Rose segera meletakkan gelas di tangannya, daripada keputusan berikut akan menimbulkan hal – hal tak diinginkan dan justru menyebabkan benda itu terlepas—tumpah berserak. “Kenapa aku tidak bisa mempercayakan apa pun yang kau katakan?” Rose bergumam, memicing mulai selangkah lebih maju. Jarak yang dia bunuh membuatnya dengan mudah meraih lengan besar Zever—lalu merambat pelan menyentuh jemari dingin Zever yang seperti gumpalan es ketika Rose menggenggamnya.“Kau sangat tegang karena ketahuan menonton film semi, bukan?”Semakin gencar Rose berjinjit untuk berbisik. Hampir saja Rose tidak bisa menahan gelak tawa setelah menyaksikan wajah pucat Zever dan tubuh yang benar – benar kaku, tapi Rose menyukai bagaimana Zever tidak melakukan apa pun selain mencengkeram erat ponsel pemberian Lion di sebelah lengan yang terbebas.“Aku tidak menyangka kalau kau pria yang nakal, Zever.”Seringai di bibir Rose membekas jelas menyadari reaksi kecil Zever adalah konotasi dari bulu – bulu di tubuh pria
Cicip sedikit. Seteguk dua teguk susu itu tandas tak bersisa. Tiap pergerakan wajah Lion adalah reaksi pasrah meratapi tetes terakhir dari susu yang mendarat lolos di rongga mulut Rose. Sementara wanita itu hanya tersenyum usai mengusap permukaan bibirnya dengan punggung tangan.“Kau tidak keberatan aku menghabiskannya, bukan? Hitung – hitung sebagai hukuman karena sudah mengerjai Zever.”Rose pergi setelah meletakkan gelas kosong ke atas nakas. Meninggalkan Lion dan segala umpatan tertahan di ujung tenggorokan. Lion meraih ponsel di saku celana, kemudian berbalik cepat menuju dapur.“Matilah kau, Travis! Nona Rose yang meminum susu racikanmu!”[Lalu?]Satu kata dari ujung sambungan terdengar acuh tak acuh. “Lalu katamu?” Lion menjauhkan ponsel dan menatap benda pipi itu lamat. “Sekarang bagaimana?” tanyanya, begitu sibuk menuang susu dari botol ke dalam gelas kosong hingga terisi penuh. Dia mengapit ponselnya di antara garis bahu dan wajah yang dimiringkan ke samping.[Buat lagi yang
Terlalu manis dan memabukkan. Rose mengakui Zever adalah pemula yang handal. Bibir itu memagut nikmat, sementara lidah yang menjalar membasuh kegersangan dengan lembap saling mengikat. Pelan – pelan jemari Rose merambat menyentuh wajah Zever sekaligus memperdalam pagutan yang semakin basah dan panas. Rose nyaris kehabisan pasokan udara saat keduanya masih membagi liar, yang sama – sama menggebu ketika tautan bibir itu terlepas.Zever memandangnya lama itulah mengapa Rose mengambil pilihan untuk mengguling tubuh hingga duduk di atas permukaan perut berotot milik suaminya. Paparan lampu memberi sensasi menggiurkan pada wajah sedang meneliti serta bibir yang tak mengucapkan sepatah kata.Rose segera menunduk memainkan peran di ceruk leher Zever. Menyesap dalam sesekali pertemuan giginya mengikis permukaan kulit yang kemudian memerah. Desis tertahan Zever semakin menambah gairah yang meledak – ledak. Sentuhan Rose beralih pindah—mengecup pelan – pelan permukaan dada dengan perban masih men
Terbangun di samping pria sedang mendekap tubuhnya adalah rutinitas. Rose tersenyum singkat kemudian menepikan surai cokelat gelapnya yang teracak di depan wajah. Dia mengangkat lengan Theo sebentar, menelusuri bekas luka cakaran itu sesaat dan beralih pada jari – jari kasar dengan kuku – kuku yang memanjang. Pantas saja Theo mampu merobek kulit sendiri, yang sama artinya Rose harus melumpuhkan bagian tersebut.Secepatnya Rose beranjak bangun dan menyambar asal pakaian semalam. Tubuh Rose menepi ke sisi ranjang menarik laci nakas—terakhir kali dia meletakkan gunting kuku di sana.dan kembali merenggut benda itu keluar.Satu persatu kuku tangan Theo menumpul saat ujung gunting tersebut ditekan bersamaan dan bagian lainnya berfungsi untuk menggigit. Rose memang harus bertindak daripada Theo melakukan hal serupa di waktu – waktu tak terduga.Kegiatan Rose nyaris selesai pada tangan pertama, sesekali melirik ke arah pria yang nampaknya tertidur pulas—sudah tidak demikian ketika manik abu i
