“Kau yakin kan akan ke rumah Nenek untuk mencari jodoh. Nanti kau bukannya ke sana malah pergi liburan ke Eropa.”
Isyana mendengkus sebal. Pasalnya sang ibu tidak ada henti-hentinya dalam meragukan keseriusan Isyana. Dia sendiri yang meminta mencari jodoh, dia pula yang meragukan akan hal tersebut.“Tentu saja Bu. Tenanglah, tidak perlu panik. Aku akan kembali dengan calon jodoh yang ibu idam-idamkan.”Sukma hanya menghela napas. Berat juga melihat kepergian anaknya. Tapi ini yang ia inginkan. Usia Isyana sudah seperempat abad lebih. Tapi dia sama sekali belum memikirkan untuk menikah. Sementara saat pergi ke rumah mertuanya, Isyana dan juga dirinya harus mendapatkan sindirian keras dari Oma-nya.“Ibu tenang saja. Aku baik-baik saja. Aku titip perusahaan ya. Kita akan lebih baik lagi dan lagi. Jangan pikirkan Oma. Biarkan saja perempuan tua itu berkicau.”“Hussh.”Sukma langsung menegur anaknya. Bukan sekali dua kali, anak itu mengolok-olok Oma-nya yang merupakan ibu dari Ayahnya sendiri. Anak itu tidak kenal rasa takut. Bahkan karena keberanian dia, hingga akhirnya memiliki banyak usaha yang berkembang lewat tangan dinginnya.“Isyana, pergi dulu ya Bu. Ibu jaga kesehatan. Bye.”Dengan menarik koper yang berisi pakaiannya, Isyana berlalu dari rumah yang dia bangun sendiri. Mobilnya sudah terparkir rapi di depan halamannya.Tangannya melambai ke arah Sukma. Salam perpisahan untuk bertemu di lain kesempatan.“Yosh, waktunya mencari jodoh,” ucap Isyana dengan semangat.Sebenarnya jika ada pilihan, Isyana lebih memilih untuk kuliah strata dua, sembari mengembangkan bisnis rumahan yang saat ini sudah berkembang menjadi perusahaan multi nasional.Setelah hampir sepuluh jam mengendarai mobil, Isyana tiba di sebuah desa di bawah kaki gunung Slamet. Udaranya cukup sejuk hingga dia memutuskan keluar dari mobil.Jangan ditanya mengapa dia bisa sampai berkendara sejauh itu. Isyana merupakan perempuan tangguh yang terbentuk dari cacian orang-orang di sekelilingnya. Jangankan ke tengah pulau Jawa. Berkendara sampai menyebrang ke Bali saja dia pernah melakukannya, untuk mencari pelanggan dari usaha makanan ringan yang dia kelola.Tidak heran, dalam waktu kurang dari tiga tahun dua cabang perusahaan, dan dua pabrik makanan ringan sudah dia pegang di dalam negeri. Serta satu cabang yang ada di Malaysia.“Ini benar bukan sih alamatnya?” ucapnya sembari melihat sobekan kertas yang bertuliskan alamat rumah neneknya.“Sepi banget. Ini desa. Tidak yakin gue bakal ketemu cowok tampan, idaman di sini!” keluhnya kesal.“Awas Nona!”Tin ... tin ... tin ....Brak!Sebuah motor bebek yang sudah cukup berumur menabrak mobil mewah yang sedang berhenti di depannya. Sang pemilik yang ternyata seorang perempuan, baru saja turun dan bersandar di badan mobil. Hingga dia tidak sadar ada seorang pemuda yang mengendarai motor dengan berlenggak-lenggok, berujung menabrak dirinya.Hari ini memang sudah ketiga kali bagi Asher menabrak apa saja yang ada di depannya. Namun, kali ini kejadian terlihat begitu fatal.Begitu mendekat Asher tidak mendapati siapa pun di dalam sana. “Duh ini mobil kosong toh. Alhamdulillah, tidak ada yang lihat,” ucap Asher sembari mengelus dada. Tapi seketika dia teringat dengan seorang perempuan yang tadi ada di hadapan matanya. Dia mengucek mata untuk memastikan tidak ada orang yang dia lihat.“Tidak ada siapa-siapa. Apa tadi setan ya?” ucapnya perlahan.“Tolong ....”Kakinya disentuh sebuah tangan yang dingin. Bulu kuduk Asher merinding seketika. Terlebih ini merupakan jalanan sepi yang jarang dilalui warga.