Pemandangan di hadapan Rose makin – makin menambah bagian tak terduga yang harus dia garis bawahi sebagai sesuatu yang penting. Para penghuni mansion, sebagian dari mereka yang bertugas di bagian inti, dan yang paling akrab bersama Rose kumpul dalam satu ruang penuh lolongan. Di antara mereka, Esmeralda di atas sofa dengan penampilan istimewa sendiri selalu menyambar lirik lagu yang Lion nyanyikan. Beberapa pernak pernik terpasang di tubuh husky tersebut, topi kerucut bermotif garis – garis dan perpaduan warna menyala pun melekat di atas kepala yang menegadah tinggi acapkali lolongannya akan menguasai keadaan. Semua yang tampak di hadapan Rose, benar, cukup menyenangkan. Tetapi yang tidak pernah henti menarik perhatiannya hanya satu ....Theo yang memilih duduk di sofa single. Tatapan pria itu terlihat geli hampir menyipit sekaligus senyum yang samar – samar muncul dan hilang. Satu tangan Theo bebas bertumpu di atas sebelah kakinya. Telunjuk yang terpisah dari ibu jari yang melekat di
Rose terbata. Cukup sekali dia menunduk ... keadaan yang sedang berlangsung tak lagi sama. Suara pukulan keras dan ringisan Verasco membumbung menjadi pengalunnya. Theo menyentak wajah sang ayah kuat. “Apa saja yang sudah dilakukan tua bangka ini padamu?” Dia bicara dengan kemarahan tertahan.“Jawab aku, Rose!” Dan membentak disertai otot leher mencuak ke mana – mana. Begitu lengan Rose dicengkeram, tidak ada lagi kebisuan yang dapat Rose pertahankan. Dia berusaha menarik diri lepas dari angkara murka yang secara keseluruhan menguasai Theo hingga tak luntur sedikit pun kesabaran di ujung tanduk.“Kau menyakitiku, Theo.” Rose mengeluh. Keputusan yang tidak tepat mengenerasi rasa sakit semakin bertambah.“Jawab aku. Apa saja yang sudah dilakukan tua bangka ini?”Pertanyaan Theo kekeh tidak pernah berubah. Sorot abu menajam mengandung sembilu yang menyayat.“Tidak ada. Ayahmu c—cuma menamparku.” Tergugu hampir keluh. Lengan Rose makin ditarik dan diguncang bersamaan. “Aku tidak bodoh,
Benar – benar suatu kekacauan yang sudah tertata dalam dugaan. Rose harus meninggalkan Verasco dan menyerahkan kesakitan pria paruh baya itu kepada Anthony, demi menyusul langkah suaminya yang telah jauh. Tubuh besar Theo memasuki gerbang utama mansion, tidak sekali pun berpaling ke belakang. Minimal memastikan kembali puing – puing kehancuran yang tercerai berai di sana.Rose mempercepat laju kaki, menghitung tiap kepergian Theo yang dapat menyebabkan tembok tinggi menjulang membatasi hubungan mereka. Ke mana arah tujuan Theo, Rose tahu pria itu tidak berniat melabuhkan diri ke kamar utama. Tak lekang oleh kenyataan itu, akal sehat Rose mulai tersisihkan. Sedikit pun dia tak ingin tertinggal dan berakhir dengan usaha percuma. Apa lagi yang akan Theo lakukan, selain mengurung diri saat satu – satunya tempat yang didatangi adalah ruang pribadinya sendiri.“Tunggu, Theo,” tahan Rose. Theo sudah mencapai ganggang dan mendorong kusen berpahat garis ukiran dalam itu, sementara dia masih
Rose tidak salah menyebut Theo bayi besar. Sedikit – sedikit sikapnya tidak bisa dikendalikan. Di lain waktu kemudian semua yang ada dalam pria itu menjadi suatu hal yang tidak dapat Rose duga dengan benar. Semalam terakhir kali Theo bicara, berikutnya Rose harus menyerukan bantuan kepada orang – orang mansion untuk membopong bayi besarnya ke kamar. Dan saat ini, karena kemarahan yang berada pada taraf berlebihan. Secara kebetulan Rose yang terjaga lebih dulu harus menyaksikan betapa napas Theo menderu kasar. Ada beberapa bagian tersirat embusan itu tercekat. Ntah mengapa Theo yang kesusahan begitu, Rose ikut merasakan sesaknya. Dia menggeleng samar ... setengah beranjak bangun menyentuh lembut permukaan wajah yang agaknya tampak polos ketika sorot abu Theo terpejam. Tidak mau berakhir terlalu lama, Rose bergerak cepat meraih bantal miliknya. Cukup hati – hati mengangkat punggung kepala Theo, sengaja mengatur benda empuk tersebut setingkat lebih tinggi untuk menstimulasi kelancaran
