Rose tak pernah setenang ini menikmati embusan angin laut. Senyum di wajahnya tipis membayangkan kejadian malam itu. Ini mungkin awal yang baru, secercah harapan bergulung di depan mata. Ntah akan sejauh mana badai yang pernah ada menepikan diri. Pelan – pelan Rose akan menyelesaikan sesuatu yang tertunda. Sedikit lebih tenang, ya, meski dia tidak pernah menyangka Binari akan membawanya menuju Theo. Dan bagaimana Theo adalah pembunuh bayaran, itu merupakan pertanyaan paling besar. Tetapi Rose tahu teka – teki demikian tidak akan berakhir mudah. Terutama Theo ... Rose sudah memutuskan untuk tidak mencari tahu banyak hal tentang kehidupan terdahulu suaminya. Terlalu melelahkan harus mengingat respons tertutup dan yang tidak pernah sesuai harapan. Jika Rose harus membayangkan kembali. Seharusnya tanpa Sean pun, dia dan Theo pasti akan bertemu. Sayang sekali kebetulan yang sudah – sudah bagian dari ekspektasi tak terduga. Takdir seakan telah dirancang khusus. Namun, ada satu tambahan di
“Begitu?”“Tidak bisa pergi dari sampingku?”Netra Rose bergerak waspada tak kuat akan seringai yang mencolok di garis bibir itu. Sepertinya dia salah bicara hingga memancing Theo sekadar memastikan dan menatapnya penuh hasrat yang membakar. Rose mengetatkan genggaman—antisipasi. Theo kembali menghujani tubuhnya sedikit dengan perasaan. Sesap lidah di garis bahu Rose merayunya untuk menegadah. Jiwa Rose semakin gersang tatkala Theo mematikan pancuran air, yang meninggalkan tetes demi tetes di atas marmer. Hal tersebut diikuti dekapan yang mengendur, tepatnya Rose harus berpijak menghadap dada bergemuruh Theo saat pria itu memisahkan pernyatuan mereka. Ikut ke mana Theo akan menuntunnya. Rose berusaha menetralkan wajah yang mungkin sudah semakin padam. Sejujurnya, ada perasaan tidak nyaman yang harus Rose tahan saat tak mengenakan apa pun di hadapan Theo selama waktu yang mereka habiskan bersama. Terlebih Theo sibuk mengurus bath up—menekan keran, sekaligus menuangkan liquid dan aroma
Satu jam setelah penerbangan Theo mendaratkan helikopter di dataran tinggi yang dipenuhi batu – batu berukuran sedang, seperti lava yang telah mengering. Rose pikir mereka akan tetap berada di udara, tapi dia suka bagaimana harus duduk bersisihan di samping Theo dengan menjuntaikan kaki di atas permukaan laut yang jauh dari posisinya.Kawah Haleakala.Rose bisa menyebut seperti itu. Dia dan Theo berada di puncak tertinggi dari ‘rumah matahari’. Tempat yang memiliki sudut pandang paling bagus untuk menyaksikan matahari terbit dan terbenam dengan warna – warna cerah yang menggoda.Memang suatu paksaan bagi Theo saat Rose tak mau berpindah ke mana pun, atau sekadar kembali ke pulau pribadinya. Namun, hal itu didukung dari kisah menarik yang Theo ucap beberapa menit lalu. Sebuah legenda dari dewi Hina yang pernah mengeluh kepada putranya, Maui, bahwa matahari terlalu cepat melintasi langit. Kemudian di pagi hari Maui mendaki ke puncak Haleakala. Menjerat matahari dan membuatnya setuju unt