“Ya Allah tolonglah hambamu!” Asher mengangkat kedua tangannya tinggi. Tidak lupa bacaan ayat kursi terlantun dari bibirnya.Satu kali berdoa, cengkeraman aneh itu tidak kunjung lepas. Dua kali berdoa, Asher merapalkan ayat kursi dengan suara yang cukup keras.Yang aneh, bukan lepas cengkeramnya, kedua kaki itu justru semakin berat. Kini resmi terasa ada dua tangan yang menggantung di pergelangan kakinya.“Baca ayat kursi dua kali, dua tangan. Kalau baca yang ketiga, nanti jadi tiga tangan? Ih serem kali itu makhluk. Bukannya lari terbirit-birit malah menambah pasukan.”Asher bergidik ngeri. Bulu kuduknya sudah pesta pora di atas kulitnya. Dia begitu takut saat ini. Terlebih cengkeraman kuat di bawah sana semakin memperberat beban tubuhnya.“Goublog, tangan gue cuma dua. Cepetan tolongin.”Terdengar suara perempuan yang cukup keras. Asher sampai celingukan mencari sumber suara.“Siang hari bolong, ada setan di mana sih ya?”Tidak tahan dengan monolog yang dilakukan Asher, Isyana menggoyang-goyang kaki pemuda itu. Dia begitu kuat menggoyangkan kakinya dengan harapan pemuda itu melihatnya segera. Tubuhnya sudah amat bau air kubangan yang dia masuki tadi.“Ya Allah gempa bumi. Tolong!” teriak Asher yang begitu ketakutan. Semenjak pindah ke Indonesia, pikirannya mulai dipenuhi hal-hal mistis. Asher berniat melarikan diri tapi kakinya begitu berat. Makhluk yang menempel padanya pasti menginginkan tumbal untuk disantap.“Tolong, saya masih muda. Baru saja dua puluh enam tahun. Belum menikah. Ibu lagi sakit-sakitan, ditinggal Daddy. Tolong ya Allah.”Isyana tidak tahan untuk memegang kaki Asher. Dengan tenaga yang melemah, dia menarik kaki itu. Bermaksud untuk naik ke atas dengan segera. Tapi sayangnya, pijakan yang dilakukan Asher tidaklah kuat. Pemuda itu justru tertarik ke bawah.“Ah ...!”Asher menindih satu tubuh di bawahnya. Dia begitu takut saat melihat semburat marah dan sakit yang datang bersamaan.“Nona manusia?” tanyanya dengan begitu polos.“Bukan. Gue macan!” sahut Isyana dengan kesal.Sudah dandan cantik mengikuti nasihat ibunya mencari cinta sejati ke desa tempat neneknya, justru dia malah diragukan kemanusiaannya. Bagaimana mau dapat jodoh jika begini adanya. Baru bertemu satu orang, sudah kesialan yang dia dapatkan.“Aih sejak kapan di desa ini ada macam?”Isyana mendengkus sebal. Dia mendekatkan dahinya ke dahi Asher. Dengan sekali benturan cukup untuk membuat keduanya mengaduh.“Aduh Nona ada apa? Sakit tahu tidak?” keluh Asher sambil memegang dahinya.“Iya tahu. Makanya cepat bangun. Ini berat tahu!”Asher baru sadar tubuhnya masih berada di atas tubuh Isyana. Dengan cepat dia mengangkat tubuhnya dan gadis itu, agar bisa duduk dengan baik terlebih dahulu.“Maaf Nona. Saya tidak sengaja. Apa ada yang sakit?” tanya Asher dengan raut penuh perhatian.“Ah Lo gimana sih hah? Bisa-bisanya tidak ngeh udah nabrak gue. Basah semua kan ini baju! Mana bau!”Isyana terus melayangkan protes. Terlebih wajah Asher begitu menyebalkan untuk dia tampar hidungnya.“Maaf Nona. Saya tidak tahu, kalau ternyata Nona malah kecebur di sini. Ayo saya bantu keluar dari sini.”Beberapa kali bangun, Isyana terjatuh lagi. Kakinya begitu sakit untuk menapak di atas tanah kubangan, yang mana membuatnya jijik sendiri.Got tersebut memang cukup tinggi. Setinggi orang dewasa rata-rata. Karena tubuh Asher melebihi rata-rata, dia dengan mudah bisa naik ke atas.“Lo naik lalu gue bagaimana?” tanya Isyana yang tidak terima begitu saja. Dia pun dengan kuat memegang pakaian belakang pemuda itu untuk menahan naik ke atas tanpa dirinya.