"Kau harus menikah dan segera mendapatkan keturunan, nenek ini sudah tua! Kau menunggu apa lagi?" Seorang wanita baya menatap tajam ke arah sang cucu yang masih dengan santainya duduk seraya acuh tak acuh. Pria yang usianya sudah cukup matang untuk mengarungi bahtera pernikahan itu, seolah enggan menanggapi ocehan sang nenek yang menjadi pelindungnya semenjak dia kehilangan kedua orang tua."Ha ha ha ha ...." Alih-alih menjawab, pria muda itu justru tertawa dengan nada yang menggelikan."Tan!" sentak si nenek dengan wajah yang mulai memerah."Tenanglah, Nyonya Wang, diriku masih muda, masih memiliki banyak waktu untuk itu, haha ... hahaha ...." dalihnya seraya tertawa lagi.Lantas, Tan mengerlingkan sebelah mata untuk menggoda neneknya. Wang benar-benar dibuat kesal, setiap kali Tan diingatkan tentang pernikahan selalu saja berakhir sama. Pria muda yang masih menjadi keturunan terakhir keluarga Kim ini memang sangat sulit diatur."Hei, anak muda, bukankah kau tahu sendiri mereka akan
Hari ini tepat di mana rapat kolega yang dibahas Wang sebelumnya akan dilaksanakan. Setahun sekali akan ada acara, yang bertujuan untuk mengevaluasi kinerja masing-masing, sebab perusahaan yang didirikan bersama itu, cukup rentan untuk menjadi rebutan.Setelah pemecatan sepihak yang dilakukan Tan. Membuat para kolega yang memiliki saham di perusahaan tersebut, mengalami kericuhan. Terlebih lagi Tan yang tak kunjung datang, membuat Wang tak tahu harus menyembunyikan muka, di mana lagi.Sebuah ruang mewah di sebuah resort yang sengaja disewa untuk rapat itu, menjadi saksi bagaimana terpojoknya wanita baya itu—karena kelakuan sang cucu.“Dasar anak kurang ajar!” gerutu Wang.Tan memang pria yang menjengkelkan, tetapi kepiawaiannya dalam mengurus perusahaan tak perlu diragukan. Namun, terkadang hal tersebut tertutupi dengan sikapnya yang arogan dan terkesan tak peduli itu, membuat para kolega khawatir akan kehilangan jabatan masing-masing, seperti apa yang telah dilakukan Tan pada Haris.
“Ibu, apa kau sibuk akhir pekan ini?”Di sebuah kamar berukuran empat kali lima meter itu, Amy merebahkan diri sekadar untuk melepaskan penat. Benda pipih canggih melekat di antara daun telinga yang diapit jemari lentiknya.“Tentu saja, warung akan ramai di akhir pekan!” sahut seorang yang dipanggilnya ibu dari seberang telepon.“Ah, kukira kau bisa berlibur denganku, ke Bali,” ucapnya berharap sang ibu mengubah keputusan.“Ah, ibu tidak ada waktu untuk itu, kau pergi saja sana. Liburan bagus untuk anak muda sepertimu!””Begini, Bu—”“Sudah dulu, ya, ibu sibuk dan harus melayani pelanggan,” pungkas sang ibu sebelum Amy berhasil menjelaskan semuanya.Amy mendengkus, diembuskannya napas perlahan dan tidak beraturan. Bibirnya mengerucut dan benar-benar frustrasi. Siapa yang akan menemaninya nanti. Dia pun tak mungkin datang tanpa membawa seorang teman.Sembari meluruhkan lelah, Amy berselancar di media sosial berlogo F. Dia mengecek list pertemanan yang tak banyak itu. Masih berusaha unt
