Pagi tiba lebih awal. Sejujurnya pergerakan detik tidak pernah berubah, senantiasa stabil tanpa memgurangi atau menambahkan kecepatan. Sayangnya bagi Gus Farhan yang kesulitan tidur tadi malam tentu pagi terasa berbeda dari biasanya. Dari bingkai jendela masjid, ia memandangi lahan sawah nan luas, mengembangkan pikiran pada hal-hal abstrak yang tidak seharusnya ia lakukan. Jamaah subuh santri telah menutup bacaan Al-Quran. Mengemas langkah usai merapikan sajadah dan membersihkan area sembahyang. Gema ayat suci yang semula menentramkan jiwa, tetiba dipangkas kesunyian dalam kedamaian waktu esok. Kang Zaki menghampiri Gus Farhan, menanyakan lamunan yang diedarkan oleh tatapan hampa. "Mau olahraga tidak, Gus?" tanya Kang Zaki sebagai basa-basi, niatnya untuk memecah lamunan Gus Farhan. Sebetulnya ia hendak mengajak keluar dari masjid. Pasalnya sudah tidak ada santri di sana, berdiam diri dengan lamunan alias bengong terlalu lama bukanlah perbuatan baik. Di luar sana, santri laki-laki
Faktanya pesan yang diharapkan sampai ke Abah Aziz dihalau oleh takdir. Pemuda pencuri foto Gus Farhan sedang berada di diskotik itu berkali-kali melenguh napas kesal, sebab kontak Abah Aziz sudah tidak aktif. Ia menanam kecewa atas tindakan Gus Farhan yang mangkir di tempat terlarang, bukan karena ia merasa sok suci dengan menghakimi perbuatan orang lain, tetapi kesal karena sosok yang diidolakan banyak mahasiswa itu terciduk duduk di hadapan miras—meski itu bukan minuman Gus Farhan. Selama ini Mahes sering mengikuti kajian kampus bersama Gus Farhan. Biasanya ada kegiatan rohani yang memang diselenggarakan secara rutin. Gus Farhan mendapatkan kepercayaan dari pihak kampus untuk membimbing jiwa lena para mahasiswa. Setidaknya ucapan dan perilaku Gus Farhan pernah didengar dan dijadikan panutan kaum muda. Mahes sungguh tidak mengerti dengan jalan pikiran Gus Farhan hari itu. Ia sudah terlanjur sengasara karena rekan dekatnya sekarat di rumah sakit, tambah dengki karena figur yang dik
Kepala Shofi berdenyut-denyut hebat. Ia menggigil sementara perut dirasa mual. Akibata jatuh dari tangga beberapa hari lalu, juga pencernaan yang dibiarkan kosong. Sampai detik itu Shofi masih terdiam di dalam sekapan. Juned menengok ke gudang tiga kali sehari, waktu-waktu makan, sementara penghuni rumah mewah itu berkasak-kusuk sampai terdengar telinga Shofi. Kebetulan sekali gudang terletak pada deretan kamar mandi. Siapa pun yang singgah untuk mandi atau sekadar buang hajat, spontan akan melirik sebuah pintu tertutup rapat yanag sering digunakan untuk mengurung penghuni baru. Jadi selain engap, gudang itu menguarkan aroma busuk yang pantas saja membuat perut Shofi mual. "Sungguh memuakkan, hanya karena dia memakai jilbab, tubuhnya masih suci sampai detik ini," seloroh wanita berambut cepak yang baru selesai mandi. "Dia hanya sedang beruntung, ketahuilah Bos bukan orang yang mudah melepas mangsanya," "Tetapi aku merasa cemburu, kita terus dipekerjakan, tanpa peduli rupiah yang d
