"Mas 'kan, pernah ke sana." Burhan menarik kedua sudut bibirnya ke atas."O–oh, ya ...?" lirih Lestari masih dengan sorot mata penasaran. Bagaimana Burhan bisa pernah ke rumah keluarga suaminya, sementara ia tidak pernah bertemu dengan Burhan di sana?"Gilang pernah dua kali ngajak Mas ke sana."Deg!Lestari semakin mengernyitkan dahinya. Entah mengapa degup jantungnya seketika saja berdebar sangat kencang saat ini. "M–Mas Gilang?"Melihat ekspresi wajah Lestari yang bingung, Burhan menjadi heran. "Gilang 'kan, teman baik Mas. Kok, kamu kelihatan bingung gitu?" tanyanya.Sungguh, Lestari benar-benar seperti patung yang terdiam. Namun, kepalanya terasa begitu berisik dengan segala kebingungan yang melanda. Apa hubungan rumah itu dengan Gilang? Bagaimana bisa Gilang mengajak temannya ke rumah Rayyan? "Mmm, Mas, aku ... aku benar-benar nggak ngerti. Maksud Mas Burhan, Mas Gilang juga tinggal di Komplek Anggrek gitu?" Nunung juga terlihat bingung di sana. Sebenarnya siapa orang yang bern
"Masakanmu selalu enak. Makanya aku malas mau makan di luaran sekarang," ujar Rayyan ketika telah selesai makan malam. Pria tampan itu saat ini memang sudah sering memuji sang istri dan biasanya Lestari tetap saja akan selalu merasa tersanjung. Namun, kali ini hati Lestari sedang resah. Pikirannya sedang kalut sekali. Banyak pertanyaan yang muncul di kepalanya sejak bertemu Burhan tadi pagi.Wanita muda nan cantik itu berusaha menyunggingkan senyumannya. Namun, ia tidak dapat menyembunyikan kegusaran di wajah cantik tersebut."Kenapa, Sayang? Kamu baik-baik aja?" tanya Rayyan sembari memegang tangan sang istri."Eh, hu um, akuu ... baik, Mas. Cuma aku kepikiran ayah aja."Rayyan menarik napas panjang seraya menarik kembali tangannya. Ia merasa sebal apabila mengingat Dinar. Ya, rasa dendamnya kepada orang tua itu masih terus saja mencengkeram hatinya.Lestari selalu melihat gelagat seperti itu jika ia membahas ayahnya. Bahkan kemarin ketika ia bercerita dengan antusias tentang perkem
Tadi, ketika berhadapan dengan Burhan, Lestari pura-pura tahu kalau Gilang adalah adik Rayyan. Meskipun sebenarnya ia baru tahu. Ia terus memancing pria itu berkisah. Pada akhirnya ia dapat menyimpulkan sendiri.Namun, ia sama sekali tidak menanyakan kepada pria itu. Ia menebaknya sendiri. Dan dengan melihat respons Rayyan saat ini, sepertinya dugaannya memang benar adanya."Jadi ... Mas bener kakaknya Mas Gilang. Ke–kenapa Mas nggak pernah mau cerita ke aku?" tanya Lestari dengan sorot pelas. Kedua netranya kini terasa buram karena kaca-kaca yang telah menghalangi pandangannya. Sungguh, ia takut dengan prasangkanya sendiri saat ini, "kenapa Mas menyembunyikan semua dariku, Mas?""Aku menyembunyikan apa, heh? Kamu ini kenapa? Siapa yang ngasih tahu kamu soal ini?" tanya Rayyan terlihat kesal."Ja–jangan bilang kalau ... kalau Mas ...." Omongan Lestari tergantung begitu saja. Sorot matanya menerawang. Bulir bening pun terjatuh setitik di kedua pipinya.Kedua alis Rayyan bertaut melihat
Rayyan bergerak maju mendekati sang wanita. Kemudian ia mencengkeram bahu sang istri dengan kedua tangannya. Wajah Lestari telah bersimbah air mata. Ia menatap sedih ke arah suaminya. Sungguh, ia memang merasa telah bersalah kepada Gilang. Akan tetapi, bukankah kematian lelaki itu karena sebuah kecelakaan?Nunung terlihat panik melihat gelagat Rayyan yang tidak baik. 'Ya Allah ... tuan mau apakan nyonya lagi kali ini ...?!' bisik hatinya cemas."Kamu paham, 'kan, sekarang! Kenapa aku mau menawarkan kerjasama di tanah ayahmu yang lokasinya jauh dari kata bagus itu?? Kamu sudah paham, 'kan, kenapa aku menjebak Fadil dan memancing ayahmu untuk menikahkan kamu sama aku??""Maas ... maafin. Maafin keluargaku .... Tapi, kematian Mas Gilang itu karena kecelakaan, Maas ...." Lestari menangis terisak-isak memohon maaf kepada suaminya."Kamu paham sekarang mengapa aku memendam rasa benci sama kamu dan keluarga busukmu itu?!" tanya Rayyan dengan suara yang keras seakan telinganya tak mendengar
Mendengar jeritan Nunung, Rayyan pun langsung menghambur berlari menuju ke ruang makan kembali. Degup jantungnya berkejaran dengan sangat kencang. Setelah ia sampai di ruang itu, matanya membulat sempurna ketika melihat darah yang mengalir di lantai dari tubuh Lestari. 'Ke–Kenapa, Tari?!' Lelaki itu langsung saja menggantikan Nunung merangkul sang istri. "Bi! Bibi ambilkan kunci mobil di meja sana!" suruhnya pada sang ART. "B–Baik, Tuan!" Nunung segera bangkit dan berlari ke arah ruang tengah, dan mengambil kunci mobil di tempat biasa sang majikan menaruhnya. "Ayo, Bi! Kita ke rumah sakit sekarang!" seru Rayyan yang ternyata telah menggendong istrinya dan berjalan cepat ke arah pintu luar. Dengan sigap Nunung berlari menuju ke arah luar rumah mereka, lalu membukakan pintu. "Ini, Tuan!" Wanita tua itu menyerahkan kunci mobil setelah berada di luar rumah. Rayyan meraih benda itu dan cepat-cepat ia menekan remote-nya. "Buka pintunya, Bi!" Rayyan menyuruh Nunung untuk segera m
"Hallo, Boss?" "Bobb, kamu carikan pendonor darah golongan B. Butuh 7 kantong, sekarang!!" titah Rayyan kepada Bobby. "Waduh! Cari di mana pendonor darah malam-malam begini, Bos? