Kesempatan tidak pernah datang menjadi peluang kedua. Kegagalan yang dipaksa berlanjut, hanya akan menyisakan perasaan gugur. Usaha meramu penawar dengan beberapa uji coba terus menunjukkan hasil negatif. Travis tidak mengerti kesalahan seperti apa yang dia lakukan saat mencampurkan zat tambahan dan esktrak tanaman. Partikel kecil yang terendap dari bahan tersebut tidak mengeluarkan enzim yang cukup untuk menetralkan aktivitas neuron dalam kandungan bakteri. Hanya nol koma sekian persen. Travis butuh senyawa lebih banyak, yang bisa melawan perkembangan racun di dalam tubuh Theo.Kedatangan Mr. O’Connor tidak mungkin diharapkan. Pria paruh baya itu akan melakukan konsolidasi bersama rekan bisnisnya di negeri kincir angin. Satu – satunya cara yang bisa Travis manfaatkan hanya dengan menciptakan antidot sendiri sebelum 24 jam berlalu. Yang sialnya sampai saat ini belum menemukan titik terang.Hampir enam jam berkutik di lab pribadi bersama Xelle, membuat Travis merasa kerja kerasnya be
Menghindar sejauh mungkin dari amukan beruang yang sedang meraung, menggetarkan seisi gedung dengan derap kaki yang terus melaju ke depan. Rose menutup, sekaligus mengunci pintu ruangan yang diperuntukan khusus sebagai tempat perawatan.Deru napasnya memacu cepat, menetralkan kembali debaran jatung yang bertalu – talu keras. Sesaat perhatian Rose teralihkan, ditatap pria yang tengah memejam di atas ranjang—pemulihan kondisi lemah, sepenuhnya membutuhkan ketenangan.“Rose! Buka pintunya.”Suara bersumber dari arah luar membuat Rose terlonjak. Xelle mengejarnya sampai ke ruang serba putih. Apa yang akan pria itu lakukan setelah Rose menerjang aset berharganya?“Buka, Rose!”“Tidak mau!”Hening. Rose berbalik, menyorot pintu pembatas setengah waspada. Barangkali Xelle sedang mempersiapkan diri sekadar mendobrak pemisah di antara mereka.Atas perbuatannya Rose yakin, Xelle tidak akan segan menyeretnya keluar, sebagaimana pria itu biasa bersikap. Dia harus mencari tempat persembunyian sebel
“Aku rasa otak kalian saling berkesinambungan. Sama-sama tidak beres, isinya kotor. Perlu dicuci dengan pembersih kamar mandi,” gerutu Rose, pelan-pelan memisahkan diri dari kedekatan tak berjarak. Tak ingin mempertaruhkan kondisi Theo yang tak lebih baik dari beberapa saat lalu. Pria itu hanya memejam selepas kepergian dua orang di antara mereka. Benar-benar berbeda, tidak bersikap seperti biasanya.“Theo?” panggil Rose memastikan.Diamnya membuat Rose waspada. Tidak tahu apa yang lebih buruk melihat gerakan dada yang begitu lambat. “Bisakah Travis memasang kembali masker oksigen untukmu?”“Aku lebih nyaman seperti ini, Sugar.”“Kau yakin? Aku lihat kondisimu bertambah lemah.”Mengangguk samar. Theo tersenyum tipis, nyaris tak terlihat bagaimana sudut bibir itu melengkung kecil. Dia baik-baik saja. Hanya merasakan sedikit keanehan dari tubuh yang sungkar sekadar berpindah posisi.“I’m good. Just a little bit problem. Sebelah kakiku seperti mati rasa.”Alis Rose bertaut heran. “Itu ma
