Bab 1 Retakan dibawah permukaan
Amira berdiri di depan rumah tua itu, yang kini hanya menyisakan kenangan samar. Suasana pagi yang lembab, dengan kabut tipis menyelimuti pemukiman yang sepi, seolah menambah kesan suram di hati Amira. Rumah yang telah lama ditinggalkan, kini hanya menjadi tempat bagi angin untuk berkelana dan daun-daun yang jatuh memenuhi pekarangan. Sungguh, tempat ini terasa lebih asing baginya dibandingkan dengan masa kecil yang pernah ia lewati di sana.
Dia menatap ke arah pintu depan yang tertutup rapat, seolah ada tembok tak terlihat yang memisahkannya dari kenyataan yang selama ini ia coba hindari. Amira merasakan berat di dadanya. Hari ini adalah hari pertama ia kembali setelah lebih dari tiga belas tahun pergi. Kembali untuk mengingatkan dirinya sendiri akan luka lama yang selama ini ia sembunyikan, kembali untuk menghadapi bayang-bayang masa lalu yang masih menghantuinya.
"Apakah Kamu yakin ingin melakukannya?" suara seorang pria memecah kesunyian, dan Amira berbalik. Itu adalah Anzar sahabat lamanya, yang sejak awal menawarkan diri untuk menemaninya kembali ke kampung halaman.
Amira mengangguk pelan. "Aku harus mencari tahu apa yang sebenarnya sudah terjadi. Ini sudah terlalu lama... Aku tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian dan penuh tanda tanya."
Anzar memandang Amira dengan penuh perhatian, kemudian ia menghela napas panjang. "Aku tahu, Amira. Tapi... kamu tahu kan, ada alasan kenapa semua orang di sini memilih untuk melupakan masa lalu? Kadang-kadang, lebih baik tidak menggali sesuatu yang sudah lama terkubur."
"Tapi ini bukan tentang melupakan," jawab Amira dengan suara tegas, meskipun hatinya sendiri merasa ragu. "Ini tentang menemukan kebenaran. Kebenaran yang sudah terlalu lama tersembunyi."
Mereka berdua terdiam sejenak. Amira menyadari bahwa apa yang dikatakan Anzar ada benarnya. Tidak ada yang ingin mengingatkan kembali masa kelam yang pernah terjadi di kampung ini. Sebagian besar orang di sini memilih untuk menjalani hidup mereka tanpa bertanya-tanya tentang kejadian yang telah mengubah semuanya—kejadian yang tidak pernah ia ketahui sepenuhnya.
Namun, bagi Amira, ini bukan lagi sekadar mencari kebenaran tentang kematian kedua orang tuanya. Ini adalah perjalanan untuk memahami dirinya sendiri, dan mungkin, untuk menyembuhkan luka yang telah lama terpendam dan tersimpan selama belasan tahun.
Amira melangkah maju, perlahan mendekati pintu rumah yang sudah berkarat itu. Anzar mengikuti dari belakang, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Begitu mereka memasuki rumah, suasana sepi dan gelap menyambut mereka. Tak ada lagi suara tawa anak-anak yang dulu pernah berlarian di dalam rumah ini, tak ada lagi aroma masakan ibunya yang dulu selalu tercium dari dapur. Yang ada hanyalah debu dan bayangan masa lalu yang seolah menunggu untuk diungkap.
Amira perlahan melangkah menuju ruang tamu, di mana ia masih ingat dengan jelas tempat ia dan orang tuanya menghabiskan waktu bersama. Setiap sudut rumah ini menyimpan kenangan—kenangan tentang tawa, cinta, dan juga air mata. Namun, ada satu hal yang paling sulit dilupakan: nisan retak yang berada di pemakaman keluarga, yang selalu mengingatkannya pada kecelakaan itu. Nisan yang tak pernah diperbaiki, dan bagi Amira, itu menjadi simbol dari luka yang belum pernah sembuh.
“Amira...” suara Anzar memecah lamunannya. "Kamu benar-benar ingin ke pemakaman itu sekarang? Banyak orang di sini yang masih takut membicarakan itu."
Amira menatap sahabatnya itu dengan serius. "Aku harus pergi. Aku harus tahu siapa yang ada di balik nisan itu."