Juned memutar pegangan pintu, tangan kanan membawa sepiring makanan lengkap dengan lauknya sementara tangan kiri menyentuh sakelar lampu. Ruang yang semula dipenuhi dengan kegelapan mendadak terang benderang. Lihatlah, sekujur tubuh Shofi yang telah rebah di atas lantai. Jilbal koyak, kain sekusut lap pel dan bibir kering kerontang retak -retak. Ia sudah lemah, suaranya juga tak sanggup memberi pembelaan. Juned menendang kaki Shofi. Ah bahkan kaki Shofi sebeku es di freezer, dingin tak mampu dipijakkan. "Bangun!" "Kau tetap harus hidup, jika tidak Bos Bagong akan membunuhku!" "Brengsek! Bangun!" Juned menambah kekuatan. Tendangan semakin ditekan, tetapi Shofi tidak memberikan respon. Dua bola matanya tertutup rapat. "Bangun, makan!" Juned menyorongkan makanan ke arah bibir Shofi. Gadis itu sungguh tidak sadarkan diri. Embusan napas lepas keluar pasrah. Bos Bagong tentu akan marah-marah. Juragannya itu selalu tidak mau mengaku salah. Sejujurnya jika dipikir-pikir, kesalahan terle
Siang itu Gus Farhan buru-buru menyandang jaket dan kontak mobil. Ia mengabaikan Umi yang mengajaknya makan. Kebetulan sekali hari itu akhir pekan, Abah Azis sedang mengosongkan jadwal dakwah keluar pesantren. Khusus hari itu ia ingin kumpul keluarga—makan di rumah bersama Gus Farhan juga Umi. "Maafkan Farhan, Mi. Farhan mau bertemu seseorang!" "Makan sebentar, apa tidak bisa? Umi sudah memasakkan sayur kesukaanmu, sop gambas dan tumis kangkung." Sayangnya pesan dari salah satu mahasiswa yang pernah mengikuti kajiannya di kampus, membuat langkah Gus Farhan serupa dikejar deadline. Hentakannya begitu meyakinkan penuh tekanan. Ada tempat yang dituju, sesuatu yang membuat kursi makan untuknya tidak bisa disinggahi. "Farhan makannya nanti setelah pulang dari rumah sakit ya, Mi." Gus Farhan menawarkan pilihan lain. Seketika wajah Umi dipenuhi dengan mendung. Namun, sebagai ibu yang baik, ia berusaha memahami prioritas putranya yang tengah dewasa. "Memangnya ke rumah sakit mau jenguk s
Bos Bagong menatap kondisi Shofi dari ambang pintu. Selang infus tergantung menjadi jalan cairan demi menopang energi tubuh Shofi. Di luar rumah berlantai tiga itu, pepohonan rindang sedang menhantarkan doa dalam sepi yang senyap. Dingin dan embun-embun di permukaan daun siap mengamini. Ada sekelumit perasaan perih yang tiba-tiba menimpa hatinya. Sesal tidak tanggung-tanggung karena membeli Shofi—gadis yang masih memiliki kesucian dan kehormatan tinggi itu. Sekelebat bayangan Putra menyembul di permukaan lukisan kuda yang tergantung di atas dipan. Kuda-kuda itu seolah sedang menghantarkan kehadiran Putra. Anaknya membeku di rumah sakit, dengan sesal tiada ujung, dengan penderitaan kaki lumpuh, dengan semangat hidup yang tidak lagi berkobar. Beberapa hari terakhir Putra memang kelihatan murung. Shofi sudah dirawat dua hari, infus telah habis lima kantong. Kondisinya mulai membaik. Aura pucatnya lenyap perlahan. "Bagaimana, Bos?" tanya Bawon. Bawon sedang berkunjung ke markas Bos Ba
Hari itu ... hari yang sesungguhnya sangat tidak dinantikan oleh Putra. Rasanya ia ingin selalu rebah di bangsal rumah sakit, menikmati sepoi angin pagi yang berembus menggoyangkan gorden jendela, memperhatikan wajah-wajah merenung di taman rumah sakit dari kacanya, mengintip ekspresi malam yang tergambar begitu pedih, dan tenggelam dalam suasana sepi yang sesungguhnya teramat menyiksa. Kondisi fisik Putra dikabarkan telah pulih, hanya saja ia tidak bisa berjalan sebagaimana dahulu kala. Kini, kursi roda akan menjadi langkah kakinya. Pulang menjadi momok mengerikan. Kunjungan tetangga yang menanyakan kabar kesehatan, menuntut diurainya tragedi kecelakaan, membuatnya muak. Akan tetapi, Putra dan Bu Ika tinggal di pedesaan. Mereka harus mengikuti aturan adat yang tertanam di dada lekat penghuninya. Putra mendadak menjadi pemurung, meskipun berkali-kali diberi sapaan oleh warga, ia kerap menekuk wajah, memasang ekspresi datar tanpa peduli dengan senyum ramah tamah mereka. Bos Bagong, not
