Garis dua.Benda pipih di tangan Rose semacam menunjukkan hal yang sulit dipercaya. Dia menyentuh dadanya sendiri, berusaha menekan letupan perasaan hangat yang terus mendobrak dentuman hebat di jantung.Garis dua lainnya. Rose menahan napas nyaris tidak dapat berkata apa – apa. Netra cokelatnya tak pernah henti memandang alat – alat test pack, hingga dia menarik pintu kamar mandi langsung berhadap – hadapan dengan seorang wanita paruh baya yang sudah menunggu di depan.“Aku ... hamil, Beatrace!” Sekali Rose bicara. Dia melompat kegirangan memeluk tubuh Beatrace cukup erat. Bahagia Rose dengan cepat menular. Senyumnya berhasil melengkungkan kedua sudut di bibir wanita, yang bahkan belum bisa mengatakan apa – apa, terkecuali wajah haru yang begitu kentara. Persis seorang ibu yang mendambakan seorang cucu—Beatrace menunjukkan itu semua ... tidak kalah erat merengkuh tubuh Rose.“Selamat atas kehamilannya, Nona.”“Tuan T harus segera tahu. Dia pasti akan sangat senang.”Rose membenarka
Theo menyentuh luka berdarah di perutnya. Itu satu – satunya hal yang Rose lihat, sementara titik tembak yang Rose berikan seharusnya bukan di sana. Dia meleset. Namun, tetap mengacungkan moncong senjata lebih tinggi saat tidak sekali pun Theo menghentikan langkah. “Aku bilang jangan mendekat, Theo!”“Kau pembunuh!”“Pembunuh!”Berkali – kali Rose menyerukan kemarahan. Dia mampu berbuat nekat, terutama atas keraguan yang selama ini berselimut bagai kalbu di benaknya. Tidak ada cinta untuk perasaan Rose yang dibunuh paksa. Dia telah melewati banyak hal, begitu pula dengan pilihan yang berjejer di hadapan Rose saat ini. Dua di antaranya ... menyelesaikan misi atau membiarkan itu menjadi sesuatu yang terlupakan.“Aku bilang jangan mendekat, jika kau tidak ingin kembali kutembak!” Ancaman Rose memang seburuk cara dia memegang senjata. Betapa Rose tidak peduli siapa yang berdiri di depan sana dan apa status yang sedang mengikatnya. Semakin Theo mencoba untuk membuatnya tenang, semua itu
“Istriku baik – baik saja?”Pertanyaan skeptis. Rose sungguh tidak ingin mendengarnya. Benar – benar tidak ingin menyuplai kesakitan tambahan dengan membiarkan sikap peduli Theo merobek – robek sesuatu yang telah rusak, bahkan tak mampu Rose tata kembali. Dia menjauhkan sebelah lengan yang secara tidak sengaja menyentuh bahu kiri Theo. Basah dan merah dua macam hal yang nyaris merobohkan pertahanan Rose. Theo tertembak—lagi—di tempat berbeda persis setelah melindunginya.Tidak banyak yang dapat Rose katakan. Sengaja memisahkan diri sekaligus bersitatap bersama pemilik manik mata kelabu yang menawarkan keteduhan. Sering kali Rose mendapati warna memucat di wajah itu, tetapi tidak pernah separah yang terlihat saat ini. Saat – saat sebelum Theo kembali mendekap Rose erat dalam pelukan. Atau sebenarnya Theo menyadari keberadaan Mr. Alejandro hampir tak lagi berjarak.“Keparat!”Umpatan yang begitu dekat diikuti bunyi derap terburu – buru.Satu tembakan lagi ....Bukan.Melainkan dua denga
Gemetar memeluk tubuh sendiri di tengah hutan berantara. Rose menenggelamkan wajah di antara kedua lutut yang ditekuk. Hampa, sendiri, dan ketakutan. Terakhir kali Rose berada di antara jarak kejauhan bersama orang – orang Theo sekadar memastikan bagaimana kondisi suaminya, ketika mereka semua sepakat membawa pria itu pergi. Sementara sebagian yang lain memutuskan untuk berpencar mencari keberadaan Rose, yang membuatnya harus terseok – seok melangkah jauh dari peradaban kehidupan. Dan sekarang Rose sudah terlalu jauh. Akan cukup sulit bagi siapa pun yang mencoba untuk menemukannya. Demikian setelah berjam – jam sudah tidak lagi terdengar seruan nama, terutama suara Lion yang lantang memanggilnya. Rose bersyukur, setidaknya dia tidak kembali kepada Theo atau akan secara langsung—dari jarak dekat menyaksikan betapa tidak memungkinkan kondisi pria tersebut untuk bertahan hidup. Darah di mana – mana, bahkan darah di sekitar wajah Rose saat tanpa sadar membekap bibir, telah mengering hing
