Dor!Bunyi suara tembak menggelegar setelah Rose menyusul Theo di ruang latihan. Pertama kali menginjakkan kaki dia mendapati jas biru tua tergeletak asal, nyaris merosot dari kaki sofa. Rose berdecak merapikan benda tersebut dan memosisikan di tempat lebih baik. Bahu besar Theo tak pernah luput dari pandangannya. Tersisa kemeja putih membungkus tubuh seksi itu. Rose bersedekap dengan kedua lengan terlipat di depan dada.Dor!Satu tembakan lain melesat tepat sasaran. Theo terlalu ahli untuk apa pun yang berkaitan aktivitas saat ini. Tembak menembak menjadi kebiasaan paling sering, atau sebenarnya kehidupan Theo tak akan pernah lekang dari hal – hal demikian. Seperti beberapa kejadian yang telah usai. Rose mengingat pernyataan Theo terhadap kalimat tempo waktu lalu, ‘membunuh untuk dibayar.’Dia membutuhkan Theo sekaligus khawatir. Theo penting untuk membantunya membalaskan dendam. Akan tetapi Rose sadar betul menyandang profesi sebagai seorang pembunuh bayaran bukanlah hal mudah. Kapan
“Keluar, Sugar. Beatrace sudah pergi.”Tertahan dan terpojok bukan karena kesalahan yang sengaja diperbuat. Napas Rose berembus lega, kemudian merangkak pelan – pelan mendekati Theo yang membungkuk dengan sebelah tangan bertengger di pinggir meja, sisanya memegang mangkuk berisi penuh belahan strawberry dan garpu yang tersisih di dalamnya.“Gara – gara kau terlalu mesum!” gerutu Rose, merapikan sisa penampilan yang masih teracak kacau. Berbanding jauh dari suaminya yang ikut berdiri tegap, memasang wajah tidak berdosa hingga mengunyah sesuap potongan buah dengan lahap.“Aku belum selesai. Kenapa kau sudah berpakaian?”Berpakaian nyaris bertelanjang dada. Begitu maksud Theo? Batin Rose menyelidik penuh. Rose berpaling sinis mengingat jas biru tua yang dia letakkan sebelumnya. Ingin meraih kain berwarna pekat tersebut, yang setidaknya dapat Rose kenakan sementara untuk menutup tubuh terbukanya.Alih – alih bayangan tentang kemudahan membawa langkah ke lain sisi. Lengan Rose dicekal jemar
“Tanya langsung pada yang bersangkutan. Jangan tanya padaku.”Susah payah Sean berusaha tidak mengingat nama Rose. Verasco kembali membuatnya harus terlunta – lunta melupakan ingatan masa lalu dari wanita, yang cepat atau lambat sebaiknya Sean tepis jauh dari bayangan hitam di benaknya. Waktu – waktu yang ada Sean gunakan untuk menembus kesalahan. Sedikit demi sedikit dia mulai belajar menerima kandungan Charlotte. Sean memang tidak menyukai makhluk kecil bernama anak – anak. Itu sebabnya, sulit bagi Sean menaklukkan Oracle, saat dia masih menjalin hubungan bersama Rose. Akan tetapi konsep yang harus dihadapi. Termasuk semua yang tampak di depan mata menyadarkan Sean, bahwa dia pernah ada di posisi demikian—tidak diinginkan dan dicampakkan, sekalipun bukan atas dasar keinginan Verasco. Sean rasa tidak seharusnya kejadian itu beranak pinak pada keturunannya. Dia ingin menyudahi rasa sakit yang diterima hanya berakhir pada dirinya seorang.Sean mengangkat sebelah lengan membidik jarum
“Tubuhmu panas, Sugar. Kau demam ....”Baru satu jam Rose tenggelam dalam tidur bersama alunan detak jantung Theo dan miliknya yang berdentum – dentum keras. Rose harus menerima guncangan saat Theo memosisikan diri duduk bersandar di kepala ranjang. Pelukan Rose masih erat mengikat, ikut terbawa di tengah perubahan yang Theo ciptakan. Posisinya setengah menelungkup dipaksa untuk menegadah di antara jemari yang menyentuh ujung dagu. Sorot penuh perhatian Theo menawarkan banyak hal. Salah satunya membuat Rose tidak dapat menatap lebih lama.“Aku baik – baik saja.”Rose menunduk, meletakkan wajah lekat – lekat bersentuhan langsung dengan permukaan dada terbuka suaminya. Lengan Rose mengetat di lingkar pinggul Theo demi meraih kenyamanan sebanyak mungkin.Aroma tubuh yang memambukkan, hingga kehangatan tak terlewat membuat Rose nyaris terpejam ketika Theo tiba – tiba memisahkan diri. Theo seperti mencari – cari sesuatu untuk segera ditemukan. Beberapa kain tergeletak di atas lantai pria it
