Lestari mengira mungkin suaminya akan langsung membawanya ke rumah. Akan tetapi, ternyata dia salah. Sang suami tetap membawanya ke rumah sakit. Setelah memarkirkan mobil, Rayyan pun turun. Meskipun di dalam hati Lestari merasa lega, karena selama ini Rayyan tidak pernah berbuat kasar padanya di hadapan orang lain, tetapi tetap saja masih ada ganjalan di dalam hatinya sebab masalah di restoran tadi. Sebelum ke ruang perawatan, mereka menuju ke mushallah terlebih dahulu sebab sudah masuk waktu ashar dan mereka pun melaksanakan ibadah. "Mas, makasih udah bolehin aku jenguk ayah lagi," ucap Lestari ketika keduanya telah sampai di kamar perawatan Dinar Abdullah. "Hmm." Rayyan hanya berdeham dan ia pun mendaratkan bobotnya ke atas kursi di pinggir tembok ruangan. Kemudian lelaki itu tampak sibuk memainkan ponselnya di sana. Lestari melirik ke arah sang suami sebentar. Namun, sepertinya Rayyan masih tidak mau diajak bicara. Wanita itu pun duduk di kursi di sebelah brankar sang ayah. "
"Mulai hari ini, kamu boleh jenguk ayahmu di jam kerjaku," ujar Rayyan di dalam perjalanan pulang keduanya. Mendengar itu, Lestari kontan menoleh ke arah sang suami dengan sorot mata yang berbinar cerah. "Beneran, Mas?" "Ya. Ajak aja Bi Nunung." "Makasih banyak, Mas!" seru sang wanita dengan wajah semringah. "Tapi, kalau kamu mau singgah ke mana aja sebelum atau setelah itu, wajib minta izin dulu sama aku." "Siap, Mas." Rayyan menoleh sebentar ke arah sang istri, terlihat wajah yang begitu bahagia di sana. Bibir indah itu tersenyum menambah kecantikannya. Lelaki itu menyembunyikan senyumannya. 'Kamu makin hari makin cantik, Tari. Tubuh kamu juga sudah mulai kembali berisi," pujinya di dalam hati. "Kita mau ngapain ke sini, Mas?" tanya Lestari heran ketika Rayyan membelokkan kendaraan roda empatnya ke sebuah mall. "Ada yang mau aku beli sebentar." Rayyan memarkirkan mobil, kemudian ia turun dan disusul oleh sang istri. Ternyata Rayyan mengajak Lestari ke sebuah gerai pakaian
"Ini kuenya enak banget, Nya. Makasih ya, udah inget beliin Bibi juga," ucap Nunung sembari mengunyah bollen pisang, kue sus, dan lain sebagainya. "Iya sama-sama, Bi. Aku juga lagi kepengen tadi. Jadinya sekalian," sahut Lestari sembari mencomot sepotong kue, lalu mendaratkan bobotnya ke samping Nunung di pinggir ranjang setelah ia mandi dan berganti pakaian. "Eh, Nyonya mau ke mana?" tegur Nunung ketika melihat Lestari beranjak setelah meminum seteguk air putih dan kembali meletakkan gelasnya ke atas nakas. "Mas Ray suruh aku mijetin dia, Bi. Aku ke sana dulu ya!" "Ohh ...." Nunung hanya ber'oh' ria menatap punggung sang nyonya yang semakin menjauh dan akhirnya hilang di balik pintu kamarnya. Lestari mengetuk pintu kamar sang suami, dan langsung mendengar sahutan menyuruhnya masuk dari dalam sana. Wanita muda itu pun membuka pintu tersebut dan masuk, lalu menutup benda itu kembali. "Sini, kamu pijetin aku bentar. Badanku capek, jalan seharian," ujar Rayyan yang sudah dalam kea
