Kali pertama membuka pintu kamar utama manik mata Rose tertuju ke arah barat memperhatikan keberadaan Theo dan Verasco saling berhadapan di sepanjang garis lantai dua. Pantas saja suara Verasco sampai menggelegar saat mencari keberadaaan Lion. Pria yang juga berada di sana, menunduk bersisihan di samping tubuh Theo dan sama sekali tidak mengatakan apa pun.Rose menutup kusen cukup hati – hati. Menepis jarak untuk mendekati suaminya. Dia bersyukur Theo masih menguasai tubuh itu, meski tidak dengan Verasco yang seakan bertambah tidak senang.Kemarahan begitu pekat di manik abu Verasco. Bagian terburuk terasa menyakitkan di benak Rose saat pria paruh baya itu bersuara. Ntah bagaimana Theo yang mendengarnya, Rose semakin cepat melangkah.“Bajingan tidak tahu diri. Seharusnya kau enyah dari tubuh putraku!” Verasco kembali berkata ketus. Tegap menantang Theo yang santai menghadapi ayahnya, seperti memang tidak peduli apa pun yang Verasco ucapkan.Namun, Rose tahu betul seperti apa Theo di d
Beberapa detik ke depan tidak sepatah kata pun terucap. Jemari Theo masih melakukan kegiatan tak ada habisnya. Lebih – lebih bibir panas itu mulai bersarang di ceruk leher Rose. Terkadang gigitan kecil menggesek di cuping telinga sedikit merayu Rose untuk mengeluarkan lenguhan tertahan.Rose harus mengingatkan Theo mereka baru saja menghadapi situasi darurat. Ayahnya mungkin belum meninggalkan mansion. Dan pria itu sudah kembali berpikiran mesum.“Theo, ini bukan kamar kita,” ucap Rose memperingatkan. Cukup berhasil membuat Theo berhenti. Sesaat manik abu itu berpaling ke arah figura besar milik Dara, seringai nakal bersamaan muncul menawarkan Rose macam – macam rasa waspada. Dia seharusnya bertindak cepat sebelum Theo melakukan sesuatu. Sayangnya gerakan Rose lamban, lebih dulu ditumpahkan ke atas ranjang saat Theo membawanya bergelut di bawah selimut tebal.Satu tarikan kaos di tubuh Rose lolos begitu saja. Senasib sisa pakaian lain dengan gampangnya dilempar asal ke lantai. Theo te
Sedikitpun Rose tidak pernah berpaling dari wajah lelap di hadapannya. Theo sempat mengatakan ingin tidur dan pria itu memang melakukan hal tersebut setelah keintiman mereka berakhir. Keintiman saat Theo dalam keadaan sadar menggairahkan, tetapi yang tak terlupakan Theo nyaris sama intimnya mendekap Rose tanpa sekali pun melepas rengkuhan tangan hingga apa pun yang Rose lakukan adalah diam. Sesekali dia harus meratap ke arah figura Dara. Rose membayangkan bagaimana seandainya Dara tidak mengalami kejadian buruk, mungkin dia akan lihat betapa suaminya seorang pria bahagia tanpa harus menanggung rasa bersalah hampir selama sisa hidupnya. Rose memahami Theo mungkin menyimpan segala luka, terutama penolakan Verasco tentang keberadaanya. Dan Theo pula yang harus menanggung setiap rasa sakit yang seharusnya Zever terima. Rose sudah menemukan jawaban tentang pertanyaan paling awal diberikan kepada Theo. Dia pernah menyakiti telapak tangan yang sekarang sering kali membelainya, sewaktu kehila
“Anda yang membawa Esme keluar dari kandang untuk menemui Tuan Zever, Nona?” Satu pertanyaan Lion tangkas seperti mengintimidasi Rose bahwa dia baru saja melakukan kesalahan besar. Sambil memutar tutup toples berisi makanan ringan yang baru saja dipindahkan dari sebungkus plastik utuh, Rose sengaja tidak membiarkan tatapannya berlama – lama ke arah Lion. Tidak pula menyangkal tuduhan atas dasar ‘kebenaran’ itu. Memang Rose pelakunya, dan dia tidak berniat sekadar berharap waktu diputar kembali untuk membenahi pengetahuannya yang kosong. Seandainya Rose tidak membawa Esmeralda ke kamar utama dan membuat Zever kelimpungan. Mungkin sampai detik ini Rose tidak akan diburu oleh pikirannya sendiri, tentang Theo yang menunggu di ruang tamu dan dia akan menemani suaminya meretas. Terakhir kali sudah Rose ceritakan semua. Semua hal terkait masalah yang harus mereka hadapi bersama. Dan seperti yang sudah – sudah tidak banyak respons Rose terima setelah dia mengakhiri rentetan kalimat panjangn
