“Kita mau ke mana Nona?” tanya Asher yang pagi-pagi sekali sudah rapi dengan kemeja dan celana kain yang membalut tubuh tingginya.
Sebelum ke Indonesia, dia memang menjalani profesi sebagai marketing property di Kanada sana. Tidak heran koleksi baju-bajunya juga rapi dan bagus sekali.
“Mau ke mana? Emangnya gue ada bilang ke Lo, mau diantar ke mana gitu?”
Sambil berdecak pinggang, Isyana menanyakan apa yang sebenarnya Asher katakan. Seingatnya dia tidak meminta untuk diantar ke mana pun hari ini. Toh demam di tubuhnya baru saja menghilang.
“Ya kan Nona seorang CEO. Layaknya CEO pada umumnya, pasti begitu sibuk. Benar tidak?” ucap Asher dengan tetap semangat.
Isyana memegang dahinya. Memang benar kata orang jika terserang demam bisa jadi akan menemukan masalah dalam hidup. Terbukti padanya yang langsung bertemu Asher yang menyebalkan.
“Lo banyak omong. Santai aja dulu sana. Gue mau mandi dulu.”
Isyana hampir balik badan saat kata-kata dari mulut Asher terdengar.
“Baik Nona. Panggil saya di balai samping ya. Terima kasih,” ucap Asher yang langsung berlalu pergi.
Mendengar hal itu Isyana tentu saja terheran. Apa yang menjadi pertimbangan Asher mengatakan hal tersebut. Menurutnya terdengar tabu.
“Ah terserah deh. Biarin aja orang itu.”
Isyana meneruskan gerakannya untuk menuju ke kamar mandi. Udara di desa begitu sejuk. Dia sangat suka. Sepanjang malam tidak memakai pendingin ruangan pun tidak masalah. Karena tidak ada juga.
Suasana kamar mandi juga begitu sederhana. Di pojok dekat kloset terdapat bak mandi super besar dengan keliling keramik. Tidak ada shower, tidak ada sumber air panas. Semua harus manual.
“Seperti kembali ke jaman susah. Menyedihkan sekali. Gue sepertinya harus menganggarkan dana untuk pembangunan ulang rumah Nenek,” gumam Isyana.
Dia mandi dengan cepat. Tidak bisa juga terlalu lama, karena perlengkapan mandi yang super mewah dan ribet di rumah, tidak dia bawa.
“Ah ini aja alasan buat ke kota. Itung-itung biar gak makan gaji buta si Asher. Enak aja, udah jadi sopir jalur demam. Keenakan nganggur pula. Bisa kacau lama-lama dunia per-CEO-an.”
Isyana melilitkan handuk di badan. Seketika dia lupa untuk membawa baju. Kebiasaan ketika di rumah, dia tidak melakukan hal itu. Kamar mandi sudah ada di dalam kamarnya. Dia tidak perlu susah-susah berbagi dengan anggota keluarga yang lain. Berbeda saat di sini.
Kamar mandi di rumah neneknya hanya satu, dipakai bertiga. Harus bisa atur waktu, tidak bisa seenaknya.
“Alamakjang lupa lagi bawa baju kan. Masa keluar harus pakai handuk saja sih. Mana kamarnya ada di depan.”
Dengan mengintip terlebih dahulu, setelah memastikan aman. Barulah dia keluar sambil mengendap-endap.
Baru saja beberapa langkah. Pucuk kepalanya terbentur otot seseorang.
“Eh Nona. Sedang apa mengendap-endap begitu?” tanya Asher yang heran dengan tingkah bos barunya itu.
“Eh Lo ngapain di sini hah?” ujar Isyana. Dia begitu terkejut melihat Asher ada di depan matanya. Seperti sedang tertangkap basah karena sesuatu.
“Maaf, diminta ambil mangkok. Sedang buka kelapa muda di depan.”
Mendengar kelapa muda yang dikatakan Asher, jiwa Isyana meronta-ronta. Dia begitu ingin menikmati minuman dingin itu juga.