Dengan langkah pasti, Amira keluar dari rumah itu, dan Anzar mengikutinya tanpa berkata apa-apa. Mereka berdua berjalan melalui jalanan yang telah banyak berubah. Kampung ini tidak lagi seperti yang ia ingat. Rumah-rumah yang dulu sederhana kini telah digantikan dengan bangunan yang lebih modern. Tetapi satu hal tetap sama: pemakaman keluarga yang terletak di ujung jalan, di balik bukit kecil yang kini tampak lebih sepi dan mulai terlupakan.
Saat mereka sampai di sana, Amira langsung mencari nisan yang telah lama ia ingat. Sebuah batu nisan sederhana, retak di bagian tengah, dengan ukiran nama orang tuanya yang sudah pudar. Di bawah nisan itu, dia ingat dengan jelas, ada dua nama lain yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya. Nama yang terlupakan oleh waktu, nama yang bahkan tidak pernah disebutkan oleh siapa pun.
Dengan hati yang berdebar, Amira meraba batu nisan itu. "Ini dia... ini yang harus aku tahu."
Anzar berdiri tepat beberapa langkah di belakangnya, tampaknya masih merasa ragu untuk ikut terlibat dalam pencarian ini. "Amira, apa kamu yakin ingin melanjutkan ini? Mungkin ada alasan kenapa orang-orang tidak membicarakan ini."
"Aku tahu," jawab Amira pelan. "Tapi aku harus tahu, Anzar. Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi pada mereka... dan pada diriku."
Anzar hanya bisa terdiam, tidak bisa lagi mencegah Amira untuk melangkah lebih jauh. Amira mengusap air matanya yang mulai mengalir, merasakan beban yang begitu berat di dadanya. Pemakaman ini bukan hanya sekadar tempat orang tua dan keluarga terkubur, tetapi juga tempat di mana masa lalunya terpendam. Sebuah masa lalu yang, bagaimanapun, akan selalu menghantui langkahnya, sampai ia berhasil mengungkap kebenaran yang selama ini telah lama terpendam.
Langit mulai terlihat gelap saat Amira dan Anzar berjalan kembali ke rumah tua itu. Udara semakin sejuk, dan suara angin yang berdesir di antara pepohonan menambah kesan mencekam di malam yang semakin larut. Amira masih terperangkap dalam pikirannya, mencoba mencerna apa yang baru saja ia temui di pemakaman keluarga. Batu nisan yang retak itu menyimpan lebih banyak rahasia daripada yang ia bayangkan selama ini.“Amira,” suara Anzar memecah kesunyian malam, “aku tahu ini sulit, tapi jangan terlalu memaksakan dirimu untuk menggali hal-hal yang sudah lama berlalu.”Amira menghela napas panjang. Ia tahu Anzar khawatir dengan dirinya, tapi baginya, mencari jawaban adalah satu-satunya cara untuk menyembuhkan luka yang sudah terlalu lama terpendam. Ada sesuatu hal yang terasa ganjil tentang kecelakaan yang menewaskan kedua orangtuanya. Sesuatu yang tidak pernah diceritakan dengan jelas. Orang-orang di kampung ini, bahkan keluarga besar mereka, selalu menghindari membahasnya. Tapi Amira meras
Amira merasa jantungnya berdebar saat ia menatap nama yang baru saja ia temukan. Nama itu tertulis dengan tinta yang agak pudar di sebuah dokumen tua yang ia temukan di ruangan arsip desa. Itu adalah sebuah surat dari lebih dari dua puluh tahun yang lalu, yang tidak pernah dibaca oleh siapa pun, kecuali oleh penjaga arsip yang sudah lama bekerja di sana. Amira merasa seolah-olah ia baru saja menemukan potongan besar dari teka-teki yang telah lama terpendam.Sugeng prionoNama itu tidak asing bagi Amira. Ia ingat dengan samar bahwa Sugeng adalah seorang pria yang pernah dekat dengan keluarganya. Namun, apa yang mengejutkan Amira adalah fakta bahwa Sugeng disebutkan dalam surat-surat itu sebagai seseorang yang terlibat dalam kecelakaan yang menewaskan kedua orang tuanya. Ada yang lebih gelap, lebih misterius, dari sekadar kecelakaan biasa. Sugeng bukan hanya sekadar teman atau kolega ayahnya. Ia terlibat dalam sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang tersembunyi jauh di balik layar.Amira
