Lestari menoleh. "Ini ada pulpen." Rayyan mengambil sebuah pena yang ternyata ada di sebelah tempat duduknya. Kemudian lelaki itu meletakkan di atas meja dan Lestari pun kembali duduk di tempatnya. Mata pria itu terus saja menatap lekat ke arah Lestari. Entah mengapa ia merasa pikirannya sudah menjadi kacau karena membayangkan apa yang ada di balik baju basah di depannya. Sang wanita meraih pulpen itu tanpa memperhatikan lagi ekspresi sang suami, ia lantas membubuhkan beberapa tanda tangan ke atas sebuah materai yang sudah melekat di beberapa kertas di sana. "Sudah, Mas," ujarnya sembari meletakkan pena di atas meja. "Ekhem!" Rayyan membersihkan kerongkongannya yang terasa kering. "Oke. Nanti kamu pegang satu, dan satunya akan Bobby kembalikan kepada Susno." "Oke," sahut Lestari singkat, kemudian ia tersenyum hangat ke arah suaminya, "kalau gitu aku mau lanjut jemur pakaian, Mas." "Hmm. Kelihatannya mau hujan ini," ucap Rayyan mencegah gerakan sang istri sembari mengalihkan
"Man–mandi sama-sama, Mas?" Lestari sedikit menahan langkah yang semakin terseret oleh tarikan suami tampannya itu. "Yups! Kamu harus mau!" seru Rayyan tidak mau tahu. Ia lalu memegang pinggang sang istri sembari menggiring wanita muda itu menuju ke dalam kamar mandi. Wajah Lestari kontan merah padam ketika sang suami melucuti celana yang ia kenakan sendiri. Kemudian pria itu menyalakan shower dan tersemburlah air hangat dari sana. Lestari meringis dan merasa suasana berubah menjadi awkward melihat sang suami sudah dalam keadaan naked di hadapannya. Kemudian perlahan lelaki itu berjalan mendekat ke arah sang wanita yang terlihat gugup itu. "Ayo ...!" ajaknya seraya menarik kedua tangan Lestari dengan perlahan. Sang jelita yang masih mengenakan pakaian lengkapnya itu sedikit terkesiap ketika kepalanya tersiram air shower. Dan akhirnya tubuhnya pun basah kuyup tersiram air. Rayyan menatap ke arah wanitanya dengan mata yang penuh kabut gair*h. Ia lalu mendekat dan melingkark
Lestari berjalan keluar dari kamar Rayyan dengan senyum semringah di bibir kemerahan miliknya. Jam sudah menunjukkan pukul 10. 30 WIB, ia melenggang menuju ke arah kamar, karena hendak mengganti bathrobe dengan pakaiannya sendiri. "Wah wah ... habis mandi nih, Nya, hujan-hujan gini. Keliatan seger dan sumringaaaah banget, senyumnya." Nunung tampak mengerlingkan mata melihat tampilan sang majikan wanitanya. Ia tahu, pasti Lestari habis melayani sang suami, sebab tadi ... keduanya berada di kamar Rayyan cukup lama sekali, lebih dari tiga jam. "Iya, Bi." Lestari menunduk sembari tersenyum simpul. Kulit wajahnya terasa menghangat, karena Nunung menggodanya. Wanita muda itu meraih baju kaus dan celana setengah tiang miliknya dari dalam almari. "Bibi seneng liat nyonya sama tuan akur beberapa hari ini. Tuan kayaknya udah lebih baik ya, Nya?" ungkap Nunung merasa ikut bahagia. "Iya, Bi. Doakan aja, Mas Rayyan bakal seperti ini terus selamanya setelah ini," imbuh Lestari sembari mengenaka