“Oh ya. Di mana? Gue mau dong!” serunya.
“Iya Nona. Nanti dikasih kok. Tapi ....”
Asher melihat Isyana dengan gugup. Setelah menelan salivanya dia memalingkan wajah. Merasa malu sekali, terlihat semburat merah di wajah bulenya.
“Tapi kenapa?”
Isyana memalingkan wajah mengikuti langkah Asher. Dia begitu heran dengan kelakuan sopir bulenya ini.
“Gue gak boleh ikut minum?” tanya Isyana keheranan. “Enak aja si nenek Asma kagak ijinkan gue ikutan. Ya—”
“Sebentar Nona.”
Tangan Asher mengambil tangan Isyana dengan cepat. Membuat gadis itu terkejut bukan main karena ulah darinya.
“Ada apa Asher?” tanya Isyana dengan pandangan tidak suka.
“Nona sebaiknya berpakaian dahulu. Tidak enak jika dilihat orang lain hanya mengenakan ... handuk.”
Wajah Isyana memerah sempurna. Dia lantas melihat bagian bawah tubuhnya. Tanpa menunggu reaksi dari Asher, Isyana berlari secepat kilat ke dalama kamarnya.
Harga dirinya seakan telah runtuh. Sang CEO muda yang selama ini dipuja-puja karena tangan dinginnya, harus menahan malu telah dilihat setengah telanjang oleh sopirnya.
“Asher sialan! Bukannya bilang sejak tadi. Pasti dia lihat dulu sampai puas baru ngomong. Sialan ... bule, sialan! Awas aja entar. Gue gantung di bawah pohon cabe, baru tahu rasa Lo.”
Isyana kesal sendiri. Dia tidak suka dengan Asher yang begitu santai saat melihatnya telanjang seperti tadi. Dia pikir, sopirnya itu termasuk laki-laki yang benar adanya. Tidak menyangka jika sama saja mesum seperti pemuda lainnya.
Isyana mengacak rambutnya kesal. Karena kejadian ini dia harus segera melebarkan kamar untuk bisa dimuat satu kamar mandi baru untuknya. Bisa gila dia lama-lama jika terus begini.
“Asher sialan. Awas aja gue aduin ke nenek. Biar dimutilasi tuh punya burung. Ya kali, main seenaknya tengok-tengok hal yang indah begini. Meksi bukan bule, keturunan Nenek Asma bisa bikin jantungan juga kan lo.”
Isyana menjeda omelan saat satu pakaian terusan lolos dari lehernya. Dia sengaja mengenakan pakaian santai agar lebih leluasa dalam beraktivitas.
“Pantas saja tadi dia sempat melengos. Gak tahunya gak tahan lihat body ini toh. Gila Lo Isyana!”
Isyana masih begitu kesal. Entah apa yang harus dia lakukan saat bertemu dengan Asher nanti. Bisa-bisa dia giling laki-laki itu nanti. Wajah merahnya tidak bisa disembunyikan begitu saja. Dia harus mengatur detak jantungnya yang begitu kencang sejak tadi.
“Napasku kok sesek banget ya. Apa udah ketularan Nenek Asma lagi. Serem.”
Isyana buru-buru merapikan riasan. Dia harus segera keluar sebelum si bule kampung itu disuruh memanggilnya. Karena sesuai feeling Isyana, pasti kelapa muda itu telah selesai dibuka.
“Oke, sip.”
Dia melihat penampilannya kembali. Tidak ada yang salah dari ujung rambut ke kaki. Semua tampil sempurna selayaknya dia berada di Jakarta dulu.
“Isyana, kau mau kelapa muda gak? Kata Asher baru selesai mandi kan lo. Sini buruan keburu abis sama kakekmu.”
Teriakan nenek membuat Isyana cepat-cepat dengan rutinitasnya. Dia tidak mau untuk kehabisan. Makan kelapa muda di kampung, merupakan suatu kenikmatan.
“Ah iya Nek.”
Isyana keluar kamar dan bersiap untuk ikut minum kelapa muda yang sudah disisakan untuknya.
