“You’ve been so long, Mrs. Witson.”Untuk keberkian kali Rose harus mendengar protes yang sama keluar dari bibir pria menjulang di ambang pintu. Satu pembedanya hanya panggilan terakhir yang sengaja diucap penuh penekanan.Tiap – tiap julukan Theo kepada Rose semua lengkap disebut hingga yang terakhir, Mrs. Witson, dan Rose rasa itu final sebuah peringatan. Dia bergegas masih kesulitan mengait rantai gelang pemberian Xelle setelah harus membukanya, demi sarung tangan berbahan jaring - jaring sepanjang lengan yang kontras dengan warna kulit.“Tolong bantu pasangkan.” Rose mengulur lengan tepat di hadapan Theo. “Kau dari tadi melihatku kesusahan, tapi tidak punya inisiatif menawarkan diri,” ucap Rose menyerahkan rantai berbandul permata di atas permukaan tapak tangan yang menyambut tanpa suara.“Kau yang senang menyusahkan dirimu sendiri.”Sesal sudah memancing pria itu bicara. Akan ada baiknya Theo diam tidak mengatakan apa pun. Padahal seharusnya itu yang Rose dapat saat suaminya hanya
“Lima juta euro.”Yang terucap dari bibir panas suaminya menjadi penawaran terakhir di puncak kegiatan amal. Rose termegap tak percaya. Theo seberani itu mempertaruhkan jumlah uang tersebut demi sebuah kalung berkilauan yang bertaut di manekin leher.Rose tahu Italia dan Kanada memiliki mata uang yang tak sama. Akan tetapi euro dan dollar memiliki selisih yang cukup tipis. Paling tidak dia dapat mengkonversikan harga kalung rebutan berdasarkan per satuan dollar.“Untuk seukuran kalung, apa itu tidak terlalu mahal, Theo?” Rose setengah berbisik menatap sekelilingnya. Para jutawan berkumpul dalam satu acara, semua berkelas menawar harga dari patokan awal hinga tertinggi, dan yang tak satu pun berani kalahkan dengan harga lain. Rose masih menunggu jawaban Theo. Suaminya terlalu sibuk mengulik benda pipih di tangan.“Tunggu aku di sini. Aku akan mengurus pembayaran lebih dulu.”Ketika Theo menjulang. Satu – satunya yang dapat Rose lakukan hanya memandangi bahu besar itu semakin jauh meni
“Happy birthday, Mommy!”Jemari kecil Oracle memutar confetti, meroketkan potongan kertas – kertas kecil saling berterbangan dan perlahan jatuh menyapa puncak kepala wanita yang baru selangkah masuk menginjakkan kaki di atas marmer putih gading. Sempat dikejutkan bunyi memekakkan tidak jauh dari posisinya. Setengah menunduk Rose menadah tangan, membiarkan beberapa kertas singgah dalam genggaman. Begitu tidak ada lagi lambaian tersisa. Sudut bibir Rose mengukir lengkungan tipis. Dia mendongak berpas – pasan dengan senyum manis wanita yang sedang mengandung itu.Bridgette beserta sebongkah kue besar dan lilin menyala mendekati Rose yang masih terpaku, tidak pernah menduga ini akan menjadi sebuah kejutan.“Make a wish dan tiup lilin, Rose.”Apa yang bisa Rose harapkan dari kehidupannya saat ini? Tiap – tiap lembar pada hari yang akan datang adalah misteri. Dia tidak bisa menebak sejauh mana takdir akan membawanya menyeberangi segala macam peristiwa, dan kapan segelintir keinginan Rose
