Segala aktivitas di malam ini Rose lalui dengan perasaan setengah nelangsa. Masing – masing kebutuhan yang harus dia selesaikan ... tuntas berderai, termasuk saat Rose harus mengurai jejak – jejak angka dan huruf yang terekam dalam memori ingatan dan memindahkan seberkas bayangan tersebut pada catatan digital di ponselnya. Dia sudah menyisihkan bagian terpenting mengenai George yang harus dikerjakan nanti. Jarak sudah semakin dekat, tidak sulit bagi Rose menggapai kenyataan tersisa di depan mata. Ke mana George akan pergi, setidaknya Rose sudah memegang kunci yang akan membukakan pintu tergembok untuknya.Tipis – tipis senyum Rose diikuti gerak jemari memainkan surai kecokelatan Oracle—tiap helaian milik bocah kecil itu persis kepunyaan Xelle beserta tekstur lembut yang tak pernah berubah. Memang beberapa saat lalu Oracle baru saja terlelap tenang. Berbanding jauh dengan kecemasan Rose terhadap suaminya yang serupa kejatuhan air terjun dan membandang secara keseluruhan membasuh dia ya
“Om T, sakit, Om T, lepas!”“Om T!”Rose coba memahami situasi di tengah remang sekamar. Sayup – sayup ringis kesakitan saling beradu di udara. Rose mengernyit, demikian pergerakan hampir tanpa jeda secara keseluruhan menyibak netra cokelat terpejamnya untuk terbuka lebar. Di hadapan Rose beberapa kejadian hitam terekam penuh, menyiarkan siluet perlawanan kasar beserta sebentuk tubuh kecil yang sedang berusaha keras menarik diri dari cengkeraman di bawah sadar.Jantung Rose bertalu hebat. Segala kekacauan tumpang tindih membentuk ornamen di kepalanya. Dia mengambil langkah pasti, cepat – cepat menjadikan separuh kegelapan itu benderang. Dan kemudian beberapa hal yang tak mampu Rose cerna dengan baik, muncul tumpuk – bertumpuk menyentak perasaannya. Di atas ranjang serupa penyiksaan itu ....Oracle sama sekali tidak dapat melawan genggaman kuat yang terlihat dari otot – otot mencuak di permukaan lengan besar, liat seukuran pria dewasa milik seseorang di sana. Kekalutan dan kemelekat
“Oracle yakin mau langsung pulang? Tidak tunggu Om T bangun dulu?”Penolakan Oracle mantap mengenyahkan tawaran yang berulang kali Rose berikan. Napas Rose berembus, mengatupkan bibir saling menipis. Dia merenungkan segala sesuatu yang belum dan yang akan terjadi. Di hadapannya, dari jarak kejauhan Rose sudah menduga akan berakhir seperti apa reaksi Xelle, jika bekas memar membiru di pergelangan tangan Oracle yang mencolok—terbalut perban elastis tersorot mata heterochromia itu.Serambat daun menyisir Rose mengubah posisi. Menjulang tinggi menanti langkah cepat mendekat yang kini bersisihan di sampingnya.“Daddy.”Tipis lengkung bibir itu merespon sapaan Oracle. Rajut alis rapi terangkat disertai netra menajam Xelle tampak meneliti. Dia menyorot wajah Rose dalam, lalu berpaling kembali pada titik fokus pertama. Tubuh besarnya turut bersimpuh, seringan bulu meraih jemari kecil Oracle—memperhatikan lamat – lamat kain yang membungkus padat ... mendobrak rasa curiganya muncul tak terelak.