“Mana Nek bagian gue,” ucap Isyana.
Memang dia akan memakai kata saja jika berhadapan dengan yang lebih tua. Terutama ini neneknya.
“Noh.”
Nenek Asma hanya menunjuk dengan dagunya. Sebuah kelapa muda sudah diletakkan di gelas bumbung tinggi. Sudah lengkap dengan sedotan dan sendok.
Isyana dengan sumringahnya langsung menghampiri, dia menyeruput airnya yang sudah diberi gula itu, dan menyendok buahnya. Terasa nikmat sekali di tenggorokan.
“Ah nikmatnya Nek. Petik sendiri ini? Di awetin jual botolan bisa kali ya. Nanti saya pikirkan deh caranya.”
Nenek Asma manyun saja. Sudah lumrah mendengar cucunya selalu melihat peluang yang bisa dia lakukan saat begini. Padahal dia ingin sekali saja tidak mendengar hal tersebut.
“Nikmati aja kenapa sih Isyana. Bisa-bisanya kau lagi minum di depan rumah nenek aja pakai lihat pelampung segala,” gerutu nenek Asma.
“Peluang Nek yang benar,” koreksi Isyana.
“Ya apa lah itu namanya. Mana masih muda Isyana.”
Isyana hanya cemberut dia lantas memalingkan wajah dan baru sadar ada kehadiran Asher dan seorang perempuan paruh baya yang sedang mengaduk-aduk air kelapa di gelas.
Wajahnya seketika terasa panas, saat Asher juga sedang memandangnya.
“Jadi pergi Nona?” tanya Ashser yang menyibak canggung di antara mereka.
“Ah iya jadi,” sahut Isyana dengan gugup. Entah mengapa dia merasakan tabiat aneh di dalam dadanya, saat berinteraksi dengan Asher.
“Ya sudah, ayo Nona.”
“Eh iya.”
***
Sesuai keinginan sang Nona, Asher menjalankan mobil ke satu-satunya mal yang ada di kota tersebut. Rencananya, Isyana memang akan berbelanja banyak barang. Dia sudah mengutarakan keinginannya pada Asher. Jadi sebagai sopir, nantinya Asher akan berlaku sebagai pengangkut barang.“Lo harus ada di belakang gue. Pokoknya jangan sampai enggak. Ngerti?” ucap Isyana yang menekankan pada Asher tugasnya kali ini.“Iya Nona. Saya akan selalu bersama Nona. Dalam suka mau pun duka,” sahut Asher yang mana langsung mendapat pelototan tajam dari Isyana.“Lo bisa enggak sih ngomong yang normal. Mana logat bule banget. Udah berapa lama sih di Indonesia?” tanya Isyana yang mana lumayan kesulitan mengimbangi gaya bahasa Asher.Asher berbicara menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sementara Isyana semaunya sendiri. Kadang Indonesia baku, tapi lebih sering bahasa Jakarta yang seperti anak gaul. Belum saja dia mengucapkan bahasa gaul ala Jaksel. Yang mana membuat sakit asma neneknya kambuh kal
Lantaran sudah telanjur ada di dalam mal, Isyana memutuskan untuk berkeliling. Jiwa hemat yang sejak dulu terpatri dalam benaknya seakan menghilang sudah.Di tangan Asher sudah berkantong-kantong paper bag yang lelaki itu lilitkan di jari-jarinya. Kebayangkan Isyana membeli baju dan perlengkapan kerja lainnya. Dia juga membelikan Nenek dan kakeknya. Tidak ketinggalan Asher pun dapat jatah.“Em ... Ash,” panggil Isyana pada Asher.“Iya Nona.”“Ukuran baju nyokap lo berapa besar?” tanyanya malu-malu.Sebenarnya Isyana tidak ada niatan. Tapi berhubung melihat gamis ibu-ibu seusai mamanya, matanya langsung menyala terang. Dia ingin membelikan Sukma, tapi terlalu jauh. Sehingga alternatif lain membelikan Mamanya Asher.“Nyo-kap?” tanya Asher yang tidak mengerti.Isyana menepuk dahi. Dia lupa Asher lama di luar negeri. Belum banyak gaul dan berkembang dalam kosakata bahasa.“Mommy Lo.”Asher kini manggut-manggut mengerti.“Mommy pakai L atau large, Nona,” sahut Asher dengan santainya. “Oh