Hanya kata ‘andai’ yang tersisa dari peliknya masa lalu. Se’andai’nya kita tidak pernah bertemu. Se’andai’nya kita tidak pernah menjadi satu. ________________________“Kau yakin sudah siap?” Serak dan dalam suara Xelle berucap penuh keraguan. Tatap mata itu beradu intens, seolah ingin menelanjangi isi pikiran dari lawan bicara yang menyanggupi pernyataan tersebut dengan sebuah anggukan pelan.“Atau sebaiknya kau di sini saja sampai acara pemakaman selesai.”Rose menggeleng. “Aku sudah siap.” Lanjut bicara hanya untuk benar – benar memastikan kepada Xelle bahwa dia akan tetap hadir di sana. Turut serta menuntun jiwa yang telah pergi sampai ke peristirahatan terakhir. Sebisa mungkin Rose akan coba tidak terpengaruh terhadap apa pun dari lingkungan luar. Sudah seyogianya dia melawan segala hal yang barangkali bisa merobohkan ketenangan. Memang benar setelah satu bulan tinggal di tempat persembunyian tidak ada yang berubah dari perasaan Rose. Dia masih sama kacaunya di hari itu. Sedikit
“Theo!”Rose terbangun dengan keadaan tidak baik – baik saja. Pikirannya masih tertumbuk pada satu nama menyisahkan pilu. Theodore Witson ... yang terpatri jelas di atas batu nisan dan Rose temukan beberapa saat lalu. Dia tergemap. Perasaannya diremuk – remuk acapkali bayangan pusara itu menyentak ingatannya.“Di mana Theo?” gumam Rose, tidak seorang di hadapannya dapat dipercaya. Untuk keberkian kali Rose menjadi sangat berantakan. Dia kacau ... sangat takut tentang kenyataan yang baru saja diketahui. Sekali lagi Rose ingin memastikan lebih dekat. Sekali lagi ingin tahu seberapa basah tanah yang mengubur raga suaminya. Sekali ingin merasakan sejauh mana hatinya dibawa pergi. Mungkinkah mati ikut bersama kepergian Theo yang bisu tanpa kata. Seharusnya dari awal Rose sadar, jika memang Theo pulih seperti harapannya. Pria itu tidak butuh waktu berlama – lama untuk datang menjemputnya pulang. Rose tahu Theo dan hasrat suamnya ... apa yang bisa dikatakan lebih terperinci. Sekarang Ro
“Bagaimana kondisi kandunganku?”Pertama kali membuka mata kenyataan itu yang Rose pikirkan. Dia memperhatikan sejauh mana pria yang berdiri di samping blankar enggan untuk menatap.“Axe ...,” panggil Rose. Tahu betul darah bersimbah banyak sebelum dia ditelan bulat – bulat tidak dapat mempertahankan kesadaran. Kesakitan itu benar – benar menjambak Rose luruh tak berdaya. Dan saat terbangun dia merasakan hampa yang cukup berbeda. Masih Rose perhatikan wajah itu .... “I’m sorry—“Rose berpaling sudah bisa menduga jawabannya. Hanya langit – langit rumah sakit yang terus dia perhatikan tanpa kata. Rose sudah terbiasa, tidak akan menuntut segala macam keinginan terhadap apa pun pilihan yang diberikan kepadanya. Kehilangan suami sekaligus calon anak. Sungguh dua hal yang nikmatnya tidak dapat Rose tawar dengan penderitaan lain. Dia tidak mengharapkan akhir bahagia. Semua sudah terbengkalai sejak sajak – sajak yang pernah hidup, terendap mati bersama perasaannya.“Kau baik – baik saja, Ro
Separuh perjalanan kembali ke rumah persembunyian perasaan Rose masih terendap lara. Dia berusaha tegar. Sulit. Namun, sudah lebih baik daripada saat dia berada di hadapan Beatrace. Rose hanya berusaha tidak terbawa suasana. Kali ini sedang tidak mengerti apa yang akan Xelle lakukan dengan memberhentikan mobil di depan mansion besar. Ntah milik siapa, Rose tidak ingin tahu, dan hanya menunggu di dalam royce rolls sampai pria itu kembali dengan membawa selempang tas yang Rose kenali dengan betul, dia menduga benda tersebut terisi padat oleh sebuah laptop seukuran kurang lebih.“Aku seperti pernah melihatnya,” gumam Rose bertepatan Xelle yang meletakkan tas di yang dijinjing ke jok belakang.“Punya Theo. Tidak mungkin kau tidak pernah melihatnya.”Rose terlalu sensitif. Cukup mendengar nama itu dia dihujami perasaan menyedihkan, yang dengannya hati kembali patah seribu. Rose mengerjap cepat, barangkali sudah tidak sanggup memunggut puing – puing yang tercecer jauh. Dia memutar tubuh sete