Setelah terpaku beberapa saat pasca menyaksikan kejadian di luar dugaannya. Amy, terkesiap dan tersadar. Rasa sakit pada pergelangan kaki seakan tak ada apa-apanya dibandingkan dengan sakit luar biasa mendapati pemandangan menyakitkan itu. Hatinya bagai teriris. Perih dan menyesakkan.Sementara Sakha yang kepalang tanggung dengan aktivitasnya memilih tak mengindahkan gadis culun, yang membawanya ke sana. Ternyata pria itu hanya menumpang pada tiket gratis yang ditawarkan Amy, dia punya rencana tersendiri di balik itu semua.“Lanjutkan sayang ...," desahnya pada gadis yang saat ini begitu liar menjamah seluruh tubuhnya.Gadis cantik yang melayaninya dengan penuh semangat tersebut semakin menaikan permainan tatkala pria yang terkujur di atas kasur itu memintanya. Terus dan terus memohon dilayani bagai seorang seorang raja. Padahal, jika mengingat perbuatannya terhadap gadis lugu yang membawanya ke sana, dia hanya seonggok sampah yang licik, sehingga pandai memanfaatkan situasi.Amy mer
Acara berlangsung begitu meriah. Pada akhirnya Tan dan Amy selesai melakukan acara pertunangan atau lamaran yang disebutkan. Hal ini justru bagai mimpi bagi Amy. Sorak ramai begitu seru terdengar dari para audien yang hadir.“Bagaimana ini?" gumam Amy seraya menatap nanar ke arah orang-orang yang berdiri di depan sana.“Oi, kau harus terus melanjutkan ini, bertahanlah sebentar lagi!" ucap Tan mencoba menyadarkan stafnya itu.Tan juga merasakan hal yang sama, dia pun merasa hal ini bagai mimpi. Entah mimpi indah atau mimpi buruk, Tan tidak bisa memutuskan. Hanya saja, untuk saat ini dia bisa selamat dari amukan Wang dan para kolega, berkat Amy. Meski dalam hatinya masih mengharapkan Sara yang berada di sana bersamanya.Kaki Amy semakin terasa sakit, tetapi dia tetap berusaha berdiri di samping Tan dan tak mengacuhkan keadaannya sendiri. Berkali-kali gadis itu meringis kesakitan, bahkan keringat dingin mulai timbul di pelipis dan dahinya.Tan merasakan ada gerak-gerik aneh dari gadis di
Tim kesehatan yang membawa ambulans, menggeleng saat mendapati Amy hanya keseleo. Namun, bisa-bisanya pria kaya itu memanggil mereka seolah ada kasus darurat saja. Amy lagi-lagi tersenyum kikuk. Dia tidak tahu harus bersikap seperti apa.Kaki Amy berhasil dikompres dan dibalut oleh petugas kesehatan itu. Sebagai permintaan maaf dan ucapan terima kasih Sham memberikan uang lebih kepada mereka, dan mengakhiri tugas para pelayan masyarakat tersebut.Amy masih terduduk di kursi yang berada di depan hotel. Dia menelisik pergelangan kakinya yang sudah diobati itu.“Kau tidur di kamar berapa? Biar kuantar ke sana," tawar Tan. “Di, anu, eum. Biar aku sendiri saja,” racaunya. Amy tak tahu harus menjawab apa.“Kakimu sakit, Gacul, lagi pula ini salahku, aku yang menabrakmu tadi,” sesal Tan.“Tidak, tidak apa-apa, aku baik-baik saja,” elak Amy, dia tak ingin bosnya tahu apa yang sebenarnya terjadi.“Ini perintah, di mana kamarmu, biar kuantar,” sentak Tan sudah tak sabar.“Kalau tidak salah kam
“Sekarang apa rencanamu?” Setelah mendapatkan insiden tak mengenakan itu, Tan tidak tega meninggalkan Amy sendirian. Pria tampan itu memilih menemani Amy, keduanya duduk di taman seraya menikmati udara malam.“Oey, Gacul, apa rencanamu?" tanya Tan sekali lagi.“Saya ingin pulang, Tuan,” ucapnya.“Berhenti memanggilku tuan, anggap saja aku ini temanmu, aku juga akan melakukan hal sama," seloroh Tan.“Kau memang sudah melakukan hal itu sejak lama,” sahut Amy.“Ah, kau benar, aku sudah lebih dulu melakukannya,” jawab Tan terkekeh kemudian tertawa lepas.”Berhentilah tertawa, itu terdengar mengerikan!" protes Amy.“Gacul, boleh aku bertanya? Aku penasaran akan satu hal," ujar Tan sembari menatap ke arah Amy yang sedang asyik mengayun-ayun kakinya.“Apa itu?” “Kenapa kau tidak marah dan memaki pria yang sudah menjahatimu? Kau tidak sakit hati?” selidik Tan.“Mengapa Tuan peduli?” Amy balik bertanya, kemudian membalas tatapan Tan.“Aku hanya penasaran saja,” sahut Tan, lantas berpaling da
