Tok … tok … tok …!
“Nek … Nenek Asma. Permisi Nek.”Baru pukul enam pagi, Asher sudah sangat berisik di depan pintu rumah nenek Asma. Tampilannya sudah begitu kece, dengan kemeja putih, celana kain dan juga sepatu pantofel pemberian tetangga yang sudah terasa sempit dia gunakan.“Aduh Ash. Ada apa sih? Kakek lagi masuk angin itu. Semalam begadang nonton bola, keganggu teriakanmu yang membahana pagi-pagi.”“Aku ingin melamar.”Nenek Asma terdiam. Di rumah ini dia masih memiliki suami. Meski pun sudah tidak bisa bekerja di ladang atau pun di ranjang. Tapi bukan berarti Nenek akan tega menghianati Kakek Dalu— suaminya.“Melamar? Melamar siapa?” ucap Nenek Asma dengan lirih. Dia membuang pandangannya ke arah samping guna untuk mencari jawaban dari pernyataan Asher.Disaat itulah dia melihat mobil cucunya terparkir di depan halaman rumah. Mata Nenek Asma berbinar. Dia tidak akan salah lagi. Pasti Asher— si bule kampung ini akan melamar cucunya. Dengan begitu dia menang taruhan dengan anaknya nanti.“Ah iya Nenek terima, maharnya bagaimana?”“Ah, harus ada mahar?”Asher menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Bagaiman caranya dia akan mendapatkan mahar. Biaya pengobatan ibunya saja sudah mahal. Gaji pensiunan ayahnya sisa separuh untuk digunakan.“Loh, nikahi cucu saya harus pakai mahar. Masa gratisan?” ucap Nenek Asma dengan begitu santai. Dia kali ini akan menerima saja berapapun yang Asher sodorkan padanya. Yang terpenting Isyana— cucunya akan cepat bersuami.“Bukan menikah Nek. Tapi jadi sopir cucu Nenek, boleh?”Asher mengedipkan mata berulang kali. Sama juga dengan apa yang dilakukan oleh nenek Asma. Beberapa detik, mereka saling tatap-tatapan. Hingga tanpa sadar saling mendesah dan memcium bau mulut yang belum kena nasi.“Apa sih Ash. Siapa juga yang cari sopir?”Nenek Asma merengut. Tiket ke Madrid yang sudah ada di depan mata terancam hangus sudah.“Ya cucu nenek. Di mana sekarang anaknya Nek? Saya bisa langsung interview.”Asher menerbitkan senyum yang begitu menawan. Dia sudah mendapat celah dari kakek Dalu untuk meluruhkan hati nenek Asma. Benar saja, setelah terbit senyum iklan pasta gigi dua jari, Nenek Asma yang tadinya hendak marah-marah, tidak jadi. Bahkan dia dengan sadar membuka pintu rumah lebar-lebar.“Ya sudah masuk dulu. Tunggu di dalam saja.”Nenek Asma melewati Asher yang sudah duduk di sofa ruang tamunya. Sofa baru yang juga hadiah dari Isyana saat memenangkan tender menyetok camilan untuk projek bandara baru di Kalimantan sana.“Isyana. Itu yang mau wawancara kerja sudah datang. Temui gih. Lagian anak gadis jam enam masa belum bangun. Nanti jodohnya dibawa tukang rongsok.”Nenek Asma dengan sadar menggoyang-goyangkan tubuh Isyana. Dia merasa sudah saatnya gadis itu untuk segera bangun.“Isyana, itu di depan ada yang mau wawancara. Kok kamu nih masih molor saja sih?” ucap Nenek Asma setengah kesal.“Ish ini anak lagi cosplay mati atau gimana sih. Gak kelar-kelar meremnya.”Dengan langkah yang disentak, Nenek Asma pergi dari kamar Isyana. Dia kembali dengan membawa segelas air minum dan tanpa ampun langsung menyiramkan pada wajah cucunya.Benar saja cara itu sangat ampuh untuk membangunkan Isyana. Gadis itu perlahan membuka matanya.