"Mahal sekali, Sus!" seru Lestari. Sang perawat tersenyum tipis. "Memang sudah seperti itu, Mbak. Ini juga karena Pak Dinar kita rawat di ruang VVIP." "Ya Allah ...," lirih Lestari sembari memijat pangkal hidungnya. Kepalanya terasa berdenyut sekarang. "Kalau pihak keluarga keberatan, sebenarnya bisa diarahkan ke ruang biasa, Mbak. Tapi, sejak awal Pak Dinar diminta dirawat di ruang ini." Rayyan menyembunyikan senyumannya. 'Rasakan!' Lestari menoleh ke arah suaminya. "Mas, bagaimana ini?" "Mas sama Mbaknya silakan nanti biaya untuk dua pekanan ini dilunasi di bagian kasir ya, yang kemarin totalnya 78 juta, baru dibayar 45 juta. Nanti tinggal minta perinciannya. Kalau mau dipindahkan bapaknya, nanti bilang saja ya, Mbak. Saya permisi dulu," imbuh sang perawat seraya mengangguk pamit. "Ah, i–ya, Sus." Lestari terlihat sangat gugup. "Huh! Menyusahkan saja orang tua kamu ini!" cetus Rayyan sembari berjalan menuju ke arah jendela ruang itu, "yang 45 juta itu uang saya ya. Untuk ber
Lestari memegang tangan sang ayah dan menempelkan di pipinya. "Yah ... Ayah bangun, dong, Yah. Tari nggak tega lihat Ayah seperti ini ...."Saat ini Dinar Abdullah sudah dipindahkan ke ruang kelas dua. Meski tidak wah dan lengkap seperti sebelumnya, cukup lumayan, sebab ruang ini hanya diisi oleh dua orang pasien saja. Pria tua itu tetap bergeming. Hanya suara deru napasnya saja yang terdengar di sana.Lestari merasa begitu sedih karena kondisi ayahnya yang masih tidak sadar, sekaligus ia juga merasa gundah dengan sikap suaminya yang sering berubah-ubah saat ini. Ya, dua hari belakangan suaminya sedikit melembut, tadinya ia pikir Rayyan akan berubah baik. Nyatanya tetap saja lelaki itu bersikap dan berkata dengan nada yang tidak enak didengar."Permisi ...!" Lestari refleks meletakkan tangan sang ayah ketika tiba-tiba saja datang seorang perawat masuk ke dalam ruang itu dan menghampiri brankar ayahnya."Maaf ya, Mbak ... saya mau cek tensi Bapak dulu." Sang perawat tersenyum ramah s
Sepasang mata tajam pria yang baru saja datang itu terarah tepat ke tangan sang istri yang dipegang oleh Burhan. Ada yang terbakar di dalam dadanya. Sadar akan sorot mata suaminya, Lestari sontak menarik tangannya hingga lepas dari pegangan Burhan. "Mas? Baru datang?" Degup jantung wanita muda itu bertabuh begitu kencang. Ia teringat terakhir kali ia bertemu dengan Burhan, di mana ia sampai berdebat dan akhirnya Rayyan mengkasari dirinya bahkan di ranjangnya. Rayyan diam dan melenggang maju. "Bang Rayyan, apa kabar?" Burhan yang juga kaget dengan kedatangan Rayyan pun tampak canggung. Ia berusaha bersikap normal kembali dengan mengulurkan tangannya ke arah suami Lestari. "Kalian apa sudah janjian kemari?" Tanpa menjawab pertanyaan Burhan, Rayyan mendekati sang istri dan malah melontarkan pertanyaannya sendiri. "Ohh ... jangan salah paham, Bang. Aku habis jenguk temanku di sebelah." Sebelum Lestari membuka mulutnya, Burhan dengan cepat mendahului wanita itu untuk menjelaskan semb