Segala aktivitas di malam ini Rose lalui dengan perasaan setengah nelangsa. Masing – masing kebutuhan yang harus dia selesaikan ... tuntas berderai, termasuk saat Rose harus mengurai jejak – jejak angka dan huruf yang terekam dalam memori ingatan dan memindahkan seberkas bayangan tersebut pada catatan digital di ponselnya. Dia sudah menyisihkan bagian terpenting mengenai George yang harus dikerjakan nanti. Jarak sudah semakin dekat, tidak sulit bagi Rose menggapai kenyataan tersisa di depan mata. Ke mana George akan pergi, setidaknya Rose sudah memegang kunci yang akan membukakan pintu tergembok untuknya.Tipis – tipis senyum Rose diikuti gerak jemari memainkan surai kecokelatan Oracle—tiap helaian milik bocah kecil itu persis kepunyaan Xelle beserta tekstur lembut yang tak pernah berubah. Memang beberapa saat lalu Oracle baru saja terlelap tenang. Berbanding jauh dengan kecemasan Rose terhadap suaminya yang serupa kejatuhan air terjun dan membandang secara keseluruhan membasuh dia ya
“Om T, sakit, Om T, lepas!”“Om T!”Rose coba memahami situasi di tengah remang sekamar. Sayup – sayup ringis kesakitan saling beradu di udara. Rose mengernyit, demikian pergerakan hampir tanpa jeda secara keseluruhan menyibak netra cokelat terpejamnya untuk terbuka lebar. Di hadapan Rose beberapa kejadian hitam terekam penuh, menyiarkan siluet perlawanan kasar beserta sebentuk tubuh kecil yang sedang berusaha keras menarik diri dari cengkeraman di bawah sadar.Jantung Rose bertalu hebat. Segala kekacauan tumpang tindih membentuk ornamen di kepalanya. Dia mengambil langkah pasti, cepat – cepat menjadikan separuh kegelapan itu benderang. Dan kemudian beberapa hal yang tak mampu Rose cerna dengan baik, muncul tumpuk – bertumpuk menyentak perasaannya. Di atas ranjang serupa penyiksaan itu ....Oracle sama sekali tidak dapat melawan genggaman kuat yang terlihat dari otot – otot mencuak di permukaan lengan besar, liat seukuran pria dewasa milik seseorang di sana. Kekalutan dan kemelekat
“Oracle yakin mau langsung pulang? Tidak tunggu Om T bangun dulu?”Penolakan Oracle mantap mengenyahkan tawaran yang berulang kali Rose berikan. Napas Rose berembus, mengatupkan bibir saling menipis. Dia merenungkan segala sesuatu yang belum dan yang akan terjadi. Di hadapannya, dari jarak kejauhan Rose sudah menduga akan berakhir seperti apa reaksi Xelle, jika bekas memar membiru di pergelangan tangan Oracle yang mencolok—terbalut perban elastis tersorot mata heterochromia itu.Serambat daun menyisir Rose mengubah posisi. Menjulang tinggi menanti langkah cepat mendekat yang kini bersisihan di sampingnya.“Daddy.”Tipis lengkung bibir itu merespon sapaan Oracle. Rajut alis rapi terangkat disertai netra menajam Xelle tampak meneliti. Dia menyorot wajah Rose dalam, lalu berpaling kembali pada titik fokus pertama. Tubuh besarnya turut bersimpuh, seringan bulu meraih jemari kecil Oracle—memperhatikan lamat – lamat kain yang membungkus padat ... mendobrak rasa curiganya muncul tak terelak.
