"Dok, gimana keadaan Ayah saya?" Lestari langsung menghampiri dokter yang baru saja keluar dari ruang tindakan operasi di hadapannya. Sudah lebih dari 4 jam Dinar di dalam ruang itu. Kini Lestari merasa tidak sabar ingin mengetahui kabarnya. "Operasinya alhamdulilah bisa dilakukan dengan baik. Tapi, pasien masih dalam keadaan yang belum stabil. Kami sudah melakukan yang terbaik, jadi kita tinggal berdoa kepada Yang Kuasa," jelas sang dokter yang di dadanya terdapat name tag bertuliskan dr. Indra Kuncoro itu. "Apa sudah boleh dijenguk, Dok?" tanya Tari lagi. "Belum ya. Nanti kalau memang sudah bisa dijenguk, akan dikabarkan kepada pihak keluarga," pungkas Dokter Indra, "Mbak ini siapanya?" tanya dokter yang terlihat masih berusia 30 tahunan itu. Sungguh, dalam hati sang dokter memuji keindahan rupa keluarga pasien yang baru ia tangani barusan. "Eh, iya, Dok. Saya anak beliau," jawab Lestari apa adanya. "Hmm, oke. Dan ... ini suaminya?" Dokter Indra menunjuk ke arah Bobby ya
"Eh, i–ya, baik, Mas." Lestari lalu melangkah masuk dan mengambil bantal serta selimutnya di sana. Kemudian ia kembali keluar dari kamar tersebut. "Mulai sekarang kamu yang mesti membereskan kamar saya, bukan Bi Nunung lagi. Paham kamu? Bibi juga paham ya?" Rayyan menatap Lestari dan Nunung bergiliran. "Baik, Mas," sahut Tari. Nunung pun ikut menyahut dan mengiyakan. "Kamar yang di sana sudah dibereskan, Bi? Saya mau semua tertata dengan rapi seperti semula." Rayyan menunjuk kamar orang tua angkatnya yang beberapa hari lalu dipakai oleh orang tua Lestari. "Oh, kamar itu. Sudah saya bereskan, Tuan," jawab Nunung. "Bagus!" seru Rayyan. Lestari tampak ingin bergerak pergi dari tempat itu karena hendak menaruh benda-benda miliknya yang tadi ia ambil dari kamar Rayyan. "Eh, Tari! Saya belum selesai ngomong!" cetus Rayyan menahan gerakan sang istri. Tari pun kembali menghadap suaminya. "Maaf, Mas." "Ck!" Rayyan bosan dengan ucapan maaf dari perempuan itu, "malam ini saya
Lestari terkesiap sebentar. Kemudian perempuan itu pun kembali menarik kedua sudut bibirnya lebih lebar. "Ah, ini Mas Rayyan-nya. Mas Burhan dan Mas Rayyan saling kenal?" Burhan tersenyum lebar. "Tentu sa–" "Maaf, saya nggak kenal sama dia. Ayo kita bayar belanjaan dulu!" cetus Rayyan memotong omongan Burhan dan ia langsung merangkul pinggang sang istri menjauhi pria yang menjadi teman baik adik angkatnya tersebut. Burhan hanya terdiam dan terkejut melihat sikap Rayyan. 'Kenapa sejak hari resepsi waktu itu Bang Rayyan bersikap seolah tidak pernah kenal sama aku?' Hati lelaki itu bertanya-tanya. Begitu juga Lestari, wanita muda itu menoleh sebentar ke arah belakang, melihat wajah Burhan yang terheran-heran di sana. Sungguh, ia juga merasa aneh melihat sikap Rayyan. Andaikata Rayyan memang tidak kenal dengan Burhan, apa salahnya saling menyapa dan berkenalan sebentar? Nunung pun tak kalah bingung melihat situasi yang absurd barusan. Namun, ia memutuskan untuk mengikuti sang majikan