Pak Ricko duduk dengan badan yang tegak, matanya menatap lurus ke depan seolah mencoba mengingat sesuatu yang sangat berat. Amira menunggu dengan sabar, hatinya berdebar. Ia merasa bahwa ia sedang berada di ambang pintu menuju sebuah kebenaran yang telah lama terkubur, dan setiap kata Pak Ricko bisa menjadi kunci untuk membuka semua teka-teki itu.“Amira,” Pak Ricko akhirnya mulai berbicara, suaranya serak, seolah berat untuk mengungkapkan sesuatu yang lama terpendam. “Kamu tahu bahwa proyek jalan raya itu adalah proyek besar, bukan hanya untuk desa kita, tetapi juga untuk banyak daerah lain. Proyek itu melibatkan banyak orang berpengaruh, termasuk beberapa orang yang... tidak begitu jujur.”Amira mulai mendekat, matanya tajam. “Apa hubungan proyek itu dengan kematian orang tuaku? Kenapa mereka begitu terlibat?”Pak Ricko menatapnya, ragu sejenak. “Kamu mungkin tidak tahu, tapi ayahmu dan Sugeng priono punya hubungan yang lebih kompleks dari yang kamu kira. Proyek itu bukan hanya ten
Amira merasa jantungnya berdegup lebih cepat begitu memasuki rumah yang luas namun terbengkalai itu. Pria tua yang membawa mereka masuk tampaknya sudah cukup lama hidup sendirian, dan rumah ini, meski besar, tampak seperti rumah yang tak terawat, penuh debu dan kesunyian. Setiap langkah Amira di atas lantai kayu yang berderit membuatnya merasa semakin dekat dengan rahasia yang selama ini tersimpan dan tersembunyi.Pria itu memimpin mereka menuju ruang tamu yang gelap. Cahaya matahari yang merembes dari jendela yang pecah memberi suasana yang suram dan menegangkan. Amira berusaha untuk tetap tenang, meskipun hatinya penuh dengan rasa penasaran yang mendalam. Ia harus mendapatkan jawaban.“Sugeng pernah tinggal di sini,” ujar pria itu, suara seraknya menggema di ruang yang sepi. “Namun, itu sudah lama sekali. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan dia setelah itu.”Amira menatapnya tajam. “Kenapa dia pergi meninggalkan rumah ini?”Pria itu menghela napas panjang, seolah memikirkan jawab
Amira menatap kearah langit dimalam yang berkelap-kelip dengan mata yang penuh tekad. Angin kota yang dingin menerpa wajahnya, membawakan aroma tak dikenal yang jauh dari bau tanah desa mereka. Ia merasa terasing, namun semakin kuat dalam keyakinannya bahwa perjalanan ini adalah satu-satunya cara untuk mengungkap apa yang terjadi pada ayahnya. Ayah yang selama ini diam, menjaga jarak, dan akhirnya... hilang begitu saja."Amira, aku tahu kamu ingin tahu lebih banyak, tapi kita harus berhati-hati," kata Anzar dengan suara pelan, merujuk pada pertemuan mereka dengan mantan manajer proyek. "Semakin dalam kita menggali, semakin banyak bahaya yang mengintai kita."Amira menoleh ke arah Anzar, matanya yang tajam menunjukkan tekad yang tidak bisa digoyahkan. "Aku sudah tidak bisa mundur, Anzar. Apa yang sudah terjadi pada ayahku, dan proyek itu—semua ini terlalu besar untuk dibiarkan begitu saja. Kita harus mencari tahu siapa yang bertanggung jawab."Anzar menghela napas panjang. Ia tahu betu
Amira dan Anzar kembali ke hotel mereka dengan kepala penuh pikiran. Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, seolah udara kota ikut menyerap kegelapan dari rahasia yang mereka ungkap. Amira duduk di pinggir tempat tidur, menatap keluar jendela ke arah lampu-lampu kota yang berkelap-kelip, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menghadapi langkah selanjutnya."Rudi menyebutkan sesuatu yang penting," kata Anzar, memecah keheningan. "Orang-orang di balik ini mungkin lebih sulit dijangkau daripada yang kita duga. Jika kita tidak hati-hati, kita akan menjadi target berikutnya."Amira mengangguk perlahan. "Tapi kita sudah terlalu jauh untuk mundur. Aku tidak bisa membiarkan mereka lolos begitu saja setelah apa yang mereka lakukan pada ayahku. Dia layak mendapatkan keadilan."Anzar menatapnya dengan tatapan penuh kekhawatiran. "Aku mengerti, Amira. Tapi kita harus merencanakan langkah kita dengan hati-hati. Jika tidak, kita mungkin tidak akan memiliki kesempatan untuk bertahan."Jejak Ba