Luka“Sara ....“Tan meracau setengah sadar. Lengan kekarnya memeluk erat tubuh langsing yang berbaring di sampingnya itu. Sementara Amy yang sudah terlelap tidur tak menyadari hal tersebut. Dia sudah berada di alam mimpi sejak tadi.Tan mengendus aroma tubuh Amy—yang sebelum tidur sudah membersihkan diri terlebih dulu. Wangi buah delima yang menyita indera penghidu Tan, seakan menghipnotisnya untuk terus tenggelam dan mendekap erat tubuh gadis itu.“Kau begitu wangi, aku tidak tahan,” desis Tan seraya terus menciumi leher hingga tengkuk Amy.Amy sempat merasa tidak nyaman, dia berubah posisi, yang tadinya telentang menjadi membelakangi Tan. Dengan tingkat kesadaran yang tak maksimal, Tan mengikuti pergerakan Amy. Dia membenarkan selimut, menutupi tubuhnya dan tubuh Amy.“Sara, maukah kau menjadi milikku?" gumam Tan.Lagi, lengan kekarnya memeluk erat tubuh Amy. Lantas, mengembalikan posisi tubuh Amy menjadi telentang. Sejurus kemudian, Tan membuka piyama yang dikenakannya. Tangannya
Dengan ragu, Tan mencoba menoleh ke belakang. Tanpa dia duga, suara itu ternyata dengkuran dari gadis yang dicarinya.“Astaga, kukira tadi itu suara macan," oceh Tan seraya mengusap dadanya.Lantas, dia berbalik arah dan menghampiri Amy yang masih tertidur. Posisi Amy layaknya posisi bayi dalam rahim, sepertinya dia sangat kedinginan. Sebab, tubuh mulus gadis itu hanya dibaluti piyama tipis yang berpadu dengan celana pendek saja.Tan terenyuh, dia hendak mengambil selimut untuk Amy. Ada rasa sesal yang mengusik hatinya, perilaku bodohnya sudah menggangu Amy, sampai-sampai gadis berkacamata besar itu harus menderita karenanya.”Dasar bodoh kau, Tan!" rutuknya, seraya mengacak rambut dengan gemas.Tak lama kemudian Tan kembali dengan selimut yang dibawa. Dengan lembut dia menyelimuti tubuh mungil Amy. Dia berusaha tak mengusik tidur gadis tersebut. Sejurus kemudian, netranya tiba-tiba tersita oleh wajah polos itu. Entah apa yang terjadi, tetapi saat Tan memandang wajah lembut Amy. Bibi
Luka“Sara ....“Tan meracau setengah sadar. Lengan kekarnya memeluk erat tubuh langsing yang berbaring di sampingnya itu. Sementara Amy yang sudah terlelap tidur tak menyadari hal tersebut. Dia sudah berada di alam mimpi sejak tadi.Tan mengendus aroma tubuh Amy—yang sebelum tidur sudah membersihkan diri terlebih dulu. Wangi buah delima yang menyita indera penghidu Tan, seakan menghipnotisnya untuk terus tenggelam dan mendekap erat tubuh gadis itu.“Kau begitu wangi, aku tidak tahan,” desis Tan seraya terus menciumi leher hingga tengkuk Amy.Amy sempat merasa tidak nyaman, dia berubah posisi, yang tadinya telentang menjadi membelakangi Tan. Dengan tingkat kesadaran yang tak maksimal, Tan mengikuti pergerakan Amy. Dia membenarkan selimut, menutupi tubuhnya dan tubuh Amy.“Sara, maukah kau menjadi milikku?" gumam Tan.Lagi, lengan kekarnya memeluk erat tubuh Amy. Lantas, mengembalikan posisi tubuh Amy menjadi telentang. Sejurus kemudian, Tan membuka piyama yang dikenakannya. Tangannya
