Share

2. Isyana Demam

Tok … tok … tok …!

“Nek … Nenek Asma. Permisi Nek.”

Baru pukul enam pagi, Asher sudah sangat berisik di depan pintu rumah nenek Asma. Tampilannya sudah begitu kece, dengan kemeja putih, celana kain dan juga sepatu pantofel pemberian tetangga yang sudah terasa sempit dia gunakan.

“Aduh Ash. Ada apa sih? Kakek lagi masuk angin itu. Semalam begadang nonton bola, keganggu teriakanmu yang membahana pagi-pagi.”

“Aku ingin melamar.”

Nenek Asma terdiam. Di rumah ini dia masih memiliki suami. Meski pun sudah tidak bisa bekerja di ladang atau pun di ranjang. Tapi bukan berarti Nenek akan tega menghianati Kakek Dalu— suaminya.

“Melamar? Melamar siapa?” ucap Nenek Asma dengan lirih. Dia membuang pandangannya ke arah samping guna untuk mencari jawaban dari pernyataan Asher.

Disaat itulah dia melihat mobil cucunya terparkir di depan halaman rumah. Mata Nenek Asma berbinar. Dia tidak akan salah lagi. Pasti Asher— si bule kampung ini akan melamar cucunya. Dengan begitu dia menang taruhan dengan anaknya nanti.

“Ah iya Nenek terima, maharnya bagaimana?”

“Ah, harus ada mahar?”

Asher menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Bagaiman caranya dia akan mendapatkan mahar. Biaya pengobatan ibunya saja sudah mahal. Gaji pensiunan ayahnya sisa separuh untuk digunakan.

“Loh, nikahi cucu saya harus pakai mahar. Masa gratisan?” ucap Nenek Asma dengan begitu santai. Dia kali ini akan menerima saja berapapun yang Asher sodorkan padanya. Yang terpenting Isyana— cucunya akan cepat bersuami.

“Bukan menikah Nek. Tapi jadi sopir cucu Nenek, boleh?”

Asher mengedipkan mata berulang kali. Sama juga dengan apa yang dilakukan oleh nenek Asma. Beberapa detik, mereka saling tatap-tatapan. Hingga tanpa sadar saling mendesah dan memcium bau mulut yang belum kena nasi.

“Apa sih Ash. Siapa juga yang cari sopir?”

Nenek Asma merengut. Tiket ke Madrid yang sudah ada di depan mata terancam hangus sudah.

“Ya cucu nenek. Di mana sekarang anaknya Nek? Saya bisa langsung interview.”

Asher menerbitkan senyum yang begitu menawan. Dia sudah mendapat celah dari kakek Dalu untuk meluruhkan hati nenek Asma. Benar saja, setelah terbit senyum iklan pasta gigi dua jari, Nenek Asma yang tadinya hendak marah-marah, tidak jadi. Bahkan dia dengan sadar membuka pintu rumah lebar-lebar.

“Ya sudah masuk dulu. Tunggu di dalam saja.”

Nenek Asma melewati Asher yang sudah duduk di sofa ruang tamunya. Sofa baru yang juga hadiah dari Isyana saat memenangkan tender menyetok camilan untuk projek bandara baru di Kalimantan sana.

“Isyana. Itu yang mau wawancara kerja sudah datang. Temui gih. Lagian anak gadis jam enam masa belum bangun. Nanti jodohnya dibawa tukang rongsok.”

Nenek Asma dengan sadar menggoyang-goyangkan tubuh Isyana. Dia merasa sudah saatnya gadis itu untuk segera bangun.

“Isyana, itu di depan ada yang mau wawancara. Kok kamu nih masih molor saja sih?” ucap Nenek Asma setengah kesal.

“Ish ini anak lagi cosplay mati atau gimana sih. Gak kelar-kelar meremnya.”

Dengan langkah yang disentak, Nenek Asma pergi dari kamar Isyana. Dia kembali dengan membawa segelas air minum dan tanpa ampun langsung menyiramkan pada wajah cucunya.

Benar saja cara itu sangat ampuh untuk membangunkan Isyana. Gadis itu perlahan membuka matanya.

“Nah melek juga kan lo. Nenek udah khawatir aja lo bablas.”

Nenek meletakkan tangan di kedua pinggangnya. Dia menggeleng-geleng tidak percaya dengan apa yang dilakukan Isyana padanya. Tidak bisakah anak bangun dengan benar.

“Katanya Bos di perusahaan besar. Mana ada bos yang jam segini belum bangun. Keburu rejekinya dipatok ayam.”

Nenek Asma terus menggerutu dia lantas menyibak selimut Isyana. Menepuk pipinya dengan pelan.

“Masya Allah. Pipimu panas sekali.”

