"Apa kabar, Ray?" Clara mengulas senyum menggoda ke arah mantan suaminya. "Suamimu mana? Kenapa istrinya dibiarkan keliaran di toilet pria?" sindir Rayyan sembari mengeringkan tangannya menggunakan hand dryer automatic yang ada di sana. Ia tak mau menjawab pertanyaan yang menurutnya tak penting dari perempuan di hadapannya itu. Clara tampak mencebikkan bibir dengan lipstik merah meronanya. "Dia lagi ngurusin istri tuanya yang sakit-sakitan di rumahnya." Rayyan tertawa kecil seakan mengejek. "Syukurlah kamu dapat suami yang baik, yang perhatian sama kedua istrinya. Oh, ya, aku kembali dulu ke depan." "Siapa perempuan berhijab di sana tadi? Itu istri barumu? Atau pembantu baru?" Mendengar celaan Clara, Rayyan sontak mengurungkan gerak langkah kakinya. Kedua alis pria itu bertautan dengan ucapan bernada penghinaan itu. Sungguh, meski memang benar ia memperlakukan Lestari dengan buruk bak seorang pembantu, tetapi celaan itu membuat telinganya terasa panas. "Ray ... Ray ... nggak ny
Kedua rahang Lestari mengetat. Jemari kedua tangannya mengepal kuat. Ia kembali menundukkan kepala dalam-dalam, tetapi ia sama sekali tidak bisa berkutik. Wanita itu berusaha sekuat tenaga untuk menahan bulir bening yang menggenang di pelupuk mata agar tidak menyeruak dan tumpah. Sungguh ia benar-benar takut sekali. "Saya nggak mau kamu berontak lagi kayak waktu itu. Kalau kamu berontak, akan saya ikat kamu! Paham?!" cetus Rayyan sembari menyingkap daster selutut milik Lestari agar terlepas. Mendengar ancaman itu membuat Lestari semakin gemetar. Kini tubuh itu telah polos berdiri di samping sang pria. Air mata Lestari pun akhirnya lolos dan terjatuh. Cepat-cepat wanita itu menyusutnya. Rayyan menelan ludahnya dengan berat melihat pemandangan indah di hadapan. Sungguh ia merasa gair*hnya sudah berada di ubun-ubun kepalanya sekarang. Namun, dahinya sontak mengernyit ketika matanya tertumbuk pada tangan kiri Lestari yang terbalut kasa. Ia baru menyadari pemandangan yang tak meny
Suara bentakan yang ke dua kali itu sontak membuat Lestari kaget dan refleks terduduk. Akalnya berusaha mencerna apa yang tengah terjadi. Pada akhirnya dua matanya kini melihat ke arah sosok yang berdiri di sampingnya. "Mas Ray ...," lirih suaranya sendiri yang terdengar serak menggoda di telinga Rayyan. Lelaki itu kembali terbayang dengan suara desahan dan rintihan yang membuat ia sangat bergairah tadi. Akan tetapi, Rayyan cepat-cepat menepis rasa itu. Kembali gengsi yang tinggi menguasai jiwanya. "Keluar kamu dari kamar saya, cepat!" sergahnya. Lestari yang kembali kaget langsung saja berdiri dan menutupi tubuhnya yang polos dengan selimut. "I–iya, Mas. A–ku pergi." Wanita itu terlihat panik. Dengan buru-buru ia berjalan menuju ke pintu kamar hendak keluar. "Baju baumu itu bawa pergi! Bikin muak tahu!" seru Rayyan keras. "Dan kembalikan selimutku sini!" "Eh, i–iya, Mas." Lestari kembali lagi dan memunguti pakaiannya yang berserakan. Mau tidak mau ia segera melepas selimutny
Wajah Lestari merah padam ketika sang suami melepaskan tautan bibir mereka berdua. Kemudian lelaki itu membisikkan sesuatu yang membuat aliran darah sang wanita terasa berdesir hangat dan seketika saja membuat tubuhnya terasa bergetar. "Ba–baik, M–Mas," sahutnya dengan sangat lirih hampir tak terdengar. "Saya pergi." Rayyan pun berbalik dan berjalan dengan cepat. Lestari seakan membeku di tempatnya berdiri. Bisikkan Rayyan tadi masih terngiang di telinganya. "Nanti malam saya mau kamu lagi." Tanpa sadar kedua ujung bibir wanita muda nan jelita itu tertarik ke atas. Jujur, ia juga menginginkan sentuhan Rayyan seperti tadi malam yang membuatnya merasa melayang ke angkasa. Bahkan ucapan kata 'sayang' dari lisan Rayyan ketika sedang bersamanya semalam membuatnya terbang ke awang-awang. "Nya!" "Eh, Bi? Mmm ... Mas Rayyan mana?" Lestari terkesiap ketika Nunung memegang lengan dan menegurnya. Ia langsung teringat tadi kalau Rayyan hendak pergi berangkat kerja, tetapi mengapa lelaki it