"Buka pakaianmu!" Rayyan berseru sembari membuka kaus berkerah yang ia kenakan sendiri. Lestari yang masih menahan sakit di kulit kepalanya itu menggeleng-gelengkan kepala dengan keras. Air mata berderaian di wajahnya. Ia beringsut perlahan hendak kabur. Rayyan membuka gesper yang ia pake dan melonggarkan celananya. Lestari berlari menuju ke arah pintu, tetapi dengan cepat pintu yang sempat terbuka sedikit itu kembali tertutup rapat oleh gerakan kilat Rayyan yang mendahuluinya. "Kamu mau ke mana, heh?" Rayyan menangkap pergelangan tangan Lestari seraya berusaha menyeretnya menuju ke tempat tidur. "Nggak, Mas. Aku nggak mauuu ...!" Lestari berusaha meronta dengan memutar tangannya agar lepas dari pegangan sang suami. Sungguh, degup jantungnya berdebar begitu kencang. Ia takut kalau Rayyan bersikap kasar. Bahkan lebih kasar daripada waktu itu. "Nggak mau, katamu! Kamu 'kan, tahu kalau menolak suami artinya apa! Kamu harus nurut! Kamu buktikan kalau kamu itu masih suci!" Rayy
Lestari tertunduk di atas tempat tidur setelah ia membersihkan diri di kamar mandi tadi. "Akh ... ssshh ...!" desahnya merasa perih saat Nunung mengoleskan balm ke atas luka-luka di tubuhnya. "Tahan bentar ya, Nya," ujar Nunung sembari membayangkan betapa kasarnya Rayyan memperlakukan sang nyonya tadi di kamarnya. Sungguh, dirinya pun turut merasa perih dengan penderitaan yang dirasakan oleh Lestari. "Iya, Bi," lirih Lestari menjawab. Dari leher, dada, serta perut wanita muda itu penuh dengan rona merah keunguan. Belum lagi dahinya yang lebam dan membengkak, lalu bekas-bekas cakaran Rayyan, juga pergelangan tangan Tari yang memerah. Nunung hanya bisa meringis menahan perasaannya sendiri. Ceklek! "Bi!" Deg! Spontan Nunung terkesiap. Wanita tua itu dan Lestari pun refleks melihat ke arah pintu yang kini sudah terbuka di sana. Itu Rayyan yang membuka pintu dan memanggil sang asisten rumah tangganya. Lestari kontan bergerak cepat menutupi tubuhnya yang tadi terbuka deng
Sepekan telah berlalu, bekas luka-luka yang dialami Lestari hari itu sudah mulai memudar, meskipun di beberapa bagian masih terlihat samar, terutama bekas kuku Rayyan di leher dan di pahanya. Perasaan wanita itu juga sudah semakin membaik, mekipun belum sepenuhnya sebab sikap Rayyan sama sekali tidak berubah. Lelaki itu masih saja sering membentaknya dengan keras, meskipun kesalahan kecil yang ia lakukan. Kalau sudah seperti itu, memori Lestari kontan saja teringat kejadian malam itu. Ia akan merasakan perubahan dalam tubuhnya. Tubuhnya bakal terasa gemetaran meskipun tidak kentara terlihat oleh orang lain, tapi dirinya sendirilah yang paling merasakan hal tersebut. *** "Boss, nanti malam Boss pergi nggak ke undangan pernikahan anak Pak Herlan?" tanya Bobby ketika dia dan Rayyan baru saja selesai makan siang bersama sambil membicarakan tentang pekerjaan. Rayyan tidak makan berat, karena seperti biasa, dia sudah merasa nyaman dengan masakan Lestari. Pria itu tidak mau lagi m
"Nanti di pesta kamu jangan bersikap kampungan ya. Jangan buat aku malu," ujar Rayyan memperingatkan istri cantiknya sebelum mereka benar-benar sampai di area pendopo hotel yang mana di hotel tersebut merupakan tempat perayaan pernikahan putri kliennya. "Iya, in syaa Allah, Mas." Lestari menoleh ke arah wajah tampan sang suami di sampingnya. Jujur saja, ia yang tadinya merasa senang diajak, jadi khawatir karena takut melakukan sesuatu yang dianggap sebagai kesalahan bagi Rayyan. Setelah kendaraan mereka berhenti di gerbang yang mengarah ke lobby, kemudian pintu mobil bagian duduk Lestari pun dibukakan oleh seorang petugas hotel. "Selamat datang ... silakan ...!" sapa sang petugas berjas ungu itu ramah. Lestari hanya mengulas sedikit senyuman, lantas ia menurunkan kakinya dari kendaraan. Bersyukur Rayyan membelikan sepatu yang berhak tidak terlalu tinggi, jadi Lestari tidak begitu kesulitan menjaga keseimbangan tubuhnya sendiri. Rayyan yang sudah keluar juga dari kendaraan mendekat
