Meskipun merasa cemas dan takut, Lestari harus melakukan perintah Rayyan yang menyuruhnya untuk ke kamarnya. Dengan debaran keras di dalam dada, wanita muda itu mengetuk pintu kamar sang suami."Masuk!" seru Rayyan dari dalam.Lestari pun masuk dengan kaki yang terasa berat sekali. Kepalanya menunduk dalam ketika melihat sang suami yang kini dalam keadaan shirtless, duduk di pinggir ranjang sembari menelepon seseorang. "Saya tahu, kamu jangan sok ngatur saya, Bob!" Masih terbayang di benak sang jelita, kejadian kemarin malam, di mana ia dianiaya oleh pria di depannya ini. Lestari menggigiti bibirnya dengan perasaan yang sangat takut."Kamu ambil koper itu!" Rayyan berisyarat menunjuk ke arah koper yang berada di pojok ruangan.Awalnya Lestari terlihat heran. Namun, ia tidak mau sang suami marah, jadi dengan cepat wanita muda itu pun mengambilkan benda yang diminta Rayyan. Lalu ia letakkan koper tersebut di depan pria itu."Iya iya. Kamu urus itu," ujar Rayyan kepada orang di seberang
"Sini!" Rayyan berisyarat agar Lestari duduk di atas ranjangnya.Takut-takut wanita muda itu menatap suaminya. Sungguh, ia sangat cemas saat ini."Aku nggak suka ngulang perintahku ya," ancam Rayyan.Dengan berat hati Lestari pun berjalan mendekati suaminya, lalu duduk di pinggir ranjang dengan degup jantung yang berkejaran."Buka bajumu!"Kembali Lestari menatap pelas ke arah sang suami. Kini kaca-kaca berkumpul di permukaan matanya yang kapan saja bisa memecah begitu saja. Dengan gerakan perlahan, wanita itu membuka daster yang ia pakai. Akhirnya setitik air pun lolos dari pelupuk mata Lestari. Dengan cepat wanita itu menyusutnya.Rayyan menghela napas bosan. "Kamu kenapa nangis?" tanyanya tampak kesal."M–Mas, y–yang kemarin ma–masih sakiiit ...," lirihnya memelas. Berharap sang suami mau berbaik hati untuk tidak menyentuhnya malam ini."Berbalik, dan tiarap di situ!" cetus Rayyan seakan tak peduli dengan keluhan istrinya.Perasaan Lestari semakin khawatir, sebab dengan posisi tel
Lestari memejamkan mata dengan hati yang serta-merta membuncah bahagia ketika sang suami mengecup dahinya dengan begitu lekat. Entah mengapa ia merasakan ketulusan dari sikap penuh kasih suaminya saat ini. Hatinya sungguh merasa begitu hangat diperlakukan demikian. Kembali Lestari mengingat sikap suaminya yang sering sekali berubah-ubah. Ia berharap Rayyan bisa benar-benar tulus menyayanginya ke depan.'Mas ... kamu kenapa? Andai kamu selalu begini padaku, Mas ...,' bisik batinnya berharap.***Lestari mengerjapkan kelopak mata. Antara sadar dengan tidak ia seakan merasakan kalau wajahnya sedang disentuh oleh sesuatu yang hangat, lembut, dan sedikit basah. Semakin lama ... sentuhan itu semakin turun menuju ke rahangnya, kemudian ke lehernya."Mmmgrh ...." Sang wanita mendengar suara berat seseorang seakan menggeram di mana saat itu pun sebuah tangan seakan melucuti kain penutup tubuh bawahnya.Seketika kelopak mata Lestari pun terbuka sempurna. Baru ia sadari kalau saat ini ia sedan