"Kamu ada hubungan apa dengan laki-laki itu, hah?!" sergah Rayyan ketika Lestari baru saja masuk dan menutup pintu kamar. "M–Mas Bur–han maksudnya, Mas?" "Berengs*k!! Jangan berlagak bod*h kamu!!" Praaang!!! "Kyaaaaaa ...!" Lestari refleks menutup kedua telinga ketika Rayyan tiba-tiba melempar vas bunga keramik yang tadi berada di atas nakas sebelah ranjangnya ke arah pintu masuk. Benda itu pun pecah berderaian. Bunga-bunganya berhamburan di atas lantai. Tubuh Lestari kontan saja bergetar. Ia benar-benar ketakutan. Bulir bening sontak saja menyeruak keluar dari pelupuk matanya dan mulai menganak sungai. "Ngapain kamu tadi pegang-pegangan tangan sama dia, haaahh?!" Rayyan mendekati sang istri yang kini menangis tergugu. "M–Mas Burhan cum–cuma ngasih ini, Mas ...." Dengan tangan gemetar Lestari merogoh saku gamisnya dan menunjukkan lembaran uang ke arah suaminya. Rayyan langsung merampas uang di genggaman Lestari, kemudian langsung ia lempar ke arah wajah wanita itu. Lestar
"Ya Allah, Nya ... kenapa bisa seperti ini?" tanya Nunung sembari meringis. Kaca-kaca pun mulai menghalangi pandangan matanya. Rasanya hatinya ikut perih melihat penderitaan sang majikan wanitanya.Lestari hanya menangis terisak-isak sembari menahan perih ketika Nunung memberi balm ke atas luka cambukan di kulit punggungnya. Bekas cambukan yang tadinya berwarna kemerahan, kini berubah menjadi lebam biru keunguan. Selain itu, ada juga bekas cengkeraman kuku-kuku Rayyan di pundak sang wanita muda."Tuan tega banget sih, sama Nyonya. Subhanallah ...." Nunung pun akhirnya ikut meneteskan air mata.Sang wanita muda bukan hanya menahan perih di tubuhnya yang sudah dianiaya oleh suaminya sendiri. Tak kalah perih yang ia rasakan ialah kesakitan segumpal daging merah yang ada di dalam dadanya. Pria itu bukan hanya mencambuk dan memukul, tetapi juga kembali berlaku kasar ketika melakukan hubungan intim dengannya tadi.Padahal tiga hari belakangan ini Lestari telah merasa begitu nyaman ketika se
Tok! Tok!Baru saja Lestari mengetuk pintu kamar Rayyan, tiba-tiba pintu itu pun terbuka. Ia terkejut. "Apa?" tanya Rayyan dengan ekspresi yang sangat dingin."Eh, Mas ... itu, sarapannya sudah siap. Mas mau makan di ruang makan, atau di kamar?" Lestari terlihat gugup. Degup jantungnya berdebar kencang teringat tadi apa yang telah terjadi tadi malam. Sungguh, ia sebenarnya masih merasa cemas kalau-kalau suaminya masih marah. Akan tetapi, wanita muda itu tadi telah diingatkan oleh Nunung, agar berusaha menguatkan diri. Sebab kalau ia malah terus mengurung diri di kamar, justru nanti bisa memancing kemarahan Rayyan kembali."Aku nggak sarapan. Aku pergi ke kantor sekarang." Rayyan menyodorkan tangannya ke depan wajah sang istri.Lestari mengernyitkan dahi ketika kedua matanya melihat ke arah buku-buku jari Rayyan yang memerah, bahkan ada yang seperti berdarah, tetapi sudah kering darahnya. "I–ini tangan Mas kenapa?" tanyanya penasaran sembari memegang tangan itu dengan kedua tangannya
"Kita pergi dari sini!" cetus Rayyan sembari bangkit dan ia pun langsung saja melenggang menuju ke pintu keluar coffee shop. Sungguh, dengan hati yang sedang galau seperti ini, ia benar-benar malas untuk melihat wajah Clara yang semakin lama semakin memuakkan baginya."B–Bos, tu–nggu!" seru Bobby dengan suara tertahan. Kakinya sampai tersandung kaki meja, karena terburu-buru.Akan tetapi, ketika ingin segera menyusul atasannya, hampir saja Bobby lupa kalau mereka belum membayar makanan dan minuman yang sudah dipesan tadi. Mau tidak mau, lelaki muda yang hampir sampai ke pintu keluar itu pun berbalik lagi dan melangkah menuju ke kasir terlebih dahulu.Setelah membayar, Bobby pun keluar dan berlari kecil menghampiri mobil boss-nya di parkiran. Rayyan sendiri sudah stay di sana, duduk tenang menanti sang asisten."Makanan belum juga habis dan Boss juga lupa bayar tadi!" omel Bobby tampak sebal dengan kelakuan sang atasan yang semaunya itu."Halahh ... sekali-kalilah kamu yang traktir sa
