Sesuai keinginan sang Nona, Asher menjalankan mobil ke satu-satunya mal yang ada di kota tersebut.
Rencananya, Isyana memang akan berbelanja banyak barang. Dia sudah mengutarakan keinginannya pada Asher. Jadi sebagai sopir, nantinya Asher akan berlaku sebagai pengangkut barang.
“Lo harus ada di belakang gue. Pokoknya jangan sampai enggak. Ngerti?” ucap Isyana yang menekankan pada Asher tugasnya kali ini.
“Iya Nona. Saya akan selalu bersama Nona. Dalam suka mau pun duka,” sahut Asher yang mana langsung mendapat pelototan tajam dari Isyana.
“Lo bisa enggak sih ngomong yang normal. Mana logat bule banget. Udah berapa lama sih di Indonesia?” tanya Isyana yang mana lumayan kesulitan mengimbangi gaya bahasa Asher.
Asher berbicara menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sementara Isyana semaunya sendiri. Kadang Indonesia baku, tapi lebih sering bahasa Jakarta yang seperti anak gaul. Belum saja dia mengucapkan bahasa gaul ala Jaksel. Yang mana membuat sakit asma neneknya kambuh kala mendengarnya.
Jadi sebenarnya siapa yang aneh di sini?
“Mau enam bulan Nona,” sahut Asher jujur.
“Oh udah lumayan lama. Selama ini enggak kerja?” tanya Isyana yang mulai kepo dengan kehidupan sang sopir.
“Iya. Paling sering bantu Nenek Asma jual kelapa ke pasar. Lumayan dikasih uang jajan.”
Isyana manggut-manggut mendengar perkataan Asher. Nenek dan Kakeknya memang mendapatkan kebun yang ditanami kelapa. Karena anaknya hanya satu dan merantau, jadi mereka berdua saja yang mengurusnya.
“Memangnya enggak cari kerjaan lain?” tanya Isyana lagi. Entah apa yang mendorongnya untuk kepo terhadap Asher. Rasanya unik saja untuk mengetahui kehidupan si bule kampung ini.
“Mencoba. Tapi banyak lowongan pabrik. Sementara Mommy tidak bisa ditinggal bekerja terlalu lama. Pabrik itu dua belas jam bekerja, belum lagi siap-siap dan akhir yang memakan waktu.”
Asher bercerita dengan jujur. Saat ini ibunya memang fokus utamanya. Tapi dia juga tidak bisa hanya berdiam diri saja.
“Memangnya Mommy lo sakit apa sih? Gue lihat sehat-sehat aja tuh.”
Isyana seperti tidak bisa mengontrol mulutnya. Dia selalu menganggap semua pertanyaan pasti ada jawaban. Termasuk apa yang tengah ia tanyakan pada Asher kali ini. Pasti anak itu akan menjawabnya.
“Sakit magh sih Nona. Butuh perhatian. Karena kalau tidak diingatkan atau disiapkan makannya, beliau tidak mau makan. Kalau kambuh begitu bahaya.”
Isyana mengangguk sepakat. Mamanya juga punya penyakit itu, tapi tidak pernah sampai masuk rumah sakit.
“Lalu kalian hidup dengan apa dong? Em, sorry maksud gue ya kan, enggak kerja berarti gak dapat penghasilan dong.”
Isyana sebenarnya tidak enak untuk mengatakan hal ini. Akan tetapi, rasa penasarannya begitu tinggi. Hingga tidak bisa mengontrol mulutnya.
“Masih ada tabungan. Juga uang pensiunan Daddy kan ada.”
Isyana menganggukkan kepala. Merasa wajar sekali dengan hal itu. Dia pun sekarang mewajibkan karyawan tetap di perusahaannya memiliki dana pensiun. Agar hidup di hari tua lebih terjamin.
“Kenapa gak tinggal di sana saja. Lo negara mana? Lulusan apa?”
