Pak Ricko duduk dengan badan yang tegak, matanya menatap lurus ke depan seolah mencoba mengingat sesuatu yang sangat berat. Amira menunggu dengan sabar, hatinya berdebar. Ia merasa bahwa ia sedang berada di ambang pintu menuju sebuah kebenaran yang telah lama terkubur, dan setiap kata Pak Ricko bisa menjadi kunci untuk membuka semua teka-teki itu.
“Amira,” Pak Ricko akhirnya mulai berbicara, suaranya serak, seolah berat untuk mengungkapkan sesuatu yang lama terpendam. “Kamu tahu bahwa proyek jalan raya itu adalah proyek besar, bukan hanya untuk desa kita, tetapi juga untuk banyak daerah lain. Proyek itu melibatkan banyak orang berpengaruh, termasuk beberapa orang yang... tidak begitu jujur.”
Amira mulai mendekat, matanya tajam. “Apa hubungan proyek itu dengan kematian orang tuaku? Kenapa mereka begitu terlibat?”
Pak Ricko menatapnya, ragu sejenak. “Kamu mungkin tidak tahu, tapi ayahmu dan Sugeng priono punya hubungan yang lebih kompleks dari yang kamu kira. Proyek itu bukan hanya tentang membangun jalan, tapi lebih kepada sebuah investasi besar yang berpotensi merugikan banyak orang.”
Amira menggigit bibirnya dan mengerenyitkan dahinya. “Maksud Pak Ricko, apa ada yang salah dengan proyek itu?”
Pak Ricko mengangguk perlahan. “Tidak hanya salah, tapi ada rencana di baliknya. Ayahmu dan Sugeng seharusnya menjalankan bisnis ini dengan cara yang bersih, tetapi... Sugeng punya ambisi yang besar. Dia terlibat dalam banyak hal yang seharusnya tidak ia lakukan. Itu sebabnya ayahmu mulai menarik diri dari proyek itu. Dia mulai merasa ada yang tidak beres dengan Sugeng.”
Amira merasakan kepalanya berputar, otaknya mencoba untuk mencerna semua informasi yang baru saja ia terima. “Jadi, ayahku sudah tahu ada yang salah, dan dia ingin keluar dari proyek itu?”
Pak Ricko mengangguk dengan wajah yang penuh kesedihan. “Iya. Tapi ketika ayahmu mencoba menarik diri, Sugeng menjadi marah. Mereka berdua terlibat dalam perdebatan yang cukup sengit, dan aku rasa, itu yang membuat Sugeng merasa terancam. Apalagi, ada banyak uang yang dipertaruhkan dalam proyek itu.”
Amira menahan napasnya, semakin dalam ia menggali, semakin gelap kisah ini terasa. “Jadi, apakah kematian orang tuaku itu... direncanakan?”
Pak Ricko menunduk, tampaknya sangat enggan untuk mengungkapkan lebih lanjut lagi. “Aku tidak bisa bilang bahwa itu direncanakan secara langsung, Amira. Tapi ada sesuatu yang sangat mencurigakan tentang kecelakaan itu. Banyak yang percaya bahwa itu bukan hanya sekadar kecelakaan biasa. Ada yang bilang, itu adalah cara untuk menghilangkan hambatan besar dalam proyek itu.”
Amira merasa tubuhnya tersentak. “Berarti, Sugeng terlibat dalam kematian kedua oran tuaku?"
Pak Ricko menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. “Aku tidak tahu pasti, Amira. Aku hanya bisa memberitahumu apa yang aku tahu. Tapi Sugeng sangat cerdik orangnya dalam menutupi jejak-jejaknya. Dia tahu bagaimana memanipulasi orang, bagaimana membuat orang percaya bahwa semua yang terjadi itu adalah kecelakaan murni.”
Amira merasakan amarahnya semakin memuncak, namun di saat yang sama, ada perasaan lain yang membayanginya: rasa kehilangan yang dalam, dan sebuah dorongan kuat untuk melanjutkan pencarian ini. Jika Sugeng priono jelas memang terlibat dalam kematian kedua orang tuanya, maka ia harus membayar untuk apa yang telah dia lakukan.