“Aku tidak bisa melakukannya sekarang.”[Tapi kau sudah menyetujui tawaranku dan menerima bayaran.]“Hanya uang muka. Aku bisa menggantinya dua kali lipat jika kau mau.”[Aku tidak akan terima uangku kembali. Kesepakatan tetaplah kesepakatan.]“You’re asshole, I can’t do that fucking shit right now.”[Aku tidak peduli. Selesaikan kesepakatan kita atau ini akan menjadi sesuatu yang buruk.]Di dalam kegelapan. Satu ruang itu terasa dingin merayap di seluruh tubuh Rose. Dia masih berdiri di tempat, sembunyi di balik visual tak terlihat demi mencerna saksama sayup – sayup pembicaraan merambat di kupingnya.Untuk beberapa saat tidak ada sahutan apa pun, hanya deru napas kasar yang mendesak Rose hingga kesusahan menelan ludah.“Sial!”Umpatan penuh amarah tersebut berasal di salah sudut pojok kanan. Cahaya minim bersumber dari layar monitor, bahkan tidak mampu membawa kaki Rose sekadar mendekat. Jika Theo tahu keberadaannya saat ini, kemarahan itu akan bertambah makin besar.Krak!Prang!Bu
Kembali ke kamar dan tidak pergi ke mana pun. Rose turuti semua yang Theo inginkan, tentu disertai tindakan mengunci pintu, membiarkan dirinya tenggelam di keheningan. Rose pikir Theo akan menyusul, minimal mengucapkan permintaan maaf telah membuatnya tersinggung. Tidak. Bukan seperti itu yang terjadi. Setelah penyataan di malam kemarin. Rose bahkan lebih sering terbayang akan suara yang mendesis, bagaimana Theo mengingatkan Rose siapa dia di masa lalu. Seorang pelacur yang menikahi pembunuh bayaran, tapi juga pria kaya yang memiliki segalanya ....Begitu kira – kira, apabila Rose menyimpulkan kebenaran dari diri sendiri. Dia akan lebih sadar bahwa mereka tidaklah sepadan. Untuk sementara waktu Rose akan menjaga batasan antara status mereka. Atau mungkin seterusnya—dia tidak bisa memastikan keputusan yang dimiliki akan tetap pada pendirian. Banyak faktor bisa mengubah pemikiran seseorang. Rose salah satu yang terkadang melenceng dari sisi konsistensi. Dia tersenyum kecut. Pagi – pagi
Sulur angin kencang meramu ombak di laut malam. Rose duduk termenung di tengah paviliun bersama Esmeralda di sampingnya. Hasil pendekatan Rose sukses membuat siberian husky itu selalu ikut ke mana pun dia pergi. Tidak ada kata kecuali, hanya saja Rose masih berusaha menyangkal banyak hal. Kenyataan dari informasi Lion tidaklah benar. Rose tidak menemukan sosok yang akan kembali setelah tiga hari berlalu. Tidak ada kepulangan. Rose harus menunggu lebih lama dari waktu yang ditentukan.Tepat delapan hari berlangsung. Siapa yang akan mengira Theo pergi selama itu. Lion tidak mendapat kabar, begitu dengan Rose. Sempat, dia berpikir untuk terbang ke Italia, barangkali Theo sudah kembali ke mansion tanpa mengingatnya. Namun, Lion justru mencegah dan meminta Rose bersikap lebih sabar. Kesabaran yang bahkan tidak membuahkan hasil. Beruntung selama hari – hari berkiprah di pulau Hawai, Esmeralda menjadi teman setia yang menjanjikan.“Kau lihat apa, Esme?”Rose keluar dari lamunan berkat lolonga
Rose menunggu kapan Theo akan masuk ke kamar mandi, hanya bisa bertahan dengan pura – pura memejam. Sebenarnya dia sudah tidak sabar berpaling ke arah pria itu sejak bunyi gunting menggigit kain, terlunta di sekeliling kamar. Satu. Dua. Dalam hati Rose menghitung waktu yang tepat mencari kesempatan. Setidaknya dia tidak ingin Theo menyadari gelagat anehnya. Apa kata Theo jika tahu Rose tidak bersungguh – sungguh tidur. Suaminya akan melontarkan kembali kalimat yang tentu saja benar. Sikap Rose bentuk pelampiasan dari pertemuan tertahan.Rose masih menghitung, sangat hati – hati memanfaatkan situasi. Dia tidak pernah menyangka bahwa lolongan Esmeraldaralda peluang yang tak mungkin dilewatkan secara percuma.“Kau mau ke mana?” tanyanya cepat, merasakan pergerakan kecil dari ranjang.“Buka pintu.”Rose tidak butuh penjelasan untuk apa Theo akan melakukan hal tersebut. Esmeralda ada di depan, mengambil alih seluruh perhatian Theo hingga suaminya seniat itu menjeda kegiatan yang sedang d