"Tari, siang ini nggak usah masak dulu," ujar Rayyan kepada istrinya. Lestari yang tadi kaget dengan kedatangan suaminya yang tiba-tiba di ruang itu pun jadi terpaku. Begitu juga Nunung. "Kita makan di luar siang ini. Kamu siap-siap sekarang!" suruh Rayyan. "Ah, i–iya, Mas." Seakan baru mencerna apa yang disampaikan sang suami, Lestari pun menyahut. Rayyan menatap Lestari dan Nunung bergiliran. Ia mengira mungkin keduanya baru saja saling bertukar curahan hati masing-masing. Kedua wanita itu merasa salah tingkah di hadapan Rayyan. "Hmm, ya sudah. Aku tunggu!" pungkas Rayyan menoleh ke arah Lestari dan ia pun berbalik dan berlalu. "Wah, tuan mau ajak Nyonya makan di luar!" seru Nunung semringah. Lestari ikut tersenyum melihat wajah Nunung yang ceria. "Aku mau siap-siap dulu. Bibi doain ya!" "Siap, Nya!" *** "Kamu ada ide mau ke mana?" tanya Rayyan sambil menyetir kendaraannya. Lestari sontak menoleh ke arah sang suami di sebelahnya. "Mmm, aku ... aku nggak tahu tempat maka
Di dalam hati Rayyan berkata, 'Aku nggak tahu, kenapa aku sekarang suka sekali dengan senyummu itu, Tari. Meskipun entah ... sungguh aku masih ragu dengan hatimu padaku.' Rayyan menarik perlahan tangannya, lalu ia pun kembali memakan makanan di hadapannya. Pandangan matanya ia layangkan pada arah lain. Meskipun ada rasa bersalah di dalam hatinya karena pernah menganiaya sang istri, tetapi tetap saja masih ada ganjalan yang setia tersangkut di dada pria itu. Namun, dirinya tidak bisa mengendalikan perasaannya itu. "Mas, kalau boleh aku tahu. Kenapa orang tua Mas dan adik Mas meninggal dunia?" Lestari menyusul meletakkan sendok dan garpunya setelah makanannya juga habis seperti sang suami barusan. Rayyan yang sedang menyeruput es kelapa kontan menghentikan kegiatannya dan mengangkat pandangan ke arah sang istri. "Mengapa kamu merasa penting untuk mengetahui kematian keluargaku?" cetus pria itu membuat suasana yang tadinya akrab menjadi berubah tegang. Lestari sedikit terkesiap. "Mmm
Lestari mengira mungkin suaminya akan langsung membawanya ke rumah. Akan tetapi, ternyata dia salah. Sang suami tetap membawanya ke rumah sakit. Setelah memarkirkan mobil, Rayyan pun turun. Meskipun di dalam hati Lestari merasa lega, karena selama ini Rayyan tidak pernah berbuat kasar padanya di hadapan orang lain, tetapi tetap saja masih ada ganjalan di dalam hatinya sebab masalah di restoran tadi. Sebelum ke ruang perawatan, mereka menuju ke mushallah terlebih dahulu sebab sudah masuk waktu ashar dan mereka pun melaksanakan ibadah. "Mas, makasih udah bolehin aku jenguk ayah lagi," ucap Lestari ketika keduanya telah sampai di kamar perawatan Dinar Abdullah. "Hmm." Rayyan hanya berdeham dan ia pun mendaratkan bobotnya ke atas kursi di pinggir tembok ruangan. Kemudian lelaki itu tampak sibuk memainkan ponselnya di sana. Lestari melirik ke arah sang suami sebentar. Namun, sepertinya Rayyan masih tidak mau diajak bicara. Wanita itu pun duduk di kursi di sebelah brankar sang ayah. "
"Mulai hari ini, kamu boleh jenguk ayahmu di jam kerjaku," ujar Rayyan di dalam perjalanan pulang keduanya. Mendengar itu, Lestari kontan menoleh ke arah sang suami dengan sorot mata yang berbinar cerah. "Beneran, Mas?" "Ya. Ajak aja Bi Nunung." "Makasih banyak, Mas!" seru sang wanita dengan wajah semringah. "Tapi, kalau kamu mau singgah ke mana aja sebelum atau setelah itu, wajib minta izin dulu sama aku." "Siap, Mas." Rayyan menoleh sebentar ke arah sang istri, terlihat wajah yang begitu bahagia di sana. Bibir indah itu tersenyum menambah kecantikannya. Lelaki itu menyembunyikan senyumannya. 'Kamu makin hari makin cantik, Tari. Tubuh kamu juga sudah mulai kembali berisi," pujinya di dalam hati. "Kita mau ngapain ke sini, Mas?" tanya Lestari heran ketika Rayyan membelokkan kendaraan roda empatnya ke sebuah mall. "Ada yang mau aku beli sebentar." Rayyan memarkirkan mobil, kemudian ia turun dan disusul oleh sang istri. Ternyata Rayyan mengajak Lestari ke sebuah gerai pakaian
