Harus Rose akui Theo cukup berbeda dengan hanya diam saat posisi mereka utuh tak lekang oleh jarak. Kalimat terakhir darinya tidak digubris, pria itu sibuk mengendus aroma tubuh Rose. Menyendul permukaan perut ratanya dalam – dalam.“Mandi gih.”Rose memainkan surai hitam itu hangat. Dia tersenyum demikian pula Theo mendongak ke arahnya. “Mandi denganku?” Manik abu itu menenggelamkan Rose jauh mengapung di lautan hangat. Dia mengerucutkan bibir sembari menarik kulit wajah Theo melebar ke samping.“Sudah tua bisa mandi sendiri. Cepat sana ....”Gelengan samar tidak Rose sadari lantas membawanya jatuh telentang di atas ranjang. Wajah kehausan Theo dan jemari besar pria itu mulai menelusup ke dalam kaos bergambarkan beruang hitam, persis seperti Theo yang saat ini hinggap di atas tubuhnya.“Aku menyuruhmu mandi, Theo. Bukan—“Rose dibungkam lidah yang melesak ke dalam rongga mulutnya. Bunyi decak basah berjejak—sambut hasrat yang tersulut gairah dan meledak bersama. Di bawah tekanan y
“Lepas, Dad, aku mau pulang.”“Orang – orang di sini memuakkan! Aku tidak suka.”Kemelekatan masih berlanjut bagi Mr. Alejandro. Dia harus menerima nasib dari kekacauan yang dia ciptakan sendiri. Semua berimbas kepada putrinya. Wanita malang yang harus menanggung kesakitan dari sebuah pembalasan dendam dan tentang tindakan saling membinasakan. Mr. Alejandro mencari lawan yang salah, pun kurang tepat memahami pelbagai hal yang dia hiraukan sendiri. Seharusnya perang itu dia mulai sejak kematian Bouldog. Akan tetapi hasrat memiliki Theo mengalahkan segalanya. Dia tidak pernah berpikir bahwa Theo akan menjadi yang paling sulit ditaklukkan. Satu kali dia bertindak, kali kelipatan dia diserang dalam diam.Kecerdikan itu adalah yang dia impikan. Nahas, Mr. Alejandro tidak mungkin berambisi kembali. Sementara putrinya telah dihancurkan. Mr. Alejandro menunggu waktu yang tepat, setidaknya sampai Elsesa—Elsa dapat mengimbangi kondisi mental dan fisik wanita itu setelah dihantam bersamaan. “
Dor!Bunyi suara tembak menggelegar setelah Rose menyusul Theo di ruang latihan. Pertama kali menginjakkan kaki dia mendapati jas biru tua tergeletak asal, nyaris merosot dari kaki sofa. Rose berdecak merapikan benda tersebut dan memosisikan di tempat lebih baik. Bahu besar Theo tak pernah luput dari pandangannya. Tersisa kemeja putih membungkus tubuh seksi itu. Rose bersedekap dengan kedua lengan terlipat di depan dada.Dor!Satu tembakan lain melesat tepat sasaran. Theo terlalu ahli untuk apa pun yang berkaitan aktivitas saat ini. Tembak menembak menjadi kebiasaan paling sering, atau sebenarnya kehidupan Theo tak akan pernah lekang dari hal – hal demikian. Seperti beberapa kejadian yang telah usai. Rose mengingat pernyataan Theo terhadap kalimat tempo waktu lalu, ‘membunuh untuk dibayar.’Dia membutuhkan Theo sekaligus khawatir. Theo penting untuk membantunya membalaskan dendam. Akan tetapi Rose sadar betul menyandang profesi sebagai seorang pembunuh bayaran bukanlah hal mudah. Kapan
“Keluar, Sugar. Beatrace sudah pergi.”Tertahan dan terpojok bukan karena kesalahan yang sengaja diperbuat. Napas Rose berembus lega, kemudian merangkak pelan – pelan mendekati Theo yang membungkuk dengan sebelah tangan bertengger di pinggir meja, sisanya memegang mangkuk berisi penuh belahan strawberry dan garpu yang tersisih di dalamnya.“Gara – gara kau terlalu mesum!” gerutu Rose, merapikan sisa penampilan yang masih teracak kacau. Berbanding jauh dari suaminya yang ikut berdiri tegap, memasang wajah tidak berdosa hingga mengunyah sesuap potongan buah dengan lahap.“Aku belum selesai. Kenapa kau sudah berpakaian?”Berpakaian nyaris bertelanjang dada. Begitu maksud Theo? Batin Rose menyelidik penuh. Rose berpaling sinis mengingat jas biru tua yang dia letakkan sebelumnya. Ingin meraih kain berwarna pekat tersebut, yang setidaknya dapat Rose kenakan sementara untuk menutup tubuh terbukanya.Alih – alih bayangan tentang kemudahan membawa langkah ke lain sisi. Lengan Rose dicekal jemar