Senyum Rose membekas lama, lengkung di bibir itu seakan tak mau padam membayangkan keputusannya semalam. Dia sudah bertekat untuk lebih menjaga batasan antara hubungannya bersama Theo. Tetapi saat pria itu ada di sampingnya semua seketika luntur tak bersisa. Rose tak bisa menahan diri, walau terkadang bayangan akan status di masa lalu masih menyentak kesadaran. Ntah sejak kapan Rose menjadi sangat inkonsisten. Dia dipengaruhi beberapa hal, terutama jika Theo bersikap seperti yang dia inginkan. “Kau—kenapa meninggalkanku tidur sendiri di kamar, Sugar?”Sebuah pertanyaan menyusul dari arah belakang. Rose terkesiap oleh sebelah lengan yang melingkar di permukaan perut ratanya. Sentuhan basah akan lidah yang meliuk memberi sensasi menggelitik di punggung leher Rose. Kegiatan Theo sedikit mengganggu aktivitasnya di meja dapur. Dia sibuk bersama adonan roti yang sebentar lagi berubah kalis.“Kau terlihat kelelahan. Aku tidak tega membangunkanmu, dan tentunya kau pasti tahu aku tidak mungki
Kepergian Zever secara tiba – tiba cukup membekas di benak Rose. Saat itu dia dan Travis diam memperhatikan punggung milik dua orang yang menjauh. Rose tak berani mengatakan apa pun kala dia sendiri menyadari Travis seketika meninggalkannya—Travis menunduk dan Rose harap pria itu baik – baik saja, lantas ikut menyusul dengan langkah hati – hati membawa bayi kembarnya masuk ke dalam gedung mansion.Dua jam usai kejadian di taman belakang, dan setelah menidurkan anak – anak Rose segera menyusul keberadaan Zever. Lewat pesan – pesan yang diberikan kepada Lion, Rose tentu memantau apa pun yang terjadi di luar. Termasuk menanyakan bagaimana kondisi Travis. Pria itu sudah bersikap seperti semula, tetapi satu yang bermasalah. Zever di ruang tamu dengan riak wajah begitu dingin dan manik mata kelabu yang menatap setengah kosong menyusun sambungan miniatur di atas meja.Berulang kali Rose menarik napas sekadar memantapkan diri duduk di samping suaminya.“Zever,” panggil Rose ingin memastikan p
“Aku sudah selesai, Theo. Sekarang giliranmu—“ Pikir Rose, setelah keluar dari kamar mandi sekaligus mengganti pakaian di sana. Dia akan menemukan Theo menjaga ketiga bayi mereka dengan posisi semestinya, tetapi tubuh besar itu—dalam tidur menyampingnya seolah lebih lelap dari ketiga bayi yang memejam tenang. Kelelahan. Begitu yang Rose tafsirkan, karena hari – hari belakangan ini Theo sering sekali menyibukkan diri di tengah malam—menjaga bayi – bayi mereka, sementara Rose dipaksa untuk tetap beristirahat. Senyum Rose tipis sambil mengusap puncak kepala Theo. Hanya sesaat dia beralih pada tiga bayi kembarnya untuk dipindahkan ke dalam troli. Rose akan membawa mereka untuk berjalan – jalan di taman belakang. Selesai memindahkan dia kembali mendekati Theo sekadar menutup tubuh suaminya dengan selimut tebal. “Kami pergi dulu.” Singkat Rose mengecup sudut wajah Theo. Dia mendorong troli dengan hati – hati menuju lift. Rose sudah tahu di mana letaknya, cukup tersembunyi—dan Theo memang