Meskipun merasa cemas dan takut, Lestari harus melakukan perintah Rayyan yang menyuruhnya untuk ke kamarnya. Dengan debaran keras di dalam dada, wanita muda itu mengetuk pintu kamar sang suami."Masuk!" seru Rayyan dari dalam.Lestari pun masuk dengan kaki yang terasa berat sekali. Kepalanya menunduk dalam ketika melihat sang suami yang kini dalam keadaan shirtless, duduk di pinggir ranjang sembari menelepon seseorang. "Saya tahu, kamu jangan sok ngatur saya, Bob!" Masih terbayang di benak sang jelita, kejadian kemarin malam, di mana ia dianiaya oleh pria di depannya ini. Lestari menggigiti bibirnya dengan perasaan yang sangat takut."Kamu ambil koper itu!" Rayyan berisyarat menunjuk ke arah koper yang berada di pojok ruangan.Awalnya Lestari terlihat heran. Namun, ia tidak mau sang suami marah, jadi dengan cepat wanita muda itu pun mengambilkan benda yang diminta Rayyan. Lalu ia letakkan koper tersebut di depan pria itu."Iya iya. Kamu urus itu," ujar Rayyan kepada orang di seberang
"Oh, iya. Baik, Pak Gilang." Fatir pun bangkit dari duduknya dan lelaki itu mengangguk ke arah Rayyan yang memasang wajah dingin seperti biasanya itu untuk berpamitan. "Permisi, Pak Rayyan ...," ucapnya."Silakan!" sahut Rayyan singkat.Setelah Fatir pergi, Gilang menoleh tanpa melihat wajah sang kakak. "Kenapa?" tanyanya tak mau berbasa-basi."Abang senang kamu nggak bawa urusan pribadi kita ke pekerjaan dan masih mau masuk kerja," ujar Rayyan kepada adiknya."Aku bukan anak kecil yang merajuk mainannya diambil," cetus Gilang dengan nada dingin.Rayyan melipat bibirnya. "Kamu masu marah?" Lelaki itu menatap lekat ke arah adik kesayangannya. "Sudahlah, toh, kalian sudah pergi dari rumahku, 'kan? Mana tanpa pamit!" sindir Gilang."Abang bukan nggak mau pamit. Lagian barang-barang kami masih ada di sana. Nanti juga Abang mau jemput Bi Nunung.""Oke, bawa aja semua barang-barang kalian." Gilang masih tidak mau melihat wajah kakaknya. Sungguh, di dalam hatinya kini bercampur perasaan kec
Setelah makan siang di rumah Bobby, Rayyan dan Lestari memutuskan untuk berbelanja berbagai macam furniture untuk mengisi rumah baru mereka. Akan tetapi, keduanya masih memutuskan untuk menginap di rumah Bobby di malam harinya."Kenapa kita nggak nginap di hotel aja sih, Mas? Aku nggak enak sama Mas Bobby," ucap Lestari setelah merebahkan badan ke atas ranjang.Rayyan menyusul ikut merebah di samping wanita cantik itu. "Bawaan kita banyak, jadi nggak leluasa kalau ke hotel. Lagian kita di sini hanya semalam aja. 'Kan, kita sudah sedikit mengisi rumah baru kita tadi," sahut lelaki itu.Lestari menghela napas, kemudian mengangguk memahami. "Besok pagi-pagi ya, Mas, kita pindahnya. Aku nggak mau terlalu lama ngerepotin di rumah ini," pungkas Lestari lagi."Oke," jawab Rayyan singkat.Lestari kemudian beringsut merapatkan tubuhnya pada sang suami. Ia ingin memeluk pria kesayangannya itu demi sedikit meredakan sebak di dada, sebab masih terus terngiang-ngiang dengan ucapan dan tudingan dar
