Rose tidak peduli bagaimana ranjang bergoyang itu menghentak – hentak serupa guncangan berayun hebat. Dia memaksimalkan tiap – tiap injakan berpacu kuat seperti raksasa menerjang bumi. Tubuh Theo benar menjadi sasaran empuk di kakinya. Pria itu mengeluh dengan suara terendam. Namun, juga keenakan ... terkadang meminta Rose berpindah dari titik satu menuju titik pijak lainnya.“Naik lagi, Sugar. Naik lagi sampai ke bahu.”Rose berdecak tetap turuti semua yang Theo mau. Lebih keras lagi sebelah kaki menginjak bahu liat, panas dan seksi suaminya. “Sudah,” ucap Rose. Satu kali lompatan mengakhiri gempa di atas permukaan tubuh Theo. Dia menyisihkan diri menelungkup di samping pria yang sedang memejam. “Mana? Kembalikan kotak hadiahku?”“Siapa yang memberimu hadiah?” “Oracle. Sini, cepat kembalikan.” Lengan Rose memanjang ingin menarik kotak beludru merah dalam genggaman Theo. Posisi mereka seiras, sama – sama menjadikan lengan sebagai tumpuan dada terangkat.“Biar aku saja yang buka.”Je
Harus Rose akui Theo cukup berbeda dengan hanya diam saat posisi mereka utuh tak lekang oleh jarak. Kalimat terakhir darinya tidak digubris, pria itu sibuk mengendus aroma tubuh Rose. Menyendul permukaan perut ratanya dalam – dalam.“Mandi gih.”Rose memainkan surai hitam itu hangat. Dia tersenyum demikian pula Theo mendongak ke arahnya. “Mandi denganku?” Manik abu itu menenggelamkan Rose jauh mengapung di lautan hangat. Dia mengerucutkan bibir sembari menarik kulit wajah Theo melebar ke samping.“Sudah tua bisa mandi sendiri. Cepat sana ....”Gelengan samar tidak Rose sadari lantas membawanya jatuh telentang di atas ranjang. Wajah kehausan Theo dan jemari besar pria itu mulai menelusup ke dalam kaos bergambarkan beruang hitam, persis seperti Theo yang saat ini hinggap di atas tubuhnya.“Aku menyuruhmu mandi, Theo. Bukan—“Rose dibungkam lidah yang melesak ke dalam rongga mulutnya. Bunyi decak basah berjejak—sambut hasrat yang tersulut gairah dan meledak bersama. Di bawah tekanan y
“Lepas, Dad, aku mau pulang.”“Orang – orang di sini memuakkan! Aku tidak suka.”Kemelekatan masih berlanjut bagi Mr. Alejandro. Dia harus menerima nasib dari kekacauan yang dia ciptakan sendiri. Semua berimbas kepada putrinya. Wanita malang yang harus menanggung kesakitan dari sebuah pembalasan dendam dan tentang tindakan saling membinasakan. Mr. Alejandro mencari lawan yang salah, pun kurang tepat memahami pelbagai hal yang dia hiraukan sendiri. Seharusnya perang itu dia mulai sejak kematian Bouldog. Akan tetapi hasrat memiliki Theo mengalahkan segalanya. Dia tidak pernah berpikir bahwa Theo akan menjadi yang paling sulit ditaklukkan. Satu kali dia bertindak, kali kelipatan dia diserang dalam diam.Kecerdikan itu adalah yang dia impikan. Nahas, Mr. Alejandro tidak mungkin berambisi kembali. Sementara putrinya telah dihancurkan. Mr. Alejandro menunggu waktu yang tepat, setidaknya sampai Elsesa—Elsa dapat mengimbangi kondisi mental dan fisik wanita itu setelah dihantam bersamaan. “