“Buka matamu, Theo.”Debaran itu masih sama kerasnya seperti pertama kali igauan Theo terucap. Jantung dan isi kepala Rose saling bertempur. Masing – masing memperebutkan spasi bertindih batasan yang dia ciptakan sendiri. Sementara di antara yang lain muncul perasaan asing, yang tidak dapat Rose susun menjadi sebuah sandyakala. Dia terdesak acak berantakan. Seharusnya mempertimbangkan kembali kalimat Xelle beberapa saat lalu, apa benar Rose sedang berusaha bertahan dengan seseorang yang membuatnya tersesat oleh perasaan sendiri ....Tidak. Rose tak ingin dikacaukan semua kenyataan itu. Sejauh mungkin memisahkan hal yang tidak semestinya bersarang lama ke sisi terpojok lebirin hatinya. Menuju semacam pilihan mana yang paling tepat untuk memenangkan kewarasan Rose. Dia tidak ingin ditaklukkan.“Bangun. Cepat bangun, Theo!”Rose menekan – nekan otot liat di lengan suaminya. Membalik tubuh meringkuk itu menghadap langit – langit kamar utama.“Theo, ih ... bangun!”Pejaman mata Theo terlal
Rose tidak peduli bagaimana ranjang bergoyang itu menghentak – hentak serupa guncangan berayun hebat. Dia memaksimalkan tiap – tiap injakan berpacu kuat seperti raksasa menerjang bumi. Tubuh Theo benar menjadi sasaran empuk di kakinya. Pria itu mengeluh dengan suara terendam. Namun, juga keenakan ... terkadang meminta Rose berpindah dari titik satu menuju titik pijak lainnya.“Naik lagi, Sugar. Naik lagi sampai ke bahu.”Rose berdecak tetap turuti semua yang Theo mau. Lebih keras lagi sebelah kaki menginjak bahu liat, panas dan seksi suaminya. “Sudah,” ucap Rose. Satu kali lompatan mengakhiri gempa di atas permukaan tubuh Theo. Dia menyisihkan diri menelungkup di samping pria yang sedang memejam. “Mana? Kembalikan kotak hadiahku?”“Siapa yang memberimu hadiah?” “Oracle. Sini, cepat kembalikan.” Lengan Rose memanjang ingin menarik kotak beludru merah dalam genggaman Theo. Posisi mereka seiras, sama – sama menjadikan lengan sebagai tumpuan dada terangkat.“Biar aku saja yang buka.”Je
Kepergian Zever secara tiba – tiba cukup membekas di benak Rose. Saat itu dia dan Travis diam memperhatikan punggung milik dua orang yang menjauh. Rose tak berani mengatakan apa pun kala dia sendiri menyadari Travis seketika meninggalkannya—Travis menunduk dan Rose harap pria itu baik – baik saja, lantas ikut menyusul dengan langkah hati – hati membawa bayi kembarnya masuk ke dalam gedung mansion.Dua jam usai kejadian di taman belakang, dan setelah menidurkan anak – anak Rose segera menyusul keberadaan Zever. Lewat pesan – pesan yang diberikan kepada Lion, Rose tentu memantau apa pun yang terjadi di luar. Termasuk menanyakan bagaimana kondisi Travis. Pria itu sudah bersikap seperti semula, tetapi satu yang bermasalah. Zever di ruang tamu dengan riak wajah begitu dingin dan manik mata kelabu yang menatap setengah kosong menyusun sambungan miniatur di atas meja.Berulang kali Rose menarik napas sekadar memantapkan diri duduk di samping suaminya.“Zever,” panggil Rose ingin memastikan p
“Aku sudah selesai, Theo. Sekarang giliranmu—“ Pikir Rose, setelah keluar dari kamar mandi sekaligus mengganti pakaian di sana. Dia akan menemukan Theo menjaga ketiga bayi mereka dengan posisi semestinya, tetapi tubuh besar itu—dalam tidur menyampingnya seolah lebih lelap dari ketiga bayi yang memejam tenang. Kelelahan. Begitu yang Rose tafsirkan, karena hari – hari belakangan ini Theo sering sekali menyibukkan diri di tengah malam—menjaga bayi – bayi mereka, sementara Rose dipaksa untuk tetap beristirahat. Senyum Rose tipis sambil mengusap puncak kepala Theo. Hanya sesaat dia beralih pada tiga bayi kembarnya untuk dipindahkan ke dalam troli. Rose akan membawa mereka untuk berjalan – jalan di taman belakang. Selesai memindahkan dia kembali mendekati Theo sekadar menutup tubuh suaminya dengan selimut tebal. “Kami pergi dulu.” Singkat Rose mengecup sudut wajah Theo. Dia mendorong troli dengan hati – hati menuju lift. Rose sudah tahu di mana letaknya, cukup tersembunyi—dan Theo memang