Asher menengok ke arah Isyana. Semenjak pertanyaan demi pertanyaan yang meluncur mulus dari bibir perempuan itu, baru kali ini dia menoleh dengan sempurna. Seperti terkejut dengan apa yang Isyana tanyakan.
“Saya dari Toronto. Lulusan universitas Toronto juga. Baru strata dua sih, jurusan komunikasi.”
Isyana menganga mendengar perkataan Asher. Dia memiliki sopir seorang bule, plus lulusan magister di Toronto. Apa dia tidak minder jika orang lain tahu hal ini.
“Lo tidak mau bekerja di kantor?” tanya Isyana lagi.
“Mau sekali, saya Nona. Nanti tunggu kondisi Mommy. Sekalian perpanjangan visa.”
Satu hal yang Isyana bisa tangkap dari seorang Asher. Sopirnya itu begitu sayang dengan sang ibu. Dia begitu mau menjaga ibunya.
“Lo Sayang banget sama Mommy ya?”
Asher mengangguk. “Hanya dia yang saya punya. Setelah Daddy saya. Sama seperti Mommy yang hancur, saya juga demikian.”
Iri. Satu kata itu yang melingkupi hatinya. Ibu Asher begitu mencintai suaminya. Termasuk Asher sendiri yang mencintai mendiang ayahnya. Betapa dia bisa melihat perbedaan itu.
Orang tuanya masih lengkap, tapi seperti bercerai. Ayahnya tidak menafkahi ia dan ibunya. Ditambah Omanya yang begitu membenci Sukma, entah apa sebabnya.
Isyana tumbuh dengan hasil keringatnya sendiri. Sedangkan Daddy dari Asher, sudah meninggal pun, dia masih memberikan nafkah untuk anak dan istrinya.
“Sudah sampai Nona. Silakan.”
Mereka saling berpandangan. Sampai akhirnya Asher menepuk dahinya. Dia lupa kalau Isyana merupakan CEO. Sudah pasti harus dilayani keperluannya. Termasuk membuka pintu.
“Ah maaf. Sebentar.”
Asher membuka pintu untuk Isyana. Dia juga menundukkan badan. Terlihat sekali seperti menyambut putri bangsawan yang telah dia antarkan.
“Silakan Nona,” ucapnya juga.
“Iya ... iya. Lo berlebihan tahu gak, Asher. Astaga, gue pusing sekali ngeliatnya.”
Isyana turun dengan hati yang dongkol. Dia tentu saja merasa heran dengan tingkah Asher yang begitu kaku padanya.
Saat sampai di mal, Isyana merasa aneh dengan pusat perbelanjaan ini. Tidak sebesar di ibukota, tapi cukup ramai, meski pun bukan akhir pekan.
“Ah iya, kita belanja baju dulu. Di mana tempatnya?” tanya Isyana pada Asher.
Pemuda itu juga sebenarnya bingung. Dia juga belum pernah masuk ke dalam. Dulu hanya pernah untuk mengantarkan Bu Lurah yang akan berbelanja. Itu pun tidak sampai masuk. Hanya menunggu di parkiran.
“Sebentar Nona. Saya tanya petugas dahulu.”
Isyana membolakan mata. Dia pikir sebagai sopir, Ashser sudah hatam dengan wilayah ini.
Seketika dia ingat apa alasannya ke kota. Bukankah dia memang berniat ke toko alat bahan bangunan? Mengapa jadi ke mall. Telebih alasannya membeli baju lagi.
“Nona, katanya di lantai dua. Ayo kita ke sana,” ucap Asher yang sudah menunjuk eskalator yang bisa membawa mereka ke lantai dua.
“Ayo Nona.”
Melihat tidak ada pergerakan dari Isyana. Asher memaksakan diri untuk menyentuh bahu gadis itu. Awalnya dia takut Isyana kesambet jin penunggu mall. Tapi sebuah pelototan sudah berhasil terlihat matanya. Yang artinya Isyana baik-baik saja.