Dor!Bunyi suara tembak menggelegar setelah Rose menyusul Theo di ruang latihan. Pertama kali menginjakkan kaki dia mendapati jas biru tua tergeletak asal, nyaris merosot dari kaki sofa. Rose berdecak merapikan benda tersebut dan memosisikan di tempat lebih baik. Bahu besar Theo tak pernah luput dari pandangannya. Tersisa kemeja putih membungkus tubuh seksi itu. Rose bersedekap dengan kedua lengan terlipat di depan dada.Dor!Satu tembakan lain melesat tepat sasaran. Theo terlalu ahli untuk apa pun yang berkaitan aktivitas saat ini. Tembak menembak menjadi kebiasaan paling sering, atau sebenarnya kehidupan Theo tak akan pernah lekang dari hal – hal demikian. Seperti beberapa kejadian yang telah usai. Rose mengingat pernyataan Theo terhadap kalimat tempo waktu lalu, ‘membunuh untuk dibayar.’Dia membutuhkan Theo sekaligus khawatir. Theo penting untuk membantunya membalaskan dendam. Akan tetapi Rose sadar betul menyandang profesi sebagai seorang pembunuh bayaran bukanlah hal mudah. Kapan
“Keluar, Sugar. Beatrace sudah pergi.”Tertahan dan terpojok bukan karena kesalahan yang sengaja diperbuat. Napas Rose berembus lega, kemudian merangkak pelan – pelan mendekati Theo yang membungkuk dengan sebelah tangan bertengger di pinggir meja, sisanya memegang mangkuk berisi penuh belahan strawberry dan garpu yang tersisih di dalamnya.“Gara – gara kau terlalu mesum!” gerutu Rose, merapikan sisa penampilan yang masih teracak kacau. Berbanding jauh dari suaminya yang ikut berdiri tegap, memasang wajah tidak berdosa hingga mengunyah sesuap potongan buah dengan lahap.“Aku belum selesai. Kenapa kau sudah berpakaian?”Berpakaian nyaris bertelanjang dada. Begitu maksud Theo? Batin Rose menyelidik penuh. Rose berpaling sinis mengingat jas biru tua yang dia letakkan sebelumnya. Ingin meraih kain berwarna pekat tersebut, yang setidaknya dapat Rose kenakan sementara untuk menutup tubuh terbukanya.Alih – alih bayangan tentang kemudahan membawa langkah ke lain sisi. Lengan Rose dicekal jemar
“Tanya langsung pada yang bersangkutan. Jangan tanya padaku.”Susah payah Sean berusaha tidak mengingat nama Rose. Verasco kembali membuatnya harus terlunta – lunta melupakan ingatan masa lalu dari wanita, yang cepat atau lambat sebaiknya Sean tepis jauh dari bayangan hitam di benaknya. Waktu – waktu yang ada Sean gunakan untuk menembus kesalahan. Sedikit demi sedikit dia mulai belajar menerima kandungan Charlotte. Sean memang tidak menyukai makhluk kecil bernama anak – anak. Itu sebabnya, sulit bagi Sean menaklukkan Oracle, saat dia masih menjalin hubungan bersama Rose. Akan tetapi konsep yang harus dihadapi. Termasuk semua yang tampak di depan mata menyadarkan Sean, bahwa dia pernah ada di posisi demikian—tidak diinginkan dan dicampakkan, sekalipun bukan atas dasar keinginan Verasco. Sean rasa tidak seharusnya kejadian itu beranak pinak pada keturunannya. Dia ingin menyudahi rasa sakit yang diterima hanya berakhir pada dirinya seorang.Sean mengangkat sebelah lengan membidik jarum
“Tubuhmu panas, Sugar. Kau demam ....”Baru satu jam Rose tenggelam dalam tidur bersama alunan detak jantung Theo dan miliknya yang berdentum – dentum keras. Rose harus menerima guncangan saat Theo memosisikan diri duduk bersandar di kepala ranjang. Pelukan Rose masih erat mengikat, ikut terbawa di tengah perubahan yang Theo ciptakan. Posisinya setengah menelungkup dipaksa untuk menegadah di antara jemari yang menyentuh ujung dagu. Sorot penuh perhatian Theo menawarkan banyak hal. Salah satunya membuat Rose tidak dapat menatap lebih lama.“Aku baik – baik saja.”Rose menunduk, meletakkan wajah lekat – lekat bersentuhan langsung dengan permukaan dada terbuka suaminya. Lengan Rose mengetat di lingkar pinggul Theo demi meraih kenyamanan sebanyak mungkin.Aroma tubuh yang memambukkan, hingga kehangatan tak terlewat membuat Rose nyaris terpejam ketika Theo tiba – tiba memisahkan diri. Theo seperti mencari – cari sesuatu untuk segera ditemukan. Beberapa kain tergeletak di atas lantai pria it
