"Eh, i–ya, baik, Mas." Lestari lalu melangkah masuk dan mengambil bantal serta selimutnya di sana. Kemudian ia kembali keluar dari kamar tersebut. "Mulai sekarang kamu yang mesti membereskan kamar saya, bukan Bi Nunung lagi. Paham kamu? Bibi juga paham ya?" Rayyan menatap Lestari dan Nunung bergiliran. "Baik, Mas," sahut Tari. Nunung pun ikut menyahut dan mengiyakan. "Kamar yang di sana sudah dibereskan, Bi? Saya mau semua tertata dengan rapi seperti semula." Rayyan menunjuk kamar orang tua angkatnya yang beberapa hari lalu dipakai oleh orang tua Lestari. "Oh, kamar itu. Sudah saya bereskan, Tuan," jawab Nunung. "Bagus!" seru Rayyan. Lestari tampak ingin bergerak pergi dari tempat itu karena hendak menaruh benda-benda miliknya yang tadi ia ambil dari kamar Rayyan. "Eh, Tari! Saya belum selesai ngomong!" cetus Rayyan menahan gerakan sang istri. Tari pun kembali menghadap suaminya. "Maaf, Mas." "Ck!" Rayyan bosan dengan ucapan maaf dari perempuan itu, "malam ini saya
Lestari terkesiap sebentar. Kemudian perempuan itu pun kembali menarik kedua sudut bibirnya lebih lebar. "Ah, ini Mas Rayyan-nya. Mas Burhan dan Mas Rayyan saling kenal?" Burhan tersenyum lebar. "Tentu sa–" "Maaf, saya nggak kenal sama dia. Ayo kita bayar belanjaan dulu!" cetus Rayyan memotong omongan Burhan dan ia langsung merangkul pinggang sang istri menjauhi pria yang menjadi teman baik adik angkatnya tersebut. Burhan hanya terdiam dan terkejut melihat sikap Rayyan. 'Kenapa sejak hari resepsi waktu itu Bang Rayyan bersikap seolah tidak pernah kenal sama aku?' Hati lelaki itu bertanya-tanya. Begitu juga Lestari, wanita muda itu menoleh sebentar ke arah belakang, melihat wajah Burhan yang terheran-heran di sana. Sungguh, ia juga merasa aneh melihat sikap Rayyan. Andaikata Rayyan memang tidak kenal dengan Burhan, apa salahnya saling menyapa dan berkenalan sebentar? Nunung pun tak kalah bingung melihat situasi yang absurd barusan. Namun, ia memutuskan untuk mengikuti sang majikan
"Buka pakaianmu!" Rayyan berseru sembari membuka kaus berkerah yang ia kenakan sendiri. Lestari yang masih menahan sakit di kulit kepalanya itu menggeleng-gelengkan kepala dengan keras. Air mata berderaian di wajahnya. Ia beringsut perlahan hendak kabur. Rayyan membuka gesper yang ia pake dan melonggarkan celananya. Lestari berlari menuju ke arah pintu, tetapi dengan cepat pintu yang sempat terbuka sedikit itu kembali tertutup rapat oleh gerakan kilat Rayyan yang mendahuluinya. "Kamu mau ke mana, heh?" Rayyan menangkap pergelangan tangan Lestari seraya berusaha menyeretnya menuju ke tempat tidur. "Nggak, Mas. Aku nggak mauuu ...!" Lestari berusaha meronta dengan memutar tangannya agar lepas dari pegangan sang suami. Sungguh, degup jantungnya berdebar begitu kencang. Ia takut kalau Rayyan bersikap kasar. Bahkan lebih kasar daripada waktu itu. "Nggak mau, katamu! Kamu 'kan, tahu kalau menolak suami artinya apa! Kamu harus nurut! Kamu buktikan kalau kamu itu masih suci!" Rayy
Lestari tertunduk di atas tempat tidur setelah ia membersihkan diri di kamar mandi tadi. "Akh ... ssshh ...!" desahnya merasa perih saat Nunung mengoleskan balm ke atas luka-luka di tubuhnya. "Tahan bentar ya, Nya," ujar Nunung sembari membayangkan betapa kasarnya Rayyan memperlakukan sang nyonya tadi di kamarnya. Sungguh, dirinya pun turut merasa perih dengan penderitaan yang dirasakan oleh Lestari. "Iya, Bi," lirih Lestari menjawab. Dari leher, dada, serta perut wanita muda itu penuh dengan rona merah keunguan. Belum lagi dahinya yang lebam dan membengkak, lalu bekas-bekas cakaran Rayyan, juga pergelangan tangan Tari yang memerah. Nunung hanya bisa meringis menahan perasaannya sendiri. Ceklek! "Bi!" Deg! Spontan Nunung terkesiap. Wanita tua itu dan Lestari pun refleks melihat ke arah pintu yang kini sudah terbuka di sana. Itu Rayyan yang membuka pintu dan memanggil sang asisten rumah tangganya. Lestari kontan bergerak cepat menutupi tubuhnya yang tadi terbuka deng
