Sayup-sayup terdengar suara shalawat dari arah toa masjid. Dahi Rayyan mengernyit dan kedua matanya mengerjap. "Hmmrrgg ...." Pria itu mengusap wajah berusaha menarik seluruh kesadarannya kembali setelah tertidur dengan begitu lelap. Ya, tidur malam ini terasa begitu nyenyak untuknya. Tanpa mimpi sama sekali, terasa begitu berkualitas istirahatnya. Tiba-tiba pria itu teringat akan kegiatannya malam itu. Kontan ia meraba tempat tidur di sebelah kanan dan kirinya. "Hmm ... dia sudah pergi." Pria itu baru menyadari kalau partner permainan ranjangnya semalam sudah tidak lagi berada di pelukan bahkan di sampingnya pun tidak. Entah mengapa ada perasaan yang tak sempurna di dalam hatinya saat ini. Ia tidak suka. Dulu, ketika dirinya masih bersama mantan istrinya—Clara—, bahkan ia dengan mudah memeluk tubuh wanita itu berkali-kali. Terkadang justru Clara yang menolaknya karena Rayyan ingin mengulang percintaan dalam 'serangan fajar'. "Sadar, Ray ... kau jangan lagi jadi pria yang dibu
Kemudian lelaki itu melihat nasi goreng teri medan yang kelihatan sangat menggugah selera itu. "Mana piring nasimu?" tanya Rayyan seraya mengelap wajahnya yang sedikit basah oleh peluh. "O–oh, akuu ... pu–punyaku nanti masih di dapur, Mas," kilah Tari sedikit mengulas senyuman. Ia masih merasa awkward di karenakan perlakuan suaminya barusan. Hal itu sangat berpengaruh ke jantungnya, sehingga organ vital tubuhnya itu mesti senam dulu di pagi hari ini. "Bawa ke sini. Saya mau makan sama kamu." Rayyan mendudukkan bokongnya ke atas sofa dan meraih gelas jus tomat, lalu meneguknya perlahan. Kemudian pria itu menoleh ke arah sang wanita yang masih terpaku di tempatnya berdiri. Ia pun memicingkan mata. "Ah! I–iya, Mas. Aku ambil dulu makananku." Seakan baru tersadarkan, tatapan intimidasi dari Rayyan itu menarik Lestari dari ketermanguannya. "Huuuft ...." Rayyan menghela napas lelah. Ia berusaha mengendalikan emosi, sebab tak mau merusak mood-nya di pagi hari ini. Ya, hatinya merasa se
Rayyan mengecup bibir istrinya. Sebentar saja, kemudian ia membelai bibir itu dengan hati-hati. 'Bibirmu begitu manis dan selalu menggoda untuk dicivm,' kata hatinya. Lestari hanya menundukkan pandangan dengan wajah yang senantiasa memerah. Jujur, ia senang diperlakukan seperti ini oleh sang suami. Namun, di dalam hatinya juga merasa ada ketakutan tersendiri mengingat sikap Rayyan selama ini yang selalu berkata dan berbuat kasar. Kembali Rayyan tak kuasa menahan diri untuk mengecup bibir wanita jelita di pangkuannya itu. Ia pun mempermainkan bibir itu dengan lebih lama. Tanpa sadar, Lestari mulai membalas apa yang sang suami lakukan terhadapnya. Ia pun menangkup wajah berbulu lelaki tampan itu dengan kedua tangannya. 'Kamu semakin pandai. Aku suka,' ucap hati Rayyan merasa senang dengan respons sang istri muda. Ketika tautan mereka lepas, keduanya pun saling bertatapan. Ada senyum simpul di bibir Rayyan menatap lekat wajah jelita di hadapannya. Sementara Lestari, ia merasa sedi
