"Asher."Asher yang sedang fokus menyetir menoleh ke arah perempuan di sampingnya. Tampak Isyana sedang memutar-mutar ponselnya."Iya Nona," sahut Asher gugup.Sebenarnya sejak tadi melihat Nona Isyana keluar dari rumah Nenek Asma, jantung Asher berdetak begitu kencang. Dia begitu terpesona dengan penampilan Isyana kali ini."Em, nomor ponsel Lo berapa?" tanya Isyana yang merasa canggung."Oh, sini saya ketikkan Nona. Atau saya simpan dulu nomor ponsel Nona. Sebentar, saya tepikan dulu mobilnya."Asher benar-benar menepikan mobil. Dia menerima ponsel dari tangan Isyana. Mengetikkan deretan angka di sana."Mau disimpan pakai nama apa Nona?" tanya Asher ragu.Sedikit tahu dia memperhatikan penamaan ponsel masyarakat Indonesia berdasarkan porfesinya. Jadi jangan sampai, Asher sudah kepedean mengetik namanya, lalu diganti Isyana dengan sopir saja."Ya nama Lo siapa? Masa nama cuma sopir aja. Dih gak kreatif."Ucapan Isyana menerbitkan senyum di bibir Asher. Dia lantas menghapus lagi nama
"Yang mau sewa toko yang mana?"Seorang ibu berperawakan gempal, memandang ramah ke arah Isyana dan juga Asher. Dia tidak terpikir, siapa yang bos di sini. Keduanya tampak menarik di matanya."Ini, Nona Isyana," ucap Asher menujuk dengan jempolnya."Ah iya. Saya Isyana."Isyana mengulurkan tangan ke arah ibu pemilik ruko."Oh nama saya Indun. Salam kenal ya. Duh alus banget tangannya," ucap Indun dengan malu-malu.Ditaksir dari penampilannya, dia seusia ibu Sukma— ibunya Isyana. Tidak heran penampilannya juga apa adanya."Ah bisa saja si ibu," ucap Isyana dengan canggung."Duh mana cantik, pacarnya juga bule. Anaknya nanti pasti juara modeling deh."Isyana hanya tersenyum seadanya. Tidak berminat menanggapi pernyataan si Ibu Indun yang sudah salah paham."Ya sudah, ayo masuk ke dalam. Eh iya lupa, kalau Mas namanya siapa? Mau juga dong salaman sama bule."Asher menerima uluran tangan Ibu Indun. Hanya untuk sekedar menghormati saja. Padahal hatinya sedang berperang karena perkataan si
Sepanjang perjalanan Isyana menemukan gelagat aneh dalam diri Asher. Pemuda yang sedang membawa mobilnya itu tampak berseri-seri. Seperti begitu senang.“Hei Asher!” tegur Isyana selanjutnya.“Iya Nona. Ada apa?”Asher cukup terkejut dengan suara Isyana yang begitu lantang. Tapi dia bisa mengendalikan diri.“Kok Lo happy banget gue lihat-lihat. Kena angin apa?”Asher salah tingkah saat dikatakan seperti itu. Memang benar menurutnya jika dia begitu senang saat ini. Tapi bukan senang yang terlalu bagaimana juga. Karena dia merasa biasa saja.“Ah iya Nona. Mungkin karena lagi menyetir. Jadi tampak bahagia,” kilah Asher secepatnya. Dia juga tidak ingin begitu kentara melalaikan kewajiban.“Oh begitu. Kapan-kapan Lo ikut ke Jakarta ketemu Nyokap.”Untung saja saat ini lampu merah tengah menyala. Jadi saat Asher menghentikan mobil, Isyana sama sekali tidak curiga. Yang jadi masalah perasaannya saat ini. Apa yang sebenarnya Isyana pikirkan.“Nyokap itu Mama, seperti yang Nona bilang bukan?”