“Nah melek juga kan lo. Nenek udah khawatir aja lo bablas.”Nenek meletakkan tangan di kedua pinggangnya. Dia menggeleng-geleng tidak percaya dengan apa yang dilakukan Isyana padanya. Tidak bisakah anak bangun dengan benar.“Katanya Bos di perusahaan besar. Mana ada bos yang jam segini belum bangun. Keburu rejekinya dipatok ayam.”Nenek Asma terus menggerutu dia lantas menyibak selimut Isyana. Menepuk pipinya dengan pelan.“Masya Allah. Pipimu panas sekali.”Panik itulah yang dirasakan Asma saat menyadari cucunya tengah demam. Secepatnya Nenek Asma memberitahu kepada suaminya.“Kek … Kek. Itu si Isyana demam.”Kakek Dalu yang memang masih mengantuk, hanya membalikkan badannya saja. Dia tidak fokus dengan apa yang dikatakan istrinya.“Kek, ini bagaimana? Kita bisa ketempuan sama anak kita ini, duh.”Nenek Asma hanya bisa mondar-mandir saja. Dia sendiri tidak tahu bagaimana harus bertindak. Hingga tiba-tiba, Asher yang terlalu lama menunggu di luar, mengetuk pintu kamar nenek Asma.“Nek, masih lama interviewnya? Saya harus kasih makan ayam ini,” sahut Asher dengan polosnya.“Eh Ash, untung ada lo. Tolongin nenek bawa Isyana ke dokter. Ayo!”Nenek Asma, langsung saja menyeret tangan Asher untuk menuju kamar Isyana. Cucu gadisnya itu begitu lemah tidak berdaya. Selimut yang tadi nenek lempar sudah kembali membungkus tubuhnya.“Isyana, bertahanlah Nak. Ini sudah ada Ash, yang akan membantu ke dokter.”Dengan sigap pemuda itu menggendong Isyana. Dia baru menyadari tubuh itu seringan kapas. Seingatnya, kemarin dia begitu berat membawa perempuan ini.Apa karena kemarin pakaiannya penuh dengan lumpur?Mungkin saja hal itu yang dia rasakan.“Nek ....”Isyana menatap neneknya dengan pandangan mata sayu. Dia tidak sadar ini ada di mana. Yang dia tahu, saat ini dirinya tengah melayang-layang.“Kenapa main layangan sih. Kek anak kecil tahu enggak?”Jika sedang tidak sakit, Nenek Asma ingin sekali mencubit ginjal Isyana. Bisa-bisanya gadis itu bergurau di tengah kepanikan yang mereka rasakan.“Ini bukan main layangan Isyana,” sahut Nenek Asma kesal.“Terus main apa Nek?” tanya Isyana dengan begitu lirih.“Main pingpong.”Asher yang sedang menyetir di depan mereka menyemburkan tawa. Dia begitu heran dengan tingkah dua orang yang ada di belakangnya. Sudah panik dan kesal, sempat-sempatnya beradu canda.“Oh ya. Siapa yang menang? Gue jagoin Real Madrid ya,” sahut Isyana lagi.Yang mana justru membuat bibir Nenek Asma semakin maju ke depan. Pasalnya, klub sepak bola itu merupakan kebanggaan dia selama ini. Enak saja cucunya mau mengakuisisi miliknya. Dia tidak akan membiarkan hal itu terjadi.“Kau cari yang lain saja kenapa. Itu punya Nenek, idaman punya. Jagoin Chelsea kek, MU kek. Apa aja terserah asal jangan Real Madrid. Benar-benar real soalnya,” ucap Nenek Asma yang memberikan secon opini bagi Isyana.“Ah gak asyik. Tidak pernah mau kalah sama cucu.”