"Nggak. Saya nggak kenapa-napa," jawab Rayyan kemudian pria itu bangkit dari rebahannya dan ia pun duduk di pinggir ranjang dengan menurunkan kedua kakinya ke lantai. Lestari menyusul membangunkan diri seraya menarik selimut berusaha menutupi tubuh polosnya saat ini. Jujur saja, ia merasa heran sekaligus penasaran dengan sikap sang suami yang tiba-tiba menjadi diam seperti ini. Sedari tadi sang pria memperlakukannya dengan sangat akrab. Bahkan ucapan kata 'sayang' diucapkan berkali-kali dari lisan lelaki itu pada saat mereka bercinta. Hening .... Rayyan tampak meremas rambut kepalanya sebentar. Kemudian mengusap wajahnya pelan, lalu menunduk sembari menopangkan lengan di atas kedua lututnya, sambil menautkan jemari kanan dan kiri tangannya. Entah apa yang tengah lelaki itu pikirkan saat ini. 'Mas Rayyan kenapa jadi diam begini? Apa dia ada masalah? Mungkin pekerjaan di kantor atau yang lainnya?' bisik hati Lestari bertanya-tanya. Dengan perlahan Lestari beringsut dan berge
"Nya, ada tamu mau mau jumpa dengan Nyonya!" Tiba-tiba Nunung yang baru saja dari arah depan rumah memanggil Lestari yang sedang membersihkan teras belakang rumah. Wanita muda itu pun menoleh. "Mau ketemu aku?" tanya Lestari heran. Ya, bagaimana tidak, tidak pernah ada orang yang mencarinya di rumah ini sebelumnya. "Iya, cepet, Nya. Nanti tuan marah. Tamunya datang sama Mas Bobby." Lestari masih merasa heran. Akan tetapi, mendengar nama suaminya, ia pun gegas menuju ke kamarnya untuk mengganti pakaian dan mengenakan bergo. Setelah itu, wanita muda tersebut pun melenggang ke ruang tamu. Tampaklah Rayyan, kemudian Bobby, beserta seorang lelaki yang berusia sekitar 40an di sana. "Sini duduk!" suruh Rayyan ketika sang istri sembari berisyarat menunjuk ke sofa di sebelahnya. Lestari pun mendekat dan mendaratkan bobotnya ke sofa tersebut. Pandangan matanya terarah kepada Bobby dan orang yang sekarang bersamanya bergiliran. "Hmm, ada apa ya, Mas?" Wanita muda itu menoleh ke arah san
Setelah Bobby dan Susno pergi, Rayyan mempertanyakan ketidaktegasan Lestari. "Utang Ayahmu ada di uang tanah itu! Kenapa malah kamu mau aja berkompromi dengan dia?" "Hmm, Mas. Aku pikir ... kalau dipaksakan juga sepertinya berat. Orang itu lagi ada masalah, dan kalaupun kita tuntut, aku rasa percuma, tetap saja uangnya nggak bakal ada, Mas. Jadi, menurutku, ada baiknya aku nunggu 3 bulan aja. Toh, nanti uangnya juga dilunasi." Rayyan tertawa sumbang. "Sok baik banget kamu ini, mikirin orang lain, sementara orang lain belum tentu mikirin kamu. Terserah kamulah!" Rayyan lalu bangkit berdiri dari sofa ruang tamu itu. Lestari menatap punggung suaminya yang mulai melenggang menjauh. 'Kamu memang lugu, Tari. Kamu tidak tahu apa-apa soal untung rugi. Memang siapa yang bisa jamin orang itu bakal menepati janjinya untuk melunasi dalam jangka waktu 3 bulan?' cetus Rayyan di dalam hati. "Ah, iya! Kamu siap-siap! Kita ke dokter kulit sekarang!" seru Rayyan sebelum langkahnya menjauh. "Seka
"Mahal sekali, Sus!" seru Lestari. Sang perawat tersenyum tipis. "Memang sudah seperti itu, Mbak. Ini juga karena Pak Dinar kita rawat di ruang VVIP." "Ya Allah ...," lirih Lestari sembari memijat pangkal hidungnya. Kepalanya terasa berdenyut sekarang. "Kalau pihak keluarga keberatan, sebenarnya bisa diarahkan ke ruang biasa, Mbak. Tapi, sejak awal Pak Dinar diminta dirawat di ruang ini." Rayyan menyembunyikan senyumannya. 'Rasakan!' Lestari menoleh ke arah suaminya. "Mas, bagaimana ini?" "Mas sama Mbaknya silakan nanti biaya untuk dua pekanan ini dilunasi di bagian kasir ya, yang kemarin totalnya 78 juta, baru dibayar 45 juta. Nanti tinggal minta perinciannya. Kalau mau dipindahkan bapaknya, nanti bilang saja ya, Mbak. Saya permisi dulu," imbuh sang perawat seraya mengangguk pamit. "Ah, i–ya, Sus." Lestari terlihat sangat gugup. "Huh! Menyusahkan saja orang tua kamu ini!" cetus Rayyan sembari berjalan menuju ke arah jendela ruang itu, "yang 45 juta itu uang saya ya. Untuk ber