"Anda tidak berhak mengatur penampilan pelayan di tempat ini!" seloroh Bawon menahan emosi. Shofi sibuk mengelap pakaiannya. Lonjakan kaki para penikmat malam tetiba berhenti. Mata-mata mulai memusatkan pandang kepada Shofi. Meraka merasa heran dengan penampilan Shofi. "Hei, jangan tampil sok alim! Berpenampilan suci di tempat keruh justru lebih menakutkan!" Orang lain tertawa. "Saya juga tidak ingin berada di tem..." "Sudah, kembali ke tempat masing-masing. Pelayan ini adalah tanggung jawabku, bukan urusan kalian!" bela Bawon dengan nada agak tinggi tetapi kalimat yang jauh lebih sopan ketimbang ketika berbicara dengan Shofi. "Pelayan barumu itu membuatku risih! Orang berjilbab tidak pantas berada di lokasi dugem begini!" Faktanya bukan hanya Shofi, meski menjadi kaum minoritas, tetapi dia tidak seorang diri di sana. Ada beberapa kaum hawa yang memakai jilbab dan duduk di kursi kayu, menikmati alunan musik, memesan minuman yang tidak mengandung alkohol, ikut berpesta walau eng
Ruang itu temaram, lampu jamur di atas meja kecil sebelah ranjang dinyalakan. Aroma wewangian mawar mendominasi lubang hidung. Shofi tengah duduk di hadapan cermin, dia mematut wajahnya yang tegang, ada ketakutan akut yang tidak bisa dia hindari. Bayangan pria bertubuh kekar menarik tubuhya dengan paksa. Jeritan permintaan tolong yang tidak dipedulikan oleh telinga-telinga orang awam membuatnya terjebak pada dimensi kelam. Dia sudah resmi menjadi istri Gus Farhan melalu pertentangan restu berkali-kali, pada akhirnya Abah Aziz dan Umi mengalah. Baiklah masa depan miliknya Gus Farhan secara utuh. Hal yang diharapkan manis di malam romantis bersaksikan milyaran titik gerimis di luar sana justru disambut oleh tangis. Shofi tersedu-sedu meminta maaf kepada Gus Farhan. Sudah satu bulan penuh dirinya tinggal serumah bersama Gus Farhan, satu atap dalam satu ruang tetapi pisah ranjang ... ya tubuh mereka belum bersentuhan sama sekali. Ada hal yang menjanggal. Shofi terlarut dalam trauma psiki
Ketika meja sarapan menghidangkan sepiring tempe mendoan dengan kepulan hangat, dilengkapi tiga buah bubur bersahabat sayur tahu kuning berkuah santan, ketika pagi dirimbuni embun semalam dan daun-daun masih basah. Malam tadi ada gerimis Mei yang membasuh bumi. Bunga alamanda milik tetangga menguning indah bersama butiran air. Jendela melukis air terjun, sementara udara menyergap dalam dingin tidak berkesudahan. Mereka bertiga sarapan bubur buatan tangan Bunda. Hari itu minggu, Bunda mengambil libur jualan. Ada setoples kerupuk udang yang menjadi saksi kebersamaan mereka. Agam menyantap bubur serupa orang tidak makan satu hari penuh. Shofi sesekali mencuri pandang kelakuan sang adik, sepertinya dia tidak sedang lapar, tetapi ada aura kebahagiaan yang membuat nafsu makannya bertambah. Zea, gadis toserba itu, sosok yang menjadikan alasannya lari tergesa, sudah pasti menjadi alasan Agam makan begitu nikmat. "Zea sepertinya sholihah, dia menutup aurat dan kelebihannya adalah cantik," cel