“Apa sih Asher. Cari-cari kesempatan aja,” sungut Isyana yang tidak terima dicolak-colek.
“Maaf Nona. Ada apa kok melamun? Saya hanya memastikan Nona baik-baik saja,” sahut Asher yang khawatirnya natural. Tidak dibuat-buat.
“Ya ... ya. Terserah Lo aja deh. Eh by the way. Ini sebenarnya kita salah tujuan deh,” ucap Isyana dengan jujur. Dia menolehkan kepala ke kanan dan kiri. Membuat Asher juga turut mengikutinya.
“Salah tujuan bagaimana Nona?” tanya Asher yang kepalanya mulai pusing mengikuti gerakan Isyana.
“Ya kita salah tujuan ini,” sahut Isyana dengan lantang.
“Memangnya Nona mau ke mana sebenarnya?”
Mata Isyana menatap ke arah Asher. Pandangan mereka bertemu dan saling mengunci satu sama lain.
“Gue mau ke toko bangunan. Mau bangun kamar mandi di kamar.”
Kalimat itu sukses membuat Asher menepuk keningnya.
Kalau hanya sekedar alat bangunan, untuk apa ke kota. Di desa mereka juga ada.
“Tujuh ratus meter dari tempat tinggal Nona, itu juga ada tokonya.”
***
Lantaran sudah telanjur ada di dalam mal, Isyana memutuskan untuk berkeliling. Jiwa hemat yang sejak dulu terpatri dalam benaknya seakan menghilang sudah.Di tangan Asher sudah berkantong-kantong paper bag yang lelaki itu lilitkan di jari-jarinya. Kebayangkan Isyana membeli baju dan perlengkapan kerja lainnya. Dia juga membelikan Nenek dan kakeknya. Tidak ketinggalan Asher pun dapat jatah.“Em ... Ash,” panggil Isyana pada Asher.“Iya Nona.”“Ukuran baju nyokap lo berapa besar?” tanyanya malu-malu.Sebenarnya Isyana tidak ada niatan. Tapi berhubung melihat gamis ibu-ibu seusai mamanya, matanya langsung menyala terang. Dia ingin membelikan Sukma, tapi terlalu jauh. Sehingga alternatif lain membelikan Mamanya Asher.“Nyo-kap?” tanya Asher yang tidak mengerti.Isyana menepuk dahi. Dia lupa Asher lama di luar negeri. Belum banyak gaul dan berkembang dalam kosakata bahasa.“Mommy Lo.”Asher kini manggut-manggut mengerti.“Mommy pakai L atau large, Nona,” sahut Asher dengan santainya. “Oh
Sesuai dengan keinginan Asher, dirinya memang bekerja dengan benar. Pukul delapan berangkat dan baru pulang pukul lima sore. Yang jadi masalah, dia hanya mengendarai kendaraan tanpa arah dan tujuan. Lebih tepatnya setelah pulang dari belanja di mall tadi.Bosnya terus menerima telepon yang seakan tidak ada henti. Yang mana menyebabkan Isyana mingsuh-mingsuh sendiri.“Nah turun di sini aja, Asher. Bener Lo, cerdas. Gak salah lulusan Toronto.”Isyana menepuk pundak Asher. Yang mana membuat laki-laki itu seperti tersengat aliran listrik ribuan voltase.“Eh iya Nona. Kalau tidak lulus, nanti diminta balik uangnya.”Isyana yang sudah membuka seatbelt menoleh lagi. Dia merasa banyak sekali rahasia yang bisa dikulik dari si sopir barunya. “Maksud Lo apa sih Ash? Kok gue ngerasa asing bener sama Lo ya?” ucap Isyana yang merasa begitu heran.“Baru beberapa hari bertemu, Nona. Masih panjang waktu untuk kita penjajakan.”Isyana justru bergidik saat mendengar kalimat itu. Bisa-bisanya Asher be
