“Anda yakin ingin menemui tuan di kantornya, Nona?”Rose mengurungkan niat sekadar menuang sirup mapel ke dalam tabung kecil. Beberapa iris pancake sudah dia siapkan ke dalam kotak bekal, termasuk buah segar untuk melengkapi sarapan pagi suaminya. Rose tersenyum tipis menghadap wanita paruh baya yang setia menunggu. “Tentu saja, Beatrace. Theo harus ingat kalau dia punya masalah lambung. Tidak bisa sengaja melewatkan makanan masuk ke dalam perutnya hanya karena dia sangat sibuk.” Baru kemudian Rose kembali menyibukkan diri dengan botol dalam genggaman. “Aku tahu Theo suka pancake. Dia tidak akan bisa tolak makanan dariku.” Rose menyisihkan sirup mapel mengisi penuh pada tabung tersusun di antara celah kotak bekal. Merapikan semua, hingga tak tersisa hal yang dapat Rose kerjakan.“Tuan bilang Anda kurang sehat, bukan begitu, Nona?”Pertanyaan Beatrace sesaat membekukan Rose. Tidak sepenuhnya benar. Namun, sesekali Rose masih merasakan pusing mendera. Dia menggeleng samar ... apabila
“Jangan biarkan dia pergi.”Rose dibangunkan sisa ingatan menyakitkan, langsung berpas – pasan dengan sepasang manik abu yang menyambar wajahnya tajam. Dia tidak tahu bagaimana posisi Theo betah bertumpu di lengan sofa—tidak menindihnya, tetapi mengurung Rose di antara tubuh besar yang dilapisi kemeja panjang tergulung di atas siku pria tersebut.“Di mana George? Aku harus mendapatkannya!”Sekali saja Rose berusaha bangkit, dia dihadapkan permukaan dada bidang yang kekar dan liat sebagai tameng. Napas Rose tercekat, kehabisan cara menghadapi apa pun yang harus dia terima. Haruskah Rose menyalahkan diri sendiri atas kebodohan membiarkan George Keneddy lolos tanpa sepotong harapan bisa dia kuasai. “Aku ingin bertemu George.” Sayu netra cokelat Rose mengerjap untuk ke sekian kali. Dia ingin mengulang waktu beberapa saat lalu. Kegagalan yang begitu buruk membawanya pada mimpi yang tak jauh berbeda.“Aku ingin bertemu George.”Gumaman Rose terus terucap di bawah pengawasan Theo. Suaminya
“Kenapa kau membawaku kembali ke mansion-mu?”Sepanjang jalan Rose sudah dicecoki kebingungan. Pertanyaannya baru terucap saat mobil terparkir di perkarangan gedung besar nan menjulang tinggi. “Dia di dalam.”Singkat. Theo membuka pintu mobil membawa Rose ikut bersamanya. Mereka tidak memasuki gerbang utama, melainkan ke sisi sayap kanan tepat terbuka sebuah pintu yang menghubungkan mereka ke dalam lorong gelap.“Kita akan ke mana, Theo?” tanya Rose, meremas kuat jemari yang menyatu dan menggenggam di antara ruas jarinya.“Ruang bawah tanah.”Sebuah kejutan bagi Rose, mana kala dia tidak pernah tahu ada ruang seperti itu selama tinggal bersama suaminya. “Kenapa George bisa ada di sini?”“Aku menugaskan Lion untuk mendapatkannya saat kau tidak sadarkan diri.”Begitu ....Rose ingin kembali bersuara, tapi di hadapannya sudah tersaji ketidakberdayaan George Keneddy dengan kondisi yang benar – benar telah dilumpuhkan. Sekilas Rose melirik Theo ketika pria itu bersimpuh di samping George
“Kebiri dia sekarang.”Mutlak perintah Theo menarik alih perhatian mereka yang berada di bawah satu kepemimpinan. Beberapa menatap tidak percaya, sebagiannya menunduk pasrah. Theo tidak peduli apa yang akan mereka pikirkan. Fokus meredam kemarahan dan menghunus tajam pria tidak berdaya di atas ranjang.Setelah menghadapi kemarahan Rose di ruang bawah tanah Theo melanjutkan sisa keputusan dengan menyembunyikan George Keneddy ke gudang tak terendus, paling terjorok posisinya. Dia masih cukup waras untuk melenyapkan nyawa pria kepercayaan Verassco, tahu persis di mana titik paling tepat melemahkan kesadaran musuh. Theo memang sengaja, dengan demikian Rose percaya akan harapan yang dibunuh paksa. Sementara dia melakukan segala sesuatu dengan caranya yang licin dan tak terjamah. Benang merah telah terurai. Menemukan fakta George Keneddy bekas klien istrinya lebih buruk dari ujaran kemarahan Rose yang berapi – api. Theo rasa hukuman yang dia sebutkan pantas memberi efek jera kepada tangan