Gang sempit itu menyelamatkan mereka sementara, tetapi Amira dan Anzar tahu mereka tidak bisa bersembunyi lama. Mobil hitam yang mengikuti mereka akhirnya pergi setelah beberapa menit, tetapi Amira yakin mereka hanya sementara kehilangan jejak."Kita harus segera meninggalkan kota," ujar Anzar, napasnya masih terengah. "Mereka pasti tahu kita sedang menyelidiki sesuatu. Kalau tidak segera bergerak, mereka akan menangkap kita.""Tidak," bantah Amira, meskipun tubuhnya sedikit gemetar. "Kita tidak bisa pergi sekarang. Semua ini dimulai di sini, dan aku yakin jawabannya ada di kota ini. Kita hanya perlu tempat yang lebih aman."Anzar terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Baiklah, tapi kita tidak bisa sembarangan. Kita harus bergerak di bawah radar."Anzar kemudian menghubungi seorang kenalannya, Indra, yang bekerja sebagai mekanik di sebuah bengkel tua di pinggir kota. Indra dikenal sebagai pria yang jago mengotak-atik mobil, tetapi ia juga memiliki koneksi dengan jaringan informasi bawah t
Amira, Anzar, dan Indra duduk di dalam pondok kecil milik Pak Alex. Malam semakin larut, namun suasana hening di luar hutan tidak membawa ketenangan. Mereka baru saja melarikan diri dari pengejaran sengit, dan kini mereka harus menyusun rencana matang untuk menghadapi ancaman Mekarjaya Group yang semakin nyata."Kita tidak bisa terus berlari," kata Amira, mencoba menenangkan napasnya. "Kita harus menyerang balik. Tapi dengan cara yang benar."Anzar menatap Amira dengan ragu. "Kita ini siapa? Mekarjaya punya koneksi, uang, dan orang-orang yang bersenjata. Kita cuma punya rekaman dan keberanian nekat."Indra, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Aku setuju dengan Amira. Kita memang kecil, tapi bukan berarti tidak bisa melawan. Kita harus mencari dukungan. Orang-orang yang juga dirugikan oleh Mekarjaya pasti ada. Kalau kita bisa mengumpulkan bukti lebih banyak, kita pasti punya peluang."Amira mengangguk, wajahnya menunjukkan tekad yang kuat. "Kita butuh jaringan. Orang-orang y
Setelah berbulan-bulan bersembunyi dan merencanakan langkah berikutnya, Amira dan Anzar akhirnya merasa saat yang tepat untuk mengungkapkan seluruh kebenaran. Mereka tahu bahwa dunia internasional kini menunggu bukti lebih lanjut yang dapat menghancurkan struktur kekuasaan yang telah lama dibangun oleh orang-orang yang berusaha menutupi skandal Mekarjaya Group.Persiapan Terakhir: Mengungkap SegalanyaHari itu, mereka berkumpul di ruang kecil yang menjadi markas sementara mereka. Indra, Via, dan beberapa kontak internasional yang telah mereka ajak bekerja sama semua berada di sana. Mereka mulai menyusun rencana besar untuk konferensi pers internasional yang akan mengungkapkan semua bukti yang mereka kumpulkan. Bukti-bukti ini bukan hanya berupa dokumen dan email yang telah mereka temukan, tetapi juga rekaman suara dan video yang menunjukkan bagaimana para elit ini merencanakan dan menjalankan konspirasi besar mereka."Ini lebih dari sekadar membongkar satu perusahaan atau individu," k