Sesuai dengan keinginan Asher, dirinya memang bekerja dengan benar. Pukul delapan berangkat dan baru pulang pukul lima sore. Yang jadi masalah, dia hanya mengendarai kendaraan tanpa arah dan tujuan. Lebih tepatnya setelah pulang dari belanja di mall tadi.Bosnya terus menerima telepon yang seakan tidak ada henti. Yang mana menyebabkan Isyana mingsuh-mingsuh sendiri.“Nah turun di sini aja, Asher. Bener Lo, cerdas. Gak salah lulusan Toronto.”Isyana menepuk pundak Asher. Yang mana membuat laki-laki itu seperti tersengat aliran listrik ribuan voltase.“Eh iya Nona. Kalau tidak lulus, nanti diminta balik uangnya.”Isyana yang sudah membuka seatbelt menoleh lagi. Dia merasa banyak sekali rahasia yang bisa dikulik dari si sopir barunya. “Maksud Lo apa sih Ash? Kok gue ngerasa asing bener sama Lo ya?” ucap Isyana yang merasa begitu heran.“Baru beberapa hari bertemu, Nona. Masih panjang waktu untuk kita penjajakan.”Isyana justru bergidik saat mendengar kalimat itu. Bisa-bisanya Asher be
Pagi-pagi sekali, Asher sudah begitu rajin mengelap mobil yang digunakan untuknya mencari nafkah. Asher begitu semangat. Apa lagi pakaian yang ia kenakan baru semua. Begitu memanjakan matanya.“Yo Ash. Ceria kali kutengok lah kau.”Bagas yang merupakan pemuda sepantaran Asher menegur laki-laki itu. Dia begitu takjub dengan kepiawaian Asher dalam mencari rejeki. “Ini apa pula kutengok. Baju baju nampaknya kau ini. Sudah jaya lah kau kerja sopir kereta.”Bagas masih saja berceloteh dengan logat Batak yang begitu khas. Dia begitu senang menggoda Asher yang tampak salah tingkah di depan matanya.“Ah anda berlebihan Bagas. Saya tampak biasa saja,” sahut Asher. “Sebenarnya juga saya jadi sopir mobil. Bukan kereta.”Asher tidak ingin menyinggung teman satu desanya itu. Tapi dia berharap Bagas tidak tersinggung dengan perkataannya. Memang benar kalau dia sopir, tapi bukan sopir kereta seperti yang Bagas bicarakan.“Ah iya ... iya. Aku lupa sedang di tanah Jawa. Bertemu bule lagi ya. Bahasany
"Asher."Asher yang sedang fokus menyetir menoleh ke arah perempuan di sampingnya. Tampak Isyana sedang memutar-mutar ponselnya."Iya Nona," sahut Asher gugup.Sebenarnya sejak tadi melihat Nona Isyana keluar dari rumah Nenek Asma, jantung Asher berdetak begitu kencang. Dia begitu terpesona dengan penampilan Isyana kali ini."Em, nomor ponsel Lo berapa?" tanya Isyana yang merasa canggung."Oh, sini saya ketikkan Nona. Atau saya simpan dulu nomor ponsel Nona. Sebentar, saya tepikan dulu mobilnya."Asher benar-benar menepikan mobil. Dia menerima ponsel dari tangan Isyana. Mengetikkan deretan angka di sana."Mau disimpan pakai nama apa Nona?" tanya Asher ragu.Sedikit tahu dia memperhatikan penamaan ponsel masyarakat Indonesia berdasarkan porfesinya. Jadi jangan sampai, Asher sudah kepedean mengetik namanya, lalu diganti Isyana dengan sopir saja."Ya nama Lo siapa? Masa nama cuma sopir aja. Dih gak kreatif."Ucapan Isyana menerbitkan senyum di bibir Asher. Dia lantas menghapus lagi nama