Di tempat yang berbeda, Harun baru saja selesai bertransaksi kepada seorang pemilik toko buah di pasar kota. Ketika pria tua itu hendak kembali menuju parkiran mobil pick-up milik temannya yang mengangkut hasil panen pepaya, tak sengaja matanya menangkap sesosok yang seperti tak asing baginya. Orang itu sedang berbelanja sayur-mayur bersama seorang wanita di sampingnya. Kedua alis Harun bertaut kencang. "Itu ... itu bukannya bapak-bapak yang pernah menabrak Ardi?" bisiknya pada diri sendiri. Setelah meyakinkan diri, Harun melangkahkan kakinya dengan lebih kencang menuju ke arah sana. Tangannya kemudian terulur ke pundak pria yang tengah memilah sayuran tersebut. Kontan saja pria itu menoleh ke arah Harun. "Pak Harun?" ucapnya menyebut nama pria tua itu. Dengan sangat tipis Harun berusaha menarik kedua sudut bibirnya. Jantungnya sedikit berdebar sebab rasa yang membuncah. Ia yakin, pria di hadapannya ini bisa membawanya bertemu kembali dengan cucu menantunya yang selama ini dicari
"Loh? Nyonya mau pergi ke mana? Memangnya sudah dibeli rumah barunya?" Nunung bertanya heran, sebab sang majikan wanita berpamitan dengan beberapa koper yang sudah disiapkan di dekat mereka."Iya, Bi. Sudah beli rumah. Tapi, ini nggak langsung pindah ke rumah itu. Saya dan Tari mau ke tempat teman saya dulu." Jawaban itu justru keluar dari lisan Rayyan, "Bibi sementara di sini dulu. Kalau kami sudah benar-benar pindah ke rumah yang baru, Bibi akan saya jemput," lanjut lelaki itu menjelaskan."O–oh, gitu, Tuan?" Meski masih merasa heran karena kepergian majikannya yang mendadak seperti ini, Nunung hanya bisa menuruti.Lestari memilih diam dari tadi, sebab ia mengikuti suaminya saja. Saat ini, ia hanya ingin segera pergi dari rumah itu."Bi, aku pamit dulu ya ...." Lestari mendekati sang ART, kemudian memeluk wanita tua yang selama ini telah ia anggap seperti ibunya sendiri."I–iya, Nya. Hati-hati di jalan. Nyonya kabari saya kalau sudah sampai di rumah temen Tuan ya! Nyonya juga jangan
Terdengar suara isakan dari Lestari membuat Rayyan seolah baru tersadar. Lelaki itu kemudian berjalan mendekat ke arah tempat duduk istrinya, lalu merangkul pundak wanita itu. "Tari ... kamu ... nggak apa-apa?" 'Ck! Pertanyaan bodoh! Nggak apa-apa gimana? Dia sedih, Gobl0k!' Batin Rayyan memarahi dirinya sendiri sebab mengucapkan pertanyaan yang ia anggap tidak perlu itu. Lestari bangkit berdiri dengan perlahan-lahan. Kakinya terasa begitu lemas rasanya. Ia lalu berjalan pelan dan lunglai menuju ke arah kamarnya. Rayyan bingung dengan apa yang mesti ia lakukan. Lelaki itu hanya bisa mengiringi sang istri menuju ke arah kamar mereka. Sesampainya di dalam kamar. Lestari menuju ke arah ranjangnya dan merebahkan diri sembari kembali menangis di atas bantalnya. Sungguh, ia merasa begitu sedih, sebab telah membuat Gilang sangat kecewa seperti saat ini. Sementara Rayyan, pria itu hanya bisa duduk di pinggir ranjang tersebut dengan kepala yang terasa berdenyut. Ia benar-benar tidak tahu
"Jadi, kamu sudah ingat tentang Tari?" tanya Rayyan tak mau lagi berbasa-basi."Bi, nggak apa-apa, kok. Bibi lanjutin kerjaan Bibi lagi, gih," bisik Lestari lirih ke arah Nunung di sebelahnya."Eeh, i–iya. Baik, Nyonya," sahut Nunung tergagap. Akan tetapi, wanita tua itu tetap menurut. Ia pun berbalik dan melenggang kembali ke teras belakang rumah.Lestari kembali mengarahkan pandangan ke arah Gilang dan juga Rayyan yang tengah berbicara di sana dengan perasaan yang tidak menentu. 'Apa benar, Mas Gilang sudah mengingat tentang kami?' bisik hatinya bertanya-tanya."Yaaah, begitulah. Aku bahkan sudah ingat kata-kata kamu malam itu, Tari." Gilang terus melihat ke arah sang wanita.Lestari mencoba mengingat apa yang pernah ia katakan. "Kata-kataku?" Rayyan ikut menoleh ke arah sang istri dengan sorot penasaran."Ya, kamu ingat di depan Burhan kamu bilang cinta sama Mas, 'kan? Burhan bilang, nggak lama dari berita kematian Mas, kamu memang batal menikah dengan Fadil, si anak kepala desa i