Setelah berhasil lolos dari serangan yang hampir fatal di rumah mereka, Amira dan Anzar tahu bahwa tak ada lagi waktu untuk berpikir panjang. Bahaya kini bukan hanya datang dari pihak Mekarjaya Group, tetapi juga dari seluruh sistem yang mereka coba ubah. Mereka merasakan ketegangan yang semakin meningkat. Namun, semangat mereka tetap teguh, dan mereka tahu bahwa mereka berada di jalur yang benar meskipun risiko yang dihadapi semakin besar.Langkah Baru dalam PerjuanganMalam itu, setelah mereka berhasil melarikan diri dari kejaran orang-orang yang bekerja untuk Mekarjaya Group, mereka duduk di ruang bawah tanah yang gelap dan terlindung dari dunia luar. Rencana mereka yang sebelumnya tampak matang kini harus direvisi. Mereka tidak bisa lagi bekerja sembunyi-sembunyi atau secara terbuka di Jakarta. Perjuangan mereka kini harus lebih terorganisir dan terencana dengan sangat hati-hati.Via, yang sejak awal menjadi tulang punggung teknologi mereka, memberikan informasi terbaru mengenai pe
Meskipun mereka telah berhasil meruntuhkan salah satu jaringan korupsi terbesar di negara itu, Amira dan Anzar tahu bahwa perjuangan mereka baru saja dimulai. Tangan-tangan yang kuat yang dikendalikan oleh Subagio dan kroninya tidak akan hanya duduk diam setelah kalah dalam satu pertempuran besar. Mereka tahu bahwa banyak yang tersisa untuk diperbaiki, dan dunia mereka akan terus dipenuhi dengan bahaya yang mengintai.Beberapa minggu setelah konferensi pers yang mengungkap skandal besar itu, Amira dan Anzar duduk di ruang tamu dirumah kecil mereka, disebuah desa yang terpencil, jauh dari hiruk-pikuk Jakarta. Meskipun perasaan lega karena kemenangan mereka terasa, mereka juga merasa seolah-olah ada bayangan yang selalu mengikuti mereka.Menghadapi Bayang-Bayang Masa LaluAmira memandang jauh ke luar jendela, matanya terpaku pada hijaunya ladang yang membentang luas di depan rumah mereka. "Apa kita benar-benar aman?" tanyanya pelan, seolah berbicara lebih kepada dirinya sendiri daripada
Amira dan Anzar kembali dari pertemuan dengan Ibu Susi dengan penuh tekad. Kini mereka memahami bahwa perjuangan mereka belum selesai. Berita tentang skandal Mekarjaya Group telah menyebar luas, memicu protes besar-besaran, tetapi Subagio Dormanjoyo dan kroninya masih bebas, melancarkan upaya untuk membungkam kebenaran. "Kita harus membuat langkah terakhir yang akan benar-benar menjatuhkan mereka," kata Amira saat mereka duduk di ruang kecil perlindungan polisi. "Semua bukti yang kita kumpulkan harus digunakan untuk menyerang inti jaringan mereka." Anzar mengangguk, matanya penuh keseriusan. "Tapi kita harus hati-hati. Mereka pasti akan meningkatkan pengawasan dan mencoba menjebak kita. Kita butuh rencana yang sangat matang." Strategi Baru Malam itu, Amira, Anzar, Indra, dan Via berkumpul di sebuah lokasi rahasia yang disediakan oleh jaringan jurnalis independen. Mereka mulai memetakan langkah-langkah berikutnya. Via, dengan keahliannya sebagai hacker, menemukan jejak transaksi mencur
Amira, Anzar, dan Indra duduk di dalam pondok kecil milik Pak Alex. Malam semakin larut, namun suasana hening di luar hutan tidak membawa ketenangan. Mereka baru saja melarikan diri dari pengejaran sengit, dan kini mereka harus menyusun rencana matang untuk menghadapi ancaman Mekarjaya Group yang semakin nyata."Kita tidak bisa terus berlari," kata Amira, mencoba menenangkan napasnya. "Kita harus menyerang balik. Tapi dengan cara yang benar."Anzar menatap Amira dengan ragu. "Kita ini siapa? Mekarjaya punya koneksi, uang, dan orang-orang yang bersenjata. Kita cuma punya rekaman dan keberanian nekat."Indra, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Aku setuju dengan Amira. Kita memang kecil, tapi bukan berarti tidak bisa melawan. Kita harus mencari dukungan. Orang-orang yang juga dirugikan oleh Mekarjaya pasti ada. Kalau kita bisa mengumpulkan bukti lebih banyak, kita pasti punya peluang."Amira mengangguk, wajahnya menunjukkan tekad yang kuat. "Kita butuh jaringan. Orang-orang y
