“Kebiri dia sekarang.”Mutlak perintah Theo menarik alih perhatian mereka yang berada di bawah satu kepemimpinan. Beberapa menatap tidak percaya, sebagiannya menunduk pasrah. Theo tidak peduli apa yang akan mereka pikirkan. Fokus meredam kemarahan dan menghunus tajam pria tidak berdaya di atas ranjang.Setelah menghadapi kemarahan Rose di ruang bawah tanah Theo melanjutkan sisa keputusan dengan menyembunyikan George Keneddy ke gudang tak terendus, paling terjorok posisinya. Dia masih cukup waras untuk melenyapkan nyawa pria kepercayaan Verassco, tahu persis di mana titik paling tepat melemahkan kesadaran musuh. Theo memang sengaja, dengan demikian Rose percaya akan harapan yang dibunuh paksa. Sementara dia melakukan segala sesuatu dengan caranya yang licin dan tak terjamah. Benang merah telah terurai. Menemukan fakta George Keneddy bekas klien istrinya lebih buruk dari ujaran kemarahan Rose yang berapi – api. Theo rasa hukuman yang dia sebutkan pantas memberi efek jera kepada tangan
“Kita tidak akan masuk ke dalam, Tuan?”Selama pemberhentian mobil di depan gedung berkonotasi tua, agak usang dan gelap kelihatannya. Tidak ada satu pun hal yang Theo kerjakan, kecuali memperhatikan saksama satu pintu terbuka yang mana hilir mudik sebagian orang di sana tidak saling menyapa. Sisanya mungkin bicara untuk beberapa kepentingan belaka. Manik abu Theo tajam memperhitungkan segala yang dipikirkan. Riak wajahnya tak terbaca sekaligus tenang seperti karang. Theo tidak akan gegabah melakukan sesuatu secara terbuka. Baginya suatu bentuk rahasia harus diselesaikan dengan cara yang sama. Terkait hasil yang mungkin didapat, mungkin tidak secara terburu adalah pilihan tepat.Embusan napas Theo menguak kasar kala dia berpaling—saling berpapasan sorot mata Lion di kaca mobil. “Pergi ke toko lainnya.” Yang dalam artian ... tujuan Theo sekadar memastikan serupa apa gedung yang didirikan puluhan tahun silam itu telah selesai. Dia tergoda untuk menambah tato lain di tubuhnya. Di tempat
Wajah memesona Rose tak pernah luput dari sorot kelabu yang menatap dalam. Kebisuan Theo hanya diikuti gerak jemari mengusap puncak kepala wanita yang menawarkan teka – teki untuk Theo pecahkan sendiri. Dia memikirkan banyak hal ....Tentang tatto tengkorak menyilang dan pelbagai rahasia lainnya. Sebuah kesempatan di mana Theo dapat mencari tahu melalui dunia cyber, yaitu satu – satunya cara dengan meretas sistem keamanan yang beberapa tahun lalu pernah Theo sempurnakan sesuai permintaan Verasco yang membayarnya cukup mahal. Bodohnya, atas janji di usia muda Theo pernah berikrar kepada sang ibu, Eleanor, untuk tidak pernah tertarik terhadap seluk – beluk organisasi milik Verasco. Ditambah lagi Theo memang tidak pernah peduli apa pun yang Verasco lakukan di luar keterlibatannya maupun saat dia harus terlibat sebagai pewaris organisasi sebelum kemunculan Sean. Ntah mungkin keputusan Verasco akan berpindah alih, jika dan jika Sean bersedia menggantikan pria paruh baya tersebut. Atau bel