"Apa kabar, Ray?" Clara mengulas senyum menggoda ke arah mantan suaminya. "Suamimu mana? Kenapa istrinya dibiarkan keliaran di toilet pria?" sindir Rayyan sembari mengeringkan tangannya menggunakan hand dryer automatic yang ada di sana. Ia tak mau menjawab pertanyaan yang menurutnya tak penting dari perempuan di hadapannya itu. Clara tampak mencebikkan bibir dengan lipstik merah meronanya. "Dia lagi ngurusin istri tuanya yang sakit-sakitan di rumahnya." Rayyan tertawa kecil seakan mengejek. "Syukurlah kamu dapat suami yang baik, yang perhatian sama kedua istrinya. Oh, ya, aku kembali dulu ke depan." "Siapa perempuan berhijab di sana tadi? Itu istri barumu? Atau pembantu baru?" Mendengar celaan Clara, Rayyan sontak mengurungkan gerak langkah kakinya. Kedua alis pria itu bertautan dengan ucapan bernada penghinaan itu. Sungguh, meski memang benar ia memperlakukan Lestari dengan buruk bak seorang pembantu, tetapi celaan itu membuat telinganya terasa panas. "Ray ... Ray ... nggak ny
"Loh? Nyonya mau pergi ke mana? Memangnya sudah dibeli rumah barunya?" Nunung bertanya heran, sebab sang majikan wanita berpamitan dengan beberapa koper yang sudah disiapkan di dekat mereka."Iya, Bi. Sudah beli rumah. Tapi, ini nggak langsung pindah ke rumah itu. Saya dan Tari mau ke tempat teman saya dulu." Jawaban itu justru keluar dari lisan Rayyan, "Bibi sementara di sini dulu. Kalau kami sudah benar-benar pindah ke rumah yang baru, Bibi akan saya jemput," lanjut lelaki itu menjelaskan."O–oh, gitu, Tuan?" Meski masih merasa heran karena kepergian majikannya yang mendadak seperti ini, Nunung hanya bisa menuruti.Lestari memilih diam dari tadi, sebab ia mengikuti suaminya saja. Saat ini, ia hanya ingin segera pergi dari rumah itu."Bi, aku pamit dulu ya ...." Lestari mendekati sang ART, kemudian memeluk wanita tua yang selama ini telah ia anggap seperti ibunya sendiri."I–iya, Nya. Hati-hati di jalan. Nyonya kabari saya kalau sudah sampai di rumah temen Tuan ya! Nyonya juga jangan
Terdengar suara isakan dari Lestari membuat Rayyan seolah baru tersadar. Lelaki itu kemudian berjalan mendekat ke arah tempat duduk istrinya, lalu merangkul pundak wanita itu. "Tari ... kamu ... nggak apa-apa?" 'Ck! Pertanyaan bodoh! Nggak apa-apa gimana? Dia sedih, Gobl0k!' Batin Rayyan memarahi dirinya sendiri sebab mengucapkan pertanyaan yang ia anggap tidak perlu itu. Lestari bangkit berdiri dengan perlahan-lahan. Kakinya terasa begitu lemas rasanya. Ia lalu berjalan pelan dan lunglai menuju ke arah kamarnya. Rayyan bingung dengan apa yang mesti ia lakukan. Lelaki itu hanya bisa mengiringi sang istri menuju ke arah kamar mereka. Sesampainya di dalam kamar. Lestari menuju ke arah ranjangnya dan merebahkan diri sembari kembali menangis di atas bantalnya. Sungguh, ia merasa begitu sedih, sebab telah membuat Gilang sangat kecewa seperti saat ini. Sementara Rayyan, pria itu hanya bisa duduk di pinggir ranjang tersebut dengan kepala yang terasa berdenyut. Ia benar-benar tidak tahu