“Anda yakin ingin menemui tuan di kantornya, Nona?”Rose mengurungkan niat sekadar menuang sirup mapel ke dalam tabung kecil. Beberapa iris pancake sudah dia siapkan ke dalam kotak bekal, termasuk buah segar untuk melengkapi sarapan pagi suaminya. Rose tersenyum tipis menghadap wanita paruh baya yang setia menunggu. “Tentu saja, Beatrace. Theo harus ingat kalau dia punya masalah lambung. Tidak bisa sengaja melewatkan makanan masuk ke dalam perutnya hanya karena dia sangat sibuk.” Baru kemudian Rose kembali menyibukkan diri dengan botol dalam genggaman. “Aku tahu Theo suka pancake. Dia tidak akan bisa tolak makanan dariku.” Rose menyisihkan sirup mapel mengisi penuh pada tabung tersusun di antara celah kotak bekal. Merapikan semua, hingga tak tersisa hal yang dapat Rose kerjakan.“Tuan bilang Anda kurang sehat, bukan begitu, Nona?”Pertanyaan Beatrace sesaat membekukan Rose. Tidak sepenuhnya benar. Namun, sesekali Rose masih merasakan pusing mendera. Dia menggeleng samar ... apabila
Kepergian Zever secara tiba – tiba cukup membekas di benak Rose. Saat itu dia dan Travis diam memperhatikan punggung milik dua orang yang menjauh. Rose tak berani mengatakan apa pun kala dia sendiri menyadari Travis seketika meninggalkannya—Travis menunduk dan Rose harap pria itu baik – baik saja, lantas ikut menyusul dengan langkah hati – hati membawa bayi kembarnya masuk ke dalam gedung mansion.Dua jam usai kejadian di taman belakang, dan setelah menidurkan anak – anak Rose segera menyusul keberadaan Zever. Lewat pesan – pesan yang diberikan kepada Lion, Rose tentu memantau apa pun yang terjadi di luar. Termasuk menanyakan bagaimana kondisi Travis. Pria itu sudah bersikap seperti semula, tetapi satu yang bermasalah. Zever di ruang tamu dengan riak wajah begitu dingin dan manik mata kelabu yang menatap setengah kosong menyusun sambungan miniatur di atas meja.Berulang kali Rose menarik napas sekadar memantapkan diri duduk di samping suaminya.“Zever,” panggil Rose ingin memastikan p
“Aku sudah selesai, Theo. Sekarang giliranmu—“ Pikir Rose, setelah keluar dari kamar mandi sekaligus mengganti pakaian di sana. Dia akan menemukan Theo menjaga ketiga bayi mereka dengan posisi semestinya, tetapi tubuh besar itu—dalam tidur menyampingnya seolah lebih lelap dari ketiga bayi yang memejam tenang. Kelelahan. Begitu yang Rose tafsirkan, karena hari – hari belakangan ini Theo sering sekali menyibukkan diri di tengah malam—menjaga bayi – bayi mereka, sementara Rose dipaksa untuk tetap beristirahat. Senyum Rose tipis sambil mengusap puncak kepala Theo. Hanya sesaat dia beralih pada tiga bayi kembarnya untuk dipindahkan ke dalam troli. Rose akan membawa mereka untuk berjalan – jalan di taman belakang. Selesai memindahkan dia kembali mendekati Theo sekadar menutup tubuh suaminya dengan selimut tebal. “Kami pergi dulu.” Singkat Rose mengecup sudut wajah Theo. Dia mendorong troli dengan hati – hati menuju lift. Rose sudah tahu di mana letaknya, cukup tersembunyi—dan Theo memang