Garis dua.Benda pipih di tangan Rose semacam menunjukkan hal yang sulit dipercaya. Dia menyentuh dadanya sendiri, berusaha menekan letupan perasaan hangat yang terus mendobrak dentuman hebat di jantung.Garis dua lainnya. Rose menahan napas nyaris tidak dapat berkata apa – apa. Netra cokelatnya tak pernah henti memandang alat – alat test pack, hingga dia menarik pintu kamar mandi langsung berhadap – hadapan dengan seorang wanita paruh baya yang sudah menunggu di depan.“Aku ... hamil, Beatrace!” Sekali Rose bicara. Dia melompat kegirangan memeluk tubuh Beatrace cukup erat. Bahagia Rose dengan cepat menular. Senyumnya berhasil melengkungkan kedua sudut di bibir wanita, yang bahkan belum bisa mengatakan apa – apa, terkecuali wajah haru yang begitu kentara. Persis seorang ibu yang mendambakan seorang cucu—Beatrace menunjukkan itu semua ... tidak kalah erat merengkuh tubuh Rose.“Selamat atas kehamilannya, Nona.”“Tuan T harus segera tahu. Dia pasti akan sangat senang.”Rose membenarka
Theo menyentuh luka berdarah di perutnya. Itu satu – satunya hal yang Rose lihat, sementara titik tembak yang Rose berikan seharusnya bukan di sana. Dia meleset. Namun, tetap mengacungkan moncong senjata lebih tinggi saat tidak sekali pun Theo menghentikan langkah. “Aku bilang jangan mendekat, Theo!”“Kau pembunuh!”“Pembunuh!”Berkali – kali Rose menyerukan kemarahan. Dia mampu berbuat nekat, terutama atas keraguan yang selama ini berselimut bagai kalbu di benaknya. Tidak ada cinta untuk perasaan Rose yang dibunuh paksa. Dia telah melewati banyak hal, begitu pula dengan pilihan yang berjejer di hadapan Rose saat ini. Dua di antaranya ... menyelesaikan misi atau membiarkan itu menjadi sesuatu yang terlupakan.“Aku bilang jangan mendekat, jika kau tidak ingin kembali kutembak!” Ancaman Rose memang seburuk cara dia memegang senjata. Betapa Rose tidak peduli siapa yang berdiri di depan sana dan apa status yang sedang mengikatnya. Semakin Theo mencoba untuk membuatnya tenang, semua itu
“Istriku baik – baik saja?”Pertanyaan skeptis. Rose sungguh tidak ingin mendengarnya. Benar – benar tidak ingin menyuplai kesakitan tambahan dengan membiarkan sikap peduli Theo merobek – robek sesuatu yang telah rusak, bahkan tak mampu Rose tata kembali. Dia menjauhkan sebelah lengan yang secara tidak sengaja menyentuh bahu kiri Theo. Basah dan merah dua macam hal yang nyaris merobohkan pertahanan Rose. Theo tertembak—lagi—di tempat berbeda persis setelah melindunginya.Tidak banyak yang dapat Rose katakan. Sengaja memisahkan diri sekaligus bersitatap bersama pemilik manik mata kelabu yang menawarkan keteduhan. Sering kali Rose mendapati warna memucat di wajah itu, tetapi tidak pernah separah yang terlihat saat ini. Saat – saat sebelum Theo kembali mendekap Rose erat dalam pelukan. Atau sebenarnya Theo menyadari keberadaan Mr. Alejandro hampir tak lagi berjarak.“Keparat!”Umpatan yang begitu dekat diikuti bunyi derap terburu – buru.Satu tembakan lagi ....Bukan.Melainkan dua denga
Gemetar memeluk tubuh sendiri di tengah hutan berantara. Rose menenggelamkan wajah di antara kedua lutut yang ditekuk. Hampa, sendiri, dan ketakutan. Terakhir kali Rose berada di antara jarak kejauhan bersama orang – orang Theo sekadar memastikan bagaimana kondisi suaminya, ketika mereka semua sepakat membawa pria itu pergi. Sementara sebagian yang lain memutuskan untuk berpencar mencari keberadaan Rose, yang membuatnya harus terseok – seok melangkah jauh dari peradaban kehidupan. Dan sekarang Rose sudah terlalu jauh. Akan cukup sulit bagi siapa pun yang mencoba untuk menemukannya. Demikian setelah berjam – jam sudah tidak lagi terdengar seruan nama, terutama suara Lion yang lantang memanggilnya. Rose bersyukur, setidaknya dia tidak kembali kepada Theo atau akan secara langsung—dari jarak dekat menyaksikan betapa tidak memungkinkan kondisi pria tersebut untuk bertahan hidup. Darah di mana – mana, bahkan darah di sekitar wajah Rose saat tanpa sadar membekap bibir, telah mengering hing