Selajur sinar neon menyiram wajah Gus Farhan, dia setengah rebah di atas dipan, melembari surat Shofi yang kemarin belum terbaca tuntas tetapi jantungnya telah ditabuh penuh kemenangan. Bibir merah tipisnya menyungging, bibir yang tak akan pernah dia kotori menggunakan nikotin apalagi kata-kata dusta, serupa janji manis. Bising serangga malam di luar kamar bagaikan koor lagu romantis detik itu. ...'Satu hal yang pasti darimu semenjak kita bertemu, Farhan. Kau tampan, lalu kau baik karena mau memberi pertolongan kepadaku yang belum dikenal. Hatimu begitu ikhlas. Ini bukan bentuk pujian, tetapi begitulah kenyataan tersurat untukmu. Kalau untuk orang yang tidak dikenal saja kau berani mempertaruhkan harga diri dan keselamatanmu, maka aku pastikan kamu orang bertanggungjawab. Untuk itu, tanggunglah kesedihan dan hidupku di masa depan. Ayo kita menikah, kita lawan kegelisahan dan cobaan-cobaan kehidupan. Aku tidak akan mengajakmu hidup bahagia, sesungguhnya kebahagiaan hanyalah kamuflase
Pemuda itu menekan tombol untuk menjalankan roda secara otomatis, kemudian dia menyetirnya ke kanan dan ke kiri menuju garasi. Putra yang malang, dia meringis kesakitan, menahan bulir-bulir peluh, menyeret dua kakinya yang mati rasa, berat seumpama ditindih batu ratusan kilo. Kalau pantas, sudah diungsikan kaki-kakinya yang tiada guna itu. Mereka hanya menjadi beban, tidak bisa digunakan sekali pun dalam posisi Putra ingin berlari. Ya, sungguh pada petang itu dia ingin mendatangi toserba yang dibicarakan warga netizen, seorang konten kreator mengunggah vidio pertengkaran dua kaum hawa di media sosial, dan entah bagaimana ceritanya mendadak kontennya viral—karena menggunakan tagline 'Gadis Bar Berjilbab, Shofi dan Gus Farhan.' Padahal anak satu-satunya Abah Aziz itu sedang tidak di lokasi. "Kumohon ...," rintihnya sambil bersusah payah menaiki mobil. Setelah berhasil kursi rodanya ditarik kemudian dilipat di sisinya. Ia mengusap keringat dengan punggung tangan. Lantas menghubungi Mahe
Pop up pesan di layar ponsel Agam membuat pemuda itu langsung lompat ke halaman rumah, ia seret sepeda motornya di bawah kain langit yang membentang jingga. Shofi yang baru saja duduk menikmati teh hangat seduhan Bunda dibuat terkejut olehnya. "Ada apa, Gam?" teriak Shofi, dia pun lari menghampiri Agam. "Temanku berantem," celetuk Agam. "Sejak kapan dirimu punya teman?" seru Shofi dengan kening berkerut. Agam menghela napas panjang, dia kemudian menumpangi sepeda motor, menyalakan mesin. "Aku ikut!" "Enggak! Ini bukan urusanmu!" sergah Agam dengan suara lantang, lebih keras dari amukan petir sewaktu badai. Ada hal yang tidak ingin dipertemukan oleh Agam, kakaknya berada di mode tenang. Jika dia melihat sosok Anggi, maka peperangan batinnya akan kembali mengamuk. Beberapa hari ini, Shofi terlihat murung, Agam belum mengetahui penyebabnya, jika Anggi hadir dalam kehidupan sekarang, maka batin saudaranya akan terkungkung dalam amarah dan kebencian. Agam tidak mau saudaranya menderit
"Hei kau tahu kabar gadis bar yang dulu pakai jilbab?" tanya seorang remaja yang duduk di kursi tunggu toserba, mereka tengah asyik menikmati cemilan ringan dan soft drink aneka rasa. "Pernah dengar sih, cuma agak blur, nggak nyimak medsos, ada apa?" "Ternyata dia diselamatkan oleh Gus Farhan, tahu kan pemuda tampan putranya Kyai Aziz? Gara-gara dia nama Gus Farhan sempat menjadi perbincangan," "Lah kok bisa Gus Farhan dekat dengan gadis bar, okelah dia berjilbab, tapi kan lingkungannya buruk!" celetuk temannya kemudian menenggak minuman. "Menurut berita sih gadis itu ternyata dijebak oleh Bos Bagong, dipekerjakan tanpa gaji, tapi ya entahlah, namanya juga kabar kabur," "Bos Bagong itu siapa?" "Itu nama gelapnya Pak Hendra, si pengusaha yang mempunyai berbagai toko bangunan, kau tahu?" "Hmmm, nggak kenal sih, cuma kejam juga itu si Bos Bagong, masak iya mau mempekerjakan orang tapi nggak mau bayar, lah duitnya diapakan?" "Itu dia, aneh kan? Bukan hanya gadis itu saja yang dipe
