“Begitu?”“Tidak bisa pergi dari sampingku?”Netra Rose bergerak waspada tak kuat akan seringai yang mencolok di garis bibir itu. Sepertinya dia salah bicara hingga memancing Theo sekadar memastikan dan menatapnya penuh hasrat yang membakar. Rose mengetatkan genggaman—antisipasi. Theo kembali menghujani tubuhnya sedikit dengan perasaan. Sesap lidah di garis bahu Rose merayunya untuk menegadah. Jiwa Rose semakin gersang tatkala Theo mematikan pancuran air, yang meninggalkan tetes demi tetes di atas marmer. Hal tersebut diikuti dekapan yang mengendur, tepatnya Rose harus berpijak menghadap dada bergemuruh Theo saat pria itu memisahkan pernyatuan mereka. Ikut ke mana Theo akan menuntunnya. Rose berusaha menetralkan wajah yang mungkin sudah semakin padam. Sejujurnya, ada perasaan tidak nyaman yang harus Rose tahan saat tak mengenakan apa pun di hadapan Theo selama waktu yang mereka habiskan bersama. Terlebih Theo sibuk mengurus bath up—menekan keran, sekaligus menuangkan liquid dan aroma
Satu jam setelah penerbangan Theo mendaratkan helikopter di dataran tinggi yang dipenuhi batu – batu berukuran sedang, seperti lava yang telah mengering. Rose pikir mereka akan tetap berada di udara, tapi dia suka bagaimana harus duduk bersisihan di samping Theo dengan menjuntaikan kaki di atas permukaan laut yang jauh dari posisinya.Kawah Haleakala.Rose bisa menyebut seperti itu. Dia dan Theo berada di puncak tertinggi dari ‘rumah matahari’. Tempat yang memiliki sudut pandang paling bagus untuk menyaksikan matahari terbit dan terbenam dengan warna – warna cerah yang menggoda.Memang suatu paksaan bagi Theo saat Rose tak mau berpindah ke mana pun, atau sekadar kembali ke pulau pribadinya. Namun, hal itu didukung dari kisah menarik yang Theo ucap beberapa menit lalu. Sebuah legenda dari dewi Hina yang pernah mengeluh kepada putranya, Maui, bahwa matahari terlalu cepat melintasi langit. Kemudian di pagi hari Maui mendaki ke puncak Haleakala. Menjerat matahari dan membuatnya setuju unt
“Aku tidak bisa melakukannya sekarang.”[Tapi kau sudah menyetujui tawaranku dan menerima bayaran.]“Hanya uang muka. Aku bisa menggantinya dua kali lipat jika kau mau.”[Aku tidak akan terima uangku kembali. Kesepakatan tetaplah kesepakatan.]“You’re asshole, I can’t do that fucking shit right now.”[Aku tidak peduli. Selesaikan kesepakatan kita atau ini akan menjadi sesuatu yang buruk.]Di dalam kegelapan. Satu ruang itu terasa dingin merayap di seluruh tubuh Rose. Dia masih berdiri di tempat, sembunyi di balik visual tak terlihat demi mencerna saksama sayup – sayup pembicaraan merambat di kupingnya.Untuk beberapa saat tidak ada sahutan apa pun, hanya deru napas kasar yang mendesak Rose hingga kesusahan menelan ludah.“Sial!”Umpatan penuh amarah tersebut berasal di salah sudut pojok kanan. Cahaya minim bersumber dari layar monitor, bahkan tidak mampu membawa kaki Rose sekadar mendekat. Jika Theo tahu keberadaannya saat ini, kemarahan itu akan bertambah makin besar.Krak!Prang!Bu
Kembali ke kamar dan tidak pergi ke mana pun. Rose turuti semua yang Theo inginkan, tentu disertai tindakan mengunci pintu, membiarkan dirinya tenggelam di keheningan. Rose pikir Theo akan menyusul, minimal mengucapkan permintaan maaf telah membuatnya tersinggung. Tidak. Bukan seperti itu yang terjadi. Setelah penyataan di malam kemarin. Rose bahkan lebih sering terbayang akan suara yang mendesis, bagaimana Theo mengingatkan Rose siapa dia di masa lalu. Seorang pelacur yang menikahi pembunuh bayaran, tapi juga pria kaya yang memiliki segalanya ....Begitu kira – kira, apabila Rose menyimpulkan kebenaran dari diri sendiri. Dia akan lebih sadar bahwa mereka tidaklah sepadan. Untuk sementara waktu Rose akan menjaga batasan antara status mereka. Atau mungkin seterusnya—dia tidak bisa memastikan keputusan yang dimiliki akan tetap pada pendirian. Banyak faktor bisa mengubah pemikiran seseorang. Rose salah satu yang terkadang melenceng dari sisi konsistensi. Dia tersenyum kecut. Pagi – pagi