Hanya kata ‘andai’ yang tersisa dari peliknya masa lalu. Se’andai’nya kita tidak pernah bertemu. Se’andai’nya kita tidak pernah menjadi satu. ________________________“Kau yakin sudah siap?” Serak dan dalam suara Xelle berucap penuh keraguan. Tatap mata itu beradu intens, seolah ingin menelanjangi isi pikiran dari lawan bicara yang menyanggupi pernyataan tersebut dengan sebuah anggukan pelan.“Atau sebaiknya kau di sini saja sampai acara pemakaman selesai.”Rose menggeleng. “Aku sudah siap.” Lanjut bicara hanya untuk benar – benar memastikan kepada Xelle bahwa dia akan tetap hadir di sana. Turut serta menuntun jiwa yang telah pergi sampai ke peristirahatan terakhir. Sebisa mungkin Rose akan coba tidak terpengaruh terhadap apa pun dari lingkungan luar. Sudah seyogianya dia melawan segala hal yang barangkali bisa merobohkan ketenangan. Memang benar setelah satu bulan tinggal di tempat persembunyian tidak ada yang berubah dari perasaan Rose. Dia masih sama kacaunya di hari itu. Sedikit
Kepergian Zever secara tiba – tiba cukup membekas di benak Rose. Saat itu dia dan Travis diam memperhatikan punggung milik dua orang yang menjauh. Rose tak berani mengatakan apa pun kala dia sendiri menyadari Travis seketika meninggalkannya—Travis menunduk dan Rose harap pria itu baik – baik saja, lantas ikut menyusul dengan langkah hati – hati membawa bayi kembarnya masuk ke dalam gedung mansion.Dua jam usai kejadian di taman belakang, dan setelah menidurkan anak – anak Rose segera menyusul keberadaan Zever. Lewat pesan – pesan yang diberikan kepada Lion, Rose tentu memantau apa pun yang terjadi di luar. Termasuk menanyakan bagaimana kondisi Travis. Pria itu sudah bersikap seperti semula, tetapi satu yang bermasalah. Zever di ruang tamu dengan riak wajah begitu dingin dan manik mata kelabu yang menatap setengah kosong menyusun sambungan miniatur di atas meja.Berulang kali Rose menarik napas sekadar memantapkan diri duduk di samping suaminya.“Zever,” panggil Rose ingin memastikan p
“Aku sudah selesai, Theo. Sekarang giliranmu—“ Pikir Rose, setelah keluar dari kamar mandi sekaligus mengganti pakaian di sana. Dia akan menemukan Theo menjaga ketiga bayi mereka dengan posisi semestinya, tetapi tubuh besar itu—dalam tidur menyampingnya seolah lebih lelap dari ketiga bayi yang memejam tenang. Kelelahan. Begitu yang Rose tafsirkan, karena hari – hari belakangan ini Theo sering sekali menyibukkan diri di tengah malam—menjaga bayi – bayi mereka, sementara Rose dipaksa untuk tetap beristirahat. Senyum Rose tipis sambil mengusap puncak kepala Theo. Hanya sesaat dia beralih pada tiga bayi kembarnya untuk dipindahkan ke dalam troli. Rose akan membawa mereka untuk berjalan – jalan di taman belakang. Selesai memindahkan dia kembali mendekati Theo sekadar menutup tubuh suaminya dengan selimut tebal. “Kami pergi dulu.” Singkat Rose mengecup sudut wajah Theo. Dia mendorong troli dengan hati – hati menuju lift. Rose sudah tahu di mana letaknya, cukup tersembunyi—dan Theo memang