Lestari memegang tangan sang ayah dan menempelkan di pipinya. "Yah ... Ayah bangun, dong, Yah. Tari nggak tega lihat Ayah seperti ini ...."Saat ini Dinar Abdullah sudah dipindahkan ke ruang kelas dua. Meski tidak wah dan lengkap seperti sebelumnya, cukup lumayan, sebab ruang ini hanya diisi oleh dua orang pasien saja. Pria tua itu tetap bergeming. Hanya suara deru napasnya saja yang terdengar di sana.Lestari merasa begitu sedih karena kondisi ayahnya yang masih tidak sadar, sekaligus ia juga merasa gundah dengan sikap suaminya yang sering berubah-ubah saat ini. Ya, dua hari belakangan suaminya sedikit melembut, tadinya ia pikir Rayyan akan berubah baik. Nyatanya tetap saja lelaki itu bersikap dan berkata dengan nada yang tidak enak didengar."Permisi ...!" Lestari refleks meletakkan tangan sang ayah ketika tiba-tiba saja datang seorang perawat masuk ke dalam ruang itu dan menghampiri brankar ayahnya."Maaf ya, Mbak ... saya mau cek tensi Bapak dulu." Sang perawat tersenyum ramah s
"Oh, iya. Baik, Pak Gilang." Fatir pun bangkit dari duduknya dan lelaki itu mengangguk ke arah Rayyan yang memasang wajah dingin seperti biasanya itu untuk berpamitan. "Permisi, Pak Rayyan ...," ucapnya."Silakan!" sahut Rayyan singkat.Setelah Fatir pergi, Gilang menoleh tanpa melihat wajah sang kakak. "Kenapa?" tanyanya tak mau berbasa-basi."Abang senang kamu nggak bawa urusan pribadi kita ke pekerjaan dan masih mau masuk kerja," ujar Rayyan kepada adiknya."Aku bukan anak kecil yang merajuk mainannya diambil," cetus Gilang dengan nada dingin.Rayyan melipat bibirnya. "Kamu masu marah?" Lelaki itu menatap lekat ke arah adik kesayangannya. "Sudahlah, toh, kalian sudah pergi dari rumahku, 'kan? Mana tanpa pamit!" sindir Gilang."Abang bukan nggak mau pamit. Lagian barang-barang kami masih ada di sana. Nanti juga Abang mau jemput Bi Nunung.""Oke, bawa aja semua barang-barang kalian." Gilang masih tidak mau melihat wajah kakaknya. Sungguh, di dalam hatinya kini bercampur perasaan kec
Setelah makan siang di rumah Bobby, Rayyan dan Lestari memutuskan untuk berbelanja berbagai macam furniture untuk mengisi rumah baru mereka. Akan tetapi, keduanya masih memutuskan untuk menginap di rumah Bobby di malam harinya."Kenapa kita nggak nginap di hotel aja sih, Mas? Aku nggak enak sama Mas Bobby," ucap Lestari setelah merebahkan badan ke atas ranjang.Rayyan menyusul ikut merebah di samping wanita cantik itu. "Bawaan kita banyak, jadi nggak leluasa kalau ke hotel. Lagian kita di sini hanya semalam aja. 'Kan, kita sudah sedikit mengisi rumah baru kita tadi," sahut lelaki itu.Lestari menghela napas, kemudian mengangguk memahami. "Besok pagi-pagi ya, Mas, kita pindahnya. Aku nggak mau terlalu lama ngerepotin di rumah ini," pungkas Lestari lagi."Oke," jawab Rayyan singkat.Lestari kemudian beringsut merapatkan tubuhnya pada sang suami. Ia ingin memeluk pria kesayangannya itu demi sedikit meredakan sebak di dada, sebab masih terus terngiang-ngiang dengan ucapan dan tudingan dar
