Nenek Asma yang sejak awal mendukung hubungan Isyana—Asher, tampak tidak rela saat cucunya itu mengabarkan mereka tidak akan menikah.Sudah akting sesak napas pun percuma saja. Keputusan Isyana sudah bulat.Isyana berkata mereka hanya cocok sebagai teman dan patner kerja. Bukan untuk menikah. Karena itu pula, bibir Nenek yang biasanya cerewet bak petasan dibakar, mendadak tertutup saja.“Sudah to Nek. Isyana udah gede. Jalan hidupnya memang penuh liku. Tapi ya gak bisa maksa buat dia nikah sama Ash. Jangan jadi nenek yang zolim seperti pihak sebelah.”Pihak sebelah yang dimaksud tentu saja Ibu mertua dari anak mereka, besannya nenek Asma sendiri. Orang yang secara terang-terangan menghina mereka, tapi paling utama memakan uang hasil kerja keras Isyana dan Sukma.Kakek Jalu tidak ingin cucunya ditekan sana-sini. Dia ingin Isyana menemukan jodoh yang Soleh, baik dan bisa bekerja keras.Secocok apa pun mereka, belum tentu jodohnya. Jadi seharusnya sebagai orang yang lebih tua. Harus bisa
“Wih Asher, sudah gandeng cewek aja nih.”“Dia Isyana bukan sih? Cucunya Nek Asma.”“Iya Isyana itu. Kapan pulang sih Syan?” Gerombolan ibu-ibu gosip yang sedang menunggu tukang sayur, dibuat terkejut dengan kedatangan Isyana dan Asher yang jalan bersama. Mereka tampak serasi yang mana perempuannya glowing seperti artis ibu kota, sementara prianya merupakan blasteran.Siapa saja yang melihatnya, seperti sedang menonton syuting film, yang aktornya berjalan di jalan kampung.“Sudah satu Minggu ini Bu,” jawab Isyana sambil menyunggingkan senyum.“Oh, tapi gak pernah keliatan ya. Main sih Syan, biar kulitnya sedikit kebakar gitu.”“Hus ngaco. Cewek-cewek perawatan mahal biar putih, glowing, malah ini disuruh item.”Isyana hanya tersenyum kecil untuk menanggapi celotehan ibu-ibu tadi. Dia sudah terbiasa dengan tidak mengambil hati setiap perkataan yang mampir untuk dirinya.Bisa dikatakan, Isyana sudah kebal. Sejak dulu, dia juga selalu dipandang seperti itu. “Iya Bu. Kalau libur juga m
“Kurang ajar memang Asher. Bukannya bantu cari toko bahan bangunan, malah ninggalin gitu aja.”Isyana bersungut-sungut jalan ke rumah. Memang dia tadi jalan lebih dulu. Tapi tidak menyangka, akan kehilangan jejak Asher.Lagi pula, toko yang dimaksud Asher juga tidak dia temukan. Isyana hanya melihat bengkel Bagas yang begitu ramai pasien.Untung saja tidak ada yang mengajak Isyana bicara di jalan. Jika saja ada, dengan ekspresi yang menunjukkan kekesalan, tentu saja tabiatnya sedang tidak baik.“Eh Nona. Sedang apa di sini?”Bagas yang kebetulan lewat melihat Isyana jalan sendiri, menepikan motor dan berhenti.Beruntung sekali dia bisa bertemu dengan Nona cantik yang sedang diincar.“Kalau tidak keberatan, naik lah Nona. Saya bisa antar ke mana saja kau inginkan.”Bagas mengedipkan mata. Terasa sekali pria ini sedang menggoda Isyana. Tentu saja, tidak ada yang tidak mungkin bagi Bagas. Bisa jadi lewat hal sekecil ini, Isyana akan merasa nyaman dan tidak akan bisa lepas darinya. Kese
Makan siang di rumah Cakra terasa canggung. Apa lagi sejak kejadian Cakra yang membuat kesal Mamanya dengan memotong perkataan Isyana. Mereka seperti enggan duduk dalam memakai satu meja yang sama. Rasa masakan yang bisanya nikmat, mendadak hambar. Tidak ada yang benar-benar menikmatinya.“Cakra,” panggil Suci pada anak keduanya.“Ya.”“Kau ambilkan obat Mama di kamar.”Cakra terlihat enggan. Dia justru memanggil asisten rumah tangga dengan berteriak.“Mama taruh di laci rias. Kau tahu kan, itu tempat terlarang,” ujar Suci yang menegur anaknya.“Ya kalau tempat terlarang, Mama ambil sendiri dong. Masa minta Cakra.”Suci langsung melotot. Tangannya sudah gemas mencubit lengan Cakra.“Kau ini disuruh orang tua, tinggal jalan bentar aja.”Dengan malas, Cakra bangkit berdiri. Dia melirik ke arah Isyana yang seperti tidak acuh padanya. Merasa dipelototi mamanya, Cakra bergegas pergi, dari pada terkena omelan panjang lebar.“Syan, ayahmu kerja apa?”Suci yang sudah bebas karena tidak ada