"Hehehe ... maaf, Nya." Nunung tersenyum hangat."Ada apa, Bi?" tanya Lestari."Tuan berapa lama pergi ke Singapura-nya, Nya?" tanya Nunung sembari berjalan beriringan bersama sang nyonya muda menuju ke bagian dalam rumah."Hmm, aku nggak tahu, Bi. Mas Rayyan bilang, nggak pasti. Bisa tiga hari sampai sepekanan gitu. Aku juga nggak berani nanya lagi kalo udah gitu jawabannya, Bi."Nunung tampak mencebikkan bibirnya. "Iya juga ya. Ntar tuan marah kalo banyak tanya.""Tuh, Bibi paham." Lestari tersenyum getir."Tapi, tadi malam tumben tuan ngajak nyonya tidur di kamarnya?" Keduanya kini telah sampai di ruang tengah dan mereka pun duduk bersama di atas sofa di sana.Wajah Lestari bersemu kemerahan. "Iya, Bi. Baru kali ini Mas Ray nyuruh aku tidur di kamarnya bukan karena adanya orang lain di rumah ini." Lestari tertunduk dengan wajah yang berubah menjadi sendu. Kembali wanita muda itu teringat di waktu kedua orang tuanya menginap di rumah itu. Yang ketika hari mereka akan pulang kampun
"I–iya, Mas. Maaf, aku ... mau pulang dulu," jawab Lestari gugup. Ia teringat ancaman Rayyan waktu itu yang melarangnya untuk bertemu lagi dengan Burhan.Nunung terlihat mengernyitkan dahinya menatap gelagat aneh sang nyonya. Ia tidak mengenal pria yang kini ada di depan mereka. Namun, ia memutuskan untuk menyesuaikan langkahnya dengan Lestari yang dirasa cukup terburu-buru. Sebelum berada di persimpangan koridor dan berbelok, Nunung sempat menoleh ke belakang.Burhan terlihat sedang menatap lekat ke arah Lestari dengan sorot yang tampak keheranan."Nya, yang tadi itu siapa?" tanya Nunung kepada sang nyonya ketika mereka sudah berada di atas taksi online."Yang tadi mana, Bi?" Balik Lestari bertanya."Itu loh, yang tadi nyapa Nyonya di rumah sakit pas kita mau pulang? Kok, nyonya langsung jalan aja, nggak ngobrol dulu sebentar? Memangnya laki-laki itu siapa, Nya?"Lestari menggigiti bibirnya. Ia menjadi khawatir kalau nanti Nunung bercerita kepada Rayyan. "Bi, Bibi jangan cerita-ceri
"Iya. Tuan cemburu sama Mas siapa tu namanya? Mas Burhan?" Sahut Nunung sembari coba mengingat nama teman sang nyonya muda."Kalo cemburu itu, bukannya artinya cinta, Bi?" tanya Lestari. Sungguh ia tidak berpengalaman sebenarnya dengan hubungan percintaan. Bahkan dulu Lestari baru merasa jatuh cinta hanya kepada Gilang saja, dan jujur, ia merasa cemburu jika ada gadis yang sepertinya tengah mendekati pria itu. Namun, tentu saja ia merasa sedikit tenang, ketika pada akhirnya ia menyadari kalau pria itu hanya tertarik padanya saja, bukan gadis lain."Iya, Nya. Artinya tuan sebenarnya cinta sama Nyonya muda," pungkas Nunung membenarkan.Lestari terdiam dan mulai merenung."Di sini rumahnya, Mbak?"Tari terkesiap ketika mendengar suara sopir taksi online menegurnya. "Ah, iya. Di rumah berpagar hitam itu, Pak!" Lestari baru sadar, kalau ternyata mereka kini sudah sampai di rumah.Kedua wanita beda generasi itu pun turun dari kendaraan dan membawa masuk semua belanjaan mereka ke dalam."B
Sepekan pun telah berlalu, akhirnya pekerjaan Rayyan sudah sedikit terasa longgar. Ia mulai ada waktu untuk sekadar bersantai menikmati suasana di hotel tempatnya menginap. "Bob, besok hari terakhir kita di sini. Aku mau cari sesuatu buat Tari. Apa ya kira-kira?" tanya Rayyan kepada asisten kepercayaannya sambil menyesap secangkir kopi di tangannya. "Boss mau beliin oleh-oleh buat Mbak Tari? Tumbeeen?" sindir Bobby terlihat heran. Selama ini kalau ia bersama sang atasan, tidak ada hal lain yang Rayyan ungkapkan kecuali rasa dendam dan bencinya pada keluarga sang istri. Rayyan menghela napas berat. "Menurutku Tari mungkin nggak bersalah dalam kejadian tewasnya Gilang. Bukan dia yang salah, Bobb." Bobby mencebikkan bibirnya seraya meraih jus jeruk di hadapan dan menyeruputnya sedikit. "Ya, menurutku juga gitu dari dulu, Boss. Yang menghina Mas Gilang itu, 'kan, ayahnya. Bukan Mbak Tari. Mbak Tari justru mencintai Mas Gilang." Rayyan sontak melemparkan tatapan tajam ke arah Bobby ke