Meski hatinya terasa panas, Rayyan hanya bisa menyunggingkan senyuman dengan terpaksa. Ia tidak mau rasa cemburunya itu tertangkap oleh sang istri. "Mudah-mudahan aja rumah yang ditawarkan ke Bobby kemarin cocok buatku dan Lestari nanti," lirih ucapan Rayyan pada diri sendiri. Ya, tadi Bobby bilang mereka sudah janjian untuk melakukan survey ke sebuah rumah besok. Lokasi rumah tersebut hanya sekitar dua puluh menit dari kantor pusat perusahaan Rayyan ini. Memang harganya cukup tinggi, tetapi kalau cocok, Rayyan tidak mau menunda lagi untuk mengurus kepindahannya. Ia ingin segera memboyong Lestari menjauh dari Gilang. 'Kalau lebih lama lagi aku melihat kebersamaan mereka. Aku bisa gila!' keluh pria itu membatin. *** "Kakak iparku ini mau ke mana? Pagi-pagi udah cantik aja?" sapa Gilang, ketika langkah kakinya baru sampai di ruang makan. Ia hendak bergabung dengan Rayyan dan Lestari yang sudah lebih dulu berada di sana. Mata Gilang melirik sebentar melihat ekspresi sang kakak le
Lima hari belakangan ini, ketika sedang berada di kantor, Rayyan terlihat gusar dan tidak fokus dengan pekerjaannya. Gilang sudah tiga hari ikut ke kantornya dan belajar bekerja di sana. Ia didampingi langsung oleh Bobby. Lelaki itu terlihat serius dalam belajar. "Bos yakin dengan keputusan akan memberikan posisi CEO pada Mas Gilang?" tanya Bobby kepada sang atasan. Mereka kini sedang berada di ruangan presiden direktur, yakni Rayyan sendiri. Pria itu baru saja menyampaikan kepada asisten setianya untuk mengajari Gilang agar ke depan bisa menduduki posisi CEO yang saat ini dirangkap oleh Rayyan sendiri selain ia juga sebagai owner sekaligus presiden direktur di perusahaan itu. Selama ini Rayyan memang cukup sibuk karena jabatan yang dirangkapnya itu. Meskipun demikian, selama ini ia mampu sebab didukung oleh Bobby yang selalu bisa ia andalkan. "Ya, kamu mesti ajari dia yang bener, Bobb. Gilang sebaiknya tidak usah melanjutkan jadi guru lagi. Aku nggak mau dia dihina orang lagi s
Wanita cantik yang kini wajahnya terlihat agak pucat itu mengangguk cepat. Lestari baru sadar kalau tangannya sendiri terasa sangat dingin ketika sang suami meraih dan menggenggamnya saat ini. "Ini jarimu kenapa?" tanya Rayyan ketika melihat dan meraba jari telunjuk tangan kanan Lestari yang dibalut plaster. "Ini, nggak sengaja kena pisau, Mas. Nggak apa-apa, kok! Luka kecil aja." "Kamu lain kali hati-hati," pesan sang suami. Lestari tersenyum kikuk ketika sadar kalau sedari tadi Gilang mencuri-curi pandang ke arahnya. "A–ku siapin makan siang dulu, Mas," ujarnya kepada sang suami seraya berbalik badan dan langsung berjalan ke arah dapur menyusul Nunung. Rayyan menyembunyikan helaan napasnya ketika melihat punggung sang istri yang menjauh. Di dalam hati entah mengapa ia merasa timbul kesedihan. Ia menebak kalau benar, sang istri sepertinya masih menyimpan perasaan kepada adik angkatnya. "Naah, ini diaa! Terima kasih, Bi Nunung yang caeeem ...!" seru Bobby menarik Rayyan kembali