“Tanya langsung pada yang bersangkutan. Jangan tanya padaku.”Susah payah Sean berusaha tidak mengingat nama Rose. Verasco kembali membuatnya harus terlunta – lunta melupakan ingatan masa lalu dari wanita, yang cepat atau lambat sebaiknya Sean tepis jauh dari bayangan hitam di benaknya. Waktu – waktu yang ada Sean gunakan untuk menembus kesalahan. Sedikit demi sedikit dia mulai belajar menerima kandungan Charlotte. Sean memang tidak menyukai makhluk kecil bernama anak – anak. Itu sebabnya, sulit bagi Sean menaklukkan Oracle, saat dia masih menjalin hubungan bersama Rose. Akan tetapi konsep yang harus dihadapi. Termasuk semua yang tampak di depan mata menyadarkan Sean, bahwa dia pernah ada di posisi demikian—tidak diinginkan dan dicampakkan, sekalipun bukan atas dasar keinginan Verasco. Sean rasa tidak seharusnya kejadian itu beranak pinak pada keturunannya. Dia ingin menyudahi rasa sakit yang diterima hanya berakhir pada dirinya seorang.Sean mengangkat sebelah lengan membidik jarum
“Tubuhmu panas, Sugar. Kau demam ....”Baru satu jam Rose tenggelam dalam tidur bersama alunan detak jantung Theo dan miliknya yang berdentum – dentum keras. Rose harus menerima guncangan saat Theo memosisikan diri duduk bersandar di kepala ranjang. Pelukan Rose masih erat mengikat, ikut terbawa di tengah perubahan yang Theo ciptakan. Posisinya setengah menelungkup dipaksa untuk menegadah di antara jemari yang menyentuh ujung dagu. Sorot penuh perhatian Theo menawarkan banyak hal. Salah satunya membuat Rose tidak dapat menatap lebih lama.“Aku baik – baik saja.”Rose menunduk, meletakkan wajah lekat – lekat bersentuhan langsung dengan permukaan dada terbuka suaminya. Lengan Rose mengetat di lingkar pinggul Theo demi meraih kenyamanan sebanyak mungkin.Aroma tubuh yang memambukkan, hingga kehangatan tak terlewat membuat Rose nyaris terpejam ketika Theo tiba – tiba memisahkan diri. Theo seperti mencari – cari sesuatu untuk segera ditemukan. Beberapa kain tergeletak di atas lantai pria it
“Anda yakin ingin menemui tuan di kantornya, Nona?”Rose mengurungkan niat sekadar menuang sirup mapel ke dalam tabung kecil. Beberapa iris pancake sudah dia siapkan ke dalam kotak bekal, termasuk buah segar untuk melengkapi sarapan pagi suaminya. Rose tersenyum tipis menghadap wanita paruh baya yang setia menunggu. “Tentu saja, Beatrace. Theo harus ingat kalau dia punya masalah lambung. Tidak bisa sengaja melewatkan makanan masuk ke dalam perutnya hanya karena dia sangat sibuk.” Baru kemudian Rose kembali menyibukkan diri dengan botol dalam genggaman. “Aku tahu Theo suka pancake. Dia tidak akan bisa tolak makanan dariku.” Rose menyisihkan sirup mapel mengisi penuh pada tabung tersusun di antara celah kotak bekal. Merapikan semua, hingga tak tersisa hal yang dapat Rose kerjakan.“Tuan bilang Anda kurang sehat, bukan begitu, Nona?”Pertanyaan Beatrace sesaat membekukan Rose. Tidak sepenuhnya benar. Namun, sesekali Rose masih merasakan pusing mendera. Dia menggeleng samar ... apabila
“Jangan biarkan dia pergi.”Rose dibangunkan sisa ingatan menyakitkan, langsung berpas – pasan dengan sepasang manik abu yang menyambar wajahnya tajam. Dia tidak tahu bagaimana posisi Theo betah bertumpu di lengan sofa—tidak menindihnya, tetapi mengurung Rose di antara tubuh besar yang dilapisi kemeja panjang tergulung di atas siku pria tersebut.“Di mana George? Aku harus mendapatkannya!”Sekali saja Rose berusaha bangkit, dia dihadapkan permukaan dada bidang yang kekar dan liat sebagai tameng. Napas Rose tercekat, kehabisan cara menghadapi apa pun yang harus dia terima. Haruskah Rose menyalahkan diri sendiri atas kebodohan membiarkan George Keneddy lolos tanpa sepotong harapan bisa dia kuasai. “Aku ingin bertemu George.” Sayu netra cokelat Rose mengerjap untuk ke sekian kali. Dia ingin mengulang waktu beberapa saat lalu. Kegagalan yang begitu buruk membawanya pada mimpi yang tak jauh berbeda.“Aku ingin bertemu George.”Gumaman Rose terus terucap di bawah pengawasan Theo. Suaminya