“Aku mendapat cucu yang banyak.”Tawa O’Douglas pecah persis seperti kapten bajak laut yang baru saja menemukan harta karun bersejarah. Masing – masing lengan pria paruh baya itu mengapit dua bayi mungil, sementara bayi mungil yang lain berada di dekapan Verasco—yang terus menimang, sesekali mendekatkan bayi – bayi tersebut dengan guyonan ringan.Ntah apa yang bisa Rose katakan ketika menyaksikan anak – anaknya langsung diserbu begitu Verasco dan O’Douglas masuk ke ruang rawat. Dia baru selesai menyusui, sehingga bayi – bayi yang kekenyangan hanya akan tidur sepanjang hari, dan tidak merepotkan kedua kakek mereka.“Kau dari tadi tak pernah berhenti menatapku,” ucap Rose pelan. Sering kali Theo menyorot wajahnya, tetapi saat ini manik kelabu itu membinarkan sesuatu yang berbeda. Begitu penuh cinta dan sebagian tak bisa Rose tafsirkan dengan benar. Bagaimana mungkin Rose tahan dibidik sedemikian lamat. Theo harus, sekali saja, berpaling darinya.“Terima kasih, Sugar.”Sentuhan lembut di
Rose tak menyangka Theo akan membawanya sampai ke pulau Ortogia, pusat sejarah Kota Sirakusa, Sisilia, untuk menikmati keindahan laut Mediterania. Aroma – aroma di tepi laut itu memberi keindahan yang menyejukkan. Rose bahkan tak melupakan bahwa Theo tidak sekali pun melepaskan tubuhnya di pundak lebar pria tersebut setelah menyusuri sepanjang gedung – gedung tua di pulau – pulau Ortogia.“Ini rumah siapa?” tanya Rose memandangi sebuah bangunan kokoh yang seperti dikhususkan untuk ditinggali dua orang.“Rumah kita.”Tidak banyak yang dapat Rose katakan, kecuali menyematkan wajahnya dalam – dalam di ceruk leher Theo. Aroma maskulin itu masih sangat menguak, bahkan usai sepanjang hari mereka memberikan jamuan kepada para tamu, seakan – akan cairan parfum pun sangat betah menjamah kulit liat Theo.“Mau langsung tidur atau mandi dulu, Sugar?”Di depan sebuah pintu Theo menghentikan langkah sekaligus membiarkan Rose berpijak di atas lantai. Antara ragu dan butuh sesuatu yang segar akhirnya
“Sudah siap?”Rose mengangguk saat Theo bicara di atas puncak kepalanya. Dia memang berdiri membelakangi Theo, memegang ganggang pisau pemotong kue yang panjang, sementara jemari besar Theo menggenggam hangat tiap – tiap buku tangannya.Kue bertingkat – tingkat itu, atau tak jauh berbeda dengan menara rapuh sedang terbelah. Irisan mata pisau perlahan menurun ke bawah menjadi simbol ketajaman. Rose tersenyum nyaris meleburkan tawa ketika Theo membisikkan sesuatu yang lucu untuknya, yang lucu tapi tak akan Rose beritahu pada siapa pun. Biar dia menyimpan sendiri dan menjadikan itu momen menyenangkan yang penting.Setelah potongan kue pertama seharusnya Rose dan Theo saling memberi suapan. Alih – alih demikian Theo sebaliknya mencongkel krim dan segera mengoleskan ke bibir bawah Rose. Wajah Rose tampak berepotan, namun itulah yang Theo inginkan. Dia merampas bibir Rose seperti merampas kue yang sangat lezat.Manis dari campuran gula dan mentega seakan membuat Theo tak pernah puas. Dia mem
“Sudah. Aku sudah kenyang.”Lagi – lagi Rose harus menahan diri saat jemari besar Theo berusaha menyingkirkan semangkok bubur putih di tangannya.“Sedikit lagi, Theo. Kau harus menghabiskan buburmu.”“Ayo.”Sesendok bubur kembali Rose dekatkan, tetapi wajah itu menolak.“Jangan memaksaku makan bubur yang tidak enak, Sugar. Rasanya hambar.”“Makanya kalau makan sambil lihat aku, biar ada rasanya.”“Satu suapan lagi. Aku janji setelah ini selesai.”“Aku tidak percaya. Kau mengatakan itu sejak tadi, apa kau tidak ingat?”Rose menyengir lebar benar – benar mengelabuhi Theo. Pria itu persis anak kecil yang kehilangan nafsu makan. Sulit sekali dibujuk untuk membuka mulut.“Kali ini aku serius yang terakhir. Ahk ... buka yang lebar.”Rose pikir Theo akan segera menerima suapan darinya. Pria itu justru menggerakkan siku tangan Rose, memindahkan haluan sendok ke bibir Rose sendiri.“Kau juga harus makan.”“Tadi aku sudah makan,” bantah Rose, tetap saja dia tak bisa menyangkal satu suapan mendar