“Ya sudah, saya gendong belakang saja ya. Ayo naik ke punggung saya Nona.”Meski kesal, Isyana tidak ada pilihan lain. Dia pun menurut pada Asher. Tangannya dilingkarkan ke leher Asher, berpegangan selagi pemuda itu naik ke atas.Asher cukup jago untuk urusan panjat tebing ini. Dulu di Kanada, panjat tebing adalah olahraga yang paling dia sukai. Maka, tidak sulit baginya untuk mengadaptasikan di desa dia tinggal saat ini.“Nona namanya siapa? Ingin diantar ke mana?” tanya Asher yang sudah berada di atas. Tinggal dia kebingungan mau meletakkan gadis di punggungnya di mana.“Gue mau ke rumah Nenek. Namanya Asma,” ucap Isyana dengan lemah. Sepertinya efek mandi lumpur kali ini, telah menyedot seluruh kekuatannya.“Baiklah. Ini mobilnya dikunci dulu Nona. Saya antarkan ke rumah Nenek Asma. Nanti saya ambil mobilnya, antar ke sana lagi.”Isyana berpikir keras. Apa pemuda ini bisa dipercaya begitu saja. Tadi saja dia tidak bisa mengendalikan sepeda motornya yag sedang melaju.“Tenang saja Nona. Saya jago untuk mengendarai mobil. Justru sepeda motor yang tidak bisa. Tadi sedang belajar dan justru menabrak Nona.”Asher berkata dengan begitu lembut. Dengan jarak sedekat ini, Isyana bisa merasakan kalau pemuda ini begitu tulus.“Maafkan saya ya Nona. Nama saya Asher Kalandra Miller. Ibu saya namanya Anita. Kebetulan kami tetangga nenek anda.”Isyana begitu tercengang dengan apa yang baru saja Asher sampaikan. Pantas saja saat dia menyebutkan nama neneknya, Asher sudah hafal sekali. Ternyata mereka memang tetanggaan.“Oke deh. Gue percaya sama lo. Ya udah buruan jalan. Gue udah gerah mau mandi. Masa CEO terhebat kayak gue bau air comberan. Bisa berabe kalau ada staff yang ngeliat.”Mata Asher berbinar-binar. Dia tidak menyangka akan menemukan seseorang yang bergelar CEO di desa kecil ini.“Nona seorang CEO?” tanya Asher dengan semangat.“Iya. Lo kira gue bohong apa?” sahut Isyana dengan begitu ketus.“Tidak sih. CEO perusahaan apa Nona?”Isyana memutar bola matanya. Wajahnya ada di mana-mana sejak tiga tahun terkahir. Bagaimana bisa pemuda ini tidak tahu siapa dirinya.“Cari tahu aja sendiri! Males banget sih!” ucapnya kesal.“Ah begitu? Siap Nona.”Asher masih menggendong tubuh Isyana di belakangnya. Sampai akhirnya dia sampai di pemukiman warga. Banyak pasang mata yang menuju ke arah mereka.“Eh cie, Pemuda kampung gendong siapa tuh? Cewek baru ya?”Sorak tepuk tangan mewarnai perjalanan Asher menggendong Isyana. Rumah nenek Asma memang cukup terpojok. Tidak heran dia harus melewati puluhan rumah yang tidak henti menyoraki mereka.“Ish kurang ajar sekali sih. Orang sini pada kurang kerjaan apa?” gerutu Isyana. Tubuhnya sudah mulai tidak nyaman berada di gendongan Asher.“Nona, mohon jangan gerak-gerak, nanti jatuh. Biarkan saja orang-orang ingin berkomentar apa.”Isyana tidak mendengarkan suara Asher. Dia terus bergerak, hingga Asher kehilangan keseimbangan dan akhirnya ... mereka jatuh tepat di dua orang perempuan yang sedang duduk di balai depan rumah.“Aw Nenek ...!”“Ya Allah Isyana ...!”Niat mencari jodoh, di hari pertama ... GAGAL.***Tok … tok … tok …!“Nek … Nenek Asma. Permisi Nek.”Baru pukul enam pagi, Asher sudah sangat berisik di depan pintu rumah nenek Asma. Tampilannya sudah begitu kece, dengan kemeja putih, celana kain dan juga sepatu pantofel pemberian tetangga yang sudah terasa sempit dia gunakan.“Aduh Ash. Ada apa sih? Kakek lagi masuk angin itu. Semalam begadang nonton bola, keganggu teriakanmu yang membahana pagi-pagi.”“Aku ingin melamar.” Nenek Asma terdiam. Di rumah ini dia masih memiliki suami. Meski pun sudah tidak bisa bekerja di ladang atau pun di ranjang. Tapi bukan berarti Nenek akan tega menghianati Kakek Dalu— suaminya.“Melamar? Melamar siapa?” ucap Nenek Asma dengan lirih. Dia membuang pandangannya ke arah samping guna untuk mencari jawaban dari pernyataan Asher.Disaat itulah dia melihat mobil cucunya terparkir di depan halaman rumah. Mata Nenek Asma berbinar. Dia tidak akan salah lagi. Pasti Asher— si bule kampung ini akan melamar cucunya. Dengan begitu dia menang taruhan dengan anak