“Aku harus menemui Sugeng "ujar Amira dengan suara yang penuh tekad.
Pak Ricko menatapnya, wajahnya penuh kecemasan. “Amira, berhati-hatilah. Sugeng bukan orang yang bisa dianggap enteng. Dia sudah mengendalikan banyak hal di balik layar. Jika kamu ingin mencari dia, kamu harus tahu bahwa itu tidak akan mudah.”
Namun, Amira sudah memutuskan. Dia tidak bisa berhenti sekarang. Selama ini, ia merasa terjebak dalam kebingungannya, dan kini ia merasa seolah ia telah menemukan tujuan baru—menemukan Sugeng, dan memastikan dia membayar untuk segala hal telah dia lakukan.
Setelah pertemuan dengan Pak Ricko, Amira tidak membuang waktu. Ia mulai mencari informasi lebih lanjut tentang keberadaan Sugeng priono Selama ini, namanya seakan menghilang begitu saja dari ingatan orang-orang. Namun, setelah berbicara dengan beberapa warga desa yang lebih tua, Amira menemukan sebuah petunjuk penting: Sugeng pernah tinggal di sebuah rumah besar yang terletak di pinggiran desa, jauh dari keramaian.
Rumah itu kini tampak terlantar, dengan pagar besi yang mulai berkarat dan pintu depan yang tampak tertutup rapat. Meski begitu, ada sesuatu yang membuat Amira merasa, rumah ini masih menyimpan banyak rahasia yang belum terungkap. Mungkin, di sinilah dia akan menemukan jawabannya.
Dengan hati-hati, Amira dan Anzar menuju rumah itu. Hati Amira berdebar kencang. Ia tidak tahu apa yang akan ia temui di sana, namun ia merasa semakin dekat dengan kebenaran yang selama ini telah ia cari.
Mereka berdiri di depan gerbang yang terbuat dari besi hitam yang berkarat, menatap rumah besar yang tampaknya sudah lama tidak dihuni. Anzar memandang Amira, cemas.
“Kita bisa kembali besok pagi, Amira. Jika kita pergi sekarang, mungkin kita bisa mendapatkan informasi lebih lanjut tanpa terlalu mencurigakan,” ujar Anzar
Namun, Amira menatapnya dengan penuh tekad. “Tidak, Anzar. Aku tidak bisa menunggu lagi. Jika Sugeng ada di dalam, aku harus tahu sekarang juga.”
Dengan langkah mantap, Amira mendekati pagar dan membuka gerbang yang sudah longgar. Suara berderit pagar besi itu membuatnya merinding, namun ia terus maju, tak tergoyahkan. Anzar mengikuti di belakangnya, meskipun jelas terlihat bahwa ia tidak sepenuhnya setuju dengan keputusan Amira.
Mereka memasuki halaman yang luas, penuh dengan rumput yang sudah tumbuh liar. Rumah itu tampak seperti bangunan besar yang dulu megah, namun kini terlihat hampir hancur. Lantai yang pecah, jendela yang sudah retak, dan dinding yang mulai mengelupas memberikan kesan suram yang mencekam.
Amira memimpin mereka menuju pintu depan. Ia mengetuk pintu dengan keras, berharap bisa mendapatkan jawaban. Setelah beberapa saat, pintu terbuka dengan pelan, dan seorang pria tua muncul di balik pintu.
Pria itu mengenakan pakaian lusuh, dan matanya tampak buram, seolah sudah lama terisolasi dari dunia luar. Namun, tatapan matanya yang tajam menunjukkan bahwa dia tidak sekadar orang biasa.
“Siapa kalian?” tanya pria itu dengan suara serak, seolah dia sudah lama tidak berbicara.
“Apa Anda mengenal Sugeng priono?” tanya Amira, tegas namun penuh harap.
Pria itu terdiam sesaat, lalu mengangguk pelan. “Sugeng.. dia pernah tinggal di sini. Tapi itu sudah lama sekali. Kamu... kamu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, bukan?”
Amira merasakan jantungnya berdegup dengan sangat kencang. Ini mungkin jawaban yang selam ini ia cari.