Derak – derak dari derap kaki berebut cepat menyusul sampai ke ruang bawah tanah terhenti oleh kekosongan yang mereka temukan. Seharusnya George Keneddy masih di sana, berada di antara jeruji besi yang di lapisi jeruji besi lainnya, tetapi bagian dari rapatan gembok yang telah dienskripsi kode – kode tertentu hancur seperti telah di-bom dan di-disfungsikan—membuat siapa pun, orang – orang di balik hilangnya Geroge Keneddy bekerja dengan mudah hingga tak terendus. Mereka lebih kepada ahli – ahli terlatih. Menyelesaikan masalah dengan cermat, orang – orang yang tentu sudah terbiasa terjun ke lapangan.“Apa ini, Tuan?”Perhatian Theo ditarik cepat menatap Travis bersama sebuah kotak persegi panjang, yang baru saja pria itu ambil saat menunduk ke bawah.Theo menerima pemberian kotak tersebut. Benda kecil dengan sebuah katup menempel di sana. Bagian tembus pandang persis memperlihatkan sebuah disk record dan segera merayu Theo untuk melepas katup itu secara kasar.Dugaan Theo terhadap bend
Rose menenggelamkan wajah menyeruk dalam – dalam di dada bidang Theo. Dia memanjat tubuh membeku suaminya dengan cepat, menghirup aroma memabukkan untuk membuatnya sedikit lebih tenang. Theo masih tidak mengatakan apa pun. Menghujam benak Rose bahwa dia begitu mencemaskan Theo akan menolak permohonannya. Rose tidak ingin itu, segera memperketat dekapan lengan yang melingkar sempurna di antara garis bahu suaminya.Kapan Theo akan mulai bicara Rose masih menunggu sekaligus tak berani berekspektasi tinggi. Dia takut ... namun tiba – tiba merasakan gerakan kecil, yakni usapan ringan di punggung Rose termasuk langkah yang menderak pelan meninggalkan ruang bawah tanah.“Segera katakan pada yang lain, jangan lupa siapkan Esme dan seluruh keperluannya.”Sekilas Rose mendapati Travis mengangguk cepat, dan sampai di ujung lorong posisi mereka berpencar—Rose bersama Theo, sementara Travis ke sisi gedung berbeda. “Kau berubah pikiran?” tanya Rose, separuh memberi jarak pada dirinya agar bisa mena
Pemicu berisi kabel – kabel mematikan itulah yang harus Theo selesaikan dengan sisa waktu satu jam satu menit. Benda itu ada di sekitarnya, mungkin bagian paling tepat saat dia harus memulai adalah ruang bawah tanah. George terkurung dan hilang di sana. Kemudian terdapat chip terpasang di sudut tembok yang berpotensi meledakkan mansion maupun seisi benda dan makhluk di dalamnya.Setelah lima menit terbuang Theo takkan bisa membiarkan detik – detik berharganya ikut termakan keadaan. Dia kembali ke ruang bawah tanah dengan benar – benar terburu. Kondisi di keremangan itu masih sama seperti terakhir kali dia ada di sana. Chip di badan dinding dan analog digital terus menunjukkan setiap waktu yang berkurang merupakan hal sangat penting untuk diperhitungkan.Theo berhamburan cepat menelusuri setiap sisi gudang bawah tanah. Pada sudut – sudut tersembunyi dia memutuskan untuk membongkar beberapa benda tersusun bertingkat – tingkat, beberapa di antaranya sulit dikeluarkan—yang meskipun berhas
“Sugar, tunggu!”Suara bariton di belakang terus memanggil dengan sesekali jemari besar itu berusaha mencekal, tetapi Rose terus menolaknya. Ada harga yang harus Theo bayar dari tindakan berbahaya, yang meskipun telah berhasil ditangani tetap tidak membuat Rose tenang. Rose tak suka bagaimana Theo tak acuh terhadap keselamatan pria itu sendiri. Jantungnya masih berdebar keras membayangkan hal – hal buruk bisa saja terjadi. Langkah Rose makin cepat usai memasuki gedung mansion. Sebentar lagi akan mencapai kamar utama. Dia menekan ganggang pintu tidak peduli Theo masih berusaha membujuknya.“Sugar.”Theo berada sangat dekat, demikian pula selangkah lagi Rose telah melewati ambang pintu. Dia sengaja menghantam kusen sangat keras dan saat itu bertepatan Theo akan masuk.“Oh!”Pria itu meringis sepertinya sangat sakit. Sementara Rose terdiam beberapa saat. Terdiam untuk memahami situasi di luar sana. Hanya satu kali Theo mengeluh selebihnya tanpa kata—hening yang memancing Rose memutar ku