Bercermin pada diri sendiri, sekarang Lion mengerti bagaimana rasanya mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Terjal bila harus diungkapkan—berharap pada manusia merupakan bagian paling buruk. Seperti permintaan Verasco, Lion tidak akan menghubungi pria paruh baya itu lagi sekadar menemukan petunjuk.Beruntung saat ini mereka memegang satu barang bukti—dart buatan yang dikhusukan untuk melepas cairan butolium. Lion memperhatikan senjata runcing tersebut. Terpaksa mengeluarkannya dari ruang bawah tanah atas permintaan Theo. Beranjak dari remang-remang cahaya. Lion melangkah menaiki anak tangga, kemudian berbelok menuju lorong yang masing – masing pilarnya terpasang lampu kuning.Meninggalkan pintu rahasia. Lion berjalan lurus, menapaki anak tangga berbeda. Ruang kerja menjadi tujuan utamanya. Lion turut meraih laptop Theo yang tergeletak di atas meja. Hanya itu yang dia lakukan sebelum berbalik—pergi meninggalkan hawa dingin berselimut tebal.Seharusnya perhatian Lion hanya t
Kalau Theo tidak salah. Dia masih menyimpan foto berupa logo senjata yang diarsip dalam bentuk zip berserta kata sandi bila harus membukanya. Namun, risiko tetap menunggu di depan mata. Membuka kembali file dan folder yang telah disembunyikan, sama seperti membiarkan kenangan lama yang tidak sepenuhnya berhasil dikubur, kembali terkuak secara utuh.Sialnya, pilihan yang Theo miliki hanya lanjut atau berhenti.Ketika Theo memutuskan untuk melakukannya. Secara tidak langsung dia menggali lobang untuk diri sendiri, tetapi jika Theo hanya berdiam di tempat—lobang itu akan memecah lebih besar. Menambah masalah, bahkan melukai orang lain.Dia tidak bisa membiarkan hal demikian terjadi, apabila satu-satunya pelaku yang sedang dipikirkan ternyata benar.VLDMR.Tidak salah lagi. Vladimir otak dari segala otak yang melakukan penyerangan secara halus. Seharusnya pria itu, beserta para cecunguknya masih mendekam di balik jeruji besi atas kasus penganiayaan dan pembunuhan Dara, yang Theo laporkan
Sentuhan basah membungkam sebagian isi pikiran Theo. Tidak menyangka Rose akan melakukan serangan secara tiba-tiba dengan beranjak duduk di atas pangkuan, dan menyentuh kepala bagian belakangnya, hanya karena pernyataan terakhir yang dia ucapkan. Cukup lama, senyum Theo melebar tanpa sadar. Membiarkan lumatan dari bibir penuh Rose berlangsung beberapa saat, kemudian disusul lidah yang melesak masuk—menjejal isi di dalam rongga mulutnya.“Good kisser, huh?” gumam Theo tatkala Rose memisahkan diri.Tatapan redup yang Rose perlihatkan, tidak sedikit membuat Theo diam—berusaha mencerna apa yang wanita itu inginkan.“Tell me.”Bisikan Rose nyaris tak terdengar, persis dengan rasa ingin tahu yang meledak-ledak. Pasalnya Theo dikenal sebagai seseorang yang berbeda dari yang dilihat sekian menit lalu. Jika pria itu menangis hanya karena memperhatikan sesuatu dari layar monitor yang ditutup secara paksa. Artinya Theo memiliki perasaan begitu dalam, ntah pada apa—Rose tidak mengerti.“Just let
I ruined her dream.-Theodore Witson-...Altar suci dan janji pernikahan yang baru saja terucap, menjadi bukti perjuangan setelah kisah rumit yang mereka lewati bersama. Senyum Rose melebar merasakan euforia yang turut mengalir di dadanya. Kebahagiaan Bridgette, benar-benar sesuatu yang tak bisa Rose ungkapkan dengan kata-kata.Satu minggu usai permasalahan yang berlangsung dalam mansion besar, tidak cukup buruk setelah Theo menerima penawar racun dari seorang pria asing. Mysthist yang tidak begitu Rose ketahui. Namun, Xelle seperti begitu akrab hingga melupakan keinginan memaksa Rose pergi. Terkesan jauh lebih mempercayai Theo, yang terkadang bicara lewat bahasa mata.“Aku tidak pernah melihat wajahmu seberbinar ini.”Suara di samping Rose menarik perhatiannya. Dia menyorot pria yang duduk di bangku sebelah. Sepasang netra abu-abu yang tampak lebih cemerlang di tempat terbuka dan aksen wajah eropa yang berhasil memikat beberapa wanita saat pertama kali mereka memasuki perkarangan
