Rose terjaga di tengah – tengah keheningan tembus melewati tubuhnya. Dia meneliti penjuru ruang tamu masih membagi oksigen yang sama dan hal – hal lain yang tak akan berubah. termasuk suaminya—Theo di samping duduk bersandar dengan manik mata terpejam begitu tenang, seolah tidak terpengaruh gerakan sekecil apa pun dari Rose yang baru saja melepaskan lingkar lengan di tubuh padat dan liat itu.Tidak tahu kapan terakhir Theo ikut menenggelamkan diri di lautan pekat antara mereka. Rose hanya mengingat sedikit bagian darinya yang tidak mampu bertahan lebih lama, kemudian terlelap merengkuh tubuh Theo. Sementara suaminya sibuk mengulik di atas tuts keyboard, sesekali mengusap puncak kepala Rose—menawarkan rasa kantuk dan yang semakin memberatkan matanya.Arah pandang Rose beralih sejenak pada satu benda di atas pangkuan Theo. Sepertinya pekerjaan mengkoding Theo telah selesai. Garis hijau horizontal nyaris seperempat penuh mengisi rumpang kotak kosong memanjang di layar monitor. Kalau begi
Terbangun di bawah tatap mata hangat meneduhkan milik suaminya seperti membawa Rose tersesat ke dalam manik kelabu dan bulu tebal yang merayu pertahanannya. Dia kembali memejam dan menyeruk permukaan dada Theo lebih lekat. Menghirup aroma maskulin yang sedikitpun tak pernah pudar hingga satu – satunya hal terakhir yang tak mampu Rose hindarkan adalah wangi memabukkan itu.Rose memperdalam sapuan wajah mencari posisi ternyaman, setidaknya sampai Theo mendekap dengan lengan, tetapi tidak. Theo menggenggam lembut surai cokelat gelapnya, yang terasa tepat jemari besar pria itu tenggelam di antara helai demi helai lalu mengusap punggung kepala Rose ringan.“Masih ngantuk, Sugar?”Suara bariton Theo segar seperti pria itu telah lama menyiapkan diri sekadar memberi satu pertanyaan padanya. Rose menarik diri menelungkup di atas tubuh Theo. Biarkan suaminya agak menunduk, dan dia akan sedikit menegadah untuk memulai pembicaraan.“Kau sudah bangun sejak tadi?”Senyum manis itu tentu adalah jawa
Memang terlalu menyakitkan saat pria itu telah meninggalkan keberadaannya. Melangkah jauh. Tidak tersentuh. Dan Rose yakin semakin bahu tegap itu dibangun kokoh, semakin dipaksa runtuh kerangka yang baru saja dihancurkan. Persis pernyataan Verasco. Ungkapan – ungkapan tidak berperasaan diucap dengan cara kejam, sehingga besar pengaruh kepada Theo dan merenggut dalam bentuk apa pun, yang bahkan sama artinya—Rose harus melihat suaminya membangun tembok yang tinggi. Dia belum berusaha mencapainya, tetapi tahu itu tidak akan mudah. Rose tidak bisa menyeret lengan Theo seperti yang sudah – sudah lantas membisikkan kata – kata lembut. Mengajak suaminya ke kamar, lalu Theo akan mengiyakan ajakannya. Semua itu tidak mudah. Tidak ketika keputusan Rose adalah hal terlambat untuk dilakukan. Theo sudah menyusuri lantai teratas di sayap kiri. Apa yang bisa Rose lakukan begitu pintu berdebum keras, memantul di langit – langit mansion itu. Rose bahkan tidak pernah sesering pikirannya memusatkan perh
‘Nona, Travis bilang Tuan T sudah tenang.’Rose mengingat satu pernyataan Lion yang berakhir membawanya kembali masuk ke dalam mobil. Mereka melakukan perjalanan menuju mansion Theo, dan sepanjang hamparan bebatuan yang mereka lewati arah pandang Rose hanya tertarik pada gerakan rimbun pohon yang seakan – akan sedang mengikutinya. Dan seperti itu pula Rose merasa percakapan terakhir bersama Verasco masih membayangi benaknya.Mereka belum selesai, tetapi Rose percaya telah memberi Verasco sebuah pengaruh kecil. Tatapan. Arti dari rahang yang mengetat. Semua adalah keyakinan Rose bahwa Verasco tidak mungkin memberinya sebuah opsi seandainya benar pria itu tidak percaya. Atau sebetulnya karena hal demikian masih berkaitan dengan ayahnya. Ntah mengapa Rose merasa bodoh dalam mengambil sebuah pilihan. Saat itu adalah saat – saat menegangkan—dia harus merelakan satu, sementara hatinya meminta untuk memiliki keduanya.“Kau benar. Aku juga mengenal Theo. Suamiku punya alasan kenapa dia tidak
