Telapak tangan Rayyan menggerayang di atas paha sang wanita yang tertutup dengan kain daster berbahan rayon itu. Sementara Lestari menggenggam tangannya sendiri sembari menahan sensasi yang sangat aneh di dalam dirinya. Tidak pernah ia berada dalam keadaan seperti demikian dengan seorang pria pun sebelumnya. Gerahamnya mengetat, dan bulu romanya kontan berdiri tegak. Sebelah sudut bibir Rayyan tertarik ke atas. "Kenapa?" tanya pria itu dengan tatapan tajam menusuk hingga palung hati sang wanita. Lestari menunduk dalam-dalam. Sungguh daging merah di dalam dadanya terasa berdebar-debar dengan apa yang Rayyan lakukan saat ini. Kemudian Rayyan mengangkat dagu sang wanita, lantas mengarahkan ke wajah yang terlihat sangat takut itu kepadanya. "Kamu sudah pernah ciuman ya?" tebak pria itu sembari membelai bibir kemerahan Lestari dengan ibu jarinya. Lestari menggelengkan kepalanya sangat pelan. Hatinya benar-benar gugup diperlakukan demikian. Ia tidak suka. Rayyan terkekeh. "Bohon
"Mas, tanah saya yang satu lagi sudah di-DP sama orang," ungkap Dinar sembari menarik kedua sudut bibirnya ke atas di sela-sela makan malam mereka. Rayyan menghentikan gerakan makannya sejenak, kemudian menaikkan kedua alisnya menoleh ke arah sang mertua. "Oh, ya?" Pria itu pura-pura baru dengar berita tersebut, padahal ia sudah tahu dari Bobby. Dinar kembali menyunggingkan senyuman semakin lebar. "Iya, Mas. Alhamdulillah, artinya pekerjaan kita yang tertunda bakal bisa dilanjutkan lagi." Nurma dan Lestari hanya menyimak sembari menikmati makan malam mereka. Nurma terlihat ikut tersenyum melihat kebahagiaan di wajah sang suami ketika menceritakan berita gembira itu kepada sang menantu. "Bagus kalau gitu, Pak. Menurut Bapak kapan rencananya kita bisa mulai pembangunan?" tanya Rayyan sembari melanjutkan suapannya. "Nanti bulan depan dia bakal membayar pelunasannya, Mas. Begitu kata orang yang bersangkutan. Setelah itu boleh dimulai pembangunannya, Mas," pungkas Dinar melanjut
"Mas ... Mas ...," panggil Lestari dengan suara yang ditahan-tahan. Ia khawatir membuat sang suami kaget. Terdengar suara merdu yang terasa sangat jauh di pendengaran Rayyan. "Mas, sudah shubuh, Mas ...." Sekali lagi Lestari mencoba membangunkan suami yang masih tampak tidak sadar di ranjangnya. Kali ini suaranya lebih terasa dekat di telinga Rayyan dan disusul dengan sentuhan serta goyangan di bahu sang suami. Rayyan terlihat mengerutkan dahi dengan kencang. Tadi malam ia merasa gelisah tak menentu, akibat gair@h yang tiba-tiba menguasai karena melihat lekukan tubuh sang istri. Oleh karena itu, Rayyan akhirnya tidur sangat larut sekali sebab ia berusaha menetralkan perasaan terlebih dahulu. "Mas, Mas sudah bangun?" tanya Lestari memastikan sekali lagi. Sebisanya ia bicara dengan lemah lembut. Akhirnya kelopak mata Rayyan pun terbuka meski sambil menyipitkan matanya karena silau dengan cahaya lampu utama kamar itu. "Apa?" tanyanya ketika sadar kalau sang istrilah yang bar
"Ah, i–iya. Baik, Mas!" Lestari pun melenggang maju, lalu ia duduk di tepi ranjang itu dengan menjaga jarak dari suaminya. Denyut jantungnya berdebar-debar kini. "Kemari, lebih dekat!" suruh Rayyan lagi seraya menepuk kasur tepat di sampingnya. Rayyan tersenyum sinis melihat sorot gelisah di mata sang istri. "Kenapa? Kamu takut sama saya?" tanya pria itu seakan sangat paham dengan gelagat yang diperlihatkan Lestari. "Iya, Mas. Eh! Bu–bukan be–gitu, Mas. Aku cumaa–" Jawaban Lestari begitu gugup. Ia lalu beringsut lebih mendekat ke arah sang suami dengan degupan jantung yang semakin berdentam. Mata sang lelaki menatap lekat ke arah wajah kalut sang istri. Entah mengapa, ia menikmati kegelisahan Lestari tersebut. "Kita 'kan, belum pernah berhubungan int*m sama sekali semenjak menikah. Sudah lebih dari dua pekan, hmm?" Rayyan membelai lengan Lestari dari atas ke bawah. Dirinya semakin senang menggoda istri mudanya itu. Serrr .... Seakan terkena aliran listrik bertegangan tingg
