"I–iya, Mas. Maaf, aku ... mau pulang dulu," jawab Lestari gugup. Ia teringat ancaman Rayyan waktu itu yang melarangnya untuk bertemu lagi dengan Burhan.Nunung terlihat mengernyitkan dahinya menatap gelagat aneh sang nyonya. Ia tidak mengenal pria yang kini ada di depan mereka. Namun, ia memutuskan untuk menyesuaikan langkahnya dengan Lestari yang dirasa cukup terburu-buru. Sebelum berada di persimpangan koridor dan berbelok, Nunung sempat menoleh ke belakang.Burhan terlihat sedang menatap lekat ke arah Lestari dengan sorot yang tampak keheranan."Nya, yang tadi itu siapa?" tanya Nunung kepada sang nyonya ketika mereka sudah berada di atas taksi online."Yang tadi mana, Bi?" Balik Lestari bertanya."Itu loh, yang tadi nyapa Nyonya di rumah sakit pas kita mau pulang? Kok, nyonya langsung jalan aja, nggak ngobrol dulu sebentar? Memangnya laki-laki itu siapa, Nya?"Lestari menggigiti bibirnya. Ia menjadi khawatir kalau nanti Nunung bercerita kepada Rayyan. "Bi, Bibi jangan cerita-ceri
"Iya. Tuan cemburu sama Mas siapa tu namanya? Mas Burhan?" Sahut Nunung sembari coba mengingat nama teman sang nyonya muda."Kalo cemburu itu, bukannya artinya cinta, Bi?" tanya Lestari. Sungguh ia tidak berpengalaman sebenarnya dengan hubungan percintaan. Bahkan dulu Lestari baru merasa jatuh cinta hanya kepada Gilang saja, dan jujur, ia merasa cemburu jika ada gadis yang sepertinya tengah mendekati pria itu. Namun, tentu saja ia merasa sedikit tenang, ketika pada akhirnya ia menyadari kalau pria itu hanya tertarik padanya saja, bukan gadis lain."Iya, Nya. Artinya tuan sebenarnya cinta sama Nyonya muda," pungkas Nunung membenarkan.Lestari terdiam dan mulai merenung."Di sini rumahnya, Mbak?"Tari terkesiap ketika mendengar suara sopir taksi online menegurnya. "Ah, iya. Di rumah berpagar hitam itu, Pak!" Lestari baru sadar, kalau ternyata mereka kini sudah sampai di rumah.Kedua wanita beda generasi itu pun turun dari kendaraan dan membawa masuk semua belanjaan mereka ke dalam."B
Sepekan pun telah berlalu, akhirnya pekerjaan Rayyan sudah sedikit terasa longgar. Ia mulai ada waktu untuk sekadar bersantai menikmati suasana di hotel tempatnya menginap. "Bob, besok hari terakhir kita di sini. Aku mau cari sesuatu buat Tari. Apa ya kira-kira?" tanya Rayyan kepada asisten kepercayaannya sambil menyesap secangkir kopi di tangannya. "Boss mau beliin oleh-oleh buat Mbak Tari? Tumbeeen?" sindir Bobby terlihat heran. Selama ini kalau ia bersama sang atasan, tidak ada hal lain yang Rayyan ungkapkan kecuali rasa dendam dan bencinya pada keluarga sang istri. Rayyan menghela napas berat. "Menurutku Tari mungkin nggak bersalah dalam kejadian tewasnya Gilang. Bukan dia yang salah, Bobb." Bobby mencebikkan bibirnya seraya meraih jus jeruk di hadapan dan menyeruputnya sedikit. "Ya, menurutku juga gitu dari dulu, Boss. Yang menghina Mas Gilang itu, 'kan, ayahnya. Bukan Mbak Tari. Mbak Tari justru mencintai Mas Gilang." Rayyan sontak melemparkan tatapan tajam ke arah Bobby ke
"Boss, kita udah nyampe."Rayyan yang menyandar di belakang pun membuka mata ketika mendengar suara Bobby yang menegurnya. Siang ini keduanya sudah kembali dari perjalanan kerja ke Singapura. Akhirnya mereka sampai juga di halaman rumah keluarga Rayyan dan Gilang.Tanpa banyak kata, Rayyan turun dari kendaraan roda empat tersebut. Toni, sang sopir perusahaan segera menurunkan koper atasannya, lantas membawa benda itu ke teras rumah."Makasih, Ton," ucap Rayyan."Sama-sama, Pak." Toni lalu melenggang kembali ke mobil."Aku, Boss?" Rayyan yang sudah hampir memegang gagang pintu menoleh ke arah Bobby. "Kamu apa?""Nggak terima kasih?" Bobby tampak cengengesan di tempatnya. Namun, ketika sang atasan hanya menghela napas panjang, pemuda itu pun berbalik sambil berpamitan, "heheee, canda, Boss ... aku balik dulu!" Pemuda itu pun berlari kecil, kemudian masuk ke dalam mobil, lalu kendaraan itu berputar dan pergi meninggalkan halaman rumah tersebut.Rayyan mengambil kunci rumah dari saku ja