“Aku mendapat cucu yang banyak.”Tawa O’Douglas pecah persis seperti kapten bajak laut yang baru saja menemukan harta karun bersejarah. Masing – masing lengan pria paruh baya itu mengapit dua bayi mungil, sementara bayi mungil yang lain berada di dekapan Verasco—yang terus menimang, sesekali mendekatkan bayi – bayi tersebut dengan guyonan ringan.Ntah apa yang bisa Rose katakan ketika menyaksikan anak – anaknya langsung diserbu begitu Verasco dan O’Douglas masuk ke ruang rawat. Dia baru selesai menyusui, sehingga bayi – bayi yang kekenyangan hanya akan tidur sepanjang hari, dan tidak merepotkan kedua kakek mereka.“Kau dari tadi tak pernah berhenti menatapku,” ucap Rose pelan. Sering kali Theo menyorot wajahnya, tetapi saat ini manik kelabu itu membinarkan sesuatu yang berbeda. Begitu penuh cinta dan sebagian tak bisa Rose tafsirkan dengan benar. Bagaimana mungkin Rose tahan dibidik sedemikian lamat. Theo harus, sekali saja, berpaling darinya.“Terima kasih, Sugar.”Sentuhan lembut di
Rose tak menyangka Theo akan membawanya sampai ke pulau Ortogia, pusat sejarah Kota Sirakusa, Sisilia, untuk menikmati keindahan laut Mediterania. Aroma – aroma di tepi laut itu memberi keindahan yang menyejukkan. Rose bahkan tak melupakan bahwa Theo tidak sekali pun melepaskan tubuhnya di pundak lebar pria tersebut setelah menyusuri sepanjang gedung – gedung tua di pulau – pulau Ortogia.“Ini rumah siapa?” tanya Rose memandangi sebuah bangunan kokoh yang seperti dikhususkan untuk ditinggali dua orang.“Rumah kita.”Tidak banyak yang dapat Rose katakan, kecuali menyematkan wajahnya dalam – dalam di ceruk leher Theo. Aroma maskulin itu masih sangat menguak, bahkan usai sepanjang hari mereka memberikan jamuan kepada para tamu, seakan – akan cairan parfum pun sangat betah menjamah kulit liat Theo.“Mau langsung tidur atau mandi dulu, Sugar?”Di depan sebuah pintu Theo menghentikan langkah sekaligus membiarkan Rose berpijak di atas lantai. Antara ragu dan butuh sesuatu yang segar akhirnya
“Sudah siap?”Rose mengangguk saat Theo bicara di atas puncak kepalanya. Dia memang berdiri membelakangi Theo, memegang ganggang pisau pemotong kue yang panjang, sementara jemari besar Theo menggenggam hangat tiap – tiap buku tangannya.Kue bertingkat – tingkat itu, atau tak jauh berbeda dengan menara rapuh sedang terbelah. Irisan mata pisau perlahan menurun ke bawah menjadi simbol ketajaman. Rose tersenyum nyaris meleburkan tawa ketika Theo membisikkan sesuatu yang lucu untuknya, yang lucu tapi tak akan Rose beritahu pada siapa pun. Biar dia menyimpan sendiri dan menjadikan itu momen menyenangkan yang penting.Setelah potongan kue pertama seharusnya Rose dan Theo saling memberi suapan. Alih – alih demikian Theo sebaliknya mencongkel krim dan segera mengoleskan ke bibir bawah Rose. Wajah Rose tampak berepotan, namun itulah yang Theo inginkan. Dia merampas bibir Rose seperti merampas kue yang sangat lezat.Manis dari campuran gula dan mentega seakan membuat Theo tak pernah puas. Dia mem
“Sudah. Aku sudah kenyang.”Lagi – lagi Rose harus menahan diri saat jemari besar Theo berusaha menyingkirkan semangkok bubur putih di tangannya.“Sedikit lagi, Theo. Kau harus menghabiskan buburmu.”“Ayo.”Sesendok bubur kembali Rose dekatkan, tetapi wajah itu menolak.“Jangan memaksaku makan bubur yang tidak enak, Sugar. Rasanya hambar.”“Makanya kalau makan sambil lihat aku, biar ada rasanya.”“Satu suapan lagi. Aku janji setelah ini selesai.”“Aku tidak percaya. Kau mengatakan itu sejak tadi, apa kau tidak ingat?”Rose menyengir lebar benar – benar mengelabuhi Theo. Pria itu persis anak kecil yang kehilangan nafsu makan. Sulit sekali dibujuk untuk membuka mulut.“Kali ini aku serius yang terakhir. Ahk ... buka yang lebar.”Rose pikir Theo akan segera menerima suapan darinya. Pria itu justru menggerakkan siku tangan Rose, memindahkan haluan sendok ke bibir Rose sendiri.“Kau juga harus makan.”“Tadi aku sudah makan,” bantah Rose, tetap saja dia tak bisa menyangkal satu suapan mendar