"Ini kuenya enak banget, Nya. Makasih ya, udah inget beliin Bibi juga," ucap Nunung sembari mengunyah bollen pisang, kue sus, dan lain sebagainya. "Iya sama-sama, Bi. Aku juga lagi kepengen tadi. Jadinya sekalian," sahut Lestari sembari mencomot sepotong kue, lalu mendaratkan bobotnya ke samping Nunung di pinggir ranjang setelah ia mandi dan berganti pakaian. "Eh, Nyonya mau ke mana?" tegur Nunung ketika melihat Lestari beranjak setelah meminum seteguk air putih dan kembali meletakkan gelasnya ke atas nakas. "Mas Ray suruh aku mijetin dia, Bi. Aku ke sana dulu ya!" "Ohh ...." Nunung hanya ber'oh' ria menatap punggung sang nyonya yang semakin menjauh dan akhirnya hilang di balik pintu kamarnya. Lestari mengetuk pintu kamar sang suami, dan langsung mendengar sahutan menyuruhnya masuk dari dalam sana. Wanita muda itu pun membuka pintu tersebut dan masuk, lalu menutup benda itu kembali. "Sini, kamu pijetin aku bentar. Badanku capek, jalan seharian," ujar Rayyan yang sudah dalam kea
"Loh? Nyonya mau pergi ke mana? Memangnya sudah dibeli rumah barunya?" Nunung bertanya heran, sebab sang majikan wanita berpamitan dengan beberapa koper yang sudah disiapkan di dekat mereka."Iya, Bi. Sudah beli rumah. Tapi, ini nggak langsung pindah ke rumah itu. Saya dan Tari mau ke tempat teman saya dulu." Jawaban itu justru keluar dari lisan Rayyan, "Bibi sementara di sini dulu. Kalau kami sudah benar-benar pindah ke rumah yang baru, Bibi akan saya jemput," lanjut lelaki itu menjelaskan."O–oh, gitu, Tuan?" Meski masih merasa heran karena kepergian majikannya yang mendadak seperti ini, Nunung hanya bisa menuruti.Lestari memilih diam dari tadi, sebab ia mengikuti suaminya saja. Saat ini, ia hanya ingin segera pergi dari rumah itu."Bi, aku pamit dulu ya ...." Lestari mendekati sang ART, kemudian memeluk wanita tua yang selama ini telah ia anggap seperti ibunya sendiri."I–iya, Nya. Hati-hati di jalan. Nyonya kabari saya kalau sudah sampai di rumah temen Tuan ya! Nyonya juga jangan
Terdengar suara isakan dari Lestari membuat Rayyan seolah baru tersadar. Lelaki itu kemudian berjalan mendekat ke arah tempat duduk istrinya, lalu merangkul pundak wanita itu. "Tari ... kamu ... nggak apa-apa?" 'Ck! Pertanyaan bodoh! Nggak apa-apa gimana? Dia sedih, Gobl0k!' Batin Rayyan memarahi dirinya sendiri sebab mengucapkan pertanyaan yang ia anggap tidak perlu itu. Lestari bangkit berdiri dengan perlahan-lahan. Kakinya terasa begitu lemas rasanya. Ia lalu berjalan pelan dan lunglai menuju ke arah kamarnya. Rayyan bingung dengan apa yang mesti ia lakukan. Lelaki itu hanya bisa mengiringi sang istri menuju ke arah kamar mereka. Sesampainya di dalam kamar. Lestari menuju ke arah ranjangnya dan merebahkan diri sembari kembali menangis di atas bantalnya. Sungguh, ia merasa begitu sedih, sebab telah membuat Gilang sangat kecewa seperti saat ini. Sementara Rayyan, pria itu hanya bisa duduk di pinggir ranjang tersebut dengan kepala yang terasa berdenyut. Ia benar-benar tidak tahu
