Bab 104 "Menikah denganku? Apakah aku tidak salah dengar?" cibir Bella. "Kamu pikir aku main-main? Ingat, Bella. Aku berubah demi Arsen dan aku harap kamu pun berubah demi putra kamu, putra kita," tekannya. Perdebatan ini sangat menguras emosinya. Entah sampai kapan dia bisa bersabar menghadapi keegoisan Bella. "Kita harus mulai menjalani hidup ini dengan benar. Kalau Ravin yang menjadi ukuranmu, kamu tidak akan pernah mendapatkan pria manapun, Bella. Ravin itu limited edition...." "Aku tidak peduli. Justru karena dia limited edition, aku harus menyingkirkan siapapun yang memilikinya, karena aku akan memilikinya kembali," dengus Bella. Bolehkah ia merasa sangat kesal sekarang? Akibat kedatangan lelaki ini, semua rencananya untuk menarik simpati Ravin dan orang tuanya dengan menggunakan Arsen menjadi berantakan. "Dia baru saja menikah lagi, Bel. Tolong hargai itu." Denish berusaha memberi pengertian, meskipun usianya jauh lebih muda dari Bella, Namun terlihat jelas, pemikiran le
Bab 105 Ravin terdiam sejenak. Dia teringat dengan setumpuk pekerjaan yang harus diselesaikannya. Pekerjaan di perusahaan sedang banyak-banyaknya. Hari-harinya disibukkan oleh sederet jadwal pertemuan dengan beberapa investor. Al-Fatih Mart sedang giat melebarkan sayapnya membangun gerai-gerai di beberapa kota kecil di wilayah Indonesia bagian timur. Semua itu benar-benar menguras pikiran. "Aku punya permintaan, Mom." Akhirnya Ravin angkat bicara. "Katakan saja. Bram akan menyiapkannya untukmu," sahut nyonya Amyta antusias. "Aku hanya ingin berbulan madu di apartemenku yang lama. Aku pernah mempunyai keinginan untuk berduaan dengan Rayna di apartemen itu. Aku rasa ini saat yang tepat untuk mewujudkannya." "Yeah, nggak seru dong! Nggak ada romantis-romantisnya,' keluh nyonya Amyta. Perempuan itu menatap menantunya yang menunduk malu. "Bagaimana Rayna?" "Aku terserah Ravin saja, Mom. Kemanapun aku akan ikut Ravin." Meskipun dia menikahi seorang pria kaya raya, tetapi honeymoon ada
Bab 106 Ghina menatap amplop coklat itu dengan mata yang berbinar. Entah kenapa, dia merasa sangat bahagia. Akhirnya kerja kerasnya selama seminggu ini berbuah manis. Meskipun tidak banyak, setidaknya dia bisa membantu meringankan beban suaminya. Ghina memegang amplop berwarna coklat itu dengan tangan gemetar. Aisyah yang melihat semua itu hanya bisa menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Sebenarnya ia merasa kasihan dengan wanita hamil itu. Namun dia hanya bisa membantu sebatas itu, karena Ghina yang bersikeras untuk bekerja di tempatnya. "Terima kasih, Mbak Aisyah," ucapnya dengan bibir bergetar. "Sama-sama, Mbak Ghina. Silahkan dilanjutkan pekerjaannya. Setelah itu Mbak Ghina bisa pulang dan beristirahat," sahut Aisyah ramah Ghina mengangguk. Ekor matanya melirik Aisyah yang menghampiri beberapa orang rekan kerjanya dan memberikan amplop yang sama. Hari ini hari Sabtu, hari gajian mereka. Binar-binar bahagia nampak dari wajah teman-teman kerjanya. Ghina tersenyum. Dua orang pere
Bab 107 "Kamu tidak perlu mengorbankan pekerjaanmu demi mengusut masalahku, karena itu percuma. Angga itu bukan tandingan kita. Buktinya selama ini dia lolos dari jerat hukum, bahkan mengorbankan aku demi menutupi korupsi yang dibuatnya." "Justru karena itu," sahut Ziyad menarik nafas berat. Dia beringsut merapat ke tubuh istrinya, mengusap bahu itu, membawa tubuh Ghina ke dalam pelukannya. "Aku hanya bisa melakukan sebatas ini. Maaf," ucapnya prihatin. Bulir-bulir air mata jatuh membasahi pipi Ghina yang ia seka dengan ujung pakaiannya yang lusuh. Kalau sekedar terkena kasus korupsi yang tidak pernah dibuatnya, kemudian menghabiskan semua asetnya dan Ziyad, barangkali Ghina masih bisa sabar. Namun dengan di blacklistnya dia dari semua perusahaan perbankan, sungguh sangat memukulnya. Ini sama saja dengan membunuh karirnya. "Tak apa. Aku sudah beruntung bisa memilikimu. Ternyata kamu orang baik." Ghina terisak. "Aku melakukan ini karena kamu adalah ibu dari anakku. Maaf jika sam