“Aku tidak tahu apa kau modus, atau benar-benar ingin Oracle memanggilmu daddy.”Rose bicara fokus menatap ke luar jendela. Tampilan alam asri yang bergerak semu, jauh lebih menarik daripada pria di sampingnya. Sesuatu terasa buruk sebelum mereka meninggalkan mansion yang letaknya di tengah hutan. Rose cukup keberatan saat Oracle tidak menolak tawaran yang Theo berikan. Bahkan Bridgette sendiri menyetujui apa yang seharusnya tidak terjadi.Mau bagaimanapun, Theo pernah menjadikan Oracle sebagai umpan sekadar memancing Rose untuk melayaninya tepat di awal saat mereka mulai terikat masalah. Theo yang merupakan tamu tak diundang hingga yang Rose ketahui menjadi klien dengan nama samaran, masih terlintas di kepala Rose akan beberapa kejadian. Kesucian yang terenggut tak urung menjadi bayang-bayang.Napas Rose berembus begitu mobil yang keluar dari jalur hutan, memasuki kawasan kota. Dia menunggu jawaban Theo, yang sampai saat ini belum terdengar. “Aku bicara padamu,” ucap Rose, berpalin
Kepergian Zever secara tiba – tiba cukup membekas di benak Rose. Saat itu dia dan Travis diam memperhatikan punggung milik dua orang yang menjauh. Rose tak berani mengatakan apa pun kala dia sendiri menyadari Travis seketika meninggalkannya—Travis menunduk dan Rose harap pria itu baik – baik saja, lantas ikut menyusul dengan langkah hati – hati membawa bayi kembarnya masuk ke dalam gedung mansion.Dua jam usai kejadian di taman belakang, dan setelah menidurkan anak – anak Rose segera menyusul keberadaan Zever. Lewat pesan – pesan yang diberikan kepada Lion, Rose tentu memantau apa pun yang terjadi di luar. Termasuk menanyakan bagaimana kondisi Travis. Pria itu sudah bersikap seperti semula, tetapi satu yang bermasalah. Zever di ruang tamu dengan riak wajah begitu dingin dan manik mata kelabu yang menatap setengah kosong menyusun sambungan miniatur di atas meja.Berulang kali Rose menarik napas sekadar memantapkan diri duduk di samping suaminya.“Zever,” panggil Rose ingin memastikan p
“Aku sudah selesai, Theo. Sekarang giliranmu—“ Pikir Rose, setelah keluar dari kamar mandi sekaligus mengganti pakaian di sana. Dia akan menemukan Theo menjaga ketiga bayi mereka dengan posisi semestinya, tetapi tubuh besar itu—dalam tidur menyampingnya seolah lebih lelap dari ketiga bayi yang memejam tenang. Kelelahan. Begitu yang Rose tafsirkan, karena hari – hari belakangan ini Theo sering sekali menyibukkan diri di tengah malam—menjaga bayi – bayi mereka, sementara Rose dipaksa untuk tetap beristirahat. Senyum Rose tipis sambil mengusap puncak kepala Theo. Hanya sesaat dia beralih pada tiga bayi kembarnya untuk dipindahkan ke dalam troli. Rose akan membawa mereka untuk berjalan – jalan di taman belakang. Selesai memindahkan dia kembali mendekati Theo sekadar menutup tubuh suaminya dengan selimut tebal. “Kami pergi dulu.” Singkat Rose mengecup sudut wajah Theo. Dia mendorong troli dengan hati – hati menuju lift. Rose sudah tahu di mana letaknya, cukup tersembunyi—dan Theo memang