“Hanya demam biasa ya Nek. Mungkin Nona Isyana kecapekan. Maklum habis perjalanan jauh ya? Sejauh apa?”Dokter Ardi mengedipkan sebelah matanya di arah Isyana. Dia begitu genit terhadap pasien perempuan yang mampir ke kliniknya. Maklum saja, sudah lima bulan ditinggal selingkuh sang istri, hingga kini belum menemukan tambatan hati.“Sejauh mata memandang Dok. Cucu Nenek memang jago. Jago buat orang panik.” Yang menjawab justru Nenek Asma. Yang mana membuat Dokter Ardi tersenyum kecut. Tapi demi etika kesopanan, dia tertawa juga. Meksi tawanya seperti orang yang tengah menahan kentut. Terpaksa sekali.“Ya ampun Nek. Kalau ada yang demam lagi di keluarga atau orang terdekat, coba cek suhunya dahulu. Pastikan pakaian yang dikenakan berbahan tipis dan bisa menyerap keringat. Jika memiliki persediaan obat, boleh diminumkan dengan dosis yang tertera di label obat. Atau jika tidak, boleh mengompres di area leher, untuk menurunkan demamnya.”Nenek Asma manggut-manggut mendengar pernyataan ya
“Kita mau ke mana Nona?” tanya Asher yang pagi-pagi sekali sudah rapi dengan kemeja dan celana kain yang membalut tubuh tingginya. Sebelum ke Indonesia, dia memang menjalani profesi sebagai marketing property di Kanada sana. Tidak heran koleksi baju-bajunya juga rapi dan bagus sekali.“Mau ke mana? Emangnya gue ada bilang ke Lo, mau diantar ke mana gitu?” Sambil berdecak pinggang, Isyana menanyakan apa yang sebenarnya Asher katakan. Seingatnya dia tidak meminta untuk diantar ke mana pun hari ini. Toh demam di tubuhnya baru saja menghilang.“Ya kan Nona seorang CEO. Layaknya CEO pada umumnya, pasti begitu sibuk. Benar tidak?” ucap Asher dengan tetap semangat.Isyana memegang dahinya. Memang benar kata orang jika terserang demam bisa jadi akan menemukan masalah dalam hidup. Terbukti padanya yang langsung bertemu Asher yang menyebalkan.“Lo banyak omong. Santai aja dulu sana. Gue mau mandi dulu.”Isyana hampir balik badan saat kata-kata dari mulut Asher terdengar.“Baik Nona. Panggil s
Sesuai keinginan sang Nona, Asher menjalankan mobil ke satu-satunya mal yang ada di kota tersebut. Rencananya, Isyana memang akan berbelanja banyak barang. Dia sudah mengutarakan keinginannya pada Asher. Jadi sebagai sopir, nantinya Asher akan berlaku sebagai pengangkut barang.“Lo harus ada di belakang gue. Pokoknya jangan sampai enggak. Ngerti?” ucap Isyana yang menekankan pada Asher tugasnya kali ini.“Iya Nona. Saya akan selalu bersama Nona. Dalam suka mau pun duka,” sahut Asher yang mana langsung mendapat pelototan tajam dari Isyana.“Lo bisa enggak sih ngomong yang normal. Mana logat bule banget. Udah berapa lama sih di Indonesia?” tanya Isyana yang mana lumayan kesulitan mengimbangi gaya bahasa Asher.Asher berbicara menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sementara Isyana semaunya sendiri. Kadang Indonesia baku, tapi lebih sering bahasa Jakarta yang seperti anak gaul. Belum saja dia mengucapkan bahasa gaul ala Jaksel. Yang mana membuat sakit asma neneknya kambuh kal