Di tempat yang berbeda, Harun baru saja selesai bertransaksi kepada seorang pemilik toko buah di pasar kota. Ketika pria tua itu hendak kembali menuju parkiran mobil pick-up milik temannya yang mengangkut hasil panen pepaya, tak sengaja matanya menangkap sesosok yang seperti tak asing baginya. Orang itu sedang berbelanja sayur-mayur bersama seorang wanita di sampingnya. Kedua alis Harun bertaut kencang. "Itu ... itu bukannya bapak-bapak yang pernah menabrak Ardi?" bisiknya pada diri sendiri. Setelah meyakinkan diri, Harun melangkahkan kakinya dengan lebih kencang menuju ke arah sana. Tangannya kemudian terulur ke pundak pria yang tengah memilah sayuran tersebut. Kontan saja pria itu menoleh ke arah Harun. "Pak Harun?" ucapnya menyebut nama pria tua itu. Dengan sangat tipis Harun berusaha menarik kedua sudut bibirnya. Jantungnya sedikit berdebar sebab rasa yang membuncah. Ia yakin, pria di hadapannya ini bisa membawanya bertemu kembali dengan cucu menantunya yang selama ini dicari
"Loh? Nyonya mau pergi ke mana? Memangnya sudah dibeli rumah barunya?" Nunung bertanya heran, sebab sang majikan wanita berpamitan dengan beberapa koper yang sudah disiapkan di dekat mereka."Iya, Bi. Sudah beli rumah. Tapi, ini nggak langsung pindah ke rumah itu. Saya dan Tari mau ke tempat teman saya dulu." Jawaban itu justru keluar dari lisan Rayyan, "Bibi sementara di sini dulu. Kalau kami sudah benar-benar pindah ke rumah yang baru, Bibi akan saya jemput," lanjut lelaki itu menjelaskan."O–oh, gitu, Tuan?" Meski masih merasa heran karena kepergian majikannya yang mendadak seperti ini, Nunung hanya bisa menuruti.Lestari memilih diam dari tadi, sebab ia mengikuti suaminya saja. Saat ini, ia hanya ingin segera pergi dari rumah itu."Bi, aku pamit dulu ya ...." Lestari mendekati sang ART, kemudian memeluk wanita tua yang selama ini telah ia anggap seperti ibunya sendiri."I–iya, Nya. Hati-hati di jalan. Nyonya kabari saya kalau sudah sampai di rumah temen Tuan ya! Nyonya juga jangan
Terdengar suara isakan dari Lestari membuat Rayyan seolah baru tersadar. Lelaki itu kemudian berjalan mendekat ke arah tempat duduk istrinya, lalu merangkul pundak wanita itu. "Tari ... kamu ... nggak apa-apa?" 'Ck! Pertanyaan bodoh! Nggak apa-apa gimana? Dia sedih, Gobl0k!' Batin Rayyan memarahi dirinya sendiri sebab mengucapkan pertanyaan yang ia anggap tidak perlu itu. Lestari bangkit berdiri dengan perlahan-lahan. Kakinya terasa begitu lemas rasanya. Ia lalu berjalan pelan dan lunglai menuju ke arah kamarnya. Rayyan bingung dengan apa yang mesti ia lakukan. Lelaki itu hanya bisa mengiringi sang istri menuju ke arah kamar mereka. Sesampainya di dalam kamar. Lestari menuju ke arah ranjangnya dan merebahkan diri sembari kembali menangis di atas bantalnya. Sungguh, ia merasa begitu sedih, sebab telah membuat Gilang sangat kecewa seperti saat ini. Sementara Rayyan, pria itu hanya bisa duduk di pinggir ranjang tersebut dengan kepala yang terasa berdenyut. Ia benar-benar tidak tahu
"Jadi, kamu sudah ingat tentang Tari?" tanya Rayyan tak mau lagi berbasa-basi."Bi, nggak apa-apa, kok. Bibi lanjutin kerjaan Bibi lagi, gih," bisik Lestari lirih ke arah Nunung di sebelahnya."Eeh, i–iya. Baik, Nyonya," sahut Nunung tergagap. Akan tetapi, wanita tua itu tetap menurut. Ia pun berbalik dan melenggang kembali ke teras belakang rumah.Lestari kembali mengarahkan pandangan ke arah Gilang dan juga Rayyan yang tengah berbicara di sana dengan perasaan yang tidak menentu. 'Apa benar, Mas Gilang sudah mengingat tentang kami?' bisik hatinya bertanya-tanya."Yaaah, begitulah. Aku bahkan sudah ingat kata-kata kamu malam itu, Tari." Gilang terus melihat ke arah sang wanita.Lestari mencoba mengingat apa yang pernah ia katakan. "Kata-kataku?" Rayyan ikut menoleh ke arah sang istri dengan sorot penasaran."Ya, kamu ingat di depan Burhan kamu bilang cinta sama Mas, 'kan? Burhan bilang, nggak lama dari berita kematian Mas, kamu memang batal menikah dengan Fadil, si anak kepala desa i