Rose terjaga di tengah – tengah keheningan tembus melewati tubuhnya. Dia meneliti penjuru ruang tamu masih membagi oksigen yang sama dan hal – hal lain yang tak akan berubah. termasuk suaminya—Theo di samping duduk bersandar dengan manik mata terpejam begitu tenang, seolah tidak terpengaruh gerakan sekecil apa pun dari Rose yang baru saja melepaskan lingkar lengan di tubuh padat dan liat itu.Tidak tahu kapan terakhir Theo ikut menenggelamkan diri di lautan pekat antara mereka. Rose hanya mengingat sedikit bagian darinya yang tidak mampu bertahan lebih lama, kemudian terlelap merengkuh tubuh Theo. Sementara suaminya sibuk mengulik di atas tuts keyboard, sesekali mengusap puncak kepala Rose—menawarkan rasa kantuk dan yang semakin memberatkan matanya.Arah pandang Rose beralih sejenak pada satu benda di atas pangkuan Theo. Sepertinya pekerjaan mengkoding Theo telah selesai. Garis hijau horizontal nyaris seperempat penuh mengisi rumpang kotak kosong memanjang di layar monitor. Kalau begi
Terbangun di bawah tatap mata hangat meneduhkan milik suaminya seperti membawa Rose tersesat ke dalam manik kelabu dan bulu tebal yang merayu pertahanannya. Dia kembali memejam dan menyeruk permukaan dada Theo lebih lekat. Menghirup aroma maskulin yang sedikitpun tak pernah pudar hingga satu – satunya hal terakhir yang tak mampu Rose hindarkan adalah wangi memabukkan itu.Rose memperdalam sapuan wajah mencari posisi ternyaman, setidaknya sampai Theo mendekap dengan lengan, tetapi tidak. Theo menggenggam lembut surai cokelat gelapnya, yang terasa tepat jemari besar pria itu tenggelam di antara helai demi helai lalu mengusap punggung kepala Rose ringan.“Masih ngantuk, Sugar?”Suara bariton Theo segar seperti pria itu telah lama menyiapkan diri sekadar memberi satu pertanyaan padanya. Rose menarik diri menelungkup di atas tubuh Theo. Biarkan suaminya agak menunduk, dan dia akan sedikit menegadah untuk memulai pembicaraan.“Kau sudah bangun sejak tadi?”Senyum manis itu tentu adalah jawa
Memang terlalu menyakitkan saat pria itu telah meninggalkan keberadaannya. Melangkah jauh. Tidak tersentuh. Dan Rose yakin semakin bahu tegap itu dibangun kokoh, semakin dipaksa runtuh kerangka yang baru saja dihancurkan. Persis pernyataan Verasco. Ungkapan – ungkapan tidak berperasaan diucap dengan cara kejam, sehingga besar pengaruh kepada Theo dan merenggut dalam bentuk apa pun, yang bahkan sama artinya—Rose harus melihat suaminya membangun tembok yang tinggi. Dia belum berusaha mencapainya, tetapi tahu itu tidak akan mudah. Rose tidak bisa menyeret lengan Theo seperti yang sudah – sudah lantas membisikkan kata – kata lembut. Mengajak suaminya ke kamar, lalu Theo akan mengiyakan ajakannya. Semua itu tidak mudah. Tidak ketika keputusan Rose adalah hal terlambat untuk dilakukan. Theo sudah menyusuri lantai teratas di sayap kiri. Apa yang bisa Rose lakukan begitu pintu berdebum keras, memantul di langit – langit mansion itu. Rose bahkan tidak pernah sesering pikirannya memusatkan perh
‘Nona, Travis bilang Tuan T sudah tenang.’Rose mengingat satu pernyataan Lion yang berakhir membawanya kembali masuk ke dalam mobil. Mereka melakukan perjalanan menuju mansion Theo, dan sepanjang hamparan bebatuan yang mereka lewati arah pandang Rose hanya tertarik pada gerakan rimbun pohon yang seakan – akan sedang mengikutinya. Dan seperti itu pula Rose merasa percakapan terakhir bersama Verasco masih membayangi benaknya.Mereka belum selesai, tetapi Rose percaya telah memberi Verasco sebuah pengaruh kecil. Tatapan. Arti dari rahang yang mengetat. Semua adalah keyakinan Rose bahwa Verasco tidak mungkin memberinya sebuah opsi seandainya benar pria itu tidak percaya. Atau sebetulnya karena hal demikian masih berkaitan dengan ayahnya. Ntah mengapa Rose merasa bodoh dalam mengambil sebuah pilihan. Saat itu adalah saat – saat menegangkan—dia harus merelakan satu, sementara hatinya meminta untuk memiliki keduanya.“Kau benar. Aku juga mengenal Theo. Suamiku punya alasan kenapa dia tidak