“Sugeng ada di mana sekarang?” tanyanya, suara Amira bergetar.
Pria itu menatap Amira dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Dia sudah tidak tinggal di sini lagi. Tapi jejaknya masih ada... dan jika kamu ingin tahu lebih banyak, kamu harus siap untuk menghadapi kebenaran.”
Amira merasa darahnya berdesir. “Apa maksud Bapak?”
Pria itu menghela napas, kemudian mengajak mereka masuk ke dalam rumah.
Amira merasa jantungnya berdegup lebih cepat begitu memasuki rumah yang luas namun terbengkalai itu. Pria tua yang membawa mereka masuk tampaknya sudah cukup lama hidup sendirian, dan rumah ini, meski besar, tampak seperti rumah yang tak terawat, penuh debu dan kesunyian. Setiap langkah Amira di atas lantai kayu yang berderit membuatnya merasa semakin dekat dengan rahasia yang selama ini tersimpan dan tersembunyi.Pria itu memimpin mereka menuju ruang tamu yang gelap. Cahaya matahari yang merembes dari jendela yang pecah memberi suasana yang suram dan menegangkan. Amira berusaha untuk tetap tenang, meskipun hatinya penuh dengan rasa penasaran yang mendalam. Ia harus mendapatkan jawaban.“Sugeng pernah tinggal di sini,” ujar pria itu, suara seraknya menggema di ruang yang sepi. “Namun, itu sudah lama sekali. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan dia setelah itu.”Amira menatapnya tajam. “Kenapa dia pergi meninggalkan rumah ini?”Pria itu menghela napas panjang, seolah memikirkan jawab
Amira menatap kearah langit dimalam yang berkelap-kelip dengan mata yang penuh tekad. Angin kota yang dingin menerpa wajahnya, membawakan aroma tak dikenal yang jauh dari bau tanah desa mereka. Ia merasa terasing, namun semakin kuat dalam keyakinannya bahwa perjalanan ini adalah satu-satunya cara untuk mengungkap apa yang terjadi pada ayahnya. Ayah yang selama ini diam, menjaga jarak, dan akhirnya... hilang begitu saja."Amira, aku tahu kamu ingin tahu lebih banyak, tapi kita harus berhati-hati," kata Anzar dengan suara pelan, merujuk pada pertemuan mereka dengan mantan manajer proyek. "Semakin dalam kita menggali, semakin banyak bahaya yang mengintai kita."Amira menoleh ke arah Anzar, matanya yang tajam menunjukkan tekad yang tidak bisa digoyahkan. "Aku sudah tidak bisa mundur, Anzar. Apa yang sudah terjadi pada ayahku, dan proyek itu—semua ini terlalu besar untuk dibiarkan begitu saja. Kita harus mencari tahu siapa yang bertanggung jawab."Anzar menghela napas panjang. Ia tahu betu
Amira dan Anzar kembali ke hotel mereka dengan kepala penuh pikiran. Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, seolah udara kota ikut menyerap kegelapan dari rahasia yang mereka ungkap. Amira duduk di pinggir tempat tidur, menatap keluar jendela ke arah lampu-lampu kota yang berkelap-kelip, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menghadapi langkah selanjutnya."Rudi menyebutkan sesuatu yang penting," kata Anzar, memecah keheningan. "Orang-orang di balik ini mungkin lebih sulit dijangkau daripada yang kita duga. Jika kita tidak hati-hati, kita akan menjadi target berikutnya."Amira mengangguk perlahan. "Tapi kita sudah terlalu jauh untuk mundur. Aku tidak bisa membiarkan mereka lolos begitu saja setelah apa yang mereka lakukan pada ayahku. Dia layak mendapatkan keadilan."Anzar menatapnya dengan tatapan penuh kekhawatiran. "Aku mengerti, Amira. Tapi kita harus merencanakan langkah kita dengan hati-hati. Jika tidak, kita mungkin tidak akan memiliki kesempatan untuk bertahan."Jejak Ba