Kembali ke tempat semula, Asher tidak menemukan Isyana. Dia harus berkeliling kampung, dan tetap tidak menemukan gadis tersebut.Jika saja, dia tidak merasa mulas perutnya. Sudah pasti saat ini, masih akan bersama dengan Isyana.“Woy Asher. Kau tampak bingung sekali kutengok.”Dari arah bengkel, Bagas meneriaki Asher. Dia baru selesai menggantikan oli pelanggan, merasa aneh dengan Asher yang seperti oleng saat berdiri.“Bagas, apa kau lihat Nona Isyana? Tadi kami berpisah di sana.”Asher menunjuk tiang listrik yang di mana dia pergi setelah Isyana beberapa langkah darinya. “Wah Nona cantik tadi naik mobil. Kalau kutengok mungkin pacarnya.”“Apa!”Panik langsung datang ke dalam diri Asher. Tidak siap rasanya mendengar ini. “Apa anda tahu ciri-ciri orang tersebut?” tanya Asher yang tidak sadar mendekat ke arah Bagas dan mengguncang-guncang tubuhnya.“Tidak tahu. Pria itu tidak turun. Memangnya kenapa sih? Wajahmu kayak kepiting rebus gitu. Cemburu memang?”Bukan niat meledek, tapi ras
“Bu Isyana masih ingat saya kan?” tanya Pria yang duduk di belakang kemudi.“Pak Basel kan ya. Dulu kalau tidak salah, perusahaan saya pernah pakai hotel Bapak untuk pameran.”Isyana kembali mengingat pria yang baik hati menjemputnya. Tentu dia tidak ingin kurang ajar dengan melupakan pria ini begitu saja.“Ya benar Bu.”“Em, panggil Isyana saja kali ya.”“Oh iya boleh. Kita kan juga gak sedang kerja. Kalau begitu, panggil aku juga Basel. Kita akan lebih akrab. Jadi Isyana mau diantar ke mana?”Isyana menepuk dahinya sendiri. Dia benar-benar lupa telah tersesat dan baik hati dijemput Basel. “Ya ampun, antar ke pangkalan ojek saja atau taksi. Aku bisa naik itu untuk pulang.”Tampak keberatan, Basel seketika menggeleng. Merasa tidak mungkin untuk menurunkan Isyana di tempat yang terasa asing baginya.“No ... no. Aku akan antar ke rumah. Jangan sungkan. Kau kan juga temannya Joseline,” ujar Basel yang mulai masuk ke tahap pengenalan lebih dekat.“Iya benar. Kok kau tahu?”Tentu saja cuk
“Duh Cah Bagus, siapanya Isyana ya? Gebetan?”Nenek Asma tidak malu untuk menanyakan hal tersebut. Tentu saja, kakinya telah kena injakan Isyana yang menganggap itu hal lancang. Isyana tidak ingin neneknya salah paham terhadapnya. Terlebih rasanya malu di hadapan Basel.“Apa sih Isyana?” ujar Nenek Asma yang kesal kakinya diinjak cucunya sendiri.“Nenek yang apa-apaan. Bisa gak jangan banyak menimbulkan kehebohan,” ujar Isyana yang sewot pada neneknya.“Ck, kau ini ya. Orang nenek juga tanya baik-baik. Kenapa juga kau yang kesal.”Wajah Nenek Asma kembali pada Basel. Pria itu sedang meminum teh hangat yang disuguhkan si tuan rumah. Tenggorokannya yang kering segera terisi dengan teh tersebut.“Aku hanya rekan kerjanya Nek. Hanya satu kali bertemu dulu. Ini pertemuan kedua, dan ternyata bisa bermanfaat bagi Isyana.”Basel berkata dengan mata dan bibirnya yang terus tersenyum. Apa lagi dia memandang Isyana dengan tatapan memuja. Seperti ingin memiliki gadis itu.“Ah Nenek doakan yang t
Setelah rencana membeli bahan-bahan membuat kamar mandi baru yang batal kemarin, Isyana ingin melakukannya hari ini. Sayangnya, cuaca hari juga tidak mendukung. Hujan sejak semalam mengguyur desa. Semakin bertambah deras di kala subuh, dan berakhir cukup lebat di pagi harinya.“Kau lagi ingat mantan, Basel apa justru si Ash?” Tubuh Isyana tiba-tiba meremang. Nenek Asma datang mengejutkannya tiba-tiba.“Apa sih Nek. Ada-ada aja pertanyaannya,” ujar Isyana yang wajahnya terasa panas. Entah karena ucapan neneknya, atau hanya hasil dari tangkupan tangan di wajah.“Loh kok ada-ada saja. Habisnya, sejak selesai mandi, hanya bengong saja kerjaanmu. Nih lemet singkong, makan.”Sambil menemani cucunya yang entah sedang memikirkan apa. Nenek Asma, menyodorkan olahan singkong yang dibuat menjadi lemet. Hasil menyisihkan dari camilan suaminya tadi.Di kampung memang sudah biasa dengan olahan singkong yang satu ini. Singkong yang ditumpuk, dibalur dengan santan dan gula merah. Setelah menyatu, b