"Yang mau sewa toko yang mana?"Seorang ibu berperawakan gempal, memandang ramah ke arah Isyana dan juga Asher. Dia tidak terpikir, siapa yang bos di sini. Keduanya tampak menarik di matanya."Ini, Nona Isyana," ucap Asher menujuk dengan jempolnya."Ah iya. Saya Isyana."Isyana mengulurkan tangan ke arah ibu pemilik ruko."Oh nama saya Indun. Salam kenal ya. Duh alus banget tangannya," ucap Indun dengan malu-malu.Ditaksir dari penampilannya, dia seusia ibu Sukma— ibunya Isyana. Tidak heran penampilannya juga apa adanya."Ah bisa saja si ibu," ucap Isyana dengan canggung."Duh mana cantik, pacarnya juga bule. Anaknya nanti pasti juara modeling deh."Isyana hanya tersenyum seadanya. Tidak berminat menanggapi pernyataan si Ibu Indun yang sudah salah paham."Ya sudah, ayo masuk ke dalam. Eh iya lupa, kalau Mas namanya siapa? Mau juga dong salaman sama bule."Asher menerima uluran tangan Ibu Indun. Hanya untuk sekedar menghormati saja. Padahal hatinya sedang berperang karena perkataan si
Sepanjang perjalanan Isyana menemukan gelagat aneh dalam diri Asher. Pemuda yang sedang membawa mobilnya itu tampak berseri-seri. Seperti begitu senang.“Hei Asher!” tegur Isyana selanjutnya.“Iya Nona. Ada apa?”Asher cukup terkejut dengan suara Isyana yang begitu lantang. Tapi dia bisa mengendalikan diri.“Kok Lo happy banget gue lihat-lihat. Kena angin apa?”Asher salah tingkah saat dikatakan seperti itu. Memang benar menurutnya jika dia begitu senang saat ini. Tapi bukan senang yang terlalu bagaimana juga. Karena dia merasa biasa saja.“Ah iya Nona. Mungkin karena lagi menyetir. Jadi tampak bahagia,” kilah Asher secepatnya. Dia juga tidak ingin begitu kentara melalaikan kewajiban.“Oh begitu. Kapan-kapan Lo ikut ke Jakarta ketemu Nyokap.”Untung saja saat ini lampu merah tengah menyala. Jadi saat Asher menghentikan mobil, Isyana sama sekali tidak curiga. Yang jadi masalah perasaannya saat ini. Apa yang sebenarnya Isyana pikirkan.“Nyokap itu Mama, seperti yang Nona bilang bukan?”
“Fiuh ... Asher, Lo berani banget sungguh.” Isyana yang masih deg-degan dengan keadaan ini melihat ke arah Asher. Sopirnya itu tampak biasa saja. Membuat Isyana berpikir yang tidak-tidak saja. “Santai saja Nona. Itu aman kok. Dia tidak akan masuk rumah sakit gara-gara ini.” “Ya iya sih.” Isyana membenarkan apa yang Asher katakan. Lagi pula, terlalu berlebihan jika Cakra sampai ke IGD segala. Dilihat tadi tidak sampai kena ke mata. Hanya sebatas hidung saja. “Tapi untung tadi gue udah letakan uang di meja. Mudah-mudahan Abang baksonya lihat.” Mendengar hal itu tentu saja membuat kepanikan tersendiri di jiwa Asher. Dia lupa Isyana belum mendapatkan kembalian. Jika dia berikan uangnya semua, tentu saja masih kurang. “Nona ini,” ucap Asher sambil menyodorkan pecahan lima puluh ribu. “Buat apa Lo kasih gue uang? Buat bayar parkir?” tanya Isyana yang keheranan. Masa ada sopir kasih majikannya uang? Ini bosnya yang sudah bangkrut atau sopirnya yang terlampau kaya. “Maaf Nona. Gara-g