"Naik sini!" suruh Rayyan pada sang istri. 'Hah? Na–naik lagi? Tap–tapi ... posisi ini 'kan, di de–pan?' Lestari terpaku di tempatnya. Rayyan memicingkan mata. Seperti biasa, ia kembali melemparkan tatapan tajam penuh intimidasi ke arah sang wanita. Ia tidak suka jika dibantah. Karena melihat tatapan mata yang sangat menusuk itu, dengan ragu-ragu Lestari pun menurut. Rayyan menarik napas dalam-dalam menahan sensasi di dalam dadanya yang jelas saja semakin bergejolak. Apalagi ketika Lestari mulai sedikit merundukkan tubuhnya dan menekan dengan jemarinya ke area leher dan berjalan menuju ke tulang selangka, kemudian ke dada bidangnya. Hal itu menyebabkan aliran darah Rayyan berdesir hangat. Denyar-denyar merambat cepat dari ujung kaki hingga kepalanya. Lestari sendiri menggigiti bibirnya, sebab merasa posisinya yang benar-benar 'berbahaya'. Ya, bukan cuma Rayyan yang menegang saat ini, bahkan Lestari sendiri merasakan tubuhnya mulai terasa memanas. "Mas, jangan lihat aku kayak
"Buka," suruh Rayyan kepada sang wanita. Dengan degup jantung yang berdebar, kedua tangan Lestari pun membuka kotak berlapis beludru tersebut. Kedua matanya seketika melebar dan berbinar. "Maa syaa Allah ... cantik sekali, Mas!" pujinya ketika melihat seuntai kalung berliontin batu safir yang indah. Rayyan mengenakan handuknya kembali, lalu ia mendatangi sang istri sembari menyunggingkan sebuah senyuman. "Kamu suka?" tanya pria itu. Lestari menganggukkan kepalanya. "I–ini buatku?" lirih wanita itu seakan tidak percaya dengan apa yang diberikan suaminya kini. Kalung itu terlihat begitu cantik dan berkelas. Pasti sangat mahal, begitu pikirnya. Rayyan kemudian meraih kalung itu dan membuka kaitannya. Lelaki tampan itu lalu mengalungkan benda tersebut ke leher jenjang sang istri. Lestari menahan rambut panjangnya agar tidak menghalangi. Tampak lehernya yang putih dengan beberapa kiss mark akibat ulah suaminya di sana. Itu membuat Rayyan menyimpul senyuman. Setelah sang pria
Keesokan harinya Rayyan masih bersikap manis kepada sang istri. Ia mengajak Lestari untuk jogging berkeliling di sekitar kompleks. "Mas, kita duduk dulu ya? Aku udah capek!" seru Lestari ketika mereka melewati sebuah taman yang ada di dalam area perumahan mereka. "Oke," sahut Rayyan menuruti istrinya. Ia memahami, kalau ini pertama kali buat Lestari berolahraga semenjak mereka menikah. Tentu wanita muda itu belum terbiasa. Keduanya lalu duduk di sebuah kursi panjang di bawah pohon di pinggiran taman tersebut. "Baru tahu di sini ada taman begini, Mas?" ujar Lestari sembari memindai sekitar. Tampak beberapa orang yang memperhatikan anak-anak mereka yang tengah bermain perosotan dan juga ayunan di sana. Rayyan tersenyum hangat. Senyuman yang Lestari sangat sukai. "Rame juga yang main di sini," ujar Lestari sambil memijat-mijat kakinya sendiri. "Capek ya?" Rayyan menunduk dan ikut memijat kaki sang istri. "Hehe ... iya, Mas. Mungkin karena belum biasa," sahut Lestari. "Iya. Ses
"Maaa! Aku mau naik pelosotan!" seru balita yang tangannya setia berada di gandengan Melisa memotong omongan Danny. Gadis kecil itu seperti sudah tidak betah terus berdiam diri di sana mendengar obrolan orang dewasa."Ah, iya, Nak!" sahut Melisa yang kembali sadar akan tujuan awal mereka ke taman itu, yakni mengajak anak-anaknya bermain, "Mas, ayo ke sana! Sassy udah nggak sabar," ajaknya pada Danny. Ia mengangguk dan tersenyum canggung ke arah Rayyan dan juga Lestari. Mau ikut mengobrol juga ia tidak terlalu mengenal teman suaminya—Rayyan— yang memang tidak akrab itu."Oh iya, Sayang," sahut Danny pada istrinya, "ya udah, Bro. Gue bawa anak gue main dulu ya!" pamit pria beranak dua itu kepada Rayyan."Oke!" sahut Rayyan singkat sembari menarik kedua sudut bibirnya ke atas.Keluarga kecil Danny kemudian melenggang menjauh dari Rayyan dan juga Lestari."Kita pulang!" ajak Rayyan kepada sang istri. Ada kelegaan di dalam hati pria itu karena obrolan tentang sang adik angkat pun terputus
