang dikantongi. “Apa yang kau lakukan!” Suster merogoh sakunya sendiri demi menggenggam benda diinginkan Rose sebelumnya. Lebih sial lagi, ket
‘Kau tidak kenal aku siapa?’Merupakan satu pertanyaan tunggal membingungkan dari wanita dengan seraut wajah pias dan air mengenang di pelupuk mata yang kemudian merembes basah di mana saja, termasuk butiran kegelisahan itu mengucur jatuh hingga menyebar di atas permukaan selimut putih tebal.Tidur panjang seperti merobek sisa – sisa ingatan yang pernah ada. Pemilik manik kelabu itu berusaha keras untuk mengingat kapan terakhir dia pernah berada di tempat asing, yang sebenarnya tidak pernah dia singgahi.Beberapa keanehan muncul di benaknya, terutama sedikitpun dia tidak tahu siapa wanita berambut cokelat gelap yang sepanjang pagi tidak memberinya ruang sekadar bergerak.Sedikit kaku—benar. Namun, dia berusaha bangkit ingin memastikan lebih lanjut di mana dia saat ini. Ingatannya pudar samar – samar tak mampu digapai dengan baik. Sebagian yang diharapkan tidak muncul. Sebaliknya yang tidak diinginkan bersisihan sangat dekat.“Kau yakin tidak mengenalku?”Suara lembut itu kembali bertan
Ragu – ragu jemari Rose menyentuh ganggang pintu kamar utama. Kegiatan menikmati waktu untuk menenangkan diri dan menerima semua kenyataan secara keseluruhan maupun gamblang sudah berakhir sejak dia memutuskan untuk kembali menemui Zever. Kali ini Rose harus terbiasa dengan panggilan demikian. Bukan Theo yang dia hadapi, walau Rose sebetulnya ingin bersitatap langsung bersama pribadi yang satu itu. Rose merindukan Theo. Namun, kenyataan seperti buyar mempertemukan keduanya. Rose tidak tahu bagaimana Zever, apakah pria itu bisa menerima fakta bahwa ‘dia’ adalah pria yang telah menikah. Zever pendiam dan tidak banyak bicara. Itu yang Lion katakan saat Rose melakukan sesi curhat yang kebetulan sebentar saja meminjam dada Lion sekadar memastikan seperti apa reaksi tato di lengannya. Tidak ada. Rose tidak menemukan apa pun yang berkilauan di sana, dan mulai berasumsi bahkan mengerti bahwa hanya terhadap Theo/Zever-lah tato itu akan mencuak. Dan lagi yang Rose ingat dari perkataan Lion
“Dia sudah tidur?” gumam Rose ketika masuk ke dalam kamar, justru menemukan Zever meringkuk dengan posisi membelakangi sisi ranjang bagiannya. Hati – hati Rose menderap lalu merangkak pelan ke atas. Mendekati suaminya yang ntah tertidur atau tidak. Seingat Rose Zever memakai pakaian serba tebal dan panjang, keningnya bertaut heran begitu selimut disadari membalut hampir penuh tubuh pria tersebut.Rose ikut memosisikan diri menyamping dengan sebelah lengan sebagai penyangga. Lambat laun jemarinya terulur menyentuh dahi Zever untuk memastikan suhu badan pria di sampingnya dalam kondisi normal. Dan sepertinya Zever memang baik – baik saja, atau Rose seharusnya memastikan jika pria itu sedang bertelanjang dada. Bukankah kebiasaan Theo tidur tanpa sehelai benang menutup tubuh bagian atas.Helaan napas Rose singkat menyibak kain tebal itu sampai separuh kaki Zever. Pakaian suaminya utuh tak berkurang sedikitpun. Mungkin merupakan salah satu bentuk yang bertolak belakang dari Theo. Benar –
