Rose tidak salah menyebut Theo bayi besar. Sedikit – sedikit sikapnya tidak bisa dikendalikan. Di lain waktu kemudian semua yang ada dalam pria itu menjadi suatu hal yang tidak dapat Rose duga dengan benar. Semalam terakhir kali Theo bicara, berikutnya Rose harus menyerukan bantuan kepada orang – orang mansion untuk membopong bayi besarnya ke kamar. Dan saat ini, karena kemarahan yang berada pada taraf berlebihan. Secara kebetulan Rose yang terjaga lebih dulu harus menyaksikan betapa napas Theo menderu kasar. Ada beberapa bagian tersirat embusan itu tercekat. Ntah mengapa Theo yang kesusahan begitu, Rose ikut merasakan sesaknya. Dia menggeleng samar ... setengah beranjak bangun menyentuh lembut permukaan wajah yang agaknya tampak polos ketika sorot abu Theo terpejam. Tidak mau berakhir terlalu lama, Rose bergerak cepat meraih bantal miliknya. Cukup hati – hati mengangkat punggung kepala Theo, sengaja mengatur benda empuk tersebut setingkat lebih tinggi untuk menstimulasi kelancaran
Sementara tubuh besar suaminya tak lagi terlihat. Rose harus menelan pil pahit akan keputusan yang sia – sia untuk menghentikan Theo dari kebungkaman. Ntah harus dengan cara apa lagi dia berusaha. Rose tidak mengerti, dia lelah. Bahkan di hadapan Beatrace dan yang lain pun, Theo menganggapnya sesuatu yang tak kasat mata. Terabaikan. Lebih – lebih tidak pernah meliriknya sama sekali.“Aku sudah mengumpankan diri sebagai ikan. Kau yakin tidak mau jadi kucingnya, Theo?” tanya Rose putus asa. Posisi Theo masih seperti semula. Tidur membelakanginya dengan selimut tak lepas dari tubuh meringkuk itu.“Theo.”Tanpa sadar jemari Rose mendarat di atas permukaan lengan yang dibatasi kain tebal. Hanya gerakan tangan menepis dari dalam, spontanitas Rose secara langsung menarik diri. Dia menggenggam jemarinya sendiri. Usia mereka terpaut cukup jauh. Theo seharusnya bisa lebih dewasa mengimbangi sikap Rose, yang terkadang berada di luar keinginan. Akan tetapi kuantitas tidak sepenuhnya menentukan k
Kotak musik ....Rose terpaku memegang erat benda tersebut. Cukup tidak percaya harus menerima sebuah pemberian tanpa nama pengirim. Hal ini dapat dimaklumi seandainya dia berada di Kanada, tetapi Italia ... mustahil Rose miliki seorang pemuja rahasia. Dia tidak berusaha mengingat, sayangnya bayangan sesosok pria muncul tak ingin Rose percaya, barangkali enggan membenarkannya.Agak ragu Rose membuka penutup kotak yang menghasilkan musik dengan menggunakan serangkaian pin yang ditempatkan pada suatu silinder atau cakram berputar sehingga menyentuh gigi – gigi dari sisir besi. Bentuk kotak musik di tangan Rose kompleks memiliki drum dan lonceng kecil di samping sisir besi tersebut. Nada – nada yang mengalun, mengiring sepasang patung nyaris berciuman bergerak lingkar di tengah – tengah. Sean.Satu nama yang mencuak merupakan pria yang pertama kali memberikan kotak musik, dan yang juga sampai saat ini. Rose beralih pada kertas kecil terselip. Kalimat tertulis di sana akan mengundang se
Tertatih langkah Rose mengimbangi beban boneka besar yang didekap erat. Bentuk dan ukuran berlebihan nyaris membuat tubuh Rose tenggelam saat membawa teddy bear masuk menuju kamar utama mansion. Beberapa kali selama perjalanan Rose menghantam benda di depan, apa saja, dengan pandangan yang sepenuhnya terlindungi. Dia mengeluh masih harus berusaha tidak terkalahkan oleh kekesalan sendiri. Sebenarnya Rose berharap Esmeralda tidak sepintar itu menuruti perintah tuannya, jadi Theo tidak bisa menjadikan siberian husky sebagai suatu perantara. Sayang harapan Rose tidak begitu. Esmeralda terlalu ... kurang lebih seperti Theo!“Akhirnya.” Rose menjatuhkan teddy bear di atas marmer putih gading, engap – engap sembari menyentuh kedua sisi pinggul. Seharusnya tidak ada yang salah, hingga Rose menyadari keberadaan satu orang. Theo ... terlentang di atas ranjang dengan sebelah lengan menekuk berbentuk sudut siku melapisi permukaan bantal.Netra itu memejam teratur disertai permukaan dada bergerak