“Aku mendapat cucu yang banyak.”Tawa O’Douglas pecah persis seperti kapten bajak laut yang baru saja menemukan harta karun bersejarah. Masing – masing lengan pria paruh baya itu mengapit dua bayi mungil, sementara bayi mungil yang lain berada di dekapan Verasco—yang terus menimang, sesekali mendekatkan bayi – bayi tersebut dengan guyonan ringan.Ntah apa yang bisa Rose katakan ketika menyaksikan anak – anaknya langsung diserbu begitu Verasco dan O’Douglas masuk ke ruang rawat. Dia baru selesai menyusui, sehingga bayi – bayi yang kekenyangan hanya akan tidur sepanjang hari, dan tidak merepotkan kedua kakek mereka.“Kau dari tadi tak pernah berhenti menatapku,” ucap Rose pelan. Sering kali Theo menyorot wajahnya, tetapi saat ini manik kelabu itu membinarkan sesuatu yang berbeda. Begitu penuh cinta dan sebagian tak bisa Rose tafsirkan dengan benar. Bagaimana mungkin Rose tahan dibidik sedemikian lamat. Theo harus, sekali saja, berpaling darinya.“Terima kasih, Sugar.”Sentuhan lembut di
Rose tak menyangka Theo akan membawanya sampai ke pulau Ortogia, pusat sejarah Kota Sirakusa, Sisilia, untuk menikmati keindahan laut Mediterania. Aroma – aroma di tepi laut itu memberi keindahan yang menyejukkan. Rose bahkan tak melupakan bahwa Theo tidak sekali pun melepaskan tubuhnya di pundak lebar pria tersebut setelah menyusuri sepanjang gedung – gedung tua di pulau – pulau Ortogia.“Ini rumah siapa?” tanya Rose memandangi sebuah bangunan kokoh yang seperti dikhususkan untuk ditinggali dua orang.“Rumah kita.”Tidak banyak yang dapat Rose katakan, kecuali menyematkan wajahnya dalam – dalam di ceruk leher Theo. Aroma maskulin itu masih sangat menguak, bahkan usai sepanjang hari mereka memberikan jamuan kepada para tamu, seakan – akan cairan parfum pun sangat betah menjamah kulit liat Theo.“Mau langsung tidur atau mandi dulu, Sugar?”Di depan sebuah pintu Theo menghentikan langkah sekaligus membiarkan Rose berpijak di atas lantai. Antara ragu dan butuh sesuatu yang segar akhirnya
“Sudah siap?”Rose mengangguk saat Theo bicara di atas puncak kepalanya. Dia memang berdiri membelakangi Theo, memegang ganggang pisau pemotong kue yang panjang, sementara jemari besar Theo menggenggam hangat tiap – tiap buku tangannya.Kue bertingkat – tingkat itu, atau tak jauh berbeda dengan menara rapuh sedang terbelah. Irisan mata pisau perlahan menurun ke bawah menjadi simbol ketajaman. Rose tersenyum nyaris meleburkan tawa ketika Theo membisikkan sesuatu yang lucu untuknya, yang lucu tapi tak akan Rose beritahu pada siapa pun. Biar dia menyimpan sendiri dan menjadikan itu momen menyenangkan yang penting.Setelah potongan kue pertama seharusnya Rose dan Theo saling memberi suapan. Alih – alih demikian Theo sebaliknya mencongkel krim dan segera mengoleskan ke bibir bawah Rose. Wajah Rose tampak berepotan, namun itulah yang Theo inginkan. Dia merampas bibir Rose seperti merampas kue yang sangat lezat.Manis dari campuran gula dan mentega seakan membuat Theo tak pernah puas. Dia mem