Pemuda itu tengah menunggu kepulangan Shofi, dia seperti biasa diantar oleh Mahes. Keduanya seperti jarum dan benang, saling berkaitan jika mau digunakan. Putra memandang langit sementara Mahes sibuk duduk di atas kursi bambu dengan memoles layar gawai. Dia merasa rumah Shofi begitu miris, kecil dan tampak memperihatinkan. Bunda menyambut kedua tamunya dengan baik, menyuguhi teh hangat dan pacitan sisa lebaran. Akan tetapi dua bibir milik pemuda itu tidak berselera menyentuh kue yang dihidangkan. Apalagi Putra, pokok pikirannya sedang tertuju kepada Shofi, dia ingin segera bertemu dengan Shofi. "Jadi kamu anaknya Bos Bagong—maaf maksudnya Pak Hendra yang menyekap anak saya itu?" Bunda meluruskan. "Ya, dan Ibu yang ditolong Anda adalah istrinya," Bunda terkejut, begitu lihai takdir menyatukan kehidupan seseorang, hal yang mustahil dijadikan kenyataan, hal yang seolah enggan dilembutkan, menjadi lunak. "Bu Ika?" Putra memberi anggukan, Mahes masih asyik dengan permainan online di p
Bangunan itu berdiri kokoh dengan pondasi berumur senja. Pintu-pintu kamar yang catnya luntur, dipadukan dengan lantai teras yang retak-retak. Engsel jendela kebanyakan rusak. Satu-satunya gedung yang terbilang masih kokoh dan memiliki daya tarik karismatik yakni masjid di dalamnya, apalagi cat dindingnya baru dipoles kemarin sebelum lebaran. Santri piket mengumandangkan takbir di bawah gemerlap lampu yang dinyalakan. Halaman bangunan itu mendadak dirundung sepi selama dua minggu. Santri cuti mengaji, kebanyakan pulang untuk bersilaturahmi dengan keluarga di kampung halaman. Kang Zaki juga tidak kelihatan duduk di kantor pondok putra. Mobil-mobil pondok mangkrak di garasi, itu artinya Abah Aziz, Umi dan Farhan ada di ndalem. Lantas bisakah Shofi menyapa mata teduh pemuda yang pernah menyelamatkannya? April menyapa akhir bulan di kalender masehi, daun-daun trembesi meranggas di halaman asrama, dikombinasi rontokan daun kering rambutan dan kersen. Daun-daun kering itu berserak di atas
Orang-orang bersliweran mengenakan sandang luwes, rapi dan bau pewangi yang baru saja dibeli dari supermarket. Kendaraan-kendaraan berplat putih turun berkeliaran di jalanan kampung, disusul mobil rentalan dari luar kota membludak membuat macet. Petasan berdenging mengusik kedamaian siput kecil di dalam gendang telinga, para sesepuh berkali menggerundel karena terkejut hingga jantungnya mau semaput. Ketika itu, Shofi mengembangkan senyum di hadapan Bunda dan Agam, mereka hanya bertiga, belum memulai perjalanan keliling kampung untuk ulurkan salam permintaan ampun kepada para orang tua. Kebiasaan orang desa, memohon maaf atas khilaf selama setahun penuh baik disengaja maupun tidak disengaja. Hal itu tentu dilakukan pula oleh Agam dan Shofi, sekalipun pemuda berambut cepak yang baru saja cukur kemarin itu sempat bersikap dingin karena menahan malu. “Sudah, jangan jaim, aku telah mengampunimu walaupun kau tidak mau meminta maaf,” ungkap Shofi membunuh kebungkaman waktu. Selepas shalad