“Eh kau cucu bangke memang. Sudah dikasih pilihan bukannya berterima kasih malah nawar. Mau jadi apa bangsa ini, kalau modelan cucu seperti kau semua.”“Yeah emang.”Isyana hanya menyahut pendek, lagi pula malas sekali sebenarnya membahas apa yang dikatakan Neneknya. Semakin dia ikuti, semakin sakit kepalanya.“Tuh kan, dulu Sukma ngidam apa sih bisa punya anak seperti kau ini. Susah kali dibilangin.”Asher menepikan mobilnya. Dia sebenarnya enggan untuk menegur dua orang yang sedang berdebat di belakang. Tapi mau bagaimana lagi, tugasnya sudah selesai untuk membawa Isyana ke rumah sakit terdekat.“Kenapa kau berhenti Ash?” tanya Nenek Asma yang menyadari mobil yang dikendarai Asher berhenti.“Habis bensin ya?” tanyanya lagi tanpa pun dari Asher.“Eh kau ini gimana sih Isyana. Masa ngaku CEO tapi mobil aja kagak diisi bensin. Malu tahu sama bule cakep.”Nenek Asma terus saja menyerocos. Tanpa mempedulikan bibir Asher yang sudah kembang kempis ingin menjawab pertanyaannya satu-satu.“Yah namanya juga dipakai Nek. Wajar kalau habis ....” Isyana menyadari dia sudah berada di dalam mobil. Yang aneh orang yang sedang berada di depannya kini. Dia seperti tidak asing melihat raut wajah bulenya.“Hah Lo ngapain di mobil gue? Mau maling ya! Nenek ada maling!”“Hah ... maling!”***“Hanya demam biasa ya Nek. Mungkin Nona Isyana kecapekan. Maklum habis perjalanan jauh ya? Sejauh apa?”Dokter Ardi mengedipkan sebelah matanya di arah Isyana. Dia begitu genit terhadap pasien perempuan yang mampir ke kliniknya. Maklum saja, sudah lima bulan ditinggal selingkuh sang istri, hingga kini belum menemukan tambatan hati.“Sejauh mata memandang Dok. Cucu Nenek memang jago. Jago buat orang panik.” Yang menjawab justru Nenek Asma. Yang mana membuat Dokter Ardi tersenyum kecut. Tapi demi etika kesopanan, dia tertawa juga. Meksi tawanya seperti orang yang tengah menahan kentut. Terpaksa sekali.“Ya ampun Nek. Kalau ada yang demam lagi di keluarga atau orang terdekat, coba cek suhunya dahulu. Pastikan pakaian yang dikenakan berbahan tipis dan bisa menyerap keringat. Jika memiliki persediaan obat, boleh diminumkan dengan dosis yang tertera di label obat. Atau jika tidak, boleh mengompres di area leher, untuk menurunkan demamnya.”Nenek Asma manggut-manggut mendengar pernyataan ya
“Kita mau ke mana Nona?” tanya Asher yang pagi-pagi sekali sudah rapi dengan kemeja dan celana kain yang membalut tubuh tingginya. Sebelum ke Indonesia, dia memang menjalani profesi sebagai marketing property di Kanada sana. Tidak heran koleksi baju-bajunya juga rapi dan bagus sekali.“Mau ke mana? Emangnya gue ada bilang ke Lo, mau diantar ke mana gitu?” Sambil berdecak pinggang, Isyana menanyakan apa yang sebenarnya Asher katakan. Seingatnya dia tidak meminta untuk diantar ke mana pun hari ini. Toh demam di tubuhnya baru saja menghilang.“Ya kan Nona seorang CEO. Layaknya CEO pada umumnya, pasti begitu sibuk. Benar tidak?” ucap Asher dengan tetap semangat.Isyana memegang dahinya. Memang benar kata orang jika terserang demam bisa jadi akan menemukan masalah dalam hidup. Terbukti padanya yang langsung bertemu Asher yang menyebalkan.“Lo banyak omong. Santai aja dulu sana. Gue mau mandi dulu.”Isyana hampir balik badan saat kata-kata dari mulut Asher terdengar.“Baik Nona. Panggil s