Gang sempit itu menyelamatkan mereka sementara, tetapi Amira dan Anzar tahu mereka tidak bisa bersembunyi lama. Mobil hitam yang mengikuti mereka akhirnya pergi setelah beberapa menit, tetapi Amira yakin mereka hanya sementara kehilangan jejak."Kita harus segera meninggalkan kota," ujar Anzar, napasnya masih terengah. "Mereka pasti tahu kita sedang menyelidiki sesuatu. Kalau tidak segera bergerak, mereka akan menangkap kita.""Tidak," bantah Amira, meskipun tubuhnya sedikit gemetar. "Kita tidak bisa pergi sekarang. Semua ini dimulai di sini, dan aku yakin jawabannya ada di kota ini. Kita hanya perlu tempat yang lebih aman."Anzar terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Baiklah, tapi kita tidak bisa sembarangan. Kita harus bergerak di bawah radar."Anzar kemudian menghubungi seorang kenalannya, Indra, yang bekerja sebagai mekanik di sebuah bengkel tua di pinggir kota. Indra dikenal sebagai pria yang jago mengotak-atik mobil, tetapi ia juga memiliki koneksi dengan jaringan informasi bawah t
Amira, Anzar, dan Indra duduk di dalam pondok kecil milik Pak Alex. Malam semakin larut, namun suasana hening di luar hutan tidak membawa ketenangan. Mereka baru saja melarikan diri dari pengejaran sengit, dan kini mereka harus menyusun rencana matang untuk menghadapi ancaman Mekarjaya Group yang semakin nyata."Kita tidak bisa terus berlari," kata Amira, mencoba menenangkan napasnya. "Kita harus menyerang balik. Tapi dengan cara yang benar."Anzar menatap Amira dengan ragu. "Kita ini siapa? Mekarjaya punya koneksi, uang, dan orang-orang yang bersenjata. Kita cuma punya rekaman dan keberanian nekat."Indra, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Aku setuju dengan Amira. Kita memang kecil, tapi bukan berarti tidak bisa melawan. Kita harus mencari dukungan. Orang-orang yang juga dirugikan oleh Mekarjaya pasti ada. Kalau kita bisa mengumpulkan bukti lebih banyak, kita pasti punya peluang."Amira mengangguk, wajahnya menunjukkan tekad yang kuat. "Kita butuh jaringan. Orang-orang y
Amira dan Anzar kembali dari pertemuan dengan Ibu Susi dengan penuh tekad. Kini mereka memahami bahwa perjuangan mereka belum selesai. Berita tentang skandal Mekarjaya Group telah menyebar luas, memicu protes besar-besaran, tetapi Subagio Dormanjoyo dan kroninya masih bebas, melancarkan upaya untuk membungkam kebenaran. "Kita harus membuat langkah terakhir yang akan benar-benar menjatuhkan mereka," kata Amira saat mereka duduk di ruang kecil perlindungan polisi. "Semua bukti yang kita kumpulkan harus digunakan untuk menyerang inti jaringan mereka." Anzar mengangguk, matanya penuh keseriusan. "Tapi kita harus hati-hati. Mereka pasti akan meningkatkan pengawasan dan mencoba menjebak kita. Kita butuh rencana yang sangat matang." Strategi Baru Malam itu, Amira, Anzar, Indra, dan Via berkumpul di sebuah lokasi rahasia yang disediakan oleh jaringan jurnalis independen. Mereka mulai memetakan langkah-langkah berikutnya. Via, dengan keahliannya sebagai hacker, menemukan jejak transaksi mencur
Meskipun mereka telah berhasil meruntuhkan salah satu jaringan korupsi terbesar di negara itu, Amira dan Anzar tahu bahwa perjuangan mereka baru saja dimulai. Tangan-tangan yang kuat yang dikendalikan oleh Subagio dan kroninya tidak akan hanya duduk diam setelah kalah dalam satu pertempuran besar. Mereka tahu bahwa banyak yang tersisa untuk diperbaiki, dan dunia mereka akan terus dipenuhi dengan bahaya yang mengintai.Beberapa minggu setelah konferensi pers yang mengungkap skandal besar itu, Amira dan Anzar duduk di ruang tamu dirumah kecil mereka, disebuah desa yang terpencil, jauh dari hiruk-pikuk Jakarta. Meskipun perasaan lega karena kemenangan mereka terasa, mereka juga merasa seolah-olah ada bayangan yang selalu mengikuti mereka.Menghadapi Bayang-Bayang Masa LaluAmira memandang jauh ke luar jendela, matanya terpaku pada hijaunya ladang yang membentang luas di depan rumah mereka. "Apa kita benar-benar aman?" tanyanya pelan, seolah berbicara lebih kepada dirinya sendiri daripada