"Tapi, seperti begini aja ... aku udah bersyukur banget, Bi," lanjut Lestari tersenyum hangat."Iyalah, Nya. Semoga ke depan tuan bisa lebih baik lagi daripada sekarang ya ...," sahut Nunung sembari ikut menarik kedua sudut bibirnya ke atas."Aamiin."***Keesokan harinya Lestari dan Nunung memesan taksi online hendak menuju rumah sakit untuk menjenguk Dinar Abdullah. Namun, sebelumnya mereka singgah terlebih dahulu ke sebuah minimarket yang tak jauh dari lokasi rumah sakit itu. Lestari ingin membeli beberapa makanan ringan untuk diberikan kepada seorang anak kecil, pasien di sebelah ruangan yang belakangan sering ia temui di sana."Aku senang, kemarin ayah udah ada perkembangan baik, Bi," ujar Lestari sembari tersenyum kepada Nunung dan tangannya meraih beberapa snack di rak minimarket.Ya, kemarin ia juga ke rumah sakit tersebut dan mendapati jemari sang ayah yang mulai bergerak-gerak. Meskipun hanya sekali saja, tetapi itu membuatnya begitu bahagia. Karena menurut dokter, hal ters
"Loh? Nyonya mau pergi ke mana? Memangnya sudah dibeli rumah barunya?" Nunung bertanya heran, sebab sang majikan wanita berpamitan dengan beberapa koper yang sudah disiapkan di dekat mereka."Iya, Bi. Sudah beli rumah. Tapi, ini nggak langsung pindah ke rumah itu. Saya dan Tari mau ke tempat teman saya dulu." Jawaban itu justru keluar dari lisan Rayyan, "Bibi sementara di sini dulu. Kalau kami sudah benar-benar pindah ke rumah yang baru, Bibi akan saya jemput," lanjut lelaki itu menjelaskan."O–oh, gitu, Tuan?" Meski masih merasa heran karena kepergian majikannya yang mendadak seperti ini, Nunung hanya bisa menuruti.Lestari memilih diam dari tadi, sebab ia mengikuti suaminya saja. Saat ini, ia hanya ingin segera pergi dari rumah itu."Bi, aku pamit dulu ya ...." Lestari mendekati sang ART, kemudian memeluk wanita tua yang selama ini telah ia anggap seperti ibunya sendiri."I–iya, Nya. Hati-hati di jalan. Nyonya kabari saya kalau sudah sampai di rumah temen Tuan ya! Nyonya juga jangan
Terdengar suara isakan dari Lestari membuat Rayyan seolah baru tersadar. Lelaki itu kemudian berjalan mendekat ke arah tempat duduk istrinya, lalu merangkul pundak wanita itu. "Tari ... kamu ... nggak apa-apa?" 'Ck! Pertanyaan bodoh! Nggak apa-apa gimana? Dia sedih, Gobl0k!' Batin Rayyan memarahi dirinya sendiri sebab mengucapkan pertanyaan yang ia anggap tidak perlu itu. Lestari bangkit berdiri dengan perlahan-lahan. Kakinya terasa begitu lemas rasanya. Ia lalu berjalan pelan dan lunglai menuju ke arah kamarnya. Rayyan bingung dengan apa yang mesti ia lakukan. Lelaki itu hanya bisa mengiringi sang istri menuju ke arah kamar mereka. Sesampainya di dalam kamar. Lestari menuju ke arah ranjangnya dan merebahkan diri sembari kembali menangis di atas bantalnya. Sungguh, ia merasa begitu sedih, sebab telah membuat Gilang sangat kecewa seperti saat ini. Sementara Rayyan, pria itu hanya bisa duduk di pinggir ranjang tersebut dengan kepala yang terasa berdenyut. Ia benar-benar tidak tahu