“Sudah. Aku sudah kenyang.”Lagi – lagi Rose harus menahan diri saat jemari besar Theo berusaha menyingkirkan semangkok bubur putih di tangannya.“Sedikit lagi, Theo. Kau harus menghabiskan buburmu.”“Ayo.”Sesendok bubur kembali Rose dekatkan, tetapi wajah itu menolak.“Jangan memaksaku makan bubur yang tidak enak, Sugar. Rasanya hambar.”“Makanya kalau makan sambil lihat aku, biar ada rasanya.”“Satu suapan lagi. Aku janji setelah ini selesai.”“Aku tidak percaya. Kau mengatakan itu sejak tadi, apa kau tidak ingat?”Rose menyengir lebar benar – benar mengelabuhi Theo. Pria itu persis anak kecil yang kehilangan nafsu makan. Sulit sekali dibujuk untuk membuka mulut.“Kali ini aku serius yang terakhir. Ahk ... buka yang lebar.”Rose pikir Theo akan segera menerima suapan darinya. Pria itu justru menggerakkan siku tangan Rose, memindahkan haluan sendok ke bibir Rose sendiri.“Kau juga harus makan.”“Tadi aku sudah makan,” bantah Rose, tetap saja dia tak bisa menyangkal satu suapan mendar
Satu hari setelah Theo sadar akhirnya Rose memutuskan kembali sejenak ke rumah, tempat di mana dia pernah tinggal seorang diri yang bersebelahan dengan restoran kecil miliknya. Saat ini tidak banyak yang Rose lakukan selain mempersiapkan diri menemui Theo di rumah sakit. Rose segera mengendarai mobil—milik ayahnya yang dipinjam. Di kursi penumpang belakang dia meletakkan sebuah kotak berukuran sedang dengan beberapa lubang di dalamnya yang dibungkus sangat cantik. Sementara di sampingnya duduk seekor anjing kecil lucu berbulu keriting dan warna putih seperti kapas. Kemarin Rose baru saja membeli ras anjing pudel tersebut di toko hewan. Tertarik. Hanya itu yang menggambar keinginan Rose membawa pulang pudel yang diberi nama Cocomelo.“Kita sudah sampai.”Rose menyiapkan tas ransel khusus untuk membawa Cocomelo di pundak, agar saat pertama kali masuk ke ruang rawat Theo tak langsung bertemu dengan Cocomelo-nya selain Rose yang akan memperlihatkan. Dan di tangannya, dia membawa kotak be
Sekembali dari kamar mandi Rose pikir akan dihadapkan pada situasi yang sama. Dia sudah mewanti dengan menunggu lebih lama di ruang lembab sampai beberapa suara dari luar meredup. Tetapi semua yang Rose perkirakan tidak benar adanya. Rembesan darah di lantai ketika dia membuka pintu sudah hilang tak berjejak. Bawahan Verasco ... bahkan Verasco itu sendiri pun sudah tak terlihat ada di sana, di ruang rawat suaminya. Hanya tersisa Lion yang menunggu sangat tenang, bersedekap dada sambil memperhatikan Theo tanpa suara.“Kau masih di sini, Lion? Di mana yang lain?” tanya Rose begitu langkahnya menyisir di sisi blankar.“Tuan Verasco meminta saya menunggu di sini, Nona.”Perhatian Lion akhirnya teralihkan. Rose menduga pria itu baru pulang dari kantor kepolisian lalu membantu Verasco dan Elijah untuk mengeksekusi George. Terkait pengkhianatan yang dilakukan George, mungkin itu menjadi kecamuk rasa waspada bagi Verasco agar lebih intoleran terhadap niat – niat terselubung dan apa pun yang ba
“Dalam perjalanan menuju rumah. Kisah mereka berakhir bahagia. Selesai.”Rose menutup buku setebal kurang lebih 400 halaman dan meletakkan buku tersebut di atas nakas. Membacakan kisah – kisah manis menjadi rutinitasnya beberapa hari terakhir. Senyum Rose tipis menatap wajah suaminya yang terbaring begitu tenang. Pagi tadi alat bantu napas baru saja dilepas menandakan kondisi Theo semakin membaik pasca kejadian tombak berdarah. Beruntung mereka segera membawa Theo untuk mendapat penanganan tepat. Tiga kali Theo harus menjalani tindakan operasi. Pria itu kehilangan banyak darah, sehingga membutuhkan transfusi secepatnya. Rose ingat beberapa perdebatan terjadi di antara mereka terkait Theo yang memiliki darah sangat langkah, bahkan Verasco pun tak berdaya tentang itu. Hanya Dara ....Demikian yang Verasco katakan saat itu dengan nada suara gemetar penuh. Seperti begitu sesal. Benar – benar menyesal, sampai akhirnya Travis menyarankan beberapa orang yang masih tertinggal di Italia untuk