"Jadi, kamu sudah ingat tentang Tari?" tanya Rayyan tak mau lagi berbasa-basi."Bi, nggak apa-apa, kok. Bibi lanjutin kerjaan Bibi lagi, gih," bisik Lestari lirih ke arah Nunung di sebelahnya."Eeh, i–iya. Baik, Nyonya," sahut Nunung tergagap. Akan tetapi, wanita tua itu tetap menurut. Ia pun berbalik dan melenggang kembali ke teras belakang rumah.Lestari kembali mengarahkan pandangan ke arah Gilang dan juga Rayyan yang tengah berbicara di sana dengan perasaan yang tidak menentu. 'Apa benar, Mas Gilang sudah mengingat tentang kami?' bisik hatinya bertanya-tanya."Yaaah, begitulah. Aku bahkan sudah ingat kata-kata kamu malam itu, Tari." Gilang terus melihat ke arah sang wanita.Lestari mencoba mengingat apa yang pernah ia katakan. "Kata-kataku?" Rayyan ikut menoleh ke arah sang istri dengan sorot penasaran."Ya, kamu ingat di depan Burhan kamu bilang cinta sama Mas, 'kan? Burhan bilang, nggak lama dari berita kematian Mas, kamu memang batal menikah dengan Fadil, si anak kepala desa i
Meski hatinya terasa panas, Rayyan hanya bisa menyunggingkan senyuman dengan terpaksa. Ia tidak mau rasa cemburunya itu tertangkap oleh sang istri. "Mudah-mudahan aja rumah yang ditawarkan ke Bobby kemarin cocok buatku dan Lestari nanti," lirih ucapan Rayyan pada diri sendiri. Ya, tadi Bobby bilang mereka sudah janjian untuk melakukan survey ke sebuah rumah besok. Lokasi rumah tersebut hanya sekitar dua puluh menit dari kantor pusat perusahaan Rayyan ini. Memang harganya cukup tinggi, tetapi kalau cocok, Rayyan tidak mau menunda lagi untuk mengurus kepindahannya. Ia ingin segera memboyong Lestari menjauh dari Gilang. 'Kalau lebih lama lagi aku melihat kebersamaan mereka. Aku bisa gila!' keluh pria itu membatin. *** "Kakak iparku ini mau ke mana? Pagi-pagi udah cantik aja?" sapa Gilang, ketika langkah kakinya baru sampai di ruang makan. Ia hendak bergabung dengan Rayyan dan Lestari yang sudah lebih dulu berada di sana. Mata Gilang melirik sebentar melihat ekspresi sang kakak le
Lima hari belakangan ini, ketika sedang berada di kantor, Rayyan terlihat gusar dan tidak fokus dengan pekerjaannya. Gilang sudah tiga hari ikut ke kantornya dan belajar bekerja di sana. Ia didampingi langsung oleh Bobby. Lelaki itu terlihat serius dalam belajar. "Bos yakin dengan keputusan akan memberikan posisi CEO pada Mas Gilang?" tanya Bobby kepada sang atasan. Mereka kini sedang berada di ruangan presiden direktur, yakni Rayyan sendiri. Pria itu baru saja menyampaikan kepada asisten setianya untuk mengajari Gilang agar ke depan bisa menduduki posisi CEO yang saat ini dirangkap oleh Rayyan sendiri selain ia juga sebagai owner sekaligus presiden direktur di perusahaan itu. Selama ini Rayyan memang cukup sibuk karena jabatan yang dirangkapnya itu. Meskipun demikian, selama ini ia mampu sebab didukung oleh Bobby yang selalu bisa ia andalkan. "Ya, kamu mesti ajari dia yang bener, Bobb. Gilang sebaiknya tidak usah melanjutkan jadi guru lagi. Aku nggak mau dia dihina orang lagi s
Wanita cantik yang kini wajahnya terlihat agak pucat itu mengangguk cepat. Lestari baru sadar kalau tangannya sendiri terasa sangat dingin ketika sang suami meraih dan menggenggamnya saat ini. "Ini jarimu kenapa?" tanya Rayyan ketika melihat dan meraba jari telunjuk tangan kanan Lestari yang dibalut plaster. "Ini, nggak sengaja kena pisau, Mas. Nggak apa-apa, kok! Luka kecil aja." "Kamu lain kali hati-hati," pesan sang suami. Lestari tersenyum kikuk ketika sadar kalau sedari tadi Gilang mencuri-curi pandang ke arahnya. "A–ku siapin makan siang dulu, Mas," ujarnya kepada sang suami seraya berbalik badan dan langsung berjalan ke arah dapur menyusul Nunung. Rayyan menyembunyikan helaan napasnya ketika melihat punggung sang istri yang menjauh. Di dalam hati entah mengapa ia merasa timbul kesedihan. Ia menebak kalau benar, sang istri sepertinya masih menyimpan perasaan kepada adik angkatnya. "Naah, ini diaa! Terima kasih, Bi Nunung yang caeeem ...!" seru Bobby menarik Rayyan kembali