“Buka matamu, Theo.”Debaran itu masih sama kerasnya seperti pertama kali igauan Theo terucap. Jantung dan isi kepala Rose saling bertempur. Masing – masing memperebutkan spasi bertindih batasan yang dia ciptakan sendiri. Sementara di antara yang lain muncul perasaan asing, yang tidak dapat Rose susun menjadi sebuah sandyakala. Dia terdesak acak berantakan. Seharusnya mempertimbangkan kembali kalimat Xelle beberapa saat lalu, apa benar Rose sedang berusaha bertahan dengan seseorang yang membuatnya tersesat oleh perasaan sendiri ....Tidak. Rose tak ingin dikacaukan semua kenyataan itu. Sejauh mungkin memisahkan hal yang tidak semestinya bersarang lama ke sisi terpojok lebirin hatinya. Menuju semacam pilihan mana yang paling tepat untuk memenangkan kewarasan Rose. Dia tidak ingin ditaklukkan.“Bangun. Cepat bangun, Theo!”Rose menekan – nekan otot liat di lengan suaminya. Membalik tubuh meringkuk itu menghadap langit – langit kamar utama.“Theo, ih ... bangun!”Pejaman mata Theo terlal
Rose tidak peduli bagaimana ranjang bergoyang itu menghentak – hentak serupa guncangan berayun hebat. Dia memaksimalkan tiap – tiap injakan berpacu kuat seperti raksasa menerjang bumi. Tubuh Theo benar menjadi sasaran empuk di kakinya. Pria itu mengeluh dengan suara terendam. Namun, juga keenakan ... terkadang meminta Rose berpindah dari titik satu menuju titik pijak lainnya.“Naik lagi, Sugar. Naik lagi sampai ke bahu.”Rose berdecak tetap turuti semua yang Theo mau. Lebih keras lagi sebelah kaki menginjak bahu liat, panas dan seksi suaminya. “Sudah,” ucap Rose. Satu kali lompatan mengakhiri gempa di atas permukaan tubuh Theo. Dia menyisihkan diri menelungkup di samping pria yang sedang memejam. “Mana? Kembalikan kotak hadiahku?”“Siapa yang memberimu hadiah?” “Oracle. Sini, cepat kembalikan.” Lengan Rose memanjang ingin menarik kotak beludru merah dalam genggaman Theo. Posisi mereka seiras, sama – sama menjadikan lengan sebagai tumpuan dada terangkat.“Biar aku saja yang buka.”Je
Harus Rose akui Theo cukup berbeda dengan hanya diam saat posisi mereka utuh tak lekang oleh jarak. Kalimat terakhir darinya tidak digubris, pria itu sibuk mengendus aroma tubuh Rose. Menyendul permukaan perut ratanya dalam – dalam.“Mandi gih.”Rose memainkan surai hitam itu hangat. Dia tersenyum demikian pula Theo mendongak ke arahnya. “Mandi denganku?” Manik abu itu menenggelamkan Rose jauh mengapung di lautan hangat. Dia mengerucutkan bibir sembari menarik kulit wajah Theo melebar ke samping.“Sudah tua bisa mandi sendiri. Cepat sana ....”Gelengan samar tidak Rose sadari lantas membawanya jatuh telentang di atas ranjang. Wajah kehausan Theo dan jemari besar pria itu mulai menelusup ke dalam kaos bergambarkan beruang hitam, persis seperti Theo yang saat ini hinggap di atas tubuhnya.“Aku menyuruhmu mandi, Theo. Bukan—“Rose dibungkam lidah yang melesak ke dalam rongga mulutnya. Bunyi decak basah berjejak—sambut hasrat yang tersulut gairah dan meledak bersama. Di bawah tekanan y
“Lepas, Dad, aku mau pulang.”“Orang – orang di sini memuakkan! Aku tidak suka.”Kemelekatan masih berlanjut bagi Mr. Alejandro. Dia harus menerima nasib dari kekacauan yang dia ciptakan sendiri. Semua berimbas kepada putrinya. Wanita malang yang harus menanggung kesakitan dari sebuah pembalasan dendam dan tentang tindakan saling membinasakan. Mr. Alejandro mencari lawan yang salah, pun kurang tepat memahami pelbagai hal yang dia hiraukan sendiri. Seharusnya perang itu dia mulai sejak kematian Bouldog. Akan tetapi hasrat memiliki Theo mengalahkan segalanya. Dia tidak pernah berpikir bahwa Theo akan menjadi yang paling sulit ditaklukkan. Satu kali dia bertindak, kali kelipatan dia diserang dalam diam.Kecerdikan itu adalah yang dia impikan. Nahas, Mr. Alejandro tidak mungkin berambisi kembali. Sementara putrinya telah dihancurkan. Mr. Alejandro menunggu waktu yang tepat, setidaknya sampai Elsesa—Elsa dapat mengimbangi kondisi mental dan fisik wanita itu setelah dihantam bersamaan. “
Dor!Bunyi suara tembak menggelegar setelah Rose menyusul Theo di ruang latihan. Pertama kali menginjakkan kaki dia mendapati jas biru tua tergeletak asal, nyaris merosot dari kaki sofa. Rose berdecak merapikan benda tersebut dan memosisikan di tempat lebih baik. Bahu besar Theo tak pernah luput dari pandangannya. Tersisa kemeja putih membungkus tubuh seksi itu. Rose bersedekap dengan kedua lengan terlipat di depan dada.Dor!Satu tembakan lain melesat tepat sasaran. Theo terlalu ahli untuk apa pun yang berkaitan aktivitas saat ini. Tembak menembak menjadi kebiasaan paling sering, atau sebenarnya kehidupan Theo tak akan pernah lekang dari hal – hal demikian. Seperti beberapa kejadian yang telah usai. Rose mengingat pernyataan Theo terhadap kalimat tempo waktu lalu, ‘membunuh untuk dibayar.’Dia membutuhkan Theo sekaligus khawatir. Theo penting untuk membantunya membalaskan dendam. Akan tetapi Rose sadar betul menyandang profesi sebagai seorang pembunuh bayaran bukanlah hal mudah. Kapan