“Aku mendapat cucu yang banyak.”Tawa O’Douglas pecah persis seperti kapten bajak laut yang baru saja menemukan harta karun bersejarah. Masing – masing lengan pria paruh baya itu mengapit dua bayi mungil, sementara bayi mungil yang lain berada di dekapan Verasco—yang terus menimang, sesekali mendekatkan bayi – bayi tersebut dengan guyonan ringan.Ntah apa yang bisa Rose katakan ketika menyaksikan anak – anaknya langsung diserbu begitu Verasco dan O’Douglas masuk ke ruang rawat. Dia baru selesai menyusui, sehingga bayi – bayi yang kekenyangan hanya akan tidur sepanjang hari, dan tidak merepotkan kedua kakek mereka.“Kau dari tadi tak pernah berhenti menatapku,” ucap Rose pelan. Sering kali Theo menyorot wajahnya, tetapi saat ini manik kelabu itu membinarkan sesuatu yang berbeda. Begitu penuh cinta dan sebagian tak bisa Rose tafsirkan dengan benar. Bagaimana mungkin Rose tahan dibidik sedemikian lamat. Theo harus, sekali saja, berpaling darinya.“Terima kasih, Sugar.”Sentuhan lembut di
Rose tak menyangka Theo akan membawanya sampai ke pulau Ortogia, pusat sejarah Kota Sirakusa, Sisilia, untuk menikmati keindahan laut Mediterania. Aroma – aroma di tepi laut itu memberi keindahan yang menyejukkan. Rose bahkan tak melupakan bahwa Theo tidak sekali pun melepaskan tubuhnya di pundak lebar pria tersebut setelah menyusuri sepanjang gedung – gedung tua di pulau – pulau Ortogia.“Ini rumah siapa?” tanya Rose memandangi sebuah bangunan kokoh yang seperti dikhususkan untuk ditinggali dua orang.“Rumah kita.”Tidak banyak yang dapat Rose katakan, kecuali menyematkan wajahnya dalam – dalam di ceruk leher Theo. Aroma maskulin itu masih sangat menguak, bahkan usai sepanjang hari mereka memberikan jamuan kepada para tamu, seakan – akan cairan parfum pun sangat betah menjamah kulit liat Theo.“Mau langsung tidur atau mandi dulu, Sugar?”Di depan sebuah pintu Theo menghentikan langkah sekaligus membiarkan Rose berpijak di atas lantai. Antara ragu dan butuh sesuatu yang segar akhirnya
“Sudah siap?”Rose mengangguk saat Theo bicara di atas puncak kepalanya. Dia memang berdiri membelakangi Theo, memegang ganggang pisau pemotong kue yang panjang, sementara jemari besar Theo menggenggam hangat tiap – tiap buku tangannya.Kue bertingkat – tingkat itu, atau tak jauh berbeda dengan menara rapuh sedang terbelah. Irisan mata pisau perlahan menurun ke bawah menjadi simbol ketajaman. Rose tersenyum nyaris meleburkan tawa ketika Theo membisikkan sesuatu yang lucu untuknya, yang lucu tapi tak akan Rose beritahu pada siapa pun. Biar dia menyimpan sendiri dan menjadikan itu momen menyenangkan yang penting.Setelah potongan kue pertama seharusnya Rose dan Theo saling memberi suapan. Alih – alih demikian Theo sebaliknya mencongkel krim dan segera mengoleskan ke bibir bawah Rose. Wajah Rose tampak berepotan, namun itulah yang Theo inginkan. Dia merampas bibir Rose seperti merampas kue yang sangat lezat.Manis dari campuran gula dan mentega seakan membuat Theo tak pernah puas. Dia mem
“Sudah. Aku sudah kenyang.”Lagi – lagi Rose harus menahan diri saat jemari besar Theo berusaha menyingkirkan semangkok bubur putih di tangannya.“Sedikit lagi, Theo. Kau harus menghabiskan buburmu.”“Ayo.”Sesendok bubur kembali Rose dekatkan, tetapi wajah itu menolak.“Jangan memaksaku makan bubur yang tidak enak, Sugar. Rasanya hambar.”“Makanya kalau makan sambil lihat aku, biar ada rasanya.”“Satu suapan lagi. Aku janji setelah ini selesai.”“Aku tidak percaya. Kau mengatakan itu sejak tadi, apa kau tidak ingat?”Rose menyengir lebar benar – benar mengelabuhi Theo. Pria itu persis anak kecil yang kehilangan nafsu makan. Sulit sekali dibujuk untuk membuka mulut.“Kali ini aku serius yang terakhir. Ahk ... buka yang lebar.”Rose pikir Theo akan segera menerima suapan darinya. Pria itu justru menggerakkan siku tangan Rose, memindahkan haluan sendok ke bibir Rose sendiri.“Kau juga harus makan.”“Tadi aku sudah makan,” bantah Rose, tetap saja dia tak bisa menyangkal satu suapan mendar