Setelah berhasil lolos dari serangan yang hampir fatal di rumah mereka, Amira dan Anzar tahu bahwa tak ada lagi waktu untuk berpikir panjang. Bahaya kini bukan hanya datang dari pihak Mekarjaya Group, tetapi juga dari seluruh sistem yang mereka coba ubah. Mereka merasakan ketegangan yang semakin meningkat. Namun, semangat mereka tetap teguh, dan mereka tahu bahwa mereka berada di jalur yang benar meskipun risiko yang dihadapi semakin besar.Langkah Baru dalam PerjuanganMalam itu, setelah mereka berhasil melarikan diri dari kejaran orang-orang yang bekerja untuk Mekarjaya Group, mereka duduk di ruang bawah tanah yang gelap dan terlindung dari dunia luar. Rencana mereka yang sebelumnya tampak matang kini harus direvisi. Mereka tidak bisa lagi bekerja sembunyi-sembunyi atau secara terbuka di Jakarta. Perjuangan mereka kini harus lebih terorganisir dan terencana dengan sangat hati-hati.Via, yang sejak awal menjadi tulang punggung teknologi mereka, memberikan informasi terbaru mengenai pe
Setelah berbulan-bulan bersembunyi dan merencanakan langkah berikutnya, Amira dan Anzar akhirnya merasa saat yang tepat untuk mengungkapkan seluruh kebenaran. Mereka tahu bahwa dunia internasional kini menunggu bukti lebih lanjut yang dapat menghancurkan struktur kekuasaan yang telah lama dibangun oleh orang-orang yang berusaha menutupi skandal Mekarjaya Group.Persiapan Terakhir: Mengungkap SegalanyaHari itu, mereka berkumpul di ruang kecil yang menjadi markas sementara mereka. Indra, Via, dan beberapa kontak internasional yang telah mereka ajak bekerja sama semua berada di sana. Mereka mulai menyusun rencana besar untuk konferensi pers internasional yang akan mengungkapkan semua bukti yang mereka kumpulkan. Bukti-bukti ini bukan hanya berupa dokumen dan email yang telah mereka temukan, tetapi juga rekaman suara dan video yang menunjukkan bagaimana para elit ini merencanakan dan menjalankan konspirasi besar mereka."Ini lebih dari sekadar membongkar satu perusahaan atau individu," k
Setelah berhasil lolos dari serangan yang hampir fatal di rumah mereka, Amira dan Anzar tahu bahwa tak ada lagi waktu untuk berpikir panjang. Bahaya kini bukan hanya datang dari pihak Mekarjaya Group, tetapi juga dari seluruh sistem yang mereka coba ubah. Mereka merasakan ketegangan yang semakin meningkat. Namun, semangat mereka tetap teguh, dan mereka tahu bahwa mereka berada di jalur yang benar meskipun risiko yang dihadapi semakin besar.Langkah Baru dalam PerjuanganMalam itu, setelah mereka berhasil melarikan diri dari kejaran orang-orang yang bekerja untuk Mekarjaya Group, mereka duduk di ruang bawah tanah yang gelap dan terlindung dari dunia luar. Rencana mereka yang sebelumnya tampak matang kini harus direvisi. Mereka tidak bisa lagi bekerja sembunyi-sembunyi atau secara terbuka di Jakarta. Perjuangan mereka kini harus lebih terorganisir dan terencana dengan sangat hati-hati.Via, yang sejak awal menjadi tulang punggung teknologi mereka, memberikan informasi terbaru mengenai pe