Lantaran sudah telanjur ada di dalam mal, Isyana memutuskan untuk berkeliling. Jiwa hemat yang sejak dulu terpatri dalam benaknya seakan menghilang sudah.Di tangan Asher sudah berkantong-kantong paper bag yang lelaki itu lilitkan di jari-jarinya. Kebayangkan Isyana membeli baju dan perlengkapan kerja lainnya. Dia juga membelikan Nenek dan kakeknya. Tidak ketinggalan Asher pun dapat jatah.“Em ... Ash,” panggil Isyana pada Asher.“Iya Nona.”“Ukuran baju nyokap lo berapa besar?” tanyanya malu-malu.Sebenarnya Isyana tidak ada niatan. Tapi berhubung melihat gamis ibu-ibu seusai mamanya, matanya langsung menyala terang. Dia ingin membelikan Sukma, tapi terlalu jauh. Sehingga alternatif lain membelikan Mamanya Asher.“Nyo-kap?” tanya Asher yang tidak mengerti.Isyana menepuk dahi. Dia lupa Asher lama di luar negeri. Belum banyak gaul dan berkembang dalam kosakata bahasa.“Mommy Lo.”Asher kini manggut-manggut mengerti.“Mommy pakai L atau large, Nona,” sahut Asher dengan santainya. “Oh
Sesuai dengan keinginan Asher, dirinya memang bekerja dengan benar. Pukul delapan berangkat dan baru pulang pukul lima sore. Yang jadi masalah, dia hanya mengendarai kendaraan tanpa arah dan tujuan. Lebih tepatnya setelah pulang dari belanja di mall tadi.Bosnya terus menerima telepon yang seakan tidak ada henti. Yang mana menyebabkan Isyana mingsuh-mingsuh sendiri.“Nah turun di sini aja, Asher. Bener Lo, cerdas. Gak salah lulusan Toronto.”Isyana menepuk pundak Asher. Yang mana membuat laki-laki itu seperti tersengat aliran listrik ribuan voltase.“Eh iya Nona. Kalau tidak lulus, nanti diminta balik uangnya.”Isyana yang sudah membuka seatbelt menoleh lagi. Dia merasa banyak sekali rahasia yang bisa dikulik dari si sopir barunya. “Maksud Lo apa sih Ash? Kok gue ngerasa asing bener sama Lo ya?” ucap Isyana yang merasa begitu heran.“Baru beberapa hari bertemu, Nona. Masih panjang waktu untuk kita penjajakan.”Isyana justru bergidik saat mendengar kalimat itu. Bisa-bisanya Asher be
Pagi-pagi sekali, Asher sudah begitu rajin mengelap mobil yang digunakan untuknya mencari nafkah. Asher begitu semangat. Apa lagi pakaian yang ia kenakan baru semua. Begitu memanjakan matanya.“Yo Ash. Ceria kali kutengok lah kau.”Bagas yang merupakan pemuda sepantaran Asher menegur laki-laki itu. Dia begitu takjub dengan kepiawaian Asher dalam mencari rejeki. “Ini apa pula kutengok. Baju baju nampaknya kau ini. Sudah jaya lah kau kerja sopir kereta.”Bagas masih saja berceloteh dengan logat Batak yang begitu khas. Dia begitu senang menggoda Asher yang tampak salah tingkah di depan matanya.“Ah anda berlebihan Bagas. Saya tampak biasa saja,” sahut Asher. “Sebenarnya juga saya jadi sopir mobil. Bukan kereta.”Asher tidak ingin menyinggung teman satu desanya itu. Tapi dia berharap Bagas tidak tersinggung dengan perkataannya. Memang benar kalau dia sopir, tapi bukan sopir kereta seperti yang Bagas bicarakan.“Ah iya ... iya. Aku lupa sedang di tanah Jawa. Bertemu bule lagi ya. Bahasany
"Asher."Asher yang sedang fokus menyetir menoleh ke arah perempuan di sampingnya. Tampak Isyana sedang memutar-mutar ponselnya."Iya Nona," sahut Asher gugup.Sebenarnya sejak tadi melihat Nona Isyana keluar dari rumah Nenek Asma, jantung Asher berdetak begitu kencang. Dia begitu terpesona dengan penampilan Isyana kali ini."Em, nomor ponsel Lo berapa?" tanya Isyana yang merasa canggung."Oh, sini saya ketikkan Nona. Atau saya simpan dulu nomor ponsel Nona. Sebentar, saya tepikan dulu mobilnya."Asher benar-benar menepikan mobil. Dia menerima ponsel dari tangan Isyana. Mengetikkan deretan angka di sana."Mau disimpan pakai nama apa Nona?" tanya Asher ragu.Sedikit tahu dia memperhatikan penamaan ponsel masyarakat Indonesia berdasarkan porfesinya. Jadi jangan sampai, Asher sudah kepedean mengetik namanya, lalu diganti Isyana dengan sopir saja."Ya nama Lo siapa? Masa nama cuma sopir aja. Dih gak kreatif."Ucapan Isyana menerbitkan senyum di bibir Asher. Dia lantas menghapus lagi nama