Senyum Rose membekas lama, lengkung di bibir itu seakan tak mau padam membayangkan keputusannya semalam. Dia sudah bertekat untuk lebih menjaga batasan antara hubungannya bersama Theo. Tetapi saat pria itu ada di sampingnya semua seketika luntur tak bersisa. Rose tak bisa menahan diri, walau terkadang bayangan akan status di masa lalu masih menyentak kesadaran. Ntah sejak kapan Rose menjadi sangat inkonsisten. Dia dipengaruhi beberapa hal, terutama jika Theo bersikap seperti yang dia inginkan. “Kau—kenapa meninggalkanku tidur sendiri di kamar, Sugar?”Sebuah pertanyaan menyusul dari arah belakang. Rose terkesiap oleh sebelah lengan yang melingkar di permukaan perut ratanya. Sentuhan basah akan lidah yang meliuk memberi sensasi menggelitik di punggung leher Rose. Kegiatan Theo sedikit mengganggu aktivitasnya di meja dapur. Dia sibuk bersama adonan roti yang sebentar lagi berubah kalis.“Kau terlihat kelelahan. Aku tidak tega membangunkanmu, dan tentunya kau pasti tahu aku tidak mungki
Belum sepenuhnya Rose mendaratkan bibir lembut nan penuh. Tubuhnya jatuh membentur pangkuan hangat, dan sebelah lengan yang merengkuhnya dalam.“Can you feel me, Sugar?”Gigitan di cuping telinga Rose memerahkan seluruh permukaan wajahnya. Sesuatu yang mengeras di bawah sana seperti meronta, mendesak – desak keberadaan Rose sesekali. Dia berusaha menghindarkan diri dari gejolak liar Theo yang memancing rasa tidak tenang. “Sekali saja, Sugar.”Lidah basah itu sudah meliuk memainkan peran dalam rayuan. Bunyi sesap—gurih mendambakan permukaan kulit leher Rose. Theo merambatkan jemari pelan – pelan melesak ke dalam kaos kebesaran dan bra yang melonggar bebas dari pengaitnya. Bongkahan lembut dan kenyal terasa pas di tengah genggaman yang mengetat. Tiap remasan Theo mengandung efek memabukkan—kasar dan penuh pemujaan beradu saling mengikat. “Ayo, Sugar. Satu kali saja. Buka celanamu.”Sensual bibir itu membisik mengirim sinyal bahaya. Rose bergidik. “Aku tidak yakin. Satu kali menurutmu
“Koperku dan koper Theo mau dibawa ke mana, Lion?” Tiga hari sejak kekacauan panas di dapur, Rose rasa semua masih berjalan baik – baik saja. Kedekatannya bersama Theo mengalami perubahan pesat. Dua pribadi yang menyatu dalam satu ikatan, seperti baru saja menyelam di antara perbedaan – perbedaan yang ada. Dia tidak sepenuhnya mengenal Theo, itu memang benar. Tetapi untuk kepergian yang mendadak saat ini—jika tafsiran Rose tidak salah. Seharusnya Theo memberikan informasi dan memintanya untuk mempersiapkan diri. Namun, pria itu belum terlihat sejak Rose baru terbangun dari tidur.“Lion,” panggil Rose dengan langkah setengah mengejar. Sepertinya Lion sedang diburu waktu, hingga tidak mendengar bahkan tidak melihatnya.“Aku bicara padamu.” Tepukan Rose di garis bahu Lion membuat pria itu tersentak.“Oh, Nona, maaf.”Rose manggut memaklumi, kembali memperhatikan koper di kedua tangan Lion. “Mau di bawa ke mana?” tanyanya penasaran.“Ke kabin, Nona. Kita akan kembali ke Italia.” “Mendada
Pemandangan di hadapan Rose makin – makin menambah bagian tak terduga yang harus dia garis bawahi sebagai sesuatu yang penting. Para penghuni mansion, sebagian dari mereka yang bertugas di bagian inti, dan yang paling akrab bersama Rose kumpul dalam satu ruang penuh lolongan. Di antara mereka, Esmeralda di atas sofa dengan penampilan istimewa sendiri selalu menyambar lirik lagu yang Lion nyanyikan. Beberapa pernak pernik terpasang di tubuh husky tersebut, topi kerucut bermotif garis – garis dan perpaduan warna menyala pun melekat di atas kepala yang menegadah tinggi acapkali lolongannya akan menguasai keadaan. Semua yang tampak di hadapan Rose, benar, cukup menyenangkan. Tetapi yang tidak pernah henti menarik perhatiannya hanya satu ....Theo yang memilih duduk di sofa single. Tatapan pria itu terlihat geli hampir menyipit sekaligus senyum yang samar – samar muncul dan hilang. Satu tangan Theo bebas bertumpu di atas sebelah kakinya. Telunjuk yang terpisah dari ibu jari yang melekat di