“Sekarang apa rencanamu?” Setelah mendapatkan insiden tak mengenakan itu, Tan tidak tega meninggalkan Amy sendirian. Pria tampan itu memilih menemani Amy, keduanya duduk di taman seraya menikmati udara malam.“Oey, Gacul, apa rencanamu?" tanya Tan sekali lagi.“Saya ingin pulang, Tuan,” ucapnya.“Berhenti memanggilku tuan, anggap saja aku ini temanmu, aku juga akan melakukan hal sama," seloroh Tan.“Kau memang sudah melakukan hal itu sejak lama,” sahut Amy.“Ah, kau benar, aku sudah lebih dulu melakukannya,” jawab Tan terkekeh kemudian tertawa lepas.”Berhentilah tertawa, itu terdengar mengerikan!" protes Amy.“Gacul, boleh aku bertanya? Aku penasaran akan satu hal," ujar Tan sembari menatap ke arah Amy yang sedang asyik mengayun-ayun kakinya.“Apa itu?” “Kenapa kau tidak marah dan memaki pria yang sudah menjahatimu? Kau tidak sakit hati?” selidik Tan.“Mengapa Tuan peduli?” Amy balik bertanya, kemudian membalas tatapan Tan.“Aku hanya penasaran saja,” sahut Tan, lantas berpaling da
Tim kesehatan yang membawa ambulans, menggeleng saat mendapati Amy hanya keseleo. Namun, bisa-bisanya pria kaya itu memanggil mereka seolah ada kasus darurat saja. Amy lagi-lagi tersenyum kikuk. Dia tidak tahu harus bersikap seperti apa.Kaki Amy berhasil dikompres dan dibalut oleh petugas kesehatan itu. Sebagai permintaan maaf dan ucapan terima kasih Sham memberikan uang lebih kepada mereka, dan mengakhiri tugas para pelayan masyarakat tersebut.Amy masih terduduk di kursi yang berada di depan hotel. Dia menelisik pergelangan kakinya yang sudah diobati itu.“Kau tidur di kamar berapa? Biar kuantar ke sana," tawar Tan. “Di, anu, eum. Biar aku sendiri saja,” racaunya. Amy tak tahu harus menjawab apa.“Kakimu sakit, Gacul, lagi pula ini salahku, aku yang menabrakmu tadi,” sesal Tan.“Tidak, tidak apa-apa, aku baik-baik saja,” elak Amy, dia tak ingin bosnya tahu apa yang sebenarnya terjadi.“Ini perintah, di mana kamarmu, biar kuantar,” sentak Tan sudah tak sabar.“Kalau tidak salah kam
Acara berlangsung begitu meriah. Pada akhirnya Tan dan Amy selesai melakukan acara pertunangan atau lamaran yang disebutkan. Hal ini justru bagai mimpi bagi Amy. Sorak ramai begitu seru terdengar dari para audien yang hadir.“Bagaimana ini?" gumam Amy seraya menatap nanar ke arah orang-orang yang berdiri di depan sana.“Oi, kau harus terus melanjutkan ini, bertahanlah sebentar lagi!" ucap Tan mencoba menyadarkan stafnya itu.Tan juga merasakan hal yang sama, dia pun merasa hal ini bagai mimpi. Entah mimpi indah atau mimpi buruk, Tan tidak bisa memutuskan. Hanya saja, untuk saat ini dia bisa selamat dari amukan Wang dan para kolega, berkat Amy. Meski dalam hatinya masih mengharapkan Sara yang berada di sana bersamanya.Kaki Amy semakin terasa sakit, tetapi dia tetap berusaha berdiri di samping Tan dan tak mengacuhkan keadaannya sendiri. Berkali-kali gadis itu meringis kesakitan, bahkan keringat dingin mulai timbul di pelipis dan dahinya.Tan merasakan ada gerak-gerik aneh dari gadis di
Setelah terpaku beberapa saat pasca menyaksikan kejadian di luar dugaannya. Amy, terkesiap dan tersadar. Rasa sakit pada pergelangan kaki seakan tak ada apa-apanya dibandingkan dengan sakit luar biasa mendapati pemandangan menyakitkan itu. Hatinya bagai teriris. Perih dan menyesakkan.Sementara Sakha yang kepalang tanggung dengan aktivitasnya memilih tak mengindahkan gadis culun, yang membawanya ke sana. Ternyata pria itu hanya menumpang pada tiket gratis yang ditawarkan Amy, dia punya rencana tersendiri di balik itu semua.“Lanjutkan sayang ...," desahnya pada gadis yang saat ini begitu liar menjamah seluruh tubuhnya.Gadis cantik yang melayaninya dengan penuh semangat tersebut semakin menaikan permainan tatkala pria yang terkujur di atas kasur itu memintanya. Terus dan terus memohon dilayani bagai seorang seorang raja. Padahal, jika mengingat perbuatannya terhadap gadis lugu yang membawanya ke sana, dia hanya seonggok sampah yang licik, sehingga pandai memanfaatkan situasi.Amy mer
