Hanya kata ‘andai’ yang tersisa dari peliknya masa lalu. Se’andai’nya kita tidak pernah bertemu. Se’andai’nya kita tidak pernah menjadi satu. ________________________“Kau yakin sudah siap?” Serak dan dalam suara Xelle berucap penuh keraguan. Tatap mata itu beradu intens, seolah ingin menelanjangi isi pikiran dari lawan bicara yang menyanggupi pernyataan tersebut dengan sebuah anggukan pelan.“Atau sebaiknya kau di sini saja sampai acara pemakaman selesai.”Rose menggeleng. “Aku sudah siap.” Lanjut bicara hanya untuk benar – benar memastikan kepada Xelle bahwa dia akan tetap hadir di sana. Turut serta menuntun jiwa yang telah pergi sampai ke peristirahatan terakhir. Sebisa mungkin Rose akan coba tidak terpengaruh terhadap apa pun dari lingkungan luar. Sudah seyogianya dia melawan segala hal yang barangkali bisa merobohkan ketenangan. Memang benar setelah satu bulan tinggal di tempat persembunyian tidak ada yang berubah dari perasaan Rose. Dia masih sama kacaunya di hari itu. Sedikit
“Theo!”Rose terbangun dengan keadaan tidak baik – baik saja. Pikirannya masih tertumbuk pada satu nama menyisahkan pilu. Theodore Witson ... yang terpatri jelas di atas batu nisan dan Rose temukan beberapa saat lalu. Dia tergemap. Perasaannya diremuk – remuk acapkali bayangan pusara itu menyentak ingatannya.“Di mana Theo?” gumam Rose, tidak seorang di hadapannya dapat dipercaya. Untuk keberkian kali Rose menjadi sangat berantakan. Dia kacau ... sangat takut tentang kenyataan yang baru saja diketahui. Sekali lagi Rose ingin memastikan lebih dekat. Sekali lagi ingin tahu seberapa basah tanah yang mengubur raga suaminya. Sekali ingin merasakan sejauh mana hatinya dibawa pergi. Mungkinkah mati ikut bersama kepergian Theo yang bisu tanpa kata. Seharusnya dari awal Rose sadar, jika memang Theo pulih seperti harapannya. Pria itu tidak butuh waktu berlama – lama untuk datang menjemputnya pulang. Rose tahu Theo dan hasrat suamnya ... apa yang bisa dikatakan lebih terperinci. Sekarang Ro
“Bagaimana kondisi kandunganku?”Pertama kali membuka mata kenyataan itu yang Rose pikirkan. Dia memperhatikan sejauh mana pria yang berdiri di samping blankar enggan untuk menatap.“Axe ...,” panggil Rose. Tahu betul darah bersimbah banyak sebelum dia ditelan bulat – bulat tidak dapat mempertahankan kesadaran. Kesakitan itu benar – benar menjambak Rose luruh tak berdaya. Dan saat terbangun dia merasakan hampa yang cukup berbeda. Masih Rose perhatikan wajah itu .... “I’m sorry—“Rose berpaling sudah bisa menduga jawabannya. Hanya langit – langit rumah sakit yang terus dia perhatikan tanpa kata. Rose sudah terbiasa, tidak akan menuntut segala macam keinginan terhadap apa pun pilihan yang diberikan kepadanya. Kehilangan suami sekaligus calon anak. Sungguh dua hal yang nikmatnya tidak dapat Rose tawar dengan penderitaan lain. Dia tidak mengharapkan akhir bahagia. Semua sudah terbengkalai sejak sajak – sajak yang pernah hidup, terendap mati bersama perasaannya.“Kau baik – baik saja, Ro
Separuh perjalanan kembali ke rumah persembunyian perasaan Rose masih terendap lara. Dia berusaha tegar. Sulit. Namun, sudah lebih baik daripada saat dia berada di hadapan Beatrace. Rose hanya berusaha tidak terbawa suasana. Kali ini sedang tidak mengerti apa yang akan Xelle lakukan dengan memberhentikan mobil di depan mansion besar. Ntah milik siapa, Rose tidak ingin tahu, dan hanya menunggu di dalam royce rolls sampai pria itu kembali dengan membawa selempang tas yang Rose kenali dengan betul, dia menduga benda tersebut terisi padat oleh sebuah laptop seukuran kurang lebih.“Aku seperti pernah melihatnya,” gumam Rose bertepatan Xelle yang meletakkan tas di yang dijinjing ke jok belakang.“Punya Theo. Tidak mungkin kau tidak pernah melihatnya.”Rose terlalu sensitif. Cukup mendengar nama itu dia dihujami perasaan menyedihkan, yang dengannya hati kembali patah seribu. Rose mengerjap cepat, barangkali sudah tidak sanggup memunggut puing – puing yang tercecer jauh. Dia memutar tubuh sete