Meskipun mereka telah berhasil meruntuhkan salah satu jaringan korupsi terbesar di negara itu, Amira dan Anzar tahu bahwa perjuangan mereka baru saja dimulai. Tangan-tangan yang kuat yang dikendalikan oleh Subagio dan kroninya tidak akan hanya duduk diam setelah kalah dalam satu pertempuran besar. Mereka tahu bahwa banyak yang tersisa untuk diperbaiki, dan dunia mereka akan terus dipenuhi dengan bahaya yang mengintai.Beberapa minggu setelah konferensi pers yang mengungkap skandal besar itu, Amira dan Anzar duduk di ruang tamu dirumah kecil mereka, disebuah desa yang terpencil, jauh dari hiruk-pikuk Jakarta. Meskipun perasaan lega karena kemenangan mereka terasa, mereka juga merasa seolah-olah ada bayangan yang selalu mengikuti mereka.Menghadapi Bayang-Bayang Masa LaluAmira memandang jauh ke luar jendela, matanya terpaku pada hijaunya ladang yang membentang luas di depan rumah mereka. "Apa kita benar-benar aman?" tanyanya pelan, seolah berbicara lebih kepada dirinya sendiri daripada
Amira dan Anzar kembali dari pertemuan dengan Ibu Susi dengan penuh tekad. Kini mereka memahami bahwa perjuangan mereka belum selesai. Berita tentang skandal Mekarjaya Group telah menyebar luas, memicu protes besar-besaran, tetapi Subagio Dormanjoyo dan kroninya masih bebas, melancarkan upaya untuk membungkam kebenaran. "Kita harus membuat langkah terakhir yang akan benar-benar menjatuhkan mereka," kata Amira saat mereka duduk di ruang kecil perlindungan polisi. "Semua bukti yang kita kumpulkan harus digunakan untuk menyerang inti jaringan mereka." Anzar mengangguk, matanya penuh keseriusan. "Tapi kita harus hati-hati. Mereka pasti akan meningkatkan pengawasan dan mencoba menjebak kita. Kita butuh rencana yang sangat matang." Strategi Baru Malam itu, Amira, Anzar, Indra, dan Via berkumpul di sebuah lokasi rahasia yang disediakan oleh jaringan jurnalis independen. Mereka mulai memetakan langkah-langkah berikutnya. Via, dengan keahliannya sebagai hacker, menemukan jejak transaksi mencur
Amira, Anzar, dan Indra duduk di dalam pondok kecil milik Pak Alex. Malam semakin larut, namun suasana hening di luar hutan tidak membawa ketenangan. Mereka baru saja melarikan diri dari pengejaran sengit, dan kini mereka harus menyusun rencana matang untuk menghadapi ancaman Mekarjaya Group yang semakin nyata."Kita tidak bisa terus berlari," kata Amira, mencoba menenangkan napasnya. "Kita harus menyerang balik. Tapi dengan cara yang benar."Anzar menatap Amira dengan ragu. "Kita ini siapa? Mekarjaya punya koneksi, uang, dan orang-orang yang bersenjata. Kita cuma punya rekaman dan keberanian nekat."Indra, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Aku setuju dengan Amira. Kita memang kecil, tapi bukan berarti tidak bisa melawan. Kita harus mencari dukungan. Orang-orang yang juga dirugikan oleh Mekarjaya pasti ada. Kalau kita bisa mengumpulkan bukti lebih banyak, kita pasti punya peluang."Amira mengangguk, wajahnya menunjukkan tekad yang kuat. "Kita butuh jaringan. Orang-orang y
Gang sempit itu menyelamatkan mereka sementara, tetapi Amira dan Anzar tahu mereka tidak bisa bersembunyi lama. Mobil hitam yang mengikuti mereka akhirnya pergi setelah beberapa menit, tetapi Amira yakin mereka hanya sementara kehilangan jejak."Kita harus segera meninggalkan kota," ujar Anzar, napasnya masih terengah. "Mereka pasti tahu kita sedang menyelidiki sesuatu. Kalau tidak segera bergerak, mereka akan menangkap kita.""Tidak," bantah Amira, meskipun tubuhnya sedikit gemetar. "Kita tidak bisa pergi sekarang. Semua ini dimulai di sini, dan aku yakin jawabannya ada di kota ini. Kita hanya perlu tempat yang lebih aman."Anzar terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Baiklah, tapi kita tidak bisa sembarangan. Kita harus bergerak di bawah radar."Anzar kemudian menghubungi seorang kenalannya, Indra, yang bekerja sebagai mekanik di sebuah bengkel tua di pinggir kota. Indra dikenal sebagai pria yang jago mengotak-atik mobil, tetapi ia juga memiliki koneksi dengan jaringan informasi bawah t