Rose terbata. Cukup sekali dia menunduk ... keadaan yang sedang berlangsung tak lagi sama. Suara pukulan keras dan ringisan Verasco membumbung menjadi pengalunnya. Theo menyentak wajah sang ayah kuat. “Apa saja yang sudah dilakukan tua bangka ini padamu?” Dia bicara dengan kemarahan tertahan.“Jawab aku, Rose!” Dan membentak disertai otot leher mencuak ke mana – mana. Begitu lengan Rose dicengkeram, tidak ada lagi kebisuan yang dapat Rose pertahankan. Dia berusaha menarik diri lepas dari angkara murka yang secara keseluruhan menguasai Theo hingga tak luntur sedikit pun kesabaran di ujung tanduk.“Kau menyakitiku, Theo.” Rose mengeluh. Keputusan yang tidak tepat mengenerasi rasa sakit semakin bertambah.“Jawab aku. Apa saja yang sudah dilakukan tua bangka ini?”Pertanyaan Theo kekeh tidak pernah berubah. Sorot abu menajam mengandung sembilu yang menyayat.“Tidak ada. Ayahmu c—cuma menamparku.” Tergugu hampir keluh. Lengan Rose makin ditarik dan diguncang bersamaan. “Aku tidak bodoh,
Benar – benar suatu kekacauan yang sudah tertata dalam dugaan. Rose harus meninggalkan Verasco dan menyerahkan kesakitan pria paruh baya itu kepada Anthony, demi menyusul langkah suaminya yang telah jauh. Tubuh besar Theo memasuki gerbang utama mansion, tidak sekali pun berpaling ke belakang. Minimal memastikan kembali puing – puing kehancuran yang tercerai berai di sana.Rose mempercepat laju kaki, menghitung tiap kepergian Theo yang dapat menyebabkan tembok tinggi menjulang membatasi hubungan mereka. Ke mana arah tujuan Theo, Rose tahu pria itu tidak berniat melabuhkan diri ke kamar utama. Tak lekang oleh kenyataan itu, akal sehat Rose mulai tersisihkan. Sedikit pun dia tak ingin tertinggal dan berakhir dengan usaha percuma. Apa lagi yang akan Theo lakukan, selain mengurung diri saat satu – satunya tempat yang didatangi adalah ruang pribadinya sendiri.“Tunggu, Theo,” tahan Rose. Theo sudah mencapai ganggang dan mendorong kusen berpahat garis ukiran dalam itu, sementara dia masih
Rose tidak salah menyebut Theo bayi besar. Sedikit – sedikit sikapnya tidak bisa dikendalikan. Di lain waktu kemudian semua yang ada dalam pria itu menjadi suatu hal yang tidak dapat Rose duga dengan benar. Semalam terakhir kali Theo bicara, berikutnya Rose harus menyerukan bantuan kepada orang – orang mansion untuk membopong bayi besarnya ke kamar. Dan saat ini, karena kemarahan yang berada pada taraf berlebihan. Secara kebetulan Rose yang terjaga lebih dulu harus menyaksikan betapa napas Theo menderu kasar. Ada beberapa bagian tersirat embusan itu tercekat. Ntah mengapa Theo yang kesusahan begitu, Rose ikut merasakan sesaknya. Dia menggeleng samar ... setengah beranjak bangun menyentuh lembut permukaan wajah yang agaknya tampak polos ketika sorot abu Theo terpejam. Tidak mau berakhir terlalu lama, Rose bergerak cepat meraih bantal miliknya. Cukup hati – hati mengangkat punggung kepala Theo, sengaja mengatur benda empuk tersebut setingkat lebih tinggi untuk menstimulasi kelancaran
Sementara tubuh besar suaminya tak lagi terlihat. Rose harus menelan pil pahit akan keputusan yang sia – sia untuk menghentikan Theo dari kebungkaman. Ntah harus dengan cara apa lagi dia berusaha. Rose tidak mengerti, dia lelah. Bahkan di hadapan Beatrace dan yang lain pun, Theo menganggapnya sesuatu yang tak kasat mata. Terabaikan. Lebih – lebih tidak pernah meliriknya sama sekali.“Aku sudah mengumpankan diri sebagai ikan. Kau yakin tidak mau jadi kucingnya, Theo?” tanya Rose putus asa. Posisi Theo masih seperti semula. Tidur membelakanginya dengan selimut tak lepas dari tubuh meringkuk itu.“Theo.”Tanpa sadar jemari Rose mendarat di atas permukaan lengan yang dibatasi kain tebal. Hanya gerakan tangan menepis dari dalam, spontanitas Rose secara langsung menarik diri. Dia menggenggam jemarinya sendiri. Usia mereka terpaut cukup jauh. Theo seharusnya bisa lebih dewasa mengimbangi sikap Rose, yang terkadang berada di luar keinginan. Akan tetapi kuantitas tidak sepenuhnya menentukan k