Satu hari setelah Theo sadar akhirnya Rose memutuskan kembali sejenak ke rumah, tempat di mana dia pernah tinggal seorang diri yang bersebelahan dengan restoran kecil miliknya. Saat ini tidak banyak yang Rose lakukan selain mempersiapkan diri menemui Theo di rumah sakit. Rose segera mengendarai mobil—milik ayahnya yang dipinjam. Di kursi penumpang belakang dia meletakkan sebuah kotak berukuran sedang dengan beberapa lubang di dalamnya yang dibungkus sangat cantik. Sementara di sampingnya duduk seekor anjing kecil lucu berbulu keriting dan warna putih seperti kapas. Kemarin Rose baru saja membeli ras anjing pudel tersebut di toko hewan. Tertarik. Hanya itu yang menggambar keinginan Rose membawa pulang pudel yang diberi nama Cocomelo.“Kita sudah sampai.”Rose menyiapkan tas ransel khusus untuk membawa Cocomelo di pundak, agar saat pertama kali masuk ke ruang rawat Theo tak langsung bertemu dengan Cocomelo-nya selain Rose yang akan memperlihatkan. Dan di tangannya, dia membawa kotak be
Sekembali dari kamar mandi Rose pikir akan dihadapkan pada situasi yang sama. Dia sudah mewanti dengan menunggu lebih lama di ruang lembab sampai beberapa suara dari luar meredup. Tetapi semua yang Rose perkirakan tidak benar adanya. Rembesan darah di lantai ketika dia membuka pintu sudah hilang tak berjejak. Bawahan Verasco ... bahkan Verasco itu sendiri pun sudah tak terlihat ada di sana, di ruang rawat suaminya. Hanya tersisa Lion yang menunggu sangat tenang, bersedekap dada sambil memperhatikan Theo tanpa suara.“Kau masih di sini, Lion? Di mana yang lain?” tanya Rose begitu langkahnya menyisir di sisi blankar.“Tuan Verasco meminta saya menunggu di sini, Nona.”Perhatian Lion akhirnya teralihkan. Rose menduga pria itu baru pulang dari kantor kepolisian lalu membantu Verasco dan Elijah untuk mengeksekusi George. Terkait pengkhianatan yang dilakukan George, mungkin itu menjadi kecamuk rasa waspada bagi Verasco agar lebih intoleran terhadap niat – niat terselubung dan apa pun yang ba
“Dalam perjalanan menuju rumah. Kisah mereka berakhir bahagia. Selesai.”Rose menutup buku setebal kurang lebih 400 halaman dan meletakkan buku tersebut di atas nakas. Membacakan kisah – kisah manis menjadi rutinitasnya beberapa hari terakhir. Senyum Rose tipis menatap wajah suaminya yang terbaring begitu tenang. Pagi tadi alat bantu napas baru saja dilepas menandakan kondisi Theo semakin membaik pasca kejadian tombak berdarah. Beruntung mereka segera membawa Theo untuk mendapat penanganan tepat. Tiga kali Theo harus menjalani tindakan operasi. Pria itu kehilangan banyak darah, sehingga membutuhkan transfusi secepatnya. Rose ingat beberapa perdebatan terjadi di antara mereka terkait Theo yang memiliki darah sangat langkah, bahkan Verasco pun tak berdaya tentang itu. Hanya Dara ....Demikian yang Verasco katakan saat itu dengan nada suara gemetar penuh. Seperti begitu sesal. Benar – benar menyesal, sampai akhirnya Travis menyarankan beberapa orang yang masih tertinggal di Italia untuk