Amira dan Anzar kembali ke hotel mereka dengan kepala penuh pikiran. Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, seolah udara kota ikut menyerap kegelapan dari rahasia yang mereka ungkap. Amira duduk di pinggir tempat tidur, menatap keluar jendela ke arah lampu-lampu kota yang berkelap-kelip, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menghadapi langkah selanjutnya."Rudi menyebutkan sesuatu yang penting," kata Anzar, memecah keheningan. "Orang-orang di balik ini mungkin lebih sulit dijangkau daripada yang kita duga. Jika kita tidak hati-hati, kita akan menjadi target berikutnya."Amira mengangguk perlahan. "Tapi kita sudah terlalu jauh untuk mundur. Aku tidak bisa membiarkan mereka lolos begitu saja setelah apa yang mereka lakukan pada ayahku. Dia layak mendapatkan keadilan."Anzar menatapnya dengan tatapan penuh kekhawatiran. "Aku mengerti, Amira. Tapi kita harus merencanakan langkah kita dengan hati-hati. Jika tidak, kita mungkin tidak akan memiliki kesempatan untuk bertahan."Jejak Ba
Amira menatap kearah langit dimalam yang berkelap-kelip dengan mata yang penuh tekad. Angin kota yang dingin menerpa wajahnya, membawakan aroma tak dikenal yang jauh dari bau tanah desa mereka. Ia merasa terasing, namun semakin kuat dalam keyakinannya bahwa perjalanan ini adalah satu-satunya cara untuk mengungkap apa yang terjadi pada ayahnya. Ayah yang selama ini diam, menjaga jarak, dan akhirnya... hilang begitu saja."Amira, aku tahu kamu ingin tahu lebih banyak, tapi kita harus berhati-hati," kata Anzar dengan suara pelan, merujuk pada pertemuan mereka dengan mantan manajer proyek. "Semakin dalam kita menggali, semakin banyak bahaya yang mengintai kita."Amira menoleh ke arah Anzar, matanya yang tajam menunjukkan tekad yang tidak bisa digoyahkan. "Aku sudah tidak bisa mundur, Anzar. Apa yang sudah terjadi pada ayahku, dan proyek itu—semua ini terlalu besar untuk dibiarkan begitu saja. Kita harus mencari tahu siapa yang bertanggung jawab."Anzar menghela napas panjang. Ia tahu betu
Amira merasa jantungnya berdegup lebih cepat begitu memasuki rumah yang luas namun terbengkalai itu. Pria tua yang membawa mereka masuk tampaknya sudah cukup lama hidup sendirian, dan rumah ini, meski besar, tampak seperti rumah yang tak terawat, penuh debu dan kesunyian. Setiap langkah Amira di atas lantai kayu yang berderit membuatnya merasa semakin dekat dengan rahasia yang selama ini tersimpan dan tersembunyi.Pria itu memimpin mereka menuju ruang tamu yang gelap. Cahaya matahari yang merembes dari jendela yang pecah memberi suasana yang suram dan menegangkan. Amira berusaha untuk tetap tenang, meskipun hatinya penuh dengan rasa penasaran yang mendalam. Ia harus mendapatkan jawaban.“Sugeng pernah tinggal di sini,” ujar pria itu, suara seraknya menggema di ruang yang sepi. “Namun, itu sudah lama sekali. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan dia setelah itu.”Amira menatapnya tajam. “Kenapa dia pergi meninggalkan rumah ini?”Pria itu menghela napas panjang, seolah memikirkan jawab