Jam menunjukkan pukul 20.30 WIB. Rayyan baru sampai di rumahnya. Seperti biasa, lelaki tampan nan gagah itu disambut pelayanan maksimal oleh sang istri. Setelah kakinya dipijat sambil direndam air hangat, maka ia akan disiapkan makan malam yang selalu menggugah seleranya. "Baju yang ada dalam paper bag tadi, nanti kamu pake di kamar saya," pungkas Rayyan sembari menikmati makanannya. "Oh, itu buatku, Mas?" lirih Lestari bertanya seraya matanya mengarah ke paper bag yang masih berada di atas meja di ruang tengah rumah itu. Tadi ketika Rayyan datang, memang ia membawa benda itu. Akan tetapi, Tari tidak berani untuk menanyakan. "Itu lingerie. Ada beberapa helai. Saya mau kamu pake yang warna hitam malam ini," pungkas Rayyan dengan suara dan ekspresi yang datar. Deg! 'Lingerie ...?' bisik hati Lestari. Darah di sekujur tubuhnya seketika berdesir mendengar jenis baju apa yang Rayyan suruh ia pakai malam ini. Ia paham jenis baju tidur itu, meskipun tidak pernah memiliki bahk
"I–iya, Mas!" sahut Lestari gugup.Dengan cepat wanita muda itu meraih lingerie yang berwarna maroon dan gegas pula ia mengenakannya. Setelahnya ia memasukkan kembali 4 helai yang lain ke dalam paper bag tadi sekaligus daster yang tadi ia pakai.Ceklek!Wanita muda itu membuka pintu kamar mandi dengan ragu-ragu. Ia membuka pintu itu hanya selebar sejengkal saja. Hal itu membuat Rayyan memicingkan mata sekaligus menautkan alisnya dengan kencang.Ternyata benar, Rayyan menantinya di tempat tidur. Mata pria itu terarah ke tampilan istrinya di kamar mandi yang sudah terbuka sedikit. Tentu saja tidak terlalu jelas kelihatan."Cepat sini!" seru pria itu tidak sabar.Mau tidak mau Lestari pun keluar dari kamar mandi itu. Kepalanya tertunduk dalam sembari meletakkan paper bag ke atas lantai di samping nakas, lalu lebih mendekat ke arah suaminya dengan langkah gemetar.Seperti melihat seorang bidadari, Rayyan tertegun sejenak. Ia menelan saliva terasa seperti menelan kerikil saja, saking sere
"Tentu, Sayaang ... aku tak akan mungkin berhenti di tengah-tengah," sambut Rayyan dengan suka cita. Ia merasa senang dengan reaksi tubuh yang ditunjukkan oleh wanita muda di bawah kungkungannya itu. Kata 'sayang' itu kembali menerpa telinga Lestari. Sungguh, ia merasa kalau saat seperti ini Rayyan berubah menjadi sosok yang sangat berbeda dari yang biasa ia hadapi. Sensasi yang luar biasa yang ia rasakan dengan apa yang Rayyan lakukan sangat luar biasa. Dengan harmoni cumbu dan rayunya, membuat hati Lestari terasa melayang tinggi di awan. Desahan dan lenguhan mengiringi kegiatan kedua insan yang sedang dimabuk asmara itu. Mereka pun kembali mereguk kenikmatan di ranjang panas tersebut. Sepasang suami-istri itu seakan kini tengah melayang jauh dan mereka sedang dimabuk kepayang dengan percintaan yang luar biasa di antara keduanya. Bahkan sang wanita pun seolah ikut hanyut ke dalam permainan suaminya malam ini. Sang jelita akan membalas setiap sentuhan sang suami dengan tak kalah
Sayup-sayup terdengar suara shalawat dari arah toa masjid. Dahi Rayyan mengernyit dan kedua matanya mengerjap. "Hmmrrgg ...." Pria itu mengusap wajah berusaha menarik seluruh kesadarannya kembali setelah tertidur dengan begitu lelap. Ya, tidur malam ini terasa begitu nyenyak untuknya. Tanpa mimpi sama sekali, terasa begitu berkualitas istirahatnya. Tiba-tiba pria itu teringat akan kegiatannya malam itu. Kontan ia meraba tempat tidur di sebelah kanan dan kirinya. "Hmm ... dia sudah pergi." Pria itu baru menyadari kalau partner permainan ranjangnya semalam sudah tidak lagi berada di pelukan bahkan di sampingnya pun tidak. Entah mengapa ada perasaan yang tak sempurna di dalam hatinya saat ini. Ia tidak suka. Dulu, ketika dirinya masih bersama mantan istrinya—Clara—, bahkan ia dengan mudah memeluk tubuh wanita itu berkali-kali. Terkadang justru Clara yang menolaknya karena Rayyan ingin mengulang percintaan dalam 'serangan fajar'. "Sadar, Ray ... kau jangan lagi jadi pria yang dibu