Pagi-pagi sekali, Asher sudah begitu rajin mengelap mobil yang digunakan untuknya mencari nafkah. Asher begitu semangat. Apa lagi pakaian yang ia kenakan baru semua. Begitu memanjakan matanya.“Yo Ash. Ceria kali kutengok lah kau.”Bagas yang merupakan pemuda sepantaran Asher menegur laki-laki itu. Dia begitu takjub dengan kepiawaian Asher dalam mencari rejeki. “Ini apa pula kutengok. Baju baju nampaknya kau ini. Sudah jaya lah kau kerja sopir kereta.”Bagas masih saja berceloteh dengan logat Batak yang begitu khas. Dia begitu senang menggoda Asher yang tampak salah tingkah di depan matanya.“Ah anda berlebihan Bagas. Saya tampak biasa saja,” sahut Asher. “Sebenarnya juga saya jadi sopir mobil. Bukan kereta.”Asher tidak ingin menyinggung teman satu desanya itu. Tapi dia berharap Bagas tidak tersinggung dengan perkataannya. Memang benar kalau dia sopir, tapi bukan sopir kereta seperti yang Bagas bicarakan.“Ah iya ... iya. Aku lupa sedang di tanah Jawa. Bertemu bule lagi ya. Bahasany
"Asher."Asher yang sedang fokus menyetir menoleh ke arah perempuan di sampingnya. Tampak Isyana sedang memutar-mutar ponselnya."Iya Nona," sahut Asher gugup.Sebenarnya sejak tadi melihat Nona Isyana keluar dari rumah Nenek Asma, jantung Asher berdetak begitu kencang. Dia begitu terpesona dengan penampilan Isyana kali ini."Em, nomor ponsel Lo berapa?" tanya Isyana yang merasa canggung."Oh, sini saya ketikkan Nona. Atau saya simpan dulu nomor ponsel Nona. Sebentar, saya tepikan dulu mobilnya."Asher benar-benar menepikan mobil. Dia menerima ponsel dari tangan Isyana. Mengetikkan deretan angka di sana."Mau disimpan pakai nama apa Nona?" tanya Asher ragu.Sedikit tahu dia memperhatikan penamaan ponsel masyarakat Indonesia berdasarkan porfesinya. Jadi jangan sampai, Asher sudah kepedean mengetik namanya, lalu diganti Isyana dengan sopir saja."Ya nama Lo siapa? Masa nama cuma sopir aja. Dih gak kreatif."Ucapan Isyana menerbitkan senyum di bibir Asher. Dia lantas menghapus lagi nama
"Yang mau sewa toko yang mana?"Seorang ibu berperawakan gempal, memandang ramah ke arah Isyana dan juga Asher. Dia tidak terpikir, siapa yang bos di sini. Keduanya tampak menarik di matanya."Ini, Nona Isyana," ucap Asher menujuk dengan jempolnya."Ah iya. Saya Isyana."Isyana mengulurkan tangan ke arah ibu pemilik ruko."Oh nama saya Indun. Salam kenal ya. Duh alus banget tangannya," ucap Indun dengan malu-malu.Ditaksir dari penampilannya, dia seusia ibu Sukma— ibunya Isyana. Tidak heran penampilannya juga apa adanya."Ah bisa saja si ibu," ucap Isyana dengan canggung."Duh mana cantik, pacarnya juga bule. Anaknya nanti pasti juara modeling deh."Isyana hanya tersenyum seadanya. Tidak berminat menanggapi pernyataan si Ibu Indun yang sudah salah paham."Ya sudah, ayo masuk ke dalam. Eh iya lupa, kalau Mas namanya siapa? Mau juga dong salaman sama bule."Asher menerima uluran tangan Ibu Indun. Hanya untuk sekedar menghormati saja. Padahal hatinya sedang berperang karena perkataan si