Sementara tubuh besar suaminya tak lagi terlihat. Rose harus menelan pil pahit akan keputusan yang sia – sia untuk menghentikan Theo dari kebungkaman. Ntah harus dengan cara apa lagi dia berusaha. Rose tidak mengerti, dia lelah. Bahkan di hadapan Beatrace dan yang lain pun, Theo menganggapnya sesuatu yang tak kasat mata. Terabaikan. Lebih – lebih tidak pernah meliriknya sama sekali.“Aku sudah mengumpankan diri sebagai ikan. Kau yakin tidak mau jadi kucingnya, Theo?” tanya Rose putus asa. Posisi Theo masih seperti semula. Tidur membelakanginya dengan selimut tak lepas dari tubuh meringkuk itu.“Theo.”Tanpa sadar jemari Rose mendarat di atas permukaan lengan yang dibatasi kain tebal. Hanya gerakan tangan menepis dari dalam, spontanitas Rose secara langsung menarik diri. Dia menggenggam jemarinya sendiri. Usia mereka terpaut cukup jauh. Theo seharusnya bisa lebih dewasa mengimbangi sikap Rose, yang terkadang berada di luar keinginan. Akan tetapi kuantitas tidak sepenuhnya menentukan k
Kotak musik ....Rose terpaku memegang erat benda tersebut. Cukup tidak percaya harus menerima sebuah pemberian tanpa nama pengirim. Hal ini dapat dimaklumi seandainya dia berada di Kanada, tetapi Italia ... mustahil Rose miliki seorang pemuja rahasia. Dia tidak berusaha mengingat, sayangnya bayangan sesosok pria muncul tak ingin Rose percaya, barangkali enggan membenarkannya.Agak ragu Rose membuka penutup kotak yang menghasilkan musik dengan menggunakan serangkaian pin yang ditempatkan pada suatu silinder atau cakram berputar sehingga menyentuh gigi – gigi dari sisir besi. Bentuk kotak musik di tangan Rose kompleks memiliki drum dan lonceng kecil di samping sisir besi tersebut. Nada – nada yang mengalun, mengiring sepasang patung nyaris berciuman bergerak lingkar di tengah – tengah. Sean.Satu nama yang mencuak merupakan pria yang pertama kali memberikan kotak musik, dan yang juga sampai saat ini. Rose beralih pada kertas kecil terselip. Kalimat tertulis di sana akan mengundang se
Tertatih langkah Rose mengimbangi beban boneka besar yang didekap erat. Bentuk dan ukuran berlebihan nyaris membuat tubuh Rose tenggelam saat membawa teddy bear masuk menuju kamar utama mansion. Beberapa kali selama perjalanan Rose menghantam benda di depan, apa saja, dengan pandangan yang sepenuhnya terlindungi. Dia mengeluh masih harus berusaha tidak terkalahkan oleh kekesalan sendiri. Sebenarnya Rose berharap Esmeralda tidak sepintar itu menuruti perintah tuannya, jadi Theo tidak bisa menjadikan siberian husky sebagai suatu perantara. Sayang harapan Rose tidak begitu. Esmeralda terlalu ... kurang lebih seperti Theo!“Akhirnya.” Rose menjatuhkan teddy bear di atas marmer putih gading, engap – engap sembari menyentuh kedua sisi pinggul. Seharusnya tidak ada yang salah, hingga Rose menyadari keberadaan satu orang. Theo ... terlentang di atas ranjang dengan sebelah lengan menekuk berbentuk sudut siku melapisi permukaan bantal.Netra itu memejam teratur disertai permukaan dada bergerak
Sudah cukup penyiksaan yang dia terapkan sendiri. Daging sudah begitu siap, Theo tidak akan bisa mengenyahkan bayangan indah akan labium merah yang mekarnya menggoyahkan hasrat. Dia menelisik jauh hangat tubuh yang coba Rose tutupi. Semakin bertambah panas dan menggebu gairah ingin melempar Rose ke atas ranjang.Senyum Theo sinis. Tak terhitung berapa lama dia memuja wajah yang menatapnya ragu. Usapan pelan merambat dari kulit pipi menuju permukaan lembut terkatup rapat itu. Dia menekan bibir Rose, mengingat kembali bagaimana harus menahan diri tiap kali Rose melontarkan protes dan menunjukkan sikap jengkel.“I want you so badly.”Bisikan Theo mengumpulkan seluruh elektrik hingga mengundang ketegangan yang tak mampu Rose tahan. Dia kebingungan ketika pelan – pelan keberadaan jemari Theo berpindah ... lambat laun mengalir ke bawah. Melalui celah kaki, tindakan Theo lolos meraih sabuk yang tergeletak, merosot bersama jubahnya.Tidak ingin menebak lebih jauh. Napas Rose tercekat pasrah sa