Rose tidak kuat jika keadaan terus menumpah – ruahkan segala yang tidak sanggup dia pikul sendiri ke dalam ego-nya. Dia menyalahkan Theo atas jurang terjal yang telah pria itu tawarkan. Dua kali kehilangan nyaris di antara kurung waktu berdekatan. Rose akan meminta Theo mempertanggungjawabkan apa dan yang sudah terjadi kepadanya. Dia beralih ke sekitar. Mendekati beberapa perlengkapan Bridgette yang tersisih di atas nakas, kemudian merenggut kunci mobil secara kasar. Rose melenggang menuju ambang pintu. Tepat di garis pertemuan dia berhadap – hadapan bersama wanita yang membawa nampan di tangan.“Kau mau ke mana, Rose?”Bridgette bertanya dengan raut wajah keheranan. Rose tidak peduli bagaimana dia harus melewati wanita yang kurang lebih seukuran tubuhnya. Dia berlari cepat sebelum teriakan Bridgette mencoba untuk menghentikan tindakannya.Menggebu – gebu napas Rose mencapai perkarangan rumah. Lampu mobil menyala dan dia tergesa masuk duduk di kursi kemudi. Rose menginjak pedal gas d
Begitu terbangun Rose tidak dihadapkan pada situasi berlatar gelap yang dipapari lampu mobil menyala. Dia terbaring di tempat yang begitu dingin. Putih dan steril yang berhias di dinding sebagai nuansa baru. Rose terkesiap. Memaksakan diri terbangun, lalu mendapati sepasang manik heterochromia menatapnya tajam. Benar – benar mengejutkan, Xelle di sana berdiri di sandaran tembok, meloloskan lipatan lengan dari dekapan dada ketika satu langkah mengambil keputusan untuk mendekat. “Semua pakaianmu sudah Bridgette siapkan. Sudah dipindahkan ke dalam jet. Kita ke Kanada hari ini.”Hari ini ....Artinya Rose telah melewatkan satu malam meninggalkan Theo di pemakaman. Dia seharusnya masih di sana. Menemani Theo, membuat kesepakatan bersama suaminya—antara Theo kembali, atau dia yang turut serta. Namun, semua itu belum berlangsung sempurna. Rose belum mendapatkan jawabannya. Dan pilihannya masih bergantung di antara dilema besar. Jika dia harus menjangkau kematian, sepatutnya Rose memilih te
Selamat malam, Bu - ibu yang super keren poul. Sehat selalu ya ....Begini ....Aku datang di jam - jam seperti ini bukan sebagai update, karena untuk bab besok sama sekali belum aku tulis. Aku masih mikir. Wkwk.Kenapa aku masih mikir.Well, mari kita kembali ke bab 'lelah'.Maaf untuk mengatakan. Syarat daripada yang aku berikan hanya nyaris, belum sepenuhnya mencapai target. Jadi kita sudah tahu artinya apa ya😅Tapi yang bikin aku masih mikir cuma kalian yang bersedia berpartisipasi.Mau aku turuti happy ending seharusnya. Bahkan yang minta Theo dan Rose punya anak kembar kinyis - kinyis juga akan aku turuti sebenarnya. Tapi, ya, tapi ini ... gak sampai target. Baiknya gimana aku juga gak ngerti lagi😂😂 Mungkin akan aku pertimbangkan. Nanti. Any saran, btw?
Jemari Rose memainkan cincin hitam pernikahan miliknya dengan tatapan setengah kosong, dia baru saja menyematkan kembali benda tersebut pada jari manisnya. Rose tidak peduli, sungguh tidak mempedulikan kenyataan cincin itu tidak akan bisa dilepas. Di kamar baru dan aroma ruangan yang masih begitu baru dia tenggelam. Ntah untuk menunggu pria yang sesaat lalu berpamitan pergi, atau karena Rose memang ingin. Pertama kali memasuki rumah baru untuknya. Rose dicecoki pelbagai hal menyulitkan, sebabnya, dia membongkar kembali beberapa kotak beludru merah berisi masing – masing perhiasan. Dua buah kalung. Satu yang pertama dia terima di hari itu. Sebelum ledakan besar terjadi—kala dia berpikir telah kehilangan Theo. Lalu pria itu kembali dengan merambatkan hal mengejutkan. Seperti liontin kurva bergelombang, sebentuk kehidupan yang benar – benar memberi Theo kesempatan hidup. Seperti itu pula harapan Rose tentang pengulangan yang terjadi kepadanya. Tapi sebaliknya, sudah berapa lama Theo tid