Satu hari setelah Theo sadar akhirnya Rose memutuskan kembali sejenak ke rumah, tempat di mana dia pernah tinggal seorang diri yang bersebelahan dengan restoran kecil miliknya. Saat ini tidak banyak yang Rose lakukan selain mempersiapkan diri menemui Theo di rumah sakit. Rose segera mengendarai mobil—milik ayahnya yang dipinjam. Di kursi penumpang belakang dia meletakkan sebuah kotak berukuran sedang dengan beberapa lubang di dalamnya yang dibungkus sangat cantik. Sementara di sampingnya duduk seekor anjing kecil lucu berbulu keriting dan warna putih seperti kapas. Kemarin Rose baru saja membeli ras anjing pudel tersebut di toko hewan. Tertarik. Hanya itu yang menggambar keinginan Rose membawa pulang pudel yang diberi nama Cocomelo.“Kita sudah sampai.”Rose menyiapkan tas ransel khusus untuk membawa Cocomelo di pundak, agar saat pertama kali masuk ke ruang rawat Theo tak langsung bertemu dengan Cocomelo-nya selain Rose yang akan memperlihatkan. Dan di tangannya, dia membawa kotak be
Sekembali dari kamar mandi Rose pikir akan dihadapkan pada situasi yang sama. Dia sudah mewanti dengan menunggu lebih lama di ruang lembab sampai beberapa suara dari luar meredup. Tetapi semua yang Rose perkirakan tidak benar adanya. Rembesan darah di lantai ketika dia membuka pintu sudah hilang tak berjejak. Bawahan Verasco ... bahkan Verasco itu sendiri pun sudah tak terlihat ada di sana, di ruang rawat suaminya. Hanya tersisa Lion yang menunggu sangat tenang, bersedekap dada sambil memperhatikan Theo tanpa suara.“Kau masih di sini, Lion? Di mana yang lain?” tanya Rose begitu langkahnya menyisir di sisi blankar.“Tuan Verasco meminta saya menunggu di sini, Nona.”Perhatian Lion akhirnya teralihkan. Rose menduga pria itu baru pulang dari kantor kepolisian lalu membantu Verasco dan Elijah untuk mengeksekusi George. Terkait pengkhianatan yang dilakukan George, mungkin itu menjadi kecamuk rasa waspada bagi Verasco agar lebih intoleran terhadap niat – niat terselubung dan apa pun yang ba
“Dalam perjalanan menuju rumah. Kisah mereka berakhir bahagia. Selesai.”Rose menutup buku setebal kurang lebih 400 halaman dan meletakkan buku tersebut di atas nakas. Membacakan kisah – kisah manis menjadi rutinitasnya beberapa hari terakhir. Senyum Rose tipis menatap wajah suaminya yang terbaring begitu tenang. Pagi tadi alat bantu napas baru saja dilepas menandakan kondisi Theo semakin membaik pasca kejadian tombak berdarah. Beruntung mereka segera membawa Theo untuk mendapat penanganan tepat. Tiga kali Theo harus menjalani tindakan operasi. Pria itu kehilangan banyak darah, sehingga membutuhkan transfusi secepatnya. Rose ingat beberapa perdebatan terjadi di antara mereka terkait Theo yang memiliki darah sangat langkah, bahkan Verasco pun tak berdaya tentang itu. Hanya Dara ....Demikian yang Verasco katakan saat itu dengan nada suara gemetar penuh. Seperti begitu sesal. Benar – benar menyesal, sampai akhirnya Travis menyarankan beberapa orang yang masih tertinggal di Italia untuk