"Boss, kita udah nyampe."Rayyan yang menyandar di belakang pun membuka mata ketika mendengar suara Bobby yang menegurnya. Siang ini keduanya sudah kembali dari perjalanan kerja ke Singapura. Akhirnya mereka sampai juga di halaman rumah keluarga Rayyan dan Gilang.Tanpa banyak kata, Rayyan turun dari kendaraan roda empat tersebut. Toni, sang sopir perusahaan segera menurunkan koper atasannya, lantas membawa benda itu ke teras rumah."Makasih, Ton," ucap Rayyan."Sama-sama, Pak." Toni lalu melenggang kembali ke mobil."Aku, Boss?" Rayyan yang sudah hampir memegang gagang pintu menoleh ke arah Bobby. "Kamu apa?""Nggak terima kasih?" Bobby tampak cengengesan di tempatnya. Namun, ketika sang atasan hanya menghela napas panjang, pemuda itu pun berbalik sambil berpamitan, "heheee, canda, Boss ... aku balik dulu!" Pemuda itu pun berlari kecil, kemudian masuk ke dalam mobil, lalu kendaraan itu berputar dan pergi meninggalkan halaman rumah tersebut.Rayyan mengambil kunci rumah dari saku ja
"Oh, iya. Baik, Pak Gilang." Fatir pun bangkit dari duduknya dan lelaki itu mengangguk ke arah Rayyan yang memasang wajah dingin seperti biasanya itu untuk berpamitan. "Permisi, Pak Rayyan ...," ucapnya."Silakan!" sahut Rayyan singkat.Setelah Fatir pergi, Gilang menoleh tanpa melihat wajah sang kakak. "Kenapa?" tanyanya tak mau berbasa-basi."Abang senang kamu nggak bawa urusan pribadi kita ke pekerjaan dan masih mau masuk kerja," ujar Rayyan kepada adiknya."Aku bukan anak kecil yang merajuk mainannya diambil," cetus Gilang dengan nada dingin.Rayyan melipat bibirnya. "Kamu masu marah?" Lelaki itu menatap lekat ke arah adik kesayangannya. "Sudahlah, toh, kalian sudah pergi dari rumahku, 'kan? Mana tanpa pamit!" sindir Gilang."Abang bukan nggak mau pamit. Lagian barang-barang kami masih ada di sana. Nanti juga Abang mau jemput Bi Nunung.""Oke, bawa aja semua barang-barang kalian." Gilang masih tidak mau melihat wajah kakaknya. Sungguh, di dalam hatinya kini bercampur perasaan kec
Setelah makan siang di rumah Bobby, Rayyan dan Lestari memutuskan untuk berbelanja berbagai macam furniture untuk mengisi rumah baru mereka. Akan tetapi, keduanya masih memutuskan untuk menginap di rumah Bobby di malam harinya."Kenapa kita nggak nginap di hotel aja sih, Mas? Aku nggak enak sama Mas Bobby," ucap Lestari setelah merebahkan badan ke atas ranjang.Rayyan menyusul ikut merebah di samping wanita cantik itu. "Bawaan kita banyak, jadi nggak leluasa kalau ke hotel. Lagian kita di sini hanya semalam aja. 'Kan, kita sudah sedikit mengisi rumah baru kita tadi," sahut lelaki itu.Lestari menghela napas, kemudian mengangguk memahami. "Besok pagi-pagi ya, Mas, kita pindahnya. Aku nggak mau terlalu lama ngerepotin di rumah ini," pungkas Lestari lagi."Oke," jawab Rayyan singkat.Lestari kemudian beringsut merapatkan tubuhnya pada sang suami. Ia ingin memeluk pria kesayangannya itu demi sedikit meredakan sebak di dada, sebab masih terus terngiang-ngiang dengan ucapan dan tudingan dar