Sesuai keinginan sang Nona, Asher menjalankan mobil ke satu-satunya mal yang ada di kota tersebut. Rencananya, Isyana memang akan berbelanja banyak barang. Dia sudah mengutarakan keinginannya pada Asher. Jadi sebagai sopir, nantinya Asher akan berlaku sebagai pengangkut barang.“Lo harus ada di belakang gue. Pokoknya jangan sampai enggak. Ngerti?” ucap Isyana yang menekankan pada Asher tugasnya kali ini.“Iya Nona. Saya akan selalu bersama Nona. Dalam suka mau pun duka,” sahut Asher yang mana langsung mendapat pelototan tajam dari Isyana.“Lo bisa enggak sih ngomong yang normal. Mana logat bule banget. Udah berapa lama sih di Indonesia?” tanya Isyana yang mana lumayan kesulitan mengimbangi gaya bahasa Asher.Asher berbicara menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sementara Isyana semaunya sendiri. Kadang Indonesia baku, tapi lebih sering bahasa Jakarta yang seperti anak gaul. Belum saja dia mengucapkan bahasa gaul ala Jaksel. Yang mana membuat sakit asma neneknya kambuh kal
Lantaran sudah telanjur ada di dalam mal, Isyana memutuskan untuk berkeliling. Jiwa hemat yang sejak dulu terpatri dalam benaknya seakan menghilang sudah.Di tangan Asher sudah berkantong-kantong paper bag yang lelaki itu lilitkan di jari-jarinya. Kebayangkan Isyana membeli baju dan perlengkapan kerja lainnya. Dia juga membelikan Nenek dan kakeknya. Tidak ketinggalan Asher pun dapat jatah.“Em ... Ash,” panggil Isyana pada Asher.“Iya Nona.”“Ukuran baju nyokap lo berapa besar?” tanyanya malu-malu.Sebenarnya Isyana tidak ada niatan. Tapi berhubung melihat gamis ibu-ibu seusai mamanya, matanya langsung menyala terang. Dia ingin membelikan Sukma, tapi terlalu jauh. Sehingga alternatif lain membelikan Mamanya Asher.“Nyo-kap?” tanya Asher yang tidak mengerti.Isyana menepuk dahi. Dia lupa Asher lama di luar negeri. Belum banyak gaul dan berkembang dalam kosakata bahasa.“Mommy Lo.”Asher kini manggut-manggut mengerti.“Mommy pakai L atau large, Nona,” sahut Asher dengan santainya. “Oh
Sesuai dengan keinginan Asher, dirinya memang bekerja dengan benar. Pukul delapan berangkat dan baru pulang pukul lima sore. Yang jadi masalah, dia hanya mengendarai kendaraan tanpa arah dan tujuan. Lebih tepatnya setelah pulang dari belanja di mall tadi.Bosnya terus menerima telepon yang seakan tidak ada henti. Yang mana menyebabkan Isyana mingsuh-mingsuh sendiri.“Nah turun di sini aja, Asher. Bener Lo, cerdas. Gak salah lulusan Toronto.”Isyana menepuk pundak Asher. Yang mana membuat laki-laki itu seperti tersengat aliran listrik ribuan voltase.“Eh iya Nona. Kalau tidak lulus, nanti diminta balik uangnya.”Isyana yang sudah membuka seatbelt menoleh lagi. Dia merasa banyak sekali rahasia yang bisa dikulik dari si sopir barunya. “Maksud Lo apa sih Ash? Kok gue ngerasa asing bener sama Lo ya?” ucap Isyana yang merasa begitu heran.“Baru beberapa hari bertemu, Nona. Masih panjang waktu untuk kita penjajakan.”Isyana justru bergidik saat mendengar kalimat itu. Bisa-bisanya Asher be