Gang sempit itu menyelamatkan mereka sementara, tetapi Amira dan Anzar tahu mereka tidak bisa bersembunyi lama. Mobil hitam yang mengikuti mereka akhirnya pergi setelah beberapa menit, tetapi Amira yakin mereka hanya sementara kehilangan jejak."Kita harus segera meninggalkan kota," ujar Anzar, napasnya masih terengah. "Mereka pasti tahu kita sedang menyelidiki sesuatu. Kalau tidak segera bergerak, mereka akan menangkap kita.""Tidak," bantah Amira, meskipun tubuhnya sedikit gemetar. "Kita tidak bisa pergi sekarang. Semua ini dimulai di sini, dan aku yakin jawabannya ada di kota ini. Kita hanya perlu tempat yang lebih aman."Anzar terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Baiklah, tapi kita tidak bisa sembarangan. Kita harus bergerak di bawah radar."Anzar kemudian menghubungi seorang kenalannya, Indra, yang bekerja sebagai mekanik di sebuah bengkel tua di pinggir kota. Indra dikenal sebagai pria yang jago mengotak-atik mobil, tetapi ia juga memiliki koneksi dengan jaringan informasi bawah t
Amira dan Anzar kembali ke hotel mereka dengan kepala penuh pikiran. Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, seolah udara kota ikut menyerap kegelapan dari rahasia yang mereka ungkap. Amira duduk di pinggir tempat tidur, menatap keluar jendela ke arah lampu-lampu kota yang berkelap-kelip, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menghadapi langkah selanjutnya."Rudi menyebutkan sesuatu yang penting," kata Anzar, memecah keheningan. "Orang-orang di balik ini mungkin lebih sulit dijangkau daripada yang kita duga. Jika kita tidak hati-hati, kita akan menjadi target berikutnya."Amira mengangguk perlahan. "Tapi kita sudah terlalu jauh untuk mundur. Aku tidak bisa membiarkan mereka lolos begitu saja setelah apa yang mereka lakukan pada ayahku. Dia layak mendapatkan keadilan."Anzar menatapnya dengan tatapan penuh kekhawatiran. "Aku mengerti, Amira. Tapi kita harus merencanakan langkah kita dengan hati-hati. Jika tidak, kita mungkin tidak akan memiliki kesempatan untuk bertahan."Jejak Ba
Amira menatap kearah langit dimalam yang berkelap-kelip dengan mata yang penuh tekad. Angin kota yang dingin menerpa wajahnya, membawakan aroma tak dikenal yang jauh dari bau tanah desa mereka. Ia merasa terasing, namun semakin kuat dalam keyakinannya bahwa perjalanan ini adalah satu-satunya cara untuk mengungkap apa yang terjadi pada ayahnya. Ayah yang selama ini diam, menjaga jarak, dan akhirnya... hilang begitu saja."Amira, aku tahu kamu ingin tahu lebih banyak, tapi kita harus berhati-hati," kata Anzar dengan suara pelan, merujuk pada pertemuan mereka dengan mantan manajer proyek. "Semakin dalam kita menggali, semakin banyak bahaya yang mengintai kita."Amira menoleh ke arah Anzar, matanya yang tajam menunjukkan tekad yang tidak bisa digoyahkan. "Aku sudah tidak bisa mundur, Anzar. Apa yang sudah terjadi pada ayahku, dan proyek itu—semua ini terlalu besar untuk dibiarkan begitu saja. Kita harus mencari tahu siapa yang bertanggung jawab."Anzar menghela napas panjang. Ia tahu betu
Amira merasa jantungnya berdegup lebih cepat begitu memasuki rumah yang luas namun terbengkalai itu. Pria tua yang membawa mereka masuk tampaknya sudah cukup lama hidup sendirian, dan rumah ini, meski besar, tampak seperti rumah yang tak terawat, penuh debu dan kesunyian. Setiap langkah Amira di atas lantai kayu yang berderit membuatnya merasa semakin dekat dengan rahasia yang selama ini tersimpan dan tersembunyi.Pria itu memimpin mereka menuju ruang tamu yang gelap. Cahaya matahari yang merembes dari jendela yang pecah memberi suasana yang suram dan menegangkan. Amira berusaha untuk tetap tenang, meskipun hatinya penuh dengan rasa penasaran yang mendalam. Ia harus mendapatkan jawaban.“Sugeng pernah tinggal di sini,” ujar pria itu, suara seraknya menggema di ruang yang sepi. “Namun, itu sudah lama sekali. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan dia setelah itu.”Amira menatapnya tajam. “Kenapa dia pergi meninggalkan rumah ini?”Pria itu menghela napas panjang, seolah memikirkan jawab