Rose mengernyit ingin merengangkan sekujur tulang punggung. Gerakannya tertahan oleh posisi yang diketahui menyandarkan wajah di puncak dada seseorang. Semalam tidur mereka tidak seperti itu, tetapi Rose tidak ingin memusingkan bagaimana kerapatan dia dan pria yang sedang mendengkur kecil bisa sesempurna saling mendekap. Rose pelan – pelan menegadah demi menelusuri wajah terpejam suaminya. Dia ingin menebak siapa yang akan mungkin disapa jika netra abu itu terbuka. Theo-kah, atau Zever .... Sedikit bermuluk Rose harap Theo muncul, setidaknya masih banyak permasalahan yang harus mereka selesaikan bersama. Antara kesalahpahaman, yang barangkali masih membuat Theo berpikir pria itu telah membunuh kedua orang tuanya. Dan mengenai tato hingga beberapa puzzle kosong yang harus disatukan. Hanya Theo, karena Rose yakin Zever carut – marut masih ragu dengannya hingga yang sebenarnya Zever tidak tahu menahu segala macam konflik selama Theo mengambil alih. Jemari Rose bermain asal di atas perm
Sugar.Sebuah panggilan khusus dari satu orang untuknya. Rose mengerjap cepat sekadar mencerna betul – betul situasi kacau beberapa saat lalu jika Theo benar kembali.Sedikit memisahkan diri Rose meneliti manik abu itu dalam. Ada kilatan lain yang membedakan cara Zever dan Theo ketika kedua pria itu bersitatap. Theo bersamanya, dan seketika euforia di dada Rose meledak. Dia sudah menunggu saat – saat seperti ini, tidak akan pernah melepas pria yang sudah bersamanya untuk kedua kali.“Kau bermain terlalu jauh!” ucap Rose nyaris tak terdengar. Dia berhamburan masuk memeluk Theo sedemikian erat. Benar – benar melampiaskan semua perasaan tertahan yang hampir melubangi kegilaan Rose. Apa yang bisa Theo katakan sekarang untuk membuat Rose lebih tenang. Ceruk leher Theo menjadi sasaran kegiatan Rose yang mengendus kerinduan, walau sejak kemarin dia bertemu satu tubuh yang sama.“Kau membuatku sesak, Sugar.”Suara bariton Theo berbisik pelan, tetapi lengan itu turut melingkar hangat di tubuh
“Keguguran ... lagi, Rose?”Pertanyaan Theo sarat akan kecewa. Rasa tidak ingin terbawa suasana membuat Rose segera memperat kembali dekapan, tetapi sepertinya Theo memiliki kuasa penuh memisahkan diri dari jangkauannya. Sorot abu itu tajam, menuntut Rose tanpa kata terucap.Ntah apa yang Theo pikirkan selama diam menatapnya. Rose ragu – ragu tidak cukup berani untuk menangkup rahang yang bergemelatuk keras. Apakah Theo marah. Apa Theo akan menumpahkan kesalahan kepadanya. Rose masih bertanya – tanya ... bibirnya perlahan bergerak ingin mengutarakan sesuatu.“Theo—“Ucapan Rose tertahan di ujung tenggorokan. Dia mematung memahami manik mata yang berulang kali mengerjap. Theo mendesis seperti menekan sesuatu. Pandangan Theo sering kali berubah. Sebentar – sebentar Rose seolah menemukan Zever di sana. Sebentar kemudian dia tahu Theo sedang memainkan perannya.“Theo.” Rose memanggil pelan. Berharap Theo akan bertahan, kemudian hilang oleh keberadaan Zever yang menetap.Mula – mula Rose m
Kali pertama membuka pintu kamar utama manik mata Rose tertuju ke arah barat memperhatikan keberadaan Theo dan Verasco saling berhadapan di sepanjang garis lantai dua. Pantas saja suara Verasco sampai menggelegar saat mencari keberadaaan Lion. Pria yang juga berada di sana, menunduk bersisihan di samping tubuh Theo dan sama sekali tidak mengatakan apa pun.Rose menutup kusen cukup hati – hati. Menepis jarak untuk mendekati suaminya. Dia bersyukur Theo masih menguasai tubuh itu, meski tidak dengan Verasco yang seakan bertambah tidak senang.Kemarahan begitu pekat di manik abu Verasco. Bagian terburuk terasa menyakitkan di benak Rose saat pria paruh baya itu bersuara. Ntah bagaimana Theo yang mendengarnya, Rose semakin cepat melangkah.“Bajingan tidak tahu diri. Seharusnya kau enyah dari tubuh putraku!” Verasco kembali berkata ketus. Tegap menantang Theo yang santai menghadapi ayahnya, seperti memang tidak peduli apa pun yang Verasco ucapkan.Namun, Rose tahu betul seperti apa Theo di d