Sedikitpun Rose tidak pernah berpaling dari wajah lelap di hadapannya. Theo sempat mengatakan ingin tidur dan pria itu memang melakukan hal tersebut setelah keintiman mereka berakhir. Keintiman saat Theo dalam keadaan sadar menggairahkan, tetapi yang tak terlupakan Theo nyaris sama intimnya mendekap Rose tanpa sekali pun melepas rengkuhan tangan hingga apa pun yang Rose lakukan adalah diam. Sesekali dia harus meratap ke arah figura Dara. Rose membayangkan bagaimana seandainya Dara tidak mengalami kejadian buruk, mungkin dia akan lihat betapa suaminya seorang pria bahagia tanpa harus menanggung rasa bersalah hampir selama sisa hidupnya. Rose memahami Theo mungkin menyimpan segala luka, terutama penolakan Verasco tentang keberadaanya. Dan Theo pula yang harus menanggung setiap rasa sakit yang seharusnya Zever terima. Rose sudah menemukan jawaban tentang pertanyaan paling awal diberikan kepada Theo. Dia pernah menyakiti telapak tangan yang sekarang sering kali membelainya, sewaktu kehila
“Anda yang membawa Esme keluar dari kandang untuk menemui Tuan Zever, Nona?” Satu pertanyaan Lion tangkas seperti mengintimidasi Rose bahwa dia baru saja melakukan kesalahan besar. Sambil memutar tutup toples berisi makanan ringan yang baru saja dipindahkan dari sebungkus plastik utuh, Rose sengaja tidak membiarkan tatapannya berlama – lama ke arah Lion. Tidak pula menyangkal tuduhan atas dasar ‘kebenaran’ itu. Memang Rose pelakunya, dan dia tidak berniat sekadar berharap waktu diputar kembali untuk membenahi pengetahuannya yang kosong. Seandainya Rose tidak membawa Esmeralda ke kamar utama dan membuat Zever kelimpungan. Mungkin sampai detik ini Rose tidak akan diburu oleh pikirannya sendiri, tentang Theo yang menunggu di ruang tamu dan dia akan menemani suaminya meretas. Terakhir kali sudah Rose ceritakan semua. Semua hal terkait masalah yang harus mereka hadapi bersama. Dan seperti yang sudah – sudah tidak banyak respons Rose terima setelah dia mengakhiri rentetan kalimat panjangn
Rose terjaga di tengah – tengah keheningan tembus melewati tubuhnya. Dia meneliti penjuru ruang tamu masih membagi oksigen yang sama dan hal – hal lain yang tak akan berubah. termasuk suaminya—Theo di samping duduk bersandar dengan manik mata terpejam begitu tenang, seolah tidak terpengaruh gerakan sekecil apa pun dari Rose yang baru saja melepaskan lingkar lengan di tubuh padat dan liat itu.Tidak tahu kapan terakhir Theo ikut menenggelamkan diri di lautan pekat antara mereka. Rose hanya mengingat sedikit bagian darinya yang tidak mampu bertahan lebih lama, kemudian terlelap merengkuh tubuh Theo. Sementara suaminya sibuk mengulik di atas tuts keyboard, sesekali mengusap puncak kepala Rose—menawarkan rasa kantuk dan yang semakin memberatkan matanya.Arah pandang Rose beralih sejenak pada satu benda di atas pangkuan Theo. Sepertinya pekerjaan mengkoding Theo telah selesai. Garis hijau horizontal nyaris seperempat penuh mengisi rumpang kotak kosong memanjang di layar monitor. Kalau begi
Terbangun di bawah tatap mata hangat meneduhkan milik suaminya seperti membawa Rose tersesat ke dalam manik kelabu dan bulu tebal yang merayu pertahanannya. Dia kembali memejam dan menyeruk permukaan dada Theo lebih lekat. Menghirup aroma maskulin yang sedikitpun tak pernah pudar hingga satu – satunya hal terakhir yang tak mampu Rose hindarkan adalah wangi memabukkan itu.Rose memperdalam sapuan wajah mencari posisi ternyaman, setidaknya sampai Theo mendekap dengan lengan, tetapi tidak. Theo menggenggam lembut surai cokelat gelapnya, yang terasa tepat jemari besar pria itu tenggelam di antara helai demi helai lalu mengusap punggung kepala Rose ringan.“Masih ngantuk, Sugar?”Suara bariton Theo segar seperti pria itu telah lama menyiapkan diri sekadar memberi satu pertanyaan padanya. Rose menarik diri menelungkup di atas tubuh Theo. Biarkan suaminya agak menunduk, dan dia akan sedikit menegadah untuk memulai pembicaraan.“Kau sudah bangun sejak tadi?”Senyum manis itu tentu adalah jawa