Pagi-pagi sekali, Asher sudah begitu rajin mengelap mobil yang digunakan untuknya mencari nafkah. Asher begitu semangat. Apa lagi pakaian yang ia kenakan baru semua. Begitu memanjakan matanya.“Yo Ash. Ceria kali kutengok lah kau.”Bagas yang merupakan pemuda sepantaran Asher menegur laki-laki itu. Dia begitu takjub dengan kepiawaian Asher dalam mencari rejeki. “Ini apa pula kutengok. Baju baju nampaknya kau ini. Sudah jaya lah kau kerja sopir kereta.”Bagas masih saja berceloteh dengan logat Batak yang begitu khas. Dia begitu senang menggoda Asher yang tampak salah tingkah di depan matanya.“Ah anda berlebihan Bagas. Saya tampak biasa saja,” sahut Asher. “Sebenarnya juga saya jadi sopir mobil. Bukan kereta.”Asher tidak ingin menyinggung teman satu desanya itu. Tapi dia berharap Bagas tidak tersinggung dengan perkataannya. Memang benar kalau dia sopir, tapi bukan sopir kereta seperti yang Bagas bicarakan.“Ah iya ... iya. Aku lupa sedang di tanah Jawa. Bertemu bule lagi ya. Bahasany
"Asher."Asher yang sedang fokus menyetir menoleh ke arah perempuan di sampingnya. Tampak Isyana sedang memutar-mutar ponselnya."Iya Nona," sahut Asher gugup.Sebenarnya sejak tadi melihat Nona Isyana keluar dari rumah Nenek Asma, jantung Asher berdetak begitu kencang. Dia begitu terpesona dengan penampilan Isyana kali ini."Em, nomor ponsel Lo berapa?" tanya Isyana yang merasa canggung."Oh, sini saya ketikkan Nona. Atau saya simpan dulu nomor ponsel Nona. Sebentar, saya tepikan dulu mobilnya."Asher benar-benar menepikan mobil. Dia menerima ponsel dari tangan Isyana. Mengetikkan deretan angka di sana."Mau disimpan pakai nama apa Nona?" tanya Asher ragu.Sedikit tahu dia memperhatikan penamaan ponsel masyarakat Indonesia berdasarkan porfesinya. Jadi jangan sampai, Asher sudah kepedean mengetik namanya, lalu diganti Isyana dengan sopir saja."Ya nama Lo siapa? Masa nama cuma sopir aja. Dih gak kreatif."Ucapan Isyana menerbitkan senyum di bibir Asher. Dia lantas menghapus lagi nama
"Yang mau sewa toko yang mana?"Seorang ibu berperawakan gempal, memandang ramah ke arah Isyana dan juga Asher. Dia tidak terpikir, siapa yang bos di sini. Keduanya tampak menarik di matanya."Ini, Nona Isyana," ucap Asher menujuk dengan jempolnya."Ah iya. Saya Isyana."Isyana mengulurkan tangan ke arah ibu pemilik ruko."Oh nama saya Indun. Salam kenal ya. Duh alus banget tangannya," ucap Indun dengan malu-malu.Ditaksir dari penampilannya, dia seusia ibu Sukma— ibunya Isyana. Tidak heran penampilannya juga apa adanya."Ah bisa saja si ibu," ucap Isyana dengan canggung."Duh mana cantik, pacarnya juga bule. Anaknya nanti pasti juara modeling deh."Isyana hanya tersenyum seadanya. Tidak berminat menanggapi pernyataan si Ibu Indun yang sudah salah paham."Ya sudah, ayo masuk ke dalam. Eh iya lupa, kalau Mas namanya siapa? Mau juga dong salaman sama bule."Asher menerima uluran tangan Ibu Indun. Hanya untuk sekedar menghormati saja. Padahal hatinya sedang berperang karena perkataan si