Bab 99Ghina duduk begitu saja di lantai tanpa alas. Dia memijat pinggangnya yang terasa pegal, demikian juga kakinya. Perutnya semakin membuncit. Mungkin beberapa bulan lagi dia akan melahirkan. Sepasang matanya sendu menatap perutnya. Tak pernah sedikitpun terlintas di benaknya, harus menyambut kelahiran bayi pertamanya dengan kehidupan yang seperti ini. Setetes air bening jatuh membasahi pipinya yang tirus. Dia tak berani terisak, takut lelaki itu mendengar. Ghina sudah cukup beruntung memiliki seorang Ziyad, walaupun di awal lelaki itu menikahinya lantaran terpaksa, karena harus bertanggung jawab terhadap bayi yang berada dalam kandungannya.Mereka tidak membawa barang apapun dari rumah, karena rumah dan segala isinya disita, demikian juga dengan barang-barang branded, perhiasan dan kendaraan. Semuanya tak ada lagi yang tersisa, kecuali baju-baju murahan yang kini mereka bawa dan sekarang tengah dikeluarkan oleh Ziyad. Ziyad menaruhnya di lemari pakaian. Satu-satunya perabotan y
Bab 100"Aku pelit?!" Tiba-tiba Ziyad tertawa keras."Aku pelit dengan kalian? Separuh gajiku aku berikan kepada kalian setiap bulan. Apakah itu masih dianggap pelit?" Lelaki itu melotot. Sungguh ia tidak habis pikir dengan cara berpikir adiknya."Seharusnya Kakak memberikan semua uang gaji Kakak kepada kami, karena aku dan Mama lebih membutuhkan ketimbang Mbak Ghina. Mbak Ghina kan kerja. Mbak Ghina tidak perlu uang gaji Kakak!" teriak Selvi yang dibarengi dengan anggukan kepala ibunya."Jadi jika mbakmu kerja, lantas dia tidak berhak atas nafkah dari suaminya. Begitu maksud kalian?" Ziyad kembali menatap ibu dan adiknya bergantian."Ya iyalah. Dia sudah bisa cari duit sendiri. Kenapa Kakak harus repot-repot memberi dia uang? Sementara aku dan Mama tidak bekerja. Kami yang harus di utamakan," tukas Selvi tak tahu malu."Kalau begitu, carilah pekerjaan agar tidak menjadi benalu bagi saudaramu!" sergah lelaki itu.Ziyad merasa sangat muak. Dulu dia memang memanjakan Selvi, tetapi sekar
Bab 101Ravin berdiri terpaku dengan Bram di sampingnya, sementara lelaki yang awalnya duduk membelakangi seketika berdiri. Posisi keduanya kini berhadapan. Mata Ravin tak berkedip menatap struktur wajah lelaki muda ini. Kali ini dia tidak salah lihat. Lelaki itu memang benar-benar adalah lelaki yang di pergokinya bersama dengan Bella 5 tahun yang lalu."Maaf, ini dengan tuan Ravin dan Tuan Bram, kan?" Lelaki itu mulai bersuara."Ah, iya betul." Ravin mengangguk. Otaknya masih saja memutar kenangan, peristiwa lima tahun yang lalu saat ia menemukan Bella tengah bercumbu dengan lelaki lain yang jauh lebih muda. "Nama saya Denish. Saya adalah asisten pribadi Mr. Chen. Beliau berkirim salam dan memohon maaf lantaran berhalangan hadir dikarenakan sesuatu hal. Saya diutus oleh beliau untuk menghadiri meeting kali ini bersama Tuan-tuan," jelas Denish sembari menjabat tangan keduanya."Baiklah, mari kita mulai." Bram yang melihat perubahan air muka Ravin segera memberi isyarat lelaki itu, me
Bab 102 Menyadari kehadiran sang suami, Rayna bangkit dan setengah berlari menubruk sang suami, memeluknya tanpa mengurangi isakannya. Ravin yang tak mengerti apapun, membalas pelukan itu sembari membimbing istrinya kembali ke tempat tidur. "Berceritalah padaku, Rayna. Kenapa kamu menangis?" "Bella menelponku," Lirih sekali suaranya. "Bella? What?!" Lelaki itu memekik keras. Rayna mengambil ponsel dari meja nakas, menyerahkannya kepada Ravin. Ravin langsung terbelalak, menyimak beberapa pesan dari Bella yang muncul di layar ponsel, berisi permintaan Bella agar Rayna meninggalkan Ravin. "Dia menganggapku pelakor, Hubby," keluh Rayna. Tiba-tiba lelaki itu tertawa terbahak-bahak. "Apa tidak terbalik? Dialah yang menjadi pelakor sekarang, bukan kamu, Rayna. Bella melakukan segala macam cara agar kita segera berpisah. Kamu harus sadari itu, Sayang. Aku, Daddy dan Mommy tidak sebodoh itu dalam menerima seorang anak laki-laki yang mengaku-ngaku sebagai darah dagingku. Dia pikir aku