Sepekan telah berlalu, bekas luka-luka yang dialami Lestari hari itu sudah mulai memudar, meskipun di beberapa bagian masih terlihat samar, terutama bekas kuku Rayyan di leher dan di pahanya. Perasaan wanita itu juga sudah semakin membaik, mekipun belum sepenuhnya sebab sikap Rayyan sama sekali tidak berubah. Lelaki itu masih saja sering membentaknya dengan keras, meskipun kesalahan kecil yang ia lakukan. Kalau sudah seperti itu, memori Lestari kontan saja teringat kejadian malam itu. Ia akan merasakan perubahan dalam tubuhnya. Tubuhnya bakal terasa gemetaran meskipun tidak kentara terlihat oleh orang lain, tapi dirinya sendirilah yang paling merasakan hal tersebut. *** "Boss, nanti malam Boss pergi nggak ke undangan pernikahan anak Pak Herlan?" tanya Bobby ketika dia dan Rayyan baru saja selesai makan siang bersama sambil membicarakan tentang pekerjaan. Rayyan tidak makan berat, karena seperti biasa, dia sudah merasa nyaman dengan masakan Lestari. Pria itu tidak mau lagi m
"Nanti di pesta kamu jangan bersikap kampungan ya. Jangan buat aku malu," ujar Rayyan memperingatkan istri cantiknya sebelum mereka benar-benar sampai di area pendopo hotel yang mana di hotel tersebut merupakan tempat perayaan pernikahan putri kliennya. "Iya, in syaa Allah, Mas." Lestari menoleh ke arah wajah tampan sang suami di sampingnya. Jujur saja, ia yang tadinya merasa senang diajak, jadi khawatir karena takut melakukan sesuatu yang dianggap sebagai kesalahan bagi Rayyan. Setelah kendaraan mereka berhenti di gerbang yang mengarah ke lobby, kemudian pintu mobil bagian duduk Lestari pun dibukakan oleh seorang petugas hotel. "Selamat datang ... silakan ...!" sapa sang petugas berjas ungu itu ramah. Lestari hanya mengulas sedikit senyuman, lantas ia menurunkan kakinya dari kendaraan. Bersyukur Rayyan membelikan sepatu yang berhak tidak terlalu tinggi, jadi Lestari tidak begitu kesulitan menjaga keseimbangan tubuhnya sendiri. Rayyan yang sudah keluar juga dari kendaraan mendekat
"Apa kabar, Ray?" Clara mengulas senyum menggoda ke arah mantan suaminya. "Suamimu mana? Kenapa istrinya dibiarkan keliaran di toilet pria?" sindir Rayyan sembari mengeringkan tangannya menggunakan hand dryer automatic yang ada di sana. Ia tak mau menjawab pertanyaan yang menurutnya tak penting dari perempuan di hadapannya itu. Clara tampak mencebikkan bibir dengan lipstik merah meronanya. "Dia lagi ngurusin istri tuanya yang sakit-sakitan di rumahnya." Rayyan tertawa kecil seakan mengejek. "Syukurlah kamu dapat suami yang baik, yang perhatian sama kedua istrinya. Oh, ya, aku kembali dulu ke depan." "Siapa perempuan berhijab di sana tadi? Itu istri barumu? Atau pembantu baru?" Mendengar celaan Clara, Rayyan sontak mengurungkan gerak langkah kakinya. Kedua alis pria itu bertautan dengan ucapan bernada penghinaan itu. Sungguh, meski memang benar ia memperlakukan Lestari dengan buruk bak seorang pembantu, tetapi celaan itu membuat telinganya terasa panas. "Ray ... Ray ... nggak ny
Kedua rahang Lestari mengetat. Jemari kedua tangannya mengepal kuat. Ia kembali menundukkan kepala dalam-dalam, tetapi ia sama sekali tidak bisa berkutik. Wanita itu berusaha sekuat tenaga untuk menahan bulir bening yang menggenang di pelupuk mata agar tidak menyeruak dan tumpah. Sungguh ia benar-benar takut sekali. "Saya nggak mau kamu berontak lagi kayak waktu itu. Kalau kamu berontak, akan saya ikat kamu! Paham?!" cetus Rayyan sembari menyingkap daster selutut milik Lestari agar terlepas. Mendengar ancaman itu membuat Lestari semakin gemetar. Kini tubuh itu telah polos berdiri di samping sang pria. Air mata Lestari pun akhirnya lolos dan terjatuh. Cepat-cepat wanita itu menyusutnya. Rayyan menelan ludahnya dengan berat melihat pemandangan indah di hadapan. Sungguh ia merasa gair*hnya sudah berada di ubun-ubun kepalanya sekarang. Namun, dahinya sontak mengernyit ketika matanya tertumbuk pada tangan kiri Lestari yang terbalut kasa. Ia baru menyadari pemandangan yang tak meny