"Jadi, kamu sudah ingat tentang Tari?" tanya Rayyan tak mau lagi berbasa-basi."Bi, nggak apa-apa, kok. Bibi lanjutin kerjaan Bibi lagi, gih," bisik Lestari lirih ke arah Nunung di sebelahnya."Eeh, i–iya. Baik, Nyonya," sahut Nunung tergagap. Akan tetapi, wanita tua itu tetap menurut. Ia pun berbalik dan melenggang kembali ke teras belakang rumah.Lestari kembali mengarahkan pandangan ke arah Gilang dan juga Rayyan yang tengah berbicara di sana dengan perasaan yang tidak menentu. 'Apa benar, Mas Gilang sudah mengingat tentang kami?' bisik hatinya bertanya-tanya."Yaaah, begitulah. Aku bahkan sudah ingat kata-kata kamu malam itu, Tari." Gilang terus melihat ke arah sang wanita.Lestari mencoba mengingat apa yang pernah ia katakan. "Kata-kataku?" Rayyan ikut menoleh ke arah sang istri dengan sorot penasaran."Ya, kamu ingat di depan Burhan kamu bilang cinta sama Mas, 'kan? Burhan bilang, nggak lama dari berita kematian Mas, kamu memang batal menikah dengan Fadil, si anak kepala desa i
Meski hatinya terasa panas, Rayyan hanya bisa menyunggingkan senyuman dengan terpaksa. Ia tidak mau rasa cemburunya itu tertangkap oleh sang istri. "Mudah-mudahan aja rumah yang ditawarkan ke Bobby kemarin cocok buatku dan Lestari nanti," lirih ucapan Rayyan pada diri sendiri. Ya, tadi Bobby bilang mereka sudah janjian untuk melakukan survey ke sebuah rumah besok. Lokasi rumah tersebut hanya sekitar dua puluh menit dari kantor pusat perusahaan Rayyan ini. Memang harganya cukup tinggi, tetapi kalau cocok, Rayyan tidak mau menunda lagi untuk mengurus kepindahannya. Ia ingin segera memboyong Lestari menjauh dari Gilang. 'Kalau lebih lama lagi aku melihat kebersamaan mereka. Aku bisa gila!' keluh pria itu membatin. *** "Kakak iparku ini mau ke mana? Pagi-pagi udah cantik aja?" sapa Gilang, ketika langkah kakinya baru sampai di ruang makan. Ia hendak bergabung dengan Rayyan dan Lestari yang sudah lebih dulu berada di sana. Mata Gilang melirik sebentar melihat ekspresi sang kakak le
Lima hari belakangan ini, ketika sedang berada di kantor, Rayyan terlihat gusar dan tidak fokus dengan pekerjaannya. Gilang sudah tiga hari ikut ke kantornya dan belajar bekerja di sana. Ia didampingi langsung oleh Bobby. Lelaki itu terlihat serius dalam belajar. "Bos yakin dengan keputusan akan memberikan posisi CEO pada Mas Gilang?" tanya Bobby kepada sang atasan. Mereka kini sedang berada di ruangan presiden direktur, yakni Rayyan sendiri. Pria itu baru saja menyampaikan kepada asisten setianya untuk mengajari Gilang agar ke depan bisa menduduki posisi CEO yang saat ini dirangkap oleh Rayyan sendiri selain ia juga sebagai owner sekaligus presiden direktur di perusahaan itu. Selama ini Rayyan memang cukup sibuk karena jabatan yang dirangkapnya itu. Meskipun demikian, selama ini ia mampu sebab didukung oleh Bobby yang selalu bisa ia andalkan. "Ya, kamu mesti ajari dia yang bener, Bobb. Gilang sebaiknya tidak usah melanjutkan jadi guru lagi. Aku nggak mau dia dihina orang lagi s
Wanita cantik yang kini wajahnya terlihat agak pucat itu mengangguk cepat. Lestari baru sadar kalau tangannya sendiri terasa sangat dingin ketika sang suami meraih dan menggenggamnya saat ini. "Ini jarimu kenapa?" tanya Rayyan ketika melihat dan meraba jari telunjuk tangan kanan Lestari yang dibalut plaster. "Ini, nggak sengaja kena pisau, Mas. Nggak apa-apa, kok! Luka kecil aja." "Kamu lain kali hati-hati," pesan sang suami. Lestari tersenyum kikuk ketika sadar kalau sedari tadi Gilang mencuri-curi pandang ke arahnya. "A–ku siapin makan siang dulu, Mas," ujarnya kepada sang suami seraya berbalik badan dan langsung berjalan ke arah dapur menyusul Nunung. Rayyan menyembunyikan helaan napasnya ketika melihat punggung sang istri yang menjauh. Di dalam hati entah mengapa ia merasa timbul kesedihan. Ia menebak kalau benar, sang istri sepertinya masih menyimpan perasaan kepada adik angkatnya. "Naah, ini diaa! Terima kasih, Bi Nunung yang caeeem ...!" seru Bobby menarik Rayyan kembali