Bab 108"Kamu kenapa, Sayang?" Ravin mengurungkan niatnya menatap Rayna yang menggeleng keras."Biarkan aku seperti ini, Hubby. Aku tidak bisa menjelaskan apapun."Sebenarnya Rayna sudah merasakan tanda-tanda ini sejak beberapa hari yang lalu, tatkala menyadari ia sudah terlambat datang bulan. Namun dia tidak mau memberikan harapan palsu pada Ravin, mengingat usia lelaki itu sudah 38 tahun. Dia tidak mau membuat Ravin kecewa seandainya nanti dia terbukti tidak sedang mengandung. Sudah cukup Ravin menerima kenyataan, Arsen bukanlah putranya. Rayna bisa menangkap kekecewaan lelaki itu, Meskipun dia tidak ingin kembali kepada Bella, tapi lelaki itu masih berharap Arsen adalah putranya. Ravin merindukan seorang anak yang akan menjadi penerus Al-Fatih Mart.Perjalanan pagi ini terasa lambat bagi Rayna. Ketika sampai di depan rumah ibunya, Rayna bergegas turun dari mobil. Dia hanya melambaikan tangan kepada Ravin dan lantas berlari kecil masuk ke dalam rumah."Lho, Rayna?!" Nafisa terheran-
Bab 109 "Selvi, tunggu!" Tak memperdulikan protes dari suaminya, Rayna berlari kecil menghampiri sepasang insan beda usia itu. Si laki-lakinya merupakan seorang lelaki dewasa yang cukup mapan, terlihat dari pakaian yang dikenakannya. "Selvi...." Nafas Rayna ngos-ngosan. datanya menatap tajam gadis berparas cukup cantik yang tengah menggandeng mesra lelakinya. "Kak Rayna." Bibirnya bergetar. "Ini siapa, Selvi?" "Buat apa Kakak tahu? Apapun yang kulakukan, sudah bukan urusan Kakak lagi!" Bola matanya mendelik. "Bukan begitu, Selvi. Aku hanya ingin bertanya." Perempuan itu meraih dengan Selvi. Namun Selvi menepisnya dengan kasar. "Untuk apa Kakak bertanya? Kita sudah memiliki kehidupan masing-masing." Selvi melirik lelaki dewasa di sampingnya. "Tapi kalau memang Kakak ingin tahu, aku akan perkenalkan. Kak Rayna, ini Mas Angga, pacarku." "Pacar kamu?" Tiba-tiba Ravin angkat bicara. Dia mengulurkan tangan, menjabat erat tangan lelaki itu, bahkan saking eratnya, jabat tangan mirip
Bab 110) Hanya Sugar Baby"Benar, kan? Aku hanya ingin bilang kenyataan yang sebenarnya kepada Kakak. Mana mungkinlah Kakak masih mau sama kak Ziyad, wong kak Ravin orangnya kaya raya. Baru jadi selingkuhan aja udah ngasih apartemen." Selvi meraih tangan Rayna, mencengkram tangan mulus itu kuat-kuat hingga membuat Rayna meringis lirih."Kulit tangan Kak Rayna semakin halus saja ya? Pasti perawatannya mahal. Apalagi nggak pernah di pakai untuk memasak dan mencuci pakaian orang seisi rumah." Selvi tertawa sinis. Dia teringat dengan gajinya di butik yang hanya cukup untuk makan dan bayar kos. Beruntung sudah seminggu ini Angga mengajaknya tinggal di apartemen, sehingga dia pun bisa merasakan hidup yang lebih layak. Angga juga memenuhi semua kebutuhan pribadinya. Bahkan selalu rutin mentransfer sejumlah uang setelah mereka selesai melakukan olahraga di tempat tidur.Sebenarnya Selvi ingin mengajak ibunya untuk kembali ke ibukota dan tinggal bersamanya, tetapi Angga menolak dengan alasan m
Bab 111"Ini hanya salah paham kecil. Sebaiknya kita segera meninggalkan tempat ini. Urusan kamu dengan Angga sudah selesai, bukan?" Rayna melirik semburat keunguan di pipi lelaki dewasa yang kini merangkul bahu Selvi.Rayna sengaja buru-buru menyeret lengan Ravin membawanya pergi menuju mobil mereka. Dia tak ingin Ravin bertambah marah. Keduanya pergi tanpa menoleh. Ravin membawa mobilnya, tancap gas meninggalkan halaman restoran, menghilang dari pandangan Selvi dan Angga."Astaga.... Sayang, kamu kenapa?" Saking gemetarnya berhadapan dengan Ravin, Selvi tidak menyadari semburat keunguan yang ada di pipi Angga. Selvi mengusap pipi kekasihnya dengan lembut. Angga meringis. Rasa perihnya kian menjadi."Sebaiknya kita juga pergi dari sini, Sayang. Aku tidak mau penampilanku menjadi perhatian orang-orang." Angga mengedarkan pandangannya menyusuri sekeliling tempat itu."Bahkan kita belum makan malam, Mas." protes Selvi. Perutnya sudah berdemo sejak tadi. "Kita bisa order makanan setela