“Aku mendapat cucu yang banyak.”Tawa O’Douglas pecah persis seperti kapten bajak laut yang baru saja menemukan harta karun bersejarah. Masing – masing lengan pria paruh baya itu mengapit dua bayi mungil, sementara bayi mungil yang lain berada di dekapan Verasco—yang terus menimang, sesekali mendekatkan bayi – bayi tersebut dengan guyonan ringan.Ntah apa yang bisa Rose katakan ketika menyaksikan anak – anaknya langsung diserbu begitu Verasco dan O’Douglas masuk ke ruang rawat. Dia baru selesai menyusui, sehingga bayi – bayi yang kekenyangan hanya akan tidur sepanjang hari, dan tidak merepotkan kedua kakek mereka.“Kau dari tadi tak pernah berhenti menatapku,” ucap Rose pelan. Sering kali Theo menyorot wajahnya, tetapi saat ini manik kelabu itu membinarkan sesuatu yang berbeda. Begitu penuh cinta dan sebagian tak bisa Rose tafsirkan dengan benar. Bagaimana mungkin Rose tahan dibidik sedemikian lamat. Theo harus, sekali saja, berpaling darinya.“Terima kasih, Sugar.”Sentuhan lembut di
Rose tak menyangka Theo akan membawanya sampai ke pulau Ortogia, pusat sejarah Kota Sirakusa, Sisilia, untuk menikmati keindahan laut Mediterania. Aroma – aroma di tepi laut itu memberi keindahan yang menyejukkan. Rose bahkan tak melupakan bahwa Theo tidak sekali pun melepaskan tubuhnya di pundak lebar pria tersebut setelah menyusuri sepanjang gedung – gedung tua di pulau – pulau Ortogia.“Ini rumah siapa?” tanya Rose memandangi sebuah bangunan kokoh yang seperti dikhususkan untuk ditinggali dua orang.“Rumah kita.”Tidak banyak yang dapat Rose katakan, kecuali menyematkan wajahnya dalam – dalam di ceruk leher Theo. Aroma maskulin itu masih sangat menguak, bahkan usai sepanjang hari mereka memberikan jamuan kepada para tamu, seakan – akan cairan parfum pun sangat betah menjamah kulit liat Theo.“Mau langsung tidur atau mandi dulu, Sugar?”Di depan sebuah pintu Theo menghentikan langkah sekaligus membiarkan Rose berpijak di atas lantai. Antara ragu dan butuh sesuatu yang segar akhirnya
“Sudah siap?”Rose mengangguk saat Theo bicara di atas puncak kepalanya. Dia memang berdiri membelakangi Theo, memegang ganggang pisau pemotong kue yang panjang, sementara jemari besar Theo menggenggam hangat tiap – tiap buku tangannya.Kue bertingkat – tingkat itu, atau tak jauh berbeda dengan menara rapuh sedang terbelah. Irisan mata pisau perlahan menurun ke bawah menjadi simbol ketajaman. Rose tersenyum nyaris meleburkan tawa ketika Theo membisikkan sesuatu yang lucu untuknya, yang lucu tapi tak akan Rose beritahu pada siapa pun. Biar dia menyimpan sendiri dan menjadikan itu momen menyenangkan yang penting.Setelah potongan kue pertama seharusnya Rose dan Theo saling memberi suapan. Alih – alih demikian Theo sebaliknya mencongkel krim dan segera mengoleskan ke bibir bawah Rose. Wajah Rose tampak berepotan, namun itulah yang Theo inginkan. Dia merampas bibir Rose seperti merampas kue yang sangat lezat.Manis dari campuran gula dan mentega seakan membuat Theo tak pernah puas. Dia mem
“Sudah. Aku sudah kenyang.”Lagi – lagi Rose harus menahan diri saat jemari besar Theo berusaha menyingkirkan semangkok bubur putih di tangannya.“Sedikit lagi, Theo. Kau harus menghabiskan buburmu.”“Ayo.”Sesendok bubur kembali Rose dekatkan, tetapi wajah itu menolak.“Jangan memaksaku makan bubur yang tidak enak, Sugar. Rasanya hambar.”“Makanya kalau makan sambil lihat aku, biar ada rasanya.”“Satu suapan lagi. Aku janji setelah ini selesai.”“Aku tidak percaya. Kau mengatakan itu sejak tadi, apa kau tidak ingat?”Rose menyengir lebar benar – benar mengelabuhi Theo. Pria itu persis anak kecil yang kehilangan nafsu makan. Sulit sekali dibujuk untuk membuka mulut.“Kali ini aku serius yang terakhir. Ahk ... buka yang lebar.”Rose pikir Theo akan segera menerima suapan darinya. Pria itu justru menggerakkan siku tangan Rose, memindahkan haluan sendok ke bibir Rose sendiri.“Kau juga harus makan.”“Tadi aku sudah makan,” bantah Rose, tetap saja dia tak bisa menyangkal satu suapan mendar