“Kita tidak akan masuk ke dalam, Tuan?”Selama pemberhentian mobil di depan gedung berkonotasi tua, agak usang dan gelap kelihatannya. Tidak ada satu pun hal yang Theo kerjakan, kecuali memperhatikan saksama satu pintu terbuka yang mana hilir mudik sebagian orang di sana tidak saling menyapa. Sisanya mungkin bicara untuk beberapa kepentingan belaka. Manik abu Theo tajam memperhitungkan segala yang dipikirkan. Riak wajahnya tak terbaca sekaligus tenang seperti karang. Theo tidak akan gegabah melakukan sesuatu secara terbuka. Baginya suatu bentuk rahasia harus diselesaikan dengan cara yang sama. Terkait hasil yang mungkin didapat, mungkin tidak secara terburu adalah pilihan tepat.Embusan napas Theo menguak kasar kala dia berpaling—saling berpapasan sorot mata Lion di kaca mobil. “Pergi ke toko lainnya.” Yang dalam artian ... tujuan Theo sekadar memastikan serupa apa gedung yang didirikan puluhan tahun silam itu telah selesai. Dia tergoda untuk menambah tato lain di tubuhnya. Di tempat
Wajah memesona Rose tak pernah luput dari sorot kelabu yang menatap dalam. Kebisuan Theo hanya diikuti gerak jemari mengusap puncak kepala wanita yang menawarkan teka – teki untuk Theo pecahkan sendiri. Dia memikirkan banyak hal ....Tentang tatto tengkorak menyilang dan pelbagai rahasia lainnya. Sebuah kesempatan di mana Theo dapat mencari tahu melalui dunia cyber, yaitu satu – satunya cara dengan meretas sistem keamanan yang beberapa tahun lalu pernah Theo sempurnakan sesuai permintaan Verasco yang membayarnya cukup mahal. Bodohnya, atas janji di usia muda Theo pernah berikrar kepada sang ibu, Eleanor, untuk tidak pernah tertarik terhadap seluk – beluk organisasi milik Verasco. Ditambah lagi Theo memang tidak pernah peduli apa pun yang Verasco lakukan di luar keterlibatannya maupun saat dia harus terlibat sebagai pewaris organisasi sebelum kemunculan Sean. Ntah mungkin keputusan Verasco akan berpindah alih, jika dan jika Sean bersedia menggantikan pria paruh baya tersebut. Atau bel
Garis dua.Benda pipih di tangan Rose semacam menunjukkan hal yang sulit dipercaya. Dia menyentuh dadanya sendiri, berusaha menekan letupan perasaan hangat yang terus mendobrak dentuman hebat di jantung.Garis dua lainnya. Rose menahan napas nyaris tidak dapat berkata apa – apa. Netra cokelatnya tak pernah henti memandang alat – alat test pack, hingga dia menarik pintu kamar mandi langsung berhadap – hadapan dengan seorang wanita paruh baya yang sudah menunggu di depan.“Aku ... hamil, Beatrace!” Sekali Rose bicara. Dia melompat kegirangan memeluk tubuh Beatrace cukup erat. Bahagia Rose dengan cepat menular. Senyumnya berhasil melengkungkan kedua sudut di bibir wanita, yang bahkan belum bisa mengatakan apa – apa, terkecuali wajah haru yang begitu kentara. Persis seorang ibu yang mendambakan seorang cucu—Beatrace menunjukkan itu semua ... tidak kalah erat merengkuh tubuh Rose.“Selamat atas kehamilannya, Nona.”“Tuan T harus segera tahu. Dia pasti akan sangat senang.”Rose membenarka
Theo menyentuh luka berdarah di perutnya. Itu satu – satunya hal yang Rose lihat, sementara titik tembak yang Rose berikan seharusnya bukan di sana. Dia meleset. Namun, tetap mengacungkan moncong senjata lebih tinggi saat tidak sekali pun Theo menghentikan langkah. “Aku bilang jangan mendekat, Theo!”“Kau pembunuh!”“Pembunuh!”Berkali – kali Rose menyerukan kemarahan. Dia mampu berbuat nekat, terutama atas keraguan yang selama ini berselimut bagai kalbu di benaknya. Tidak ada cinta untuk perasaan Rose yang dibunuh paksa. Dia telah melewati banyak hal, begitu pula dengan pilihan yang berjejer di hadapan Rose saat ini. Dua di antaranya ... menyelesaikan misi atau membiarkan itu menjadi sesuatu yang terlupakan.“Aku bilang jangan mendekat, jika kau tidak ingin kembali kutembak!” Ancaman Rose memang seburuk cara dia memegang senjata. Betapa Rose tidak peduli siapa yang berdiri di depan sana dan apa status yang sedang mengikatnya. Semakin Theo mencoba untuk membuatnya tenang, semua itu