Sulur angin kencang meramu ombak di laut malam. Rose duduk termenung di tengah paviliun bersama Esmeralda di sampingnya. Hasil pendekatan Rose sukses membuat siberian husky itu selalu ikut ke mana pun dia pergi. Tidak ada kata kecuali, hanya saja Rose masih berusaha menyangkal banyak hal. Kenyataan dari informasi Lion tidaklah benar. Rose tidak menemukan sosok yang akan kembali setelah tiga hari berlalu. Tidak ada kepulangan. Rose harus menunggu lebih lama dari waktu yang ditentukan.Tepat delapan hari berlangsung. Siapa yang akan mengira Theo pergi selama itu. Lion tidak mendapat kabar, begitu dengan Rose. Sempat, dia berpikir untuk terbang ke Italia, barangkali Theo sudah kembali ke mansion tanpa mengingatnya. Namun, Lion justru mencegah dan meminta Rose bersikap lebih sabar. Kesabaran yang bahkan tidak membuahkan hasil. Beruntung selama hari – hari berkiprah di pulau Hawai, Esmeralda menjadi teman setia yang menjanjikan.“Kau lihat apa, Esme?”Rose keluar dari lamunan berkat lolonga
Rose menunggu kapan Theo akan masuk ke kamar mandi, hanya bisa bertahan dengan pura – pura memejam. Sebenarnya dia sudah tidak sabar berpaling ke arah pria itu sejak bunyi gunting menggigit kain, terlunta di sekeliling kamar. Satu. Dua. Dalam hati Rose menghitung waktu yang tepat mencari kesempatan. Setidaknya dia tidak ingin Theo menyadari gelagat anehnya. Apa kata Theo jika tahu Rose tidak bersungguh – sungguh tidur. Suaminya akan melontarkan kembali kalimat yang tentu saja benar. Sikap Rose bentuk pelampiasan dari pertemuan tertahan.Rose masih menghitung, sangat hati – hati memanfaatkan situasi. Dia tidak pernah menyangka bahwa lolongan Esmeraldaralda peluang yang tak mungkin dilewatkan secara percuma.“Kau mau ke mana?” tanyanya cepat, merasakan pergerakan kecil dari ranjang.“Buka pintu.”Rose tidak butuh penjelasan untuk apa Theo akan melakukan hal tersebut. Esmeralda ada di depan, mengambil alih seluruh perhatian Theo hingga suaminya seniat itu menjeda kegiatan yang sedang d
Senyum Rose membekas lama, lengkung di bibir itu seakan tak mau padam membayangkan keputusannya semalam. Dia sudah bertekat untuk lebih menjaga batasan antara hubungannya bersama Theo. Tetapi saat pria itu ada di sampingnya semua seketika luntur tak bersisa. Rose tak bisa menahan diri, walau terkadang bayangan akan status di masa lalu masih menyentak kesadaran. Ntah sejak kapan Rose menjadi sangat inkonsisten. Dia dipengaruhi beberapa hal, terutama jika Theo bersikap seperti yang dia inginkan. “Kau—kenapa meninggalkanku tidur sendiri di kamar, Sugar?”Sebuah pertanyaan menyusul dari arah belakang. Rose terkesiap oleh sebelah lengan yang melingkar di permukaan perut ratanya. Sentuhan basah akan lidah yang meliuk memberi sensasi menggelitik di punggung leher Rose. Kegiatan Theo sedikit mengganggu aktivitasnya di meja dapur. Dia sibuk bersama adonan roti yang sebentar lagi berubah kalis.“Kau terlihat kelelahan. Aku tidak tega membangunkanmu, dan tentunya kau pasti tahu aku tidak mungki
Belum sepenuhnya Rose mendaratkan bibir lembut nan penuh. Tubuhnya jatuh membentur pangkuan hangat, dan sebelah lengan yang merengkuhnya dalam.“Can you feel me, Sugar?”Gigitan di cuping telinga Rose memerahkan seluruh permukaan wajahnya. Sesuatu yang mengeras di bawah sana seperti meronta, mendesak – desak keberadaan Rose sesekali. Dia berusaha menghindarkan diri dari gejolak liar Theo yang memancing rasa tidak tenang. “Sekali saja, Sugar.”Lidah basah itu sudah meliuk memainkan peran dalam rayuan. Bunyi sesap—gurih mendambakan permukaan kulit leher Rose. Theo merambatkan jemari pelan – pelan melesak ke dalam kaos kebesaran dan bra yang melonggar bebas dari pengaitnya. Bongkahan lembut dan kenyal terasa pas di tengah genggaman yang mengetat. Tiap remasan Theo mengandung efek memabukkan—kasar dan penuh pemujaan beradu saling mengikat. “Ayo, Sugar. Satu kali saja. Buka celanamu.”Sensual bibir itu membisik mengirim sinyal bahaya. Rose bergidik. “Aku tidak yakin. Satu kali menurutmu