Tubuh Lestari terasa gemetar melihat respons suaminya. Ia khawatir kalau-kalau Rayyan kembali berlaku kasar kepadanya. Karena tidak mau hal itu terjadi, dengan perasaan yang sangat gugup, ia pun cepat-cepat mengemaskan makanan Rayyan dan lantas pergi dari ruang itu. Praaang!! Deg! "Astaghfirullah!" pekik tertahan Lestari ketika mendengar suara sesuatu yang terbanting dan pecah setelah ia keluar dan menutup pintu kamar. "Apa itu, Nya?" Tiba-tiba datang Nunung menghampiri dengan tergopoh-gopoh. Ia kaget karena mendengar suara keras itu. Sungguh, wanita tua itu khawatir kalau 'penyakit' tuannya kembali seperti biasanya. Lestari merasa kakinya begitu lunglai. Tubuhnya tiba-tiba merosot bak jelly. Hampir saja apa yang ia pegang bertumpahan di lantai kalau tidak segera ditangkap oleh Nunung. "Nya, Nyonya nggak apa-apa?" "Biii ... a–ku ta–takuuuut," lirih Lestari terlihat semakin gemetaran. Air mata yang menggenang akhirnya jatuh berderaian dari pelupuk matanya. "Nya, ayoo, kita ke
Di dalam ruang kamarnya Rayyan terduduk di sofa sembari memegang kepalanya. "Kenapa aku sampai nggak memperhitungkan hal ini?" kesalnya pada diri sendiri.Ya, ia lupa kalau Ani adalah tukang urut langganan ibu angkatnya. Pria itu sama sekali tidak memperhitungkan kalau wanita tua itu akan bercerita tentang keluarga angkatnya kepada sang istri. Meskipun mungkin Ani tidak rutin datang ke rumah tersebut, tetapi setidaknya di dalam satu tahun, bisa 5–10 kali Zahara—sang ibu angkat—meminta dipijati oleh wanita tua itu.Rayyan lalu mengusap wajahnya dengan kasar karena menyesali kebodohan dirinya sendiri. Pria tampan itu memang masih menjaga rahasia tentang latar belakang hidupnya pada Lestari. Dan ia tidak tahu sebanyak apa Ani menyampaikan informasi tentangnya kepada sang istri. Lalu pria itu bangkit dan berjalan mengitari ruangan dengan meremas rambut kepalanya. "Apa saja yang diceritakan Bu Ani ke Tari– ... akh! Sh*t!!" makinya tiba-tiba.Tanpa sengaja kaki Rayyan menginjak beling vas
Dengan ragu-ragu Nunung menuruti perintah sang majikan. Ia meraih kotak P3K dari tangan Lestari dan mau tidak mau ia pun keluar, lantas menutup pintu kamar tersebut, meninggalkan Lestari berdua saja bersama sang suami. Lestari menggigiti bibirnya sendiri. Ia berjalan mendekati sang suami dan duduk di sebelahnya sembari menundukkan pandangan. Hening .... Wanita itu mencuri-curi pandang ke arah sang suami, karena entah mengapa pria itu tak jua membuka omongan. Lelaki itu hanya menatap wajahnya dengan lekat, hingga membuat dirinya merasa jengah. 'Mas Ray kenapa ngeliat aku kayak gitu?' bisik batinnya bertanya-tanya. Pertanyaan tersebut hanya tersangkut di tenggorokan sang wanita muda. Sungguh, ia merasa gugup ditatap dengan intens seperti demikian. Wajahnya terasa begitu kebas jadinya. "Bu Ani cerita apa aja sama kamu?" Lestari refleks mengangkat pandangan ketika akhirnya sang suami mengeluarkan suaranya. "Mmm ... nggak cerita gimana-gimana, Mas. Cuma, bilang dulu dia langganan
"Ekhemm ...." Tiba-tiba Rayyan memutus permainan mereka. Lestari merasa kehilangan. Alasannya karena ia benar-benar merasa rindu, bahkan tadinya ia mengira Rayyan bakal mengajaknya berc*nta. Namun, ternyata dia salah. Kemudian Rayyan bangkit dari duduknya. Ia berjalan agak pincang ke arah pintu kaca di kamar itu. "Kamu sekarang keluar dari sini. Aku mau istirahat." Sang istri merasa sedikit kecewa karena kembali diusir, meskipun kali ini dengan kata-kata yang lebih halus. Namun, ia tentu saja tidak mau membantah suaminya. "Iya, Mas. Mas pasti capek. Baiknya istirahat dulu." Awalnya Rayyan tidak mau menoleh sedikit pun. Akan tetapi, ketika suara gagang pintu ditekan ia pun menoleh ke arah sana. Tanpa sengaja pandangan keduanya berbenturan. Dengan ragu Lestari menarik kedua sudut bibirnya. Terasa sangat canggung sepertinya. Kemudian ia pun memutuskan segera keluar sebab wajah pria itu tetap bak gunung es yang dingin dan beku. *** Tiga hari berlalu. Hari-hari sebelumnya Rayyan se