Juned memutar pegangan pintu, tangan kanan membawa sepiring makanan lengkap dengan lauknya sementara tangan kiri menyentuh sakelar lampu. Ruang yang semula dipenuhi dengan kegelapan mendadak terang benderang. Lihatlah, sekujur tubuh Shofi yang telah rebah di atas lantai. Jilbal koyak, kain sekusut lap pel dan bibir kering kerontang retak -retak. Ia sudah lemah, suaranya juga tak sanggup memberi pembelaan. Juned menendang kaki Shofi. Ah bahkan kaki Shofi sebeku es di freezer, dingin tak mampu dipijakkan. "Bangun!" "Kau tetap harus hidup, jika tidak Bos Bagong akan membunuhku!" "Brengsek! Bangun!" Juned menambah kekuatan. Tendangan semakin ditekan, tetapi Shofi tidak memberikan respon. Dua bola matanya tertutup rapat. "Bangun, makan!" Juned menyorongkan makanan ke arah bibir Shofi. Gadis itu sungguh tidak sadarkan diri. Embusan napas lepas keluar pasrah. Bos Bagong tentu akan marah-marah. Juragannya itu selalu tidak mau mengaku salah. Sejujurnya jika dipikir-pikir, kesalahan terle
Siang itu Gus Farhan buru-buru menyandang jaket dan kontak mobil. Ia mengabaikan Umi yang mengajaknya makan. Kebetulan sekali hari itu akhir pekan, Abah Azis sedang mengosongkan jadwal dakwah keluar pesantren. Khusus hari itu ia ingin kumpul keluarga—makan di rumah bersama Gus Farhan juga Umi. "Maafkan Farhan, Mi. Farhan mau bertemu seseorang!" "Makan sebentar, apa tidak bisa? Umi sudah memasakkan sayur kesukaanmu, sop gambas dan tumis kangkung." Sayangnya pesan dari salah satu mahasiswa yang pernah mengikuti kajiannya di kampus, membuat langkah Gus Farhan serupa dikejar deadline. Hentakannya begitu meyakinkan penuh tekanan. Ada tempat yang dituju, sesuatu yang membuat kursi makan untuknya tidak bisa disinggahi. "Farhan makannya nanti setelah pulang dari rumah sakit ya, Mi." Gus Farhan menawarkan pilihan lain. Seketika wajah Umi dipenuhi dengan mendung. Namun, sebagai ibu yang baik, ia berusaha memahami prioritas putranya yang tengah dewasa. "Memangnya ke rumah sakit mau jenguk s
Bos Bagong menatap kondisi Shofi dari ambang pintu. Selang infus tergantung menjadi jalan cairan demi menopang energi tubuh Shofi. Di luar rumah berlantai tiga itu, pepohonan rindang sedang menhantarkan doa dalam sepi yang senyap. Dingin dan embun-embun di permukaan daun siap mengamini. Ada sekelumit perasaan perih yang tiba-tiba menimpa hatinya. Sesal tidak tanggung-tanggung karena membeli Shofi—gadis yang masih memiliki kesucian dan kehormatan tinggi itu. Sekelebat bayangan Putra menyembul di permukaan lukisan kuda yang tergantung di atas dipan. Kuda-kuda itu seolah sedang menghantarkan kehadiran Putra. Anaknya membeku di rumah sakit, dengan sesal tiada ujung, dengan penderitaan kaki lumpuh, dengan semangat hidup yang tidak lagi berkobar. Beberapa hari terakhir Putra memang kelihatan murung. Shofi sudah dirawat dua hari, infus telah habis lima kantong. Kondisinya mulai membaik. Aura pucatnya lenyap perlahan. "Bagaimana, Bos?" tanya Bawon. Bawon sedang berkunjung ke markas Bos Ba
Hari itu ... hari yang sesungguhnya sangat tidak dinantikan oleh Putra. Rasanya ia ingin selalu rebah di bangsal rumah sakit, menikmati sepoi angin pagi yang berembus menggoyangkan gorden jendela, memperhatikan wajah-wajah merenung di taman rumah sakit dari kacanya, mengintip ekspresi malam yang tergambar begitu pedih, dan tenggelam dalam suasana sepi yang sesungguhnya teramat menyiksa. Kondisi fisik Putra dikabarkan telah pulih, hanya saja ia tidak bisa berjalan sebagaimana dahulu kala. Kini, kursi roda akan menjadi langkah kakinya. Pulang menjadi momok mengerikan. Kunjungan tetangga yang menanyakan kabar kesehatan, menuntut diurainya tragedi kecelakaan, membuatnya muak. Akan tetapi, Putra dan Bu Ika tinggal di pedesaan. Mereka harus mengikuti aturan adat yang tertanam di dada lekat penghuninya. Putra mendadak menjadi pemurung, meskipun berkali-kali diberi sapaan oleh warga, ia kerap menekuk wajah, memasang ekspresi datar tanpa peduli dengan senyum ramah tamah mereka. Bos Bagong, not