Bab 103Bella lebih shock lagi menyadari kehadiran Ravin yang tiba-tiba. Berulang kali dia mengucek matanya, memindai sosok lelaki gagah yang terus saja mendekat. "Katakan kepadaku, Bella. Arsen itu bukan anakku, tapi darah dagingnya!" tunjuk Ravin kepada lelaki muda yang barusan berdebat dengan Bella. "Benar, Ravin." Denish tiba-tiba mengacungkan tangan. "Arsen adalah putraku dan Bella sengaja memberikan identitasmu saat tes DNA Arsen. Itulah kenapa Arsen dan kamu dinyatakan identik." Ravin seketika bertepuk tangan. Penjelasan Denish sungguh masuk akal. "Kamu benar-benar hebat, Bella. Tidak salah jika kamu pernah menjadi istriku. Kelicikanmu memang sangat berguna untuk menjadi seorang istri pengusaha. Kamu memang cerdas dalam memanfaatkan segala situasi. Aku menjadi yakin, kepergianmu ke Kanada saat itu adalah untuk menyiapkan skenario besar supaya bisa kembali kepadaku. Iya, kan?" bentaknya. Bella mati kutu. Dia menyembunyikan tangannya yang gemetar di belakang tubuhnya. Sement
Bab 104 "Menikah denganku? Apakah aku tidak salah dengar?" cibir Bella. "Kamu pikir aku main-main? Ingat, Bella. Aku berubah demi Arsen dan aku harap kamu pun berubah demi putra kamu, putra kita," tekannya. Perdebatan ini sangat menguras emosinya. Entah sampai kapan dia bisa bersabar menghadapi keegoisan Bella. "Kita harus mulai menjalani hidup ini dengan benar. Kalau Ravin yang menjadi ukuranmu, kamu tidak akan pernah mendapatkan pria manapun, Bella. Ravin itu limited edition...." "Aku tidak peduli. Justru karena dia limited edition, aku harus menyingkirkan siapapun yang memilikinya, karena aku akan memilikinya kembali," dengus Bella. Bolehkah ia merasa sangat kesal sekarang? Akibat kedatangan lelaki ini, semua rencananya untuk menarik simpati Ravin dan orang tuanya dengan menggunakan Arsen menjadi berantakan. "Dia baru saja menikah lagi, Bel. Tolong hargai itu." Denish berusaha memberi pengertian, meskipun usianya jauh lebih muda dari Bella, Namun terlihat jelas, pemikiran le
Bab 105 Ravin terdiam sejenak. Dia teringat dengan setumpuk pekerjaan yang harus diselesaikannya. Pekerjaan di perusahaan sedang banyak-banyaknya. Hari-harinya disibukkan oleh sederet jadwal pertemuan dengan beberapa investor. Al-Fatih Mart sedang giat melebarkan sayapnya membangun gerai-gerai di beberapa kota kecil di wilayah Indonesia bagian timur. Semua itu benar-benar menguras pikiran. "Aku punya permintaan, Mom." Akhirnya Ravin angkat bicara. "Katakan saja. Bram akan menyiapkannya untukmu," sahut nyonya Amyta antusias. "Aku hanya ingin berbulan madu di apartemenku yang lama. Aku pernah mempunyai keinginan untuk berduaan dengan Rayna di apartemen itu. Aku rasa ini saat yang tepat untuk mewujudkannya." "Yeah, nggak seru dong! Nggak ada romantis-romantisnya,' keluh nyonya Amyta. Perempuan itu menatap menantunya yang menunduk malu. "Bagaimana Rayna?" "Aku terserah Ravin saja, Mom. Kemanapun aku akan ikut Ravin." Meskipun dia menikahi seorang pria kaya raya, tetapi honeymoon ada
Bab 106 Ghina menatap amplop coklat itu dengan mata yang berbinar. Entah kenapa, dia merasa sangat bahagia. Akhirnya kerja kerasnya selama seminggu ini berbuah manis. Meskipun tidak banyak, setidaknya dia bisa membantu meringankan beban suaminya. Ghina memegang amplop berwarna coklat itu dengan tangan gemetar. Aisyah yang melihat semua itu hanya bisa menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Sebenarnya ia merasa kasihan dengan wanita hamil itu. Namun dia hanya bisa membantu sebatas itu, karena Ghina yang bersikeras untuk bekerja di tempatnya. "Terima kasih, Mbak Aisyah," ucapnya dengan bibir bergetar. "Sama-sama, Mbak Ghina. Silahkan dilanjutkan pekerjaannya. Setelah itu Mbak Ghina bisa pulang dan beristirahat," sahut Aisyah ramah Ghina mengangguk. Ekor matanya melirik Aisyah yang menghampiri beberapa orang rekan kerjanya dan memberikan amplop yang sama. Hari ini hari Sabtu, hari gajian mereka. Binar-binar bahagia nampak dari wajah teman-teman kerjanya. Ghina tersenyum. Dua orang pere