"Jadi, kamu sudah ingat tentang Tari?" tanya Rayyan tak mau lagi berbasa-basi."Bi, nggak apa-apa, kok. Bibi lanjutin kerjaan Bibi lagi, gih," bisik Lestari lirih ke arah Nunung di sebelahnya."Eeh, i–iya. Baik, Nyonya," sahut Nunung tergagap. Akan tetapi, wanita tua itu tetap menurut. Ia pun berbalik dan melenggang kembali ke teras belakang rumah.Lestari kembali mengarahkan pandangan ke arah Gilang dan juga Rayyan yang tengah berbicara di sana dengan perasaan yang tidak menentu. 'Apa benar, Mas Gilang sudah mengingat tentang kami?' bisik hatinya bertanya-tanya."Yaaah, begitulah. Aku bahkan sudah ingat kata-kata kamu malam itu, Tari." Gilang terus melihat ke arah sang wanita.Lestari mencoba mengingat apa yang pernah ia katakan. "Kata-kataku?" Rayyan ikut menoleh ke arah sang istri dengan sorot penasaran."Ya, kamu ingat di depan Burhan kamu bilang cinta sama Mas, 'kan? Burhan bilang, nggak lama dari berita kematian Mas, kamu memang batal menikah dengan Fadil, si anak kepala desa i
Meski hatinya terasa panas, Rayyan hanya bisa menyunggingkan senyuman dengan terpaksa. Ia tidak mau rasa cemburunya itu tertangkap oleh sang istri. "Mudah-mudahan aja rumah yang ditawarkan ke Bobby kemarin cocok buatku dan Lestari nanti," lirih ucapan Rayyan pada diri sendiri. Ya, tadi Bobby bilang mereka sudah janjian untuk melakukan survey ke sebuah rumah besok. Lokasi rumah tersebut hanya sekitar dua puluh menit dari kantor pusat perusahaan Rayyan ini. Memang harganya cukup tinggi, tetapi kalau cocok, Rayyan tidak mau menunda lagi untuk mengurus kepindahannya. Ia ingin segera memboyong Lestari menjauh dari Gilang. 'Kalau lebih lama lagi aku melihat kebersamaan mereka. Aku bisa gila!' keluh pria itu membatin. *** "Kakak iparku ini mau ke mana? Pagi-pagi udah cantik aja?" sapa Gilang, ketika langkah kakinya baru sampai di ruang makan. Ia hendak bergabung dengan Rayyan dan Lestari yang sudah lebih dulu berada di sana. Mata Gilang melirik sebentar melihat ekspresi sang kakak le
Lima hari belakangan ini, ketika sedang berada di kantor, Rayyan terlihat gusar dan tidak fokus dengan pekerjaannya. Gilang sudah tiga hari ikut ke kantornya dan belajar bekerja di sana. Ia didampingi langsung oleh Bobby. Lelaki itu terlihat serius dalam belajar. "Bos yakin dengan keputusan akan memberikan posisi CEO pada Mas Gilang?" tanya Bobby kepada sang atasan. Mereka kini sedang berada di ruangan presiden direktur, yakni Rayyan sendiri. Pria itu baru saja menyampaikan kepada asisten setianya untuk mengajari Gilang agar ke depan bisa menduduki posisi CEO yang saat ini dirangkap oleh Rayyan sendiri selain ia juga sebagai owner sekaligus presiden direktur di perusahaan itu. Selama ini Rayyan memang cukup sibuk karena jabatan yang dirangkapnya itu. Meskipun demikian, selama ini ia mampu sebab didukung oleh Bobby yang selalu bisa ia andalkan. "Ya, kamu mesti ajari dia yang bener, Bobb. Gilang sebaiknya tidak usah melanjutkan jadi guru lagi. Aku nggak mau dia dihina orang lagi s
Wanita cantik yang kini wajahnya terlihat agak pucat itu mengangguk cepat. Lestari baru sadar kalau tangannya sendiri terasa sangat dingin ketika sang suami meraih dan menggenggamnya saat ini. "Ini jarimu kenapa?" tanya Rayyan ketika melihat dan meraba jari telunjuk tangan kanan Lestari yang dibalut plaster. "Ini, nggak sengaja kena pisau, Mas. Nggak apa-apa, kok! Luka kecil aja." "Kamu lain kali hati-hati," pesan sang suami. Lestari tersenyum kikuk ketika sadar kalau sedari tadi Gilang mencuri-curi pandang ke arahnya. "A–ku siapin makan siang dulu, Mas," ujarnya kepada sang suami seraya berbalik badan dan langsung berjalan ke arah dapur menyusul Nunung. Rayyan menyembunyikan helaan napasnya ketika melihat punggung sang istri yang menjauh. Di dalam hati entah mengapa ia merasa timbul kesedihan. Ia menebak kalau benar, sang istri sepertinya masih menyimpan perasaan kepada adik angkatnya. "Naah, ini diaa! Terima kasih, Bi Nunung yang caeeem ...!" seru Bobby menarik Rayyan kembali