Panik itulah yang dirasakan Asma saat menyadari cucunya tengah demam. Secepatnya Nenek Asma memberitahu kepada suaminya.

“Kek … Kek. Itu si Isyana demam.”

Kakek Dalu yang memang masih mengantuk, hanya membalikkan badannya saja. Dia tidak fokus dengan apa yang dikatakan istrinya.

“Kek, ini bagaimana? Kita bisa ketempuan sama anak kita ini, duh.”

Nenek Asma hanya bisa mondar-mandir saja. Dia sendiri tidak tahu bagaimana harus bertindak. Hingga tiba-tiba, Asher yang terlalu lama menunggu di luar, mengetuk pintu kamar nenek Asma.

“Nek, masih lama interviewnya? Saya harus kasih makan ayam ini,” sahut Asher dengan polosnya.

“Eh Ash, untung ada lo. Tolongin nenek bawa Isyana ke dokter. Ayo!”

Nenek Asma, langsung saja menyeret tangan Asher untuk menuju kamar Isyana. Cucu gadisnya itu begitu lemah tidak berdaya. Selimut yang tadi nenek lempar sudah kembali membungkus tubuhnya.

“Isyana, bertahanlah Nak. Ini sudah ada Ash, yang akan membantu ke dokter.”

Dengan sigap pemuda itu menggendong Isyana. Dia baru menyadari tubuh itu seringan kapas. Seingatnya, kemarin dia begitu berat membawa perempuan ini.

Apa karena kemarin pakaiannya penuh dengan lumpur?

Mungkin saja hal itu yang dia rasakan.

“Nek ....”

Isyana menatap neneknya dengan pandangan mata sayu. Dia tidak sadar ini ada di mana. Yang dia tahu, saat ini dirinya tengah melayang-layang.

“Kenapa main layangan sih. Kek anak kecil tahu enggak?”

Jika sedang tidak sakit, Nenek Asma ingin sekali mencubit ginjal Isyana. Bisa-bisanya gadis itu bergurau di tengah kepanikan yang mereka rasakan.

“Ini bukan main layangan Isyana,” sahut Nenek Asma kesal.

“Terus main apa Nek?” tanya Isyana dengan begitu lirih.

“Main pingpong.”

Asher yang sedang menyetir di depan mereka menyemburkan tawa. Dia begitu heran dengan tingkah dua orang yang ada di belakangnya. Sudah panik dan kesal, sempat-sempatnya beradu canda.

“Oh ya. Siapa yang menang? Gue jagoin Real Madrid ya,” sahut Isyana lagi.

Yang mana justru membuat bibir Nenek Asma semakin maju ke depan. Pasalnya, klub sepak bola itu merupakan kebanggaan dia selama ini. Enak saja cucunya mau mengakuisisi miliknya. Dia tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

“Kau cari yang lain saja kenapa. Itu punya Nenek, idaman punya. Jagoin Chelsea kek, MU kek. Apa aja terserah asal jangan Real Madrid. Benar-benar real soalnya,” ucap Nenek Asma yang memberikan secon opini bagi Isyana.

“Ah gak asyik. Tidak pernah mau kalah sama cucu.”

“Eh kau cucu bangke memang. Sudah dikasih pilihan bukannya berterima kasih malah nawar. Mau jadi apa bangsa ini, kalau modelan cucu seperti kau semua.”

“Yeah emang.”

Isyana hanya menyahut pendek, lagi pula malas sekali sebenarnya membahas apa yang dikatakan Neneknya. Semakin dia ikuti, semakin sakit kepalanya.

“Tuh kan, dulu Sukma ngidam apa sih bisa punya anak seperti kau ini. Susah kali dibilangin.”

Asher menepikan mobilnya. Dia sebenarnya enggan untuk menegur dua orang yang sedang berdebat di belakang. Tapi mau bagaimana lagi, tugasnya sudah selesai untuk membawa Isyana ke rumah sakit terdekat.

“Kenapa kau berhenti Ash?” tanya Nenek Asma yang menyadari mobil yang dikendarai Asher berhenti.

“Habis bensin ya?” tanyanya lagi tanpa pun dari Asher.

“Eh kau ini gimana sih Isyana. Masa ngaku CEO tapi mobil aja kagak diisi bensin. Malu tahu sama bule cakep.”

Nenek Asma terus saja menyerocos. Tanpa mempedulikan bibir Asher yang sudah kembang kempis ingin menjawab pertanyaannya satu-satu.

“Yah namanya juga dipakai Nek. Wajar kalau habis ....” Isyana menyadari dia sudah berada di dalam mobil. Yang aneh orang yang sedang berada di depannya kini. Dia seperti tidak asing melihat raut wajah bulenya.

“Hah Lo ngapain di mobil gue? Mau maling ya! Nenek ada maling!”

“Hah ... maling!”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status