Sudah cukup penyiksaan yang dia terapkan sendiri. Daging sudah begitu siap, Theo tidak akan bisa mengenyahkan bayangan indah akan labium merah yang mekarnya menggoyahkan hasrat. Dia menelisik jauh hangat tubuh yang coba Rose tutupi. Semakin bertambah panas dan menggebu gairah ingin melempar Rose ke atas ranjang.Senyum Theo sinis. Tak terhitung berapa lama dia memuja wajah yang menatapnya ragu. Usapan pelan merambat dari kulit pipi menuju permukaan lembut terkatup rapat itu. Dia menekan bibir Rose, mengingat kembali bagaimana harus menahan diri tiap kali Rose melontarkan protes dan menunjukkan sikap jengkel.“I want you so badly.”Bisikan Theo mengumpulkan seluruh elektrik hingga mengundang ketegangan yang tak mampu Rose tahan. Dia kebingungan ketika pelan – pelan keberadaan jemari Theo berpindah ... lambat laun mengalir ke bawah. Melalui celah kaki, tindakan Theo lolos meraih sabuk yang tergeletak, merosot bersama jubahnya.Tidak ingin menebak lebih jauh. Napas Rose tercekat pasrah sa
“Sial!”Ponsel itu hancur berkeping – keping. Sean meluapkan segalanya. Segala yang dia terima. Lenguhan Rose, suara lembut yang menyerukan nama Theo mengikis habis kesabaran yang dia miliki. Seandainya mudah bagi Sean melupakan Rose. Dia tidak akan berharap cinta yang telah hilang kembali membara di hati wanita yang sampai detik ini berharga di matanya.Sean mengenal Rose dengan betul ....Kesalahan yang dia perbuat. Tidak akan mengubah keputusan Rose. Hubungan terjalin yang telah gugur. Tidak akan pernah mekar, sekalipun Sean menjadi yang paling kasihan.“Sial!”Dia kembali mengumpat, terus terang hampir menghancurkan seisi kamar. Sejak kedatangan Verasco di rumah sakit tempo waktu lalu. Pada akhirnya Sean setuju dan melibatkan diri sebagai bagian dari Witson. Menerima andil penuh di perusahaan berbeda atas namanya sendiri. Semua sudah diatur. Tidak ada yang salah terhadap pilihan Sean, bahwa dia berhak atas kemewahan yang selama ini terpupuk oleh kebencian. Verasco cukup berani be
“You’ve been so long, Mrs. Witson.”Untuk keberkian kali Rose harus mendengar protes yang sama keluar dari bibir pria menjulang di ambang pintu. Satu pembedanya hanya panggilan terakhir yang sengaja diucap penuh penekanan.Tiap – tiap julukan Theo kepada Rose semua lengkap disebut hingga yang terakhir, Mrs. Witson, dan Rose rasa itu final sebuah peringatan. Dia bergegas masih kesulitan mengait rantai gelang pemberian Xelle setelah harus membukanya, demi sarung tangan berbahan jaring - jaring sepanjang lengan yang kontras dengan warna kulit.“Tolong bantu pasangkan.” Rose mengulur lengan tepat di hadapan Theo. “Kau dari tadi melihatku kesusahan, tapi tidak punya inisiatif menawarkan diri,” ucap Rose menyerahkan rantai berbandul permata di atas permukaan tapak tangan yang menyambut tanpa suara.“Kau yang senang menyusahkan dirimu sendiri.”Sesal sudah memancing pria itu bicara. Akan ada baiknya Theo diam tidak mengatakan apa pun. Padahal seharusnya itu yang Rose dapat saat suaminya hanya
“Lima juta euro.”Yang terucap dari bibir panas suaminya menjadi penawaran terakhir di puncak kegiatan amal. Rose termegap tak percaya. Theo seberani itu mempertaruhkan jumlah uang tersebut demi sebuah kalung berkilauan yang bertaut di manekin leher.Rose tahu Italia dan Kanada memiliki mata uang yang tak sama. Akan tetapi euro dan dollar memiliki selisih yang cukup tipis. Paling tidak dia dapat mengkonversikan harga kalung rebutan berdasarkan per satuan dollar.“Untuk seukuran kalung, apa itu tidak terlalu mahal, Theo?” Rose setengah berbisik menatap sekelilingnya. Para jutawan berkumpul dalam satu acara, semua berkelas menawar harga dari patokan awal hinga tertinggi, dan yang tak satu pun berani kalahkan dengan harga lain. Rose masih menunggu jawaban Theo. Suaminya terlalu sibuk mengulik benda pipih di tangan.“Tunggu aku di sini. Aku akan mengurus pembayaran lebih dulu.”Ketika Theo menjulang. Satu – satunya yang dapat Rose lakukan hanya memandangi bahu besar itu semakin jauh meni