"Kenapa sih, Nya? Nyonya sejak pagi tadi keliatan nggak fokus gitu?" tanya Nunung ketika Lestari baru saja menumpahkan air yang ia tuang dari sebuah teko. Sebelumnya Lestari juga tak sengaja mengiris jarinya sendiri ketika menyiangi sayuran. Keduanya memasak lebih banyak hari ini sebab Rayyan tadi malam mengatakan akan membawa Gilang ke rumah tersebut. Ya, sejak itu, entah mengapa Lestari menjadi gugup sendiri. Ia juga heran, sebenarnya apa yang sedang terjadi pada dirinya. Padahal ia yakin, kalau hatinya kini telah dimiliki oleh Rayyan Yudistira, sebagai lelaki yang berstatus suaminya. "E–eh, ma–af, Bi. Biar aku yang bersihkan. Bibi lanjut nata perlengkapan makannya aja!" tukas Lestari sembari meraih gagang pel yang dipegang Nunung dan mulai mengelap air yang membasahi lantai ruang makan tersebut. Nunung pun menghela napas dan melipat bibirnya sejenak. Lalu ia menata piring dan sendok di atas meja makan seperti perintah sang nyonya. "Assalamualaikum." Deg! Degup jantung Lesta
Bobby mencebikkan bibirnya. "Nggak ada, Boss. Makanya aku bilang, kayaknya ingatan Mas Gilang masih setengah-setengah," ujar lelaki itu lagi. Rayyan menghela napas sedikit lega. Akan tetapi, kekhawatiran di wajahnya masih menyelimuti. "Gimana kalau suatu saat dia ingat semuanya, ya, Bobb? Apa yang harus saya katakan soal Tari?" Lelaki tampan itu menatap pelas ke arah sang asisten. Ia berharap bisa mendapatkan pencerahan dari Bobby. "Ya mau gimana. Ini sudah takdir, Boss. Sekarang Boss udah nikahin cewek yang Mas Gilang taksir. Mau nggak mau, Mas Gilang juga mesti menerima itu!" Ucapan Bobby terdengar tanpa beban di telinga Rayyan. Rayyan menunduk, kemudian menekan kepala dengan dua tangannya. Entah mengapa kepalanya kini terasa berdenyut tiba-tiba seperti ini. Pikirannya terasa sangat penuh. "Mbak Tari sendiri kira-kira gimana kalau tahu Mas Gilang sebenarnya masih hidup ya, Boss?" tanya Bobby kepada yang atasan yang wajahnya mulai kusut itu. "Tari sudah tahu." "Hah?!" Bobby tam
Bobby menghela napas panjang. Ia menimbang-nimbang. "Pak, apa nggak bisa diundur bulan depannya lagi ya, kami keluar dari sana?" Bobby hanya ingin mengantisipasi waktu saja. Khawatir kalau nanti ia butuh waktu lebih lama untuk mengurus kepindahan Gilang. "Aduh, Mas, maaf sekali lagi. Kayaknya nggak bisa. Soalnya itu apartemen mau dipake anak orang yang beli itu. Bulan depan tanggal 7, dia sudah masuk kuliah. Jadinya sebelum itu dia harus pindahan dan prepare semua urusan dia secepatnya. Begitu katanya, Mas!" Kembali Bobby menghela napas panjang. "Oh, iyalah, Pak. Saya nanti koordinasi dulu sama sodara saya itu. Nanti saya kabari lagi perkembangannya ke Bapak," ucap lelaki itu akhirnya. "Oke, Mas Bobby. Maaf sekali lagi. Semoga dimudahkan ya, Mas!" Keduanya pun memutuskan sambungan telepon seluler tersebut. "Aku mesti langsung kasih tahu si Boss ini!" seru Bobby sembari menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku jas. Setelah itu, ia langsung menjalankan kembali motor besarnya men