"Kenapa sih, Nya? Nyonya sejak pagi tadi keliatan nggak fokus gitu?" tanya Nunung ketika Lestari baru saja menumpahkan air yang ia tuang dari sebuah teko. Sebelumnya Lestari juga tak sengaja mengiris jarinya sendiri ketika menyiangi sayuran. Keduanya memasak lebih banyak hari ini sebab Rayyan tadi malam mengatakan akan membawa Gilang ke rumah tersebut. Ya, sejak itu, entah mengapa Lestari menjadi gugup sendiri. Ia juga heran, sebenarnya apa yang sedang terjadi pada dirinya. Padahal ia yakin, kalau hatinya kini telah dimiliki oleh Rayyan Yudistira, sebagai lelaki yang berstatus suaminya. "E–eh, ma–af, Bi. Biar aku yang bersihkan. Bibi lanjut nata perlengkapan makannya aja!" tukas Lestari sembari meraih gagang pel yang dipegang Nunung dan mulai mengelap air yang membasahi lantai ruang makan tersebut. Nunung pun menghela napas dan melipat bibirnya sejenak. Lalu ia menata piring dan sendok di atas meja makan seperti perintah sang nyonya. "Assalamualaikum." Deg! Degup jantung Lesta
Bobby mencebikkan bibirnya. "Nggak ada, Boss. Makanya aku bilang, kayaknya ingatan Mas Gilang masih setengah-setengah," ujar lelaki itu lagi. Rayyan menghela napas sedikit lega. Akan tetapi, kekhawatiran di wajahnya masih menyelimuti. "Gimana kalau suatu saat dia ingat semuanya, ya, Bobb? Apa yang harus saya katakan soal Tari?" Lelaki tampan itu menatap pelas ke arah sang asisten. Ia berharap bisa mendapatkan pencerahan dari Bobby. "Ya mau gimana. Ini sudah takdir, Boss. Sekarang Boss udah nikahin cewek yang Mas Gilang taksir. Mau nggak mau, Mas Gilang juga mesti menerima itu!" Ucapan Bobby terdengar tanpa beban di telinga Rayyan. Rayyan menunduk, kemudian menekan kepala dengan dua tangannya. Entah mengapa kepalanya kini terasa berdenyut tiba-tiba seperti ini. Pikirannya terasa sangat penuh. "Mbak Tari sendiri kira-kira gimana kalau tahu Mas Gilang sebenarnya masih hidup ya, Boss?" tanya Bobby kepada yang atasan yang wajahnya mulai kusut itu. "Tari sudah tahu." "Hah?!" Bobby tam
Bobby menghela napas panjang. Ia menimbang-nimbang. "Pak, apa nggak bisa diundur bulan depannya lagi ya, kami keluar dari sana?" Bobby hanya ingin mengantisipasi waktu saja. Khawatir kalau nanti ia butuh waktu lebih lama untuk mengurus kepindahan Gilang. "Aduh, Mas, maaf sekali lagi. Kayaknya nggak bisa. Soalnya itu apartemen mau dipake anak orang yang beli itu. Bulan depan tanggal 7, dia sudah masuk kuliah. Jadinya sebelum itu dia harus pindahan dan prepare semua urusan dia secepatnya. Begitu katanya, Mas!" Kembali Bobby menghela napas panjang. "Oh, iyalah, Pak. Saya nanti koordinasi dulu sama sodara saya itu. Nanti saya kabari lagi perkembangannya ke Bapak," ucap lelaki itu akhirnya. "Oke, Mas Bobby. Maaf sekali lagi. Semoga dimudahkan ya, Mas!" Keduanya pun memutuskan sambungan telepon seluler tersebut. "Aku mesti langsung kasih tahu si Boss ini!" seru Bobby sembari menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku jas. Setelah itu, ia langsung menjalankan kembali motor besarnya men