Di tempat yang berbeda, Harun baru saja selesai bertransaksi kepada seorang pemilik toko buah di pasar kota. Ketika pria tua itu hendak kembali menuju parkiran mobil pick-up milik temannya yang mengangkut hasil panen pepaya, tak sengaja matanya menangkap sesosok yang seperti tak asing baginya. Orang itu sedang berbelanja sayur-mayur bersama seorang wanita di sampingnya. Kedua alis Harun bertaut kencang. "Itu ... itu bukannya bapak-bapak yang pernah menabrak Ardi?" bisiknya pada diri sendiri. Setelah meyakinkan diri, Harun melangkahkan kakinya dengan lebih kencang menuju ke arah sana. Tangannya kemudian terulur ke pundak pria yang tengah memilah sayuran tersebut. Kontan saja pria itu menoleh ke arah Harun. "Pak Harun?" ucapnya menyebut nama pria tua itu. Dengan sangat tipis Harun berusaha menarik kedua sudut bibirnya. Jantungnya sedikit berdebar sebab rasa yang membuncah. Ia yakin, pria di hadapannya ini bisa membawanya bertemu kembali dengan cucu menantunya yang selama ini dicari
"Loh? Nyonya mau pergi ke mana? Memangnya sudah dibeli rumah barunya?" Nunung bertanya heran, sebab sang majikan wanita berpamitan dengan beberapa koper yang sudah disiapkan di dekat mereka."Iya, Bi. Sudah beli rumah. Tapi, ini nggak langsung pindah ke rumah itu. Saya dan Tari mau ke tempat teman saya dulu." Jawaban itu justru keluar dari lisan Rayyan, "Bibi sementara di sini dulu. Kalau kami sudah benar-benar pindah ke rumah yang baru, Bibi akan saya jemput," lanjut lelaki itu menjelaskan."O–oh, gitu, Tuan?" Meski masih merasa heran karena kepergian majikannya yang mendadak seperti ini, Nunung hanya bisa menuruti.Lestari memilih diam dari tadi, sebab ia mengikuti suaminya saja. Saat ini, ia hanya ingin segera pergi dari rumah itu."Bi, aku pamit dulu ya ...." Lestari mendekati sang ART, kemudian memeluk wanita tua yang selama ini telah ia anggap seperti ibunya sendiri."I–iya, Nya. Hati-hati di jalan. Nyonya kabari saya kalau sudah sampai di rumah temen Tuan ya! Nyonya juga jangan
Terdengar suara isakan dari Lestari membuat Rayyan seolah baru tersadar. Lelaki itu kemudian berjalan mendekat ke arah tempat duduk istrinya, lalu merangkul pundak wanita itu. "Tari ... kamu ... nggak apa-apa?" 'Ck! Pertanyaan bodoh! Nggak apa-apa gimana? Dia sedih, Gobl0k!' Batin Rayyan memarahi dirinya sendiri sebab mengucapkan pertanyaan yang ia anggap tidak perlu itu. Lestari bangkit berdiri dengan perlahan-lahan. Kakinya terasa begitu lemas rasanya. Ia lalu berjalan pelan dan lunglai menuju ke arah kamarnya. Rayyan bingung dengan apa yang mesti ia lakukan. Lelaki itu hanya bisa mengiringi sang istri menuju ke arah kamar mereka. Sesampainya di dalam kamar. Lestari menuju ke arah ranjangnya dan merebahkan diri sembari kembali menangis di atas bantalnya. Sungguh, ia merasa begitu sedih, sebab telah membuat Gilang sangat kecewa seperti saat ini. Sementara Rayyan, pria itu hanya bisa duduk di pinggir ranjang tersebut dengan kepala yang terasa berdenyut. Ia benar-benar tidak tahu
"Jadi, kamu sudah ingat tentang Tari?" tanya Rayyan tak mau lagi berbasa-basi."Bi, nggak apa-apa, kok. Bibi lanjutin kerjaan Bibi lagi, gih," bisik Lestari lirih ke arah Nunung di sebelahnya."Eeh, i–iya. Baik, Nyonya," sahut Nunung tergagap. Akan tetapi, wanita tua itu tetap menurut. Ia pun berbalik dan melenggang kembali ke teras belakang rumah.Lestari kembali mengarahkan pandangan ke arah Gilang dan juga Rayyan yang tengah berbicara di sana dengan perasaan yang tidak menentu. 'Apa benar, Mas Gilang sudah mengingat tentang kami?' bisik hatinya bertanya-tanya."Yaaah, begitulah. Aku bahkan sudah ingat kata-kata kamu malam itu, Tari." Gilang terus melihat ke arah sang wanita.Lestari mencoba mengingat apa yang pernah ia katakan. "Kata-kataku?" Rayyan ikut menoleh ke arah sang istri dengan sorot penasaran."Ya, kamu ingat di depan Burhan kamu bilang cinta sama Mas, 'kan? Burhan bilang, nggak lama dari berita kematian Mas, kamu memang batal menikah dengan Fadil, si anak kepala desa i