Sepanjang perjalanan Isyana menemukan gelagat aneh dalam diri Asher. Pemuda yang sedang membawa mobilnya itu tampak berseri-seri. Seperti begitu senang.“Hei Asher!” tegur Isyana selanjutnya.“Iya Nona. Ada apa?”Asher cukup terkejut dengan suara Isyana yang begitu lantang. Tapi dia bisa mengendalikan diri.“Kok Lo happy banget gue lihat-lihat. Kena angin apa?”Asher salah tingkah saat dikatakan seperti itu. Memang benar menurutnya jika dia begitu senang saat ini. Tapi bukan senang yang terlalu bagaimana juga. Karena dia merasa biasa saja.“Ah iya Nona. Mungkin karena lagi menyetir. Jadi tampak bahagia,” kilah Asher secepatnya. Dia juga tidak ingin begitu kentara melalaikan kewajiban.“Oh begitu. Kapan-kapan Lo ikut ke Jakarta ketemu Nyokap.”Untung saja saat ini lampu merah tengah menyala. Jadi saat Asher menghentikan mobil, Isyana sama sekali tidak curiga. Yang jadi masalah perasaannya saat ini. Apa yang sebenarnya Isyana pikirkan.“Nyokap itu Mama, seperti yang Nona bilang bukan?”
“Fiuh ... Asher, Lo berani banget sungguh.” Isyana yang masih deg-degan dengan keadaan ini melihat ke arah Asher. Sopirnya itu tampak biasa saja. Membuat Isyana berpikir yang tidak-tidak saja. “Santai saja Nona. Itu aman kok. Dia tidak akan masuk rumah sakit gara-gara ini.” “Ya iya sih.” Isyana membenarkan apa yang Asher katakan. Lagi pula, terlalu berlebihan jika Cakra sampai ke IGD segala. Dilihat tadi tidak sampai kena ke mata. Hanya sebatas hidung saja. “Tapi untung tadi gue udah letakan uang di meja. Mudah-mudahan Abang baksonya lihat.” Mendengar hal itu tentu saja membuat kepanikan tersendiri di jiwa Asher. Dia lupa Isyana belum mendapatkan kembalian. Jika dia berikan uangnya semua, tentu saja masih kurang. “Nona ini,” ucap Asher sambil menyodorkan pecahan lima puluh ribu. “Buat apa Lo kasih gue uang? Buat bayar parkir?” tanya Isyana yang keheranan. Masa ada sopir kasih majikannya uang? Ini bosnya yang sudah bangkrut atau sopirnya yang terlampau kaya. “Maaf Nona. Gara-g
Memutuskan untuk pulang saja, Isyana tidak jadi berkeliling Purwokerto. Dia melirik Asher yang sudah sibuk menjalankan setir. Gara-gara curhatan tadi, Asher sampai menepikan mobil dan terjadilah hal canggung yang cukup mengganggunya.“Ash,” panggil Isyana dengan suara lirih.“Iya Nona.”Asher memandang ke arah Isyana sejenak. Untuk kemudian fokus kembali ke jalanan.“Lo punya kenalan cowok single gak?” tanya Isyana malu-malu. Dia tahu ini memalukan, tapi kalau tidak segera dilakukan, Isyana takut akan melewati batas kesepakatan dengan sang ibu.“Ada si Bagas, yang orang Medan itu. Kalau di desa hanya kenal dia saja Nona,” sahut Asher.“Maaf, ada apa memangnya Nona?” tanyanya lagi.“Em gak ada apa-apa sih,” sahut Isyana ragu.Melihat ekspresi Isyana yang tidak semangat, Asher enggan bertanya lagi. Dia memutuskan untuk diam saja sepanjang sisa perjalanan.Sesampainya di rumah, wajah Isyana yang tampak muram, langsung masuk begitu saja. Dia hanya menyapa sekilas nenek Asma yang sedang b