"Kenapa sih, Nya? Nyonya sejak pagi tadi keliatan nggak fokus gitu?" tanya Nunung ketika Lestari baru saja menumpahkan air yang ia tuang dari sebuah teko. Sebelumnya Lestari juga tak sengaja mengiris jarinya sendiri ketika menyiangi sayuran. Keduanya memasak lebih banyak hari ini sebab Rayyan tadi malam mengatakan akan membawa Gilang ke rumah tersebut. Ya, sejak itu, entah mengapa Lestari menjadi gugup sendiri. Ia juga heran, sebenarnya apa yang sedang terjadi pada dirinya. Padahal ia yakin, kalau hatinya kini telah dimiliki oleh Rayyan Yudistira, sebagai lelaki yang berstatus suaminya. "E–eh, ma–af, Bi. Biar aku yang bersihkan. Bibi lanjut nata perlengkapan makannya aja!" tukas Lestari sembari meraih gagang pel yang dipegang Nunung dan mulai mengelap air yang membasahi lantai ruang makan tersebut. Nunung pun menghela napas dan melipat bibirnya sejenak. Lalu ia menata piring dan sendok di atas meja makan seperti perintah sang nyonya. "Assalamualaikum." Deg! Degup jantung Lesta
Bobby mencebikkan bibirnya. "Nggak ada, Boss. Makanya aku bilang, kayaknya ingatan Mas Gilang masih setengah-setengah," ujar lelaki itu lagi. Rayyan menghela napas sedikit lega. Akan tetapi, kekhawatiran di wajahnya masih menyelimuti. "Gimana kalau suatu saat dia ingat semuanya, ya, Bobb? Apa yang harus saya katakan soal Tari?" Lelaki tampan itu menatap pelas ke arah sang asisten. Ia berharap bisa mendapatkan pencerahan dari Bobby. "Ya mau gimana. Ini sudah takdir, Boss. Sekarang Boss udah nikahin cewek yang Mas Gilang taksir. Mau nggak mau, Mas Gilang juga mesti menerima itu!" Ucapan Bobby terdengar tanpa beban di telinga Rayyan. Rayyan menunduk, kemudian menekan kepala dengan dua tangannya. Entah mengapa kepalanya kini terasa berdenyut tiba-tiba seperti ini. Pikirannya terasa sangat penuh. "Mbak Tari sendiri kira-kira gimana kalau tahu Mas Gilang sebenarnya masih hidup ya, Boss?" tanya Bobby kepada yang atasan yang wajahnya mulai kusut itu. "Tari sudah tahu." "Hah?!" Bobby tam
Bobby menghela napas panjang. Ia menimbang-nimbang. "Pak, apa nggak bisa diundur bulan depannya lagi ya, kami keluar dari sana?" Bobby hanya ingin mengantisipasi waktu saja. Khawatir kalau nanti ia butuh waktu lebih lama untuk mengurus kepindahan Gilang. "Aduh, Mas, maaf sekali lagi. Kayaknya nggak bisa. Soalnya itu apartemen mau dipake anak orang yang beli itu. Bulan depan tanggal 7, dia sudah masuk kuliah. Jadinya sebelum itu dia harus pindahan dan prepare semua urusan dia secepatnya. Begitu katanya, Mas!" Kembali Bobby menghela napas panjang. "Oh, iyalah, Pak. Saya nanti koordinasi dulu sama sodara saya itu. Nanti saya kabari lagi perkembangannya ke Bapak," ucap lelaki itu akhirnya. "Oke, Mas Bobby. Maaf sekali lagi. Semoga dimudahkan ya, Mas!" Keduanya pun memutuskan sambungan telepon seluler tersebut. "Aku mesti langsung kasih tahu si Boss ini!" seru Bobby sembari menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku jas. Setelah itu, ia langsung menjalankan kembali motor besarnya men