Meski hatinya terasa panas, Rayyan hanya bisa menyunggingkan senyuman dengan terpaksa. Ia tidak mau rasa cemburunya itu tertangkap oleh sang istri. "Mudah-mudahan aja rumah yang ditawarkan ke Bobby kemarin cocok buatku dan Lestari nanti," lirih ucapan Rayyan pada diri sendiri. Ya, tadi Bobby bilang mereka sudah janjian untuk melakukan survey ke sebuah rumah besok. Lokasi rumah tersebut hanya sekitar dua puluh menit dari kantor pusat perusahaan Rayyan ini. Memang harganya cukup tinggi, tetapi kalau cocok, Rayyan tidak mau menunda lagi untuk mengurus kepindahannya. Ia ingin segera memboyong Lestari menjauh dari Gilang. 'Kalau lebih lama lagi aku melihat kebersamaan mereka. Aku bisa gila!' keluh pria itu membatin. *** "Kakak iparku ini mau ke mana? Pagi-pagi udah cantik aja?" sapa Gilang, ketika langkah kakinya baru sampai di ruang makan. Ia hendak bergabung dengan Rayyan dan Lestari yang sudah lebih dulu berada di sana. Mata Gilang melirik sebentar melihat ekspresi sang kakak le
Lima hari belakangan ini, ketika sedang berada di kantor, Rayyan terlihat gusar dan tidak fokus dengan pekerjaannya. Gilang sudah tiga hari ikut ke kantornya dan belajar bekerja di sana. Ia didampingi langsung oleh Bobby. Lelaki itu terlihat serius dalam belajar. "Bos yakin dengan keputusan akan memberikan posisi CEO pada Mas Gilang?" tanya Bobby kepada sang atasan. Mereka kini sedang berada di ruangan presiden direktur, yakni Rayyan sendiri. Pria itu baru saja menyampaikan kepada asisten setianya untuk mengajari Gilang agar ke depan bisa menduduki posisi CEO yang saat ini dirangkap oleh Rayyan sendiri selain ia juga sebagai owner sekaligus presiden direktur di perusahaan itu. Selama ini Rayyan memang cukup sibuk karena jabatan yang dirangkapnya itu. Meskipun demikian, selama ini ia mampu sebab didukung oleh Bobby yang selalu bisa ia andalkan. "Ya, kamu mesti ajari dia yang bener, Bobb. Gilang sebaiknya tidak usah melanjutkan jadi guru lagi. Aku nggak mau dia dihina orang lagi s
Wanita cantik yang kini wajahnya terlihat agak pucat itu mengangguk cepat. Lestari baru sadar kalau tangannya sendiri terasa sangat dingin ketika sang suami meraih dan menggenggamnya saat ini. "Ini jarimu kenapa?" tanya Rayyan ketika melihat dan meraba jari telunjuk tangan kanan Lestari yang dibalut plaster. "Ini, nggak sengaja kena pisau, Mas. Nggak apa-apa, kok! Luka kecil aja." "Kamu lain kali hati-hati," pesan sang suami. Lestari tersenyum kikuk ketika sadar kalau sedari tadi Gilang mencuri-curi pandang ke arahnya. "A–ku siapin makan siang dulu, Mas," ujarnya kepada sang suami seraya berbalik badan dan langsung berjalan ke arah dapur menyusul Nunung. Rayyan menyembunyikan helaan napasnya ketika melihat punggung sang istri yang menjauh. Di dalam hati entah mengapa ia merasa timbul kesedihan. Ia menebak kalau benar, sang istri sepertinya masih menyimpan perasaan kepada adik angkatnya. "Naah, ini diaa! Terima kasih, Bi Nunung yang caeeem ...!" seru Bobby menarik Rayyan kembali