Meski hatinya terasa panas, Rayyan hanya bisa menyunggingkan senyuman dengan terpaksa. Ia tidak mau rasa cemburunya itu tertangkap oleh sang istri. "Mudah-mudahan aja rumah yang ditawarkan ke Bobby kemarin cocok buatku dan Lestari nanti," lirih ucapan Rayyan pada diri sendiri. Ya, tadi Bobby bilang mereka sudah janjian untuk melakukan survey ke sebuah rumah besok. Lokasi rumah tersebut hanya sekitar dua puluh menit dari kantor pusat perusahaan Rayyan ini. Memang harganya cukup tinggi, tetapi kalau cocok, Rayyan tidak mau menunda lagi untuk mengurus kepindahannya. Ia ingin segera memboyong Lestari menjauh dari Gilang. 'Kalau lebih lama lagi aku melihat kebersamaan mereka. Aku bisa gila!' keluh pria itu membatin. *** "Kakak iparku ini mau ke mana? Pagi-pagi udah cantik aja?" sapa Gilang, ketika langkah kakinya baru sampai di ruang makan. Ia hendak bergabung dengan Rayyan dan Lestari yang sudah lebih dulu berada di sana. Mata Gilang melirik sebentar melihat ekspresi sang kakak le
Lima hari belakangan ini, ketika sedang berada di kantor, Rayyan terlihat gusar dan tidak fokus dengan pekerjaannya. Gilang sudah tiga hari ikut ke kantornya dan belajar bekerja di sana. Ia didampingi langsung oleh Bobby. Lelaki itu terlihat serius dalam belajar. "Bos yakin dengan keputusan akan memberikan posisi CEO pada Mas Gilang?" tanya Bobby kepada sang atasan. Mereka kini sedang berada di ruangan presiden direktur, yakni Rayyan sendiri. Pria itu baru saja menyampaikan kepada asisten setianya untuk mengajari Gilang agar ke depan bisa menduduki posisi CEO yang saat ini dirangkap oleh Rayyan sendiri selain ia juga sebagai owner sekaligus presiden direktur di perusahaan itu. Selama ini Rayyan memang cukup sibuk karena jabatan yang dirangkapnya itu. Meskipun demikian, selama ini ia mampu sebab didukung oleh Bobby yang selalu bisa ia andalkan. "Ya, kamu mesti ajari dia yang bener, Bobb. Gilang sebaiknya tidak usah melanjutkan jadi guru lagi. Aku nggak mau dia dihina orang lagi s
Wanita cantik yang kini wajahnya terlihat agak pucat itu mengangguk cepat. Lestari baru sadar kalau tangannya sendiri terasa sangat dingin ketika sang suami meraih dan menggenggamnya saat ini. "Ini jarimu kenapa?" tanya Rayyan ketika melihat dan meraba jari telunjuk tangan kanan Lestari yang dibalut plaster. "Ini, nggak sengaja kena pisau, Mas. Nggak apa-apa, kok! Luka kecil aja." "Kamu lain kali hati-hati," pesan sang suami. Lestari tersenyum kikuk ketika sadar kalau sedari tadi Gilang mencuri-curi pandang ke arahnya. "A–ku siapin makan siang dulu, Mas," ujarnya kepada sang suami seraya berbalik badan dan langsung berjalan ke arah dapur menyusul Nunung. Rayyan menyembunyikan helaan napasnya ketika melihat punggung sang istri yang menjauh. Di dalam hati entah mengapa ia merasa timbul kesedihan. Ia menebak kalau benar, sang istri sepertinya masih menyimpan perasaan kepada adik angkatnya. "Naah, ini diaa! Terima kasih, Bi Nunung yang caeeem ...!" seru Bobby menarik Rayyan kembali