Memang terlalu menyakitkan saat pria itu telah meninggalkan keberadaannya. Melangkah jauh. Tidak tersentuh. Dan Rose yakin semakin bahu tegap itu dibangun kokoh, semakin dipaksa runtuh kerangka yang baru saja dihancurkan. Persis pernyataan Verasco. Ungkapan – ungkapan tidak berperasaan diucap dengan cara kejam, sehingga besar pengaruh kepada Theo dan merenggut dalam bentuk apa pun, yang bahkan sama artinya—Rose harus melihat suaminya membangun tembok yang tinggi. Dia belum berusaha mencapainya, tetapi tahu itu tidak akan mudah. Rose tidak bisa menyeret lengan Theo seperti yang sudah – sudah lantas membisikkan kata – kata lembut. Mengajak suaminya ke kamar, lalu Theo akan mengiyakan ajakannya. Semua itu tidak mudah. Tidak ketika keputusan Rose adalah hal terlambat untuk dilakukan. Theo sudah menyusuri lantai teratas di sayap kiri. Apa yang bisa Rose lakukan begitu pintu berdebum keras, memantul di langit – langit mansion itu. Rose bahkan tidak pernah sesering pikirannya memusatkan perh
‘Nona, Travis bilang Tuan T sudah tenang.’Rose mengingat satu pernyataan Lion yang berakhir membawanya kembali masuk ke dalam mobil. Mereka melakukan perjalanan menuju mansion Theo, dan sepanjang hamparan bebatuan yang mereka lewati arah pandang Rose hanya tertarik pada gerakan rimbun pohon yang seakan – akan sedang mengikutinya. Dan seperti itu pula Rose merasa percakapan terakhir bersama Verasco masih membayangi benaknya.Mereka belum selesai, tetapi Rose percaya telah memberi Verasco sebuah pengaruh kecil. Tatapan. Arti dari rahang yang mengetat. Semua adalah keyakinan Rose bahwa Verasco tidak mungkin memberinya sebuah opsi seandainya benar pria itu tidak percaya. Atau sebetulnya karena hal demikian masih berkaitan dengan ayahnya. Ntah mengapa Rose merasa bodoh dalam mengambil sebuah pilihan. Saat itu adalah saat – saat menegangkan—dia harus merelakan satu, sementara hatinya meminta untuk memiliki keduanya.“Kau benar. Aku juga mengenal Theo. Suamiku punya alasan kenapa dia tidak
Tidak ada respons apa pun, selain wajah tampan itu semakin ditenggelamkan di balik lipatan lengan. Rose tidak ingin mengira suaminya persis seperti bocah kecil yang menyembunyikan sesuatu darinya. Theo menghindar untuk ditatap, itu sudah jelas dan dugaan Rose semakin bertambah pasti saat dia sendiri kesulitan menarik Theo sekadar mengubah posisi suaminya menghadap ke depan.Napas Rose panjang berembus ke udara. Sejenak dia berpikiran untuk menunduk demi membisikkan sesuatu. Namun, padanan kata yang tersusun di benaknya lenyap sejurus menemukan sebuah kotak terletak agak dalam di bawah ranjang. Benar – benar tidak asing di mata Rose. Dia mengulurkan lengan menyentuh benda tersebut. Seharusnya tinggal menarik keluar ketika ujung jemari Rose mencapai salah satu sudut dari kotak persegi, tetapi sebaliknya tindakan Rose tertahan oleh Theo yang menepisnya dan seakan sengaja, satu dorongan Theo membuat kotak itu menjorok jauh dari posisi mereka.Rose menggeram ingin marah—tertahan oleh wajah
Kain basah di tangan Rose menyapu sisa darah terakhir mengering di dada Theo. Sudah berulang kali dia melakukan hal yang sama. Membasuh, lalu membuat cairan kental merah itu terhanyut bersama tindakannya. Selama membersihkan tubuh Theo, Rose tiga kali beranjak pergi ke dapur mengganti air yang tercemar darah suaminya sendiri. Sempat pula membantu pekerjaan Beatrace membereskan kekacauan yang Theo sebabkan di ruang tempat mereka bernaung saat ini.Sebelumnya perlu usaha keras membebaskan diri dari dekapan Theo usai pria itu dipengaruhi secara penuh oleh obat tidur. Rose tidak ingin mengingatnya dan merasa itu tak perlu dibayangkan kembali. Dia fokus memperhatikan luka memanjang di dada Theo, menyakinkan itu bukan sekadar luka cakar biasa.Rose berasumsi kalau Theo membuka kaos putih polosnya sebelum menyayat dengan bagian kaca yang tajam. Kemudian mengenakan kaos itu kembali, sementara amarah membuatnya lupa—merah menembus jelas pada sesuatu yang berwarna putih. Itu adalah saat – saat