“Fiuh ... Asher, Lo berani banget sungguh.” Isyana yang masih deg-degan dengan keadaan ini melihat ke arah Asher. Sopirnya itu tampak biasa saja. Membuat Isyana berpikir yang tidak-tidak saja. “Santai saja Nona. Itu aman kok. Dia tidak akan masuk rumah sakit gara-gara ini.” “Ya iya sih.” Isyana membenarkan apa yang Asher katakan. Lagi pula, terlalu berlebihan jika Cakra sampai ke IGD segala. Dilihat tadi tidak sampai kena ke mata. Hanya sebatas hidung saja. “Tapi untung tadi gue udah letakan uang di meja. Mudah-mudahan Abang baksonya lihat.” Mendengar hal itu tentu saja membuat kepanikan tersendiri di jiwa Asher. Dia lupa Isyana belum mendapatkan kembalian. Jika dia berikan uangnya semua, tentu saja masih kurang. “Nona ini,” ucap Asher sambil menyodorkan pecahan lima puluh ribu. “Buat apa Lo kasih gue uang? Buat bayar parkir?” tanya Isyana yang keheranan. Masa ada sopir kasih majikannya uang? Ini bosnya yang sudah bangkrut atau sopirnya yang terlampau kaya. “Maaf Nona. Gara-g
Memutuskan untuk pulang saja, Isyana tidak jadi berkeliling Purwokerto. Dia melirik Asher yang sudah sibuk menjalankan setir. Gara-gara curhatan tadi, Asher sampai menepikan mobil dan terjadilah hal canggung yang cukup mengganggunya.“Ash,” panggil Isyana dengan suara lirih.“Iya Nona.”Asher memandang ke arah Isyana sejenak. Untuk kemudian fokus kembali ke jalanan.“Lo punya kenalan cowok single gak?” tanya Isyana malu-malu. Dia tahu ini memalukan, tapi kalau tidak segera dilakukan, Isyana takut akan melewati batas kesepakatan dengan sang ibu.“Ada si Bagas, yang orang Medan itu. Kalau di desa hanya kenal dia saja Nona,” sahut Asher.“Maaf, ada apa memangnya Nona?” tanyanya lagi.“Em gak ada apa-apa sih,” sahut Isyana ragu.Melihat ekspresi Isyana yang tidak semangat, Asher enggan bertanya lagi. Dia memutuskan untuk diam saja sepanjang sisa perjalanan.Sesampainya di rumah, wajah Isyana yang tampak muram, langsung masuk begitu saja. Dia hanya menyapa sekilas nenek Asma yang sedang b
“Asher. Lo sedang apa sih!”Isyana tidak habis pikir dengan pria di hadapannya. Bisa-bisanya dia telanjang seperti ini.“Eh maaf Nona. Saya pikir Nona tidak ke sini.”Asher buru-buru memakai kaosnya. Dia tidak tahu kalau Isyana akan menyusul ke sini. Lagi pula, dia hanya bertelanjang dada saja. Celana kolornya sudah terpasang sempurna.“Ya tapi kan bisa kalau ganti ya di kamar aja. Ini pakai acara ganti di ruang tamu. Gak takut apa diintip,” ucap Isyana bersungut-sungut. Dia hanya sebal sekali melihat pemuda sembarangan seperti itu. Membuat dadanya bergemuruh saja. “Ya maaf Nona. Kalau begitu, ada apa Nona datang ke sini?” tanya Asher yang langsung saja mengalihkan perhatian. “Oh itu. Lo sih tinggalin gue. Kan gue bingung mesti ngapain sama Nyokap Lo. Mana Nenek Asma lagi senyum-senyum gak jelas.”Asher mengangguk-angguk paham. Dia kemudian menghidangkan gorengan pisang yang sudah dia hangatkan terlebih dahulu.“Nona mau soda? Ini kebetulan semalam aku membelinya. Pas sekali ternyat
“Ada apa sih Nek, teriak-teriak gak jelas.” Isyana yang dari kamarnya sudah melihat kehebohan sang nenek, sontak heran dengan apa yang dilakukan nenek Asma. Meski makhluk yang ramai, tapi Nenek Asma tidak mungkin teriak-teriak tanpa alasan yang jelas. “Ini nih Isyana.” Telunjuk Nenek Asma mengarah ke sosok laki-laki tampan yang sedang duduk di ruang tamu. Wajahnya mengarah senyum ke arah Isyana. Seperti tanpa dosa. “Untuk apa coba si kunyuk satu ini ke sini,” ucap Nenek Asma lagi. “Buat mata sepet saja.” Isyana menatap ke arah Cakra. Benar juga apa yang dikatakan Nenek Asma. Untuk apa Cakra sampai ke sini. “Mau apa?” tanya Isyana dengan jelas. “Ada yang perlu kita bicarakan Syan,” sahut Cakra. “Heh, Syan ... Syan ... Syan. Panggil nama cucu saya yang lengkap.” Nenek Asma sudah lebih dulu marah. T
“Sedang apa kau di sini, hah! Ini bukan urusanmu!” Cakra meradang, ditepisnya tangan Asher begitu keras. Dia tidak terima jika harus diganggu dengan Asher. “Semua yang berkaitan dengan Isyana Akleema, sudah menjadi urusan saya,” ucap Asher dengan tegas.“Cih. Memangnya kau siapa hah?”“Saya ....”“Asher Lo di sini?”Isyana yang merasa tertinggal dompet, seketika kembali. Tidak menyangka kalau mantan dan sopirnya tengah berdehat. Wajah mereka sama-sama cukup tegang.“Kebetulan Lo di sini. Ayo pulang!”Isyana merangkul lengan Asher. Dia setengah memaksa pria itu untuk pergi dari sana. Sebelum benar-benar pergi, Asher berbalik menatap Cakra dan menunjukkan kepalan tangannya. Betapa dia tidak main-main dengan perkataannya tadi.“Ah sial!” Cakra menendang kursi di depannya. Dia tidak terima begitu saja diperlakukan seperti ini. Ingin sekali menghajar Asher yang sok tampan itu. “Siapa sih bule itu. Tampanan juga aku!”Cakra terus mengumpat sampai-sampai pelayan datang membereskan meja.