"I–iya, Buu!" sahut Lestari atas panggilan sang bunda. "Berengs*k! Keluarga kamu selalu saja mengganggu!" cetus Rayyan dengan menahan suara. Ia memungut celananya dan mengenakannya kembali. Badannya yang masih terasa panas tak keruan membuatnya kesal. "Ma–maaf, Mas," ucap Lestari cemas. Lalu, karena wanita itu melihat dalamannya sudah robek mengenaskan di kasur, ia menjadi bingung sendiri. Sementara pintu masih diketuk oleh Nurma di sana. Alhasil mau tidak mau ia bergegas melenggang ke arah pintu tanpa dalaman sembari tangannya cepat-cepat mengancingkan kembali daster yang tadi sudah terbuka di dadanya. Rayyan beranjak dari tempat tidur, lalu berjalan menuju ke arah jendela dan mendengkus keras di sana. Gairahnya seakan tertekan mendadak karena ulah sang mertua. "Iya, Bu? Kenapa?" tanya Lestari ketika ia telah membuka sedikit pintu kamarnya. Sesekali ia menoleh kembali ke arah sang suami yang terlihat resah di depan jendela kamar tersebut. Nurmala seketika heran dengan sik
Di kantor, Rayyan melamun di kursi kebesarannya. Ia menatap tangannya yang tengah memegang sehelai kain brokat berwarna maroon. Tok! Tok! "Boss! Kita mau ketemu klien di–" Bobby terdiam seketika karena melihat sang atasan yang tiba-tiba grasak-grusuk di tempat duduknya. Ada yang terlempar dari tangan Rayyan dan jatuh ke lantai. Bobby mengernyitkan dahi ketika melihat sehelai kain brokat teronggok tidak jelas di sana. Ia pun mendekat, ingin memungut benda itu. Namun, belum sempat tangannya menyentuh kain kecil itu– "Jangan sentuh!!!" teriak Rayyan menyebabkan Bobby terlonjak dan tak jadi memungut kain aneh tersebut. "Napa, Boss?" tanyanya dengan sorot penasaran, "itu apaan?" "Itu sapu tangan saya!" "Heh? Kok, aneh, ada rendanya?" Bobby kembali ingin meraih kain tersebut. "Berengs*k! Dibilang jangan sentuh!" Rayyan gegas melangkah maju dan langsung mengambil kain kecil itu. "Kamu kalo mau masuk, permisi dulu kenapa?! Keluar sekarang!!" bentak Rayyan keras sembari men
"Innalillaahi wa inna ilaihi roji'uuun. Ibuuuu ...!" pekik Lestari tertahan, "di mana ibuku, Maaas?" Rayyan menghela napas berat mendengar berita buruk itu. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan menoleh ke arah Bobby yang ternganga kaget. "Ibumu sudah dibawa ke ruang jenazah, Tari," sahut Deka, "ayo, Mas antar ke sana," ajaknya. Lestari yang wajahnya sudah bersimbah air mata menoleh ke arah Rayyan seakan meminta izin untuk mengikuti Deka. Rayyan mendengkus kasar. "Ayo!" serunya menarik pergelangan tangan sang istri. Ia juga penasaran ingin melihat Nurma, yang mungkin ini untuk terakhir kalinya. Bobby berlari kecil mengejar atasannya. Akan tetapi, tiba-tiba Rayyan menghentikan langkah membuat semua orang ikut diam dan menatapnya heran. "Bob, kamu tunggu Pak Dinar di sini. Kalau ada apa-apa, bilang!" titahnya kepada sang bawahan. "Eh, i–iya. Oke, Boss!" sahut Bobby. Pria muda itu pun berbalik dan menunggu di kursi di depan ruang operasi. Rayyan lalu me
"Dok, gimana keadaan Ayah saya?" Lestari langsung menghampiri dokter yang baru saja keluar dari ruang tindakan operasi di hadapannya. Sudah lebih dari 4 jam Dinar di dalam ruang itu. Kini Lestari merasa tidak sabar ingin mengetahui kabarnya. "Operasinya alhamdulilah bisa dilakukan dengan baik. Tapi, pasien masih dalam keadaan yang belum stabil. Kami sudah melakukan yang terbaik, jadi kita tinggal berdoa kepada Yang Kuasa," jelas sang dokter yang di dadanya terdapat name tag bertuliskan dr. Indra Kuncoro itu. "Apa sudah boleh dijenguk, Dok?" tanya Tari lagi. "Belum ya. Nanti kalau memang sudah bisa dijenguk, akan dikabarkan kepada pihak keluarga," pungkas Dokter Indra, "Mbak ini siapanya?" tanya dokter yang terlihat masih berusia 30 tahunan itu. Sungguh, dalam hati sang dokter memuji keindahan rupa keluarga pasien yang baru ia tangani barusan. "Eh, iya, Dok. Saya anak beliau," jawab Lestari apa adanya. "Hmm, oke. Dan ... ini suaminya?" Dokter Indra menunjuk ke arah Bobby ya