“Anda yakin ingin menemui tuan di kantornya, Nona?”Rose mengurungkan niat sekadar menuang sirup mapel ke dalam tabung kecil. Beberapa iris pancake sudah dia siapkan ke dalam kotak bekal, termasuk buah segar untuk melengkapi sarapan pagi suaminya. Rose tersenyum tipis menghadap wanita paruh baya yang setia menunggu. “Tentu saja, Beatrace. Theo harus ingat kalau dia punya masalah lambung. Tidak bisa sengaja melewatkan makanan masuk ke dalam perutnya hanya karena dia sangat sibuk.” Baru kemudian Rose kembali menyibukkan diri dengan botol dalam genggaman. “Aku tahu Theo suka pancake. Dia tidak akan bisa tolak makanan dariku.” Rose menyisihkan sirup mapel mengisi penuh pada tabung tersusun di antara celah kotak bekal. Merapikan semua, hingga tak tersisa hal yang dapat Rose kerjakan.“Tuan bilang Anda kurang sehat, bukan begitu, Nona?”Pertanyaan Beatrace sesaat membekukan Rose. Tidak sepenuhnya benar. Namun, sesekali Rose masih merasakan pusing mendera. Dia menggeleng samar ... apabila
“Jangan biarkan dia pergi.”Rose dibangunkan sisa ingatan menyakitkan, langsung berpas – pasan dengan sepasang manik abu yang menyambar wajahnya tajam. Dia tidak tahu bagaimana posisi Theo betah bertumpu di lengan sofa—tidak menindihnya, tetapi mengurung Rose di antara tubuh besar yang dilapisi kemeja panjang tergulung di atas siku pria tersebut.“Di mana George? Aku harus mendapatkannya!”Sekali saja Rose berusaha bangkit, dia dihadapkan permukaan dada bidang yang kekar dan liat sebagai tameng. Napas Rose tercekat, kehabisan cara menghadapi apa pun yang harus dia terima. Haruskah Rose menyalahkan diri sendiri atas kebodohan membiarkan George Keneddy lolos tanpa sepotong harapan bisa dia kuasai. “Aku ingin bertemu George.” Sayu netra cokelat Rose mengerjap untuk ke sekian kali. Dia ingin mengulang waktu beberapa saat lalu. Kegagalan yang begitu buruk membawanya pada mimpi yang tak jauh berbeda.“Aku ingin bertemu George.”Gumaman Rose terus terucap di bawah pengawasan Theo. Suaminya
“Kenapa kau membawaku kembali ke mansion-mu?”Sepanjang jalan Rose sudah dicecoki kebingungan. Pertanyaannya baru terucap saat mobil terparkir di perkarangan gedung besar nan menjulang tinggi. “Dia di dalam.”Singkat. Theo membuka pintu mobil membawa Rose ikut bersamanya. Mereka tidak memasuki gerbang utama, melainkan ke sisi sayap kanan tepat terbuka sebuah pintu yang menghubungkan mereka ke dalam lorong gelap.“Kita akan ke mana, Theo?” tanya Rose, meremas kuat jemari yang menyatu dan menggenggam di antara ruas jarinya.“Ruang bawah tanah.”Sebuah kejutan bagi Rose, mana kala dia tidak pernah tahu ada ruang seperti itu selama tinggal bersama suaminya. “Kenapa George bisa ada di sini?”“Aku menugaskan Lion untuk mendapatkannya saat kau tidak sadarkan diri.”Begitu ....Rose ingin kembali bersuara, tapi di hadapannya sudah tersaji ketidakberdayaan George Keneddy dengan kondisi yang benar – benar telah dilumpuhkan. Sekilas Rose melirik Theo ketika pria itu bersimpuh di samping George
“Kebiri dia sekarang.”Mutlak perintah Theo menarik alih perhatian mereka yang berada di bawah satu kepemimpinan. Beberapa menatap tidak percaya, sebagiannya menunduk pasrah. Theo tidak peduli apa yang akan mereka pikirkan. Fokus meredam kemarahan dan menghunus tajam pria tidak berdaya di atas ranjang.Setelah menghadapi kemarahan Rose di ruang bawah tanah Theo melanjutkan sisa keputusan dengan menyembunyikan George Keneddy ke gudang tak terendus, paling terjorok posisinya. Dia masih cukup waras untuk melenyapkan nyawa pria kepercayaan Verassco, tahu persis di mana titik paling tepat melemahkan kesadaran musuh. Theo memang sengaja, dengan demikian Rose percaya akan harapan yang dibunuh paksa. Sementara dia melakukan segala sesuatu dengan caranya yang licin dan tak terjamah. Benang merah telah terurai. Menemukan fakta George Keneddy bekas klien istrinya lebih buruk dari ujaran kemarahan Rose yang berapi – api. Theo rasa hukuman yang dia sebutkan pantas memberi efek jera kepada tangan