Tidak ada respons apa pun, selain wajah tampan itu semakin ditenggelamkan di balik lipatan lengan. Rose tidak ingin mengira suaminya persis seperti bocah kecil yang menyembunyikan sesuatu darinya. Theo menghindar untuk ditatap, itu sudah jelas dan dugaan Rose semakin bertambah pasti saat dia sendiri kesulitan menarik Theo sekadar mengubah posisi suaminya menghadap ke depan.Napas Rose panjang berembus ke udara. Sejenak dia berpikiran untuk menunduk demi membisikkan sesuatu. Namun, padanan kata yang tersusun di benaknya lenyap sejurus menemukan sebuah kotak terletak agak dalam di bawah ranjang. Benar – benar tidak asing di mata Rose. Dia mengulurkan lengan menyentuh benda tersebut. Seharusnya tinggal menarik keluar ketika ujung jemari Rose mencapai salah satu sudut dari kotak persegi, tetapi sebaliknya tindakan Rose tertahan oleh Theo yang menepisnya dan seakan sengaja, satu dorongan Theo membuat kotak itu menjorok jauh dari posisi mereka.Rose menggeram ingin marah—tertahan oleh wajah
Kain basah di tangan Rose menyapu sisa darah terakhir mengering di dada Theo. Sudah berulang kali dia melakukan hal yang sama. Membasuh, lalu membuat cairan kental merah itu terhanyut bersama tindakannya. Selama membersihkan tubuh Theo, Rose tiga kali beranjak pergi ke dapur mengganti air yang tercemar darah suaminya sendiri. Sempat pula membantu pekerjaan Beatrace membereskan kekacauan yang Theo sebabkan di ruang tempat mereka bernaung saat ini.Sebelumnya perlu usaha keras membebaskan diri dari dekapan Theo usai pria itu dipengaruhi secara penuh oleh obat tidur. Rose tidak ingin mengingatnya dan merasa itu tak perlu dibayangkan kembali. Dia fokus memperhatikan luka memanjang di dada Theo, menyakinkan itu bukan sekadar luka cakar biasa.Rose berasumsi kalau Theo membuka kaos putih polosnya sebelum menyayat dengan bagian kaca yang tajam. Kemudian mengenakan kaos itu kembali, sementara amarah membuatnya lupa—merah menembus jelas pada sesuatu yang berwarna putih. Itu adalah saat – saat
Rose tidak salah. Tidak akan pernah salah sekadar membedakan mana Theo dan Zever. Namun dia tidak mengatakan apa pun sejak saat itu, karena keterdiaman Zever hingga wajah yang menunduk lama memperhatikan lingkar lengannya membuat Rose mundur sangat teratur. Teratur diam – diam mendekati Lion dan duduk di samping pria tersebut.“Kenapa tidak mengatakan kalau itu Zever.”“Saya hampir mengatakannya tapi Anda menahan saya, Nona.”Betul. Seharusnya Rose tidak menghentikan ucapan Lion sebelum dia sampai menyentuh Zever. Netra Rose melirik tidak satu pun kegiatan yang Lion lakukan, minimal minuman di tangan Lion jika memang sedang beristirahat.“Dan untuk apa kau ada di sini, Lion?”Akan tetapi kekehan disusul wajah Lion yang mendekat sedikit membuat Rose menatap Lion tak percaya.“Menggoda tuan, Nona.”“Kau dari kemarin tidak ada habisnya. Mentang – mentang tidak bisa marah, jadi kau sering sekali menggodanya, begitu?”“Anda yang bicara begitu, Nona. Bukan saya.” Kepala Lion menggeleng sama
Rose segera meletakkan gelas di tangannya, daripada keputusan berikut akan menimbulkan hal – hal tak diinginkan dan justru menyebabkan benda itu terlepas—tumpah berserak. “Kenapa aku tidak bisa mempercayakan apa pun yang kau katakan?” Rose bergumam, memicing mulai selangkah lebih maju. Jarak yang dia bunuh membuatnya dengan mudah meraih lengan besar Zever—lalu merambat pelan menyentuh jemari dingin Zever yang seperti gumpalan es ketika Rose menggenggamnya.“Kau sangat tegang karena ketahuan menonton film semi, bukan?”Semakin gencar Rose berjinjit untuk berbisik. Hampir saja Rose tidak bisa menahan gelak tawa setelah menyaksikan wajah pucat Zever dan tubuh yang benar – benar kaku, tapi Rose menyukai bagaimana Zever tidak melakukan apa pun selain mencengkeram erat ponsel pemberian Lion di sebelah lengan yang terbebas.“Aku tidak menyangka kalau kau pria yang nakal, Zever.”Seringai di bibir Rose membekas jelas menyadari reaksi kecil Zever adalah konotasi dari bulu – bulu di tubuh pria