Satu hari setelah Theo sadar akhirnya Rose memutuskan kembali sejenak ke rumah, tempat di mana dia pernah tinggal seorang diri yang bersebelahan dengan restoran kecil miliknya. Saat ini tidak banyak yang Rose lakukan selain mempersiapkan diri menemui Theo di rumah sakit. Rose segera mengendarai mobil—milik ayahnya yang dipinjam. Di kursi penumpang belakang dia meletakkan sebuah kotak berukuran sedang dengan beberapa lubang di dalamnya yang dibungkus sangat cantik. Sementara di sampingnya duduk seekor anjing kecil lucu berbulu keriting dan warna putih seperti kapas. Kemarin Rose baru saja membeli ras anjing pudel tersebut di toko hewan. Tertarik. Hanya itu yang menggambar keinginan Rose membawa pulang pudel yang diberi nama Cocomelo.“Kita sudah sampai.”Rose menyiapkan tas ransel khusus untuk membawa Cocomelo di pundak, agar saat pertama kali masuk ke ruang rawat Theo tak langsung bertemu dengan Cocomelo-nya selain Rose yang akan memperlihatkan. Dan di tangannya, dia membawa kotak be
Sekembali dari kamar mandi Rose pikir akan dihadapkan pada situasi yang sama. Dia sudah mewanti dengan menunggu lebih lama di ruang lembab sampai beberapa suara dari luar meredup. Tetapi semua yang Rose perkirakan tidak benar adanya. Rembesan darah di lantai ketika dia membuka pintu sudah hilang tak berjejak. Bawahan Verasco ... bahkan Verasco itu sendiri pun sudah tak terlihat ada di sana, di ruang rawat suaminya. Hanya tersisa Lion yang menunggu sangat tenang, bersedekap dada sambil memperhatikan Theo tanpa suara.“Kau masih di sini, Lion? Di mana yang lain?” tanya Rose begitu langkahnya menyisir di sisi blankar.“Tuan Verasco meminta saya menunggu di sini, Nona.”Perhatian Lion akhirnya teralihkan. Rose menduga pria itu baru pulang dari kantor kepolisian lalu membantu Verasco dan Elijah untuk mengeksekusi George. Terkait pengkhianatan yang dilakukan George, mungkin itu menjadi kecamuk rasa waspada bagi Verasco agar lebih intoleran terhadap niat – niat terselubung dan apa pun yang ba
“Dalam perjalanan menuju rumah. Kisah mereka berakhir bahagia. Selesai.”Rose menutup buku setebal kurang lebih 400 halaman dan meletakkan buku tersebut di atas nakas. Membacakan kisah – kisah manis menjadi rutinitasnya beberapa hari terakhir. Senyum Rose tipis menatap wajah suaminya yang terbaring begitu tenang. Pagi tadi alat bantu napas baru saja dilepas menandakan kondisi Theo semakin membaik pasca kejadian tombak berdarah. Beruntung mereka segera membawa Theo untuk mendapat penanganan tepat. Tiga kali Theo harus menjalani tindakan operasi. Pria itu kehilangan banyak darah, sehingga membutuhkan transfusi secepatnya. Rose ingat beberapa perdebatan terjadi di antara mereka terkait Theo yang memiliki darah sangat langkah, bahkan Verasco pun tak berdaya tentang itu. Hanya Dara ....Demikian yang Verasco katakan saat itu dengan nada suara gemetar penuh. Seperti begitu sesal. Benar – benar menyesal, sampai akhirnya Travis menyarankan beberapa orang yang masih tertinggal di Italia untuk