“Ibu, apa kau sibuk akhir pekan ini?”Di sebuah kamar berukuran empat kali lima meter itu, Amy merebahkan diri sekadar untuk melepaskan penat. Benda pipih canggih melekat di antara daun telinga yang diapit jemari lentiknya.“Tentu saja, warung akan ramai di akhir pekan!” sahut seorang yang dipanggilnya ibu dari seberang telepon.“Ah, kukira kau bisa berlibur denganku, ke Bali,” ucapnya berharap sang ibu mengubah keputusan.“Ah, ibu tidak ada waktu untuk itu, kau pergi saja sana. Liburan bagus untuk anak muda sepertimu!””Begini, Bu—”“Sudah dulu, ya, ibu sibuk dan harus melayani pelanggan,” pungkas sang ibu sebelum Amy berhasil menjelaskan semuanya.Amy mendengkus, diembuskannya napas perlahan dan tidak beraturan. Bibirnya mengerucut dan benar-benar frustrasi. Siapa yang akan menemaninya nanti. Dia pun tak mungkin datang tanpa membawa seorang teman.Sembari meluruhkan lelah, Amy berselancar di media sosial berlogo F. Dia mengecek list pertemanan yang tak banyak itu. Masih berusaha unt
Hari ini tepat di mana rapat kolega yang dibahas Wang sebelumnya akan dilaksanakan. Setahun sekali akan ada acara, yang bertujuan untuk mengevaluasi kinerja masing-masing, sebab perusahaan yang didirikan bersama itu, cukup rentan untuk menjadi rebutan.Setelah pemecatan sepihak yang dilakukan Tan. Membuat para kolega yang memiliki saham di perusahaan tersebut, mengalami kericuhan. Terlebih lagi Tan yang tak kunjung datang, membuat Wang tak tahu harus menyembunyikan muka, di mana lagi.Sebuah ruang mewah di sebuah resort yang sengaja disewa untuk rapat itu, menjadi saksi bagaimana terpojoknya wanita baya itu—karena kelakuan sang cucu.“Dasar anak kurang ajar!” gerutu Wang.Tan memang pria yang menjengkelkan, tetapi kepiawaiannya dalam mengurus perusahaan tak perlu diragukan. Namun, terkadang hal tersebut tertutupi dengan sikapnya yang arogan dan terkesan tak peduli itu, membuat para kolega khawatir akan kehilangan jabatan masing-masing, seperti apa yang telah dilakukan Tan pada Haris.
"Kau harus menikah dan segera mendapatkan keturunan, nenek ini sudah tua! Kau menunggu apa lagi?" Seorang wanita baya menatap tajam ke arah sang cucu yang masih dengan santainya duduk seraya acuh tak acuh. Pria yang usianya sudah cukup matang untuk mengarungi bahtera pernikahan itu, seolah enggan menanggapi ocehan sang nenek yang menjadi pelindungnya semenjak dia kehilangan kedua orang tua."Ha ha ha ha ...." Alih-alih menjawab, pria muda itu justru tertawa dengan nada yang menggelikan."Tan!" sentak si nenek dengan wajah yang mulai memerah."Tenanglah, Nyonya Wang, diriku masih muda, masih memiliki banyak waktu untuk itu, haha ... hahaha ...." dalihnya seraya tertawa lagi.Lantas, Tan mengerlingkan sebelah mata untuk menggoda neneknya. Wang benar-benar dibuat kesal, setiap kali Tan diingatkan tentang pernikahan selalu saja berakhir sama. Pria muda yang masih menjadi keturunan terakhir keluarga Kim ini memang sangat sulit diatur."Hei, anak muda, bukankah kau tahu sendiri mereka akan