Satu hari setelah Theo sadar akhirnya Rose memutuskan kembali sejenak ke rumah, tempat di mana dia pernah tinggal seorang diri yang bersebelahan dengan restoran kecil miliknya. Saat ini tidak banyak yang Rose lakukan selain mempersiapkan diri menemui Theo di rumah sakit. Rose segera mengendarai mobil—milik ayahnya yang dipinjam. Di kursi penumpang belakang dia meletakkan sebuah kotak berukuran sedang dengan beberapa lubang di dalamnya yang dibungkus sangat cantik. Sementara di sampingnya duduk seekor anjing kecil lucu berbulu keriting dan warna putih seperti kapas. Kemarin Rose baru saja membeli ras anjing pudel tersebut di toko hewan. Tertarik. Hanya itu yang menggambar keinginan Rose membawa pulang pudel yang diberi nama Cocomelo.“Kita sudah sampai.”Rose menyiapkan tas ransel khusus untuk membawa Cocomelo di pundak, agar saat pertama kali masuk ke ruang rawat Theo tak langsung bertemu dengan Cocomelo-nya selain Rose yang akan memperlihatkan. Dan di tangannya, dia membawa kotak be
Sekembali dari kamar mandi Rose pikir akan dihadapkan pada situasi yang sama. Dia sudah mewanti dengan menunggu lebih lama di ruang lembab sampai beberapa suara dari luar meredup. Tetapi semua yang Rose perkirakan tidak benar adanya. Rembesan darah di lantai ketika dia membuka pintu sudah hilang tak berjejak. Bawahan Verasco ... bahkan Verasco itu sendiri pun sudah tak terlihat ada di sana, di ruang rawat suaminya. Hanya tersisa Lion yang menunggu sangat tenang, bersedekap dada sambil memperhatikan Theo tanpa suara.“Kau masih di sini, Lion? Di mana yang lain?” tanya Rose begitu langkahnya menyisir di sisi blankar.“Tuan Verasco meminta saya menunggu di sini, Nona.”Perhatian Lion akhirnya teralihkan. Rose menduga pria itu baru pulang dari kantor kepolisian lalu membantu Verasco dan Elijah untuk mengeksekusi George. Terkait pengkhianatan yang dilakukan George, mungkin itu menjadi kecamuk rasa waspada bagi Verasco agar lebih intoleran terhadap niat – niat terselubung dan apa pun yang ba
“Dalam perjalanan menuju rumah. Kisah mereka berakhir bahagia. Selesai.”Rose menutup buku setebal kurang lebih 400 halaman dan meletakkan buku tersebut di atas nakas. Membacakan kisah – kisah manis menjadi rutinitasnya beberapa hari terakhir. Senyum Rose tipis menatap wajah suaminya yang terbaring begitu tenang. Pagi tadi alat bantu napas baru saja dilepas menandakan kondisi Theo semakin membaik pasca kejadian tombak berdarah. Beruntung mereka segera membawa Theo untuk mendapat penanganan tepat. Tiga kali Theo harus menjalani tindakan operasi. Pria itu kehilangan banyak darah, sehingga membutuhkan transfusi secepatnya. Rose ingat beberapa perdebatan terjadi di antara mereka terkait Theo yang memiliki darah sangat langkah, bahkan Verasco pun tak berdaya tentang itu. Hanya Dara ....Demikian yang Verasco katakan saat itu dengan nada suara gemetar penuh. Seperti begitu sesal. Benar – benar menyesal, sampai akhirnya Travis menyarankan beberapa orang yang masih tertinggal di Italia untuk