"Anda tidak berhak mengatur penampilan pelayan di tempat ini!" seloroh Bawon menahan emosi. Shofi sibuk mengelap pakaiannya. Lonjakan kaki para penikmat malam tetiba berhenti. Mata-mata mulai memusatkan pandang kepada Shofi. Meraka merasa heran dengan penampilan Shofi. "Hei, jangan tampil sok alim! Berpenampilan suci di tempat keruh justru lebih menakutkan!" Orang lain tertawa. "Saya juga tidak ingin berada di tem..." "Sudah, kembali ke tempat masing-masing. Pelayan ini adalah tanggung jawabku, bukan urusan kalian!" bela Bawon dengan nada agak tinggi tetapi kalimat yang jauh lebih sopan ketimbang ketika berbicara dengan Shofi. "Pelayan barumu itu membuatku risih! Orang berjilbab tidak pantas berada di lokasi dugem begini!" Faktanya bukan hanya Shofi, meski menjadi kaum minoritas, tetapi dia tidak seorang diri di sana. Ada beberapa kaum hawa yang memakai jilbab dan duduk di kursi kayu, menikmati alunan musik, memesan minuman yang tidak mengandung alkohol, ikut berpesta walau eng
Asmaul Khusna. Pesantren yang mengajarkan ilmu agama Islam itu diramaikan dengan alunan suci ayat-ayat Al-Qur'an. Suara para santri menggema ke penjuru dindimg masjid, kemudian keluar melalui celah ventilasi udara. Suara-suara itu menjadi sayap yang terbang menuju langit timur, memeriahkan senja yang keemasan dengan kemegahan warna oranye di antara matahari tenggelam. Kawanan burung pipit pulang usai lelah beranjangsana mencari makan. Hari yang sungguh indah itu disambut dengan kabar menggemparkan pondok. Kang Zaki sedari tadi hilir-mudik di depan kantor putra, absen dari tadarus sore karena mengkhawatirkan nasib Gus Farhan. Pasalnya orang yang membenci Gus Farhan membeberkan fitnah di media masa. Berita Gus Farhan terciduk sedang berkunjung ke diskotik beredar di mana-mana. "Gus ... memangnya benar panjenengan pergi ke diskotik?" Kang Zaki berpura bodoh, padahal dia tahu sendiri jawabannya. Gus Farhan memang pergi ke diskotik bukan hanya satu atau dua kali saja. Ia mengintai Anggi,
Hal buruk sulit sekali tenggelam, ia mudah berkarak di benak anak manusia, dan enggan hengkang meski sudah berkali-kali diabaikan. Setelah kejadian malam lampau, pipi Gus Farhan terasa perih. Ada bekas merah yang membuat pemandangan wajahnya berkurang segar. Lebih-lebih hari selanjutnya ia terlihat murung. Gus Farhan merenung di pelataran masjid, memandang langit yang dipenuhi awan-awan putih. Ia sedang bergulat dengan isi hati, menanyakan tindakannya tersebut benar atau salah. Haruskah ia menuruti saran Kang Zaki untuk menyudahi urusan keluarga Shofi? Keningnya mendadak berkerut, ada yang janggal dari pelayanan polisi. Sampai detik itu juga tidak seorang pun polisi mengabarkan keberadaan Shofi. Seolah-olah Shofi telah lama ditelan bumi, tak kunjung menguap ke permukaan lagi. Santriwan-santriwati mendadak memandangnya sinis, ada pun yang bersikap acuh tak acuh. Gus Farhan menjadi pusat perhatian dengan topik obrolan miring. Ia dianggap sinting karena telah tega melukai kepercayaan A
Agam dengan segenap kegelisahan terpendam, ia mulai bekerja dan terus menggeluti kesibukan dengan banyak berharap Shofi segera ditemukan. Kehilangan Shofi membuat atmosfer rumah terasa senyap, tidak ada lagi senyum Bunda, bahkan aroma masakan yng biasa menggoda pencernaan setiap pagi ikut pergi. Bunda jatuh sakit, sering mendekam di kamar, enggan bersosialisasi dengan para tetangga, bahkan mulai mengabaikan makam. Agam khawatir kondisi Bunda semakin memburuk. Wajahnya kian hari bertambah pucat, bibir kering menandakan dehidrasi, dan yang pasti tidak memiliki semangat menyambut hari. Agam mengurua Bunda, mencari nafkah untuk makan, juga beberes rumah. Semua beban ia pikul, karena Shofi tidak kunjung memberi kabar. Polisi yang diharapkan bisa menemukan Shofi, bahkan tidak tahu kemana rimbanya. Para polisi seolah tidak melakukan peegerakan sedikit pun. "Bunda ... bagaimana dirimu akan menyambut Shofi jika menjadi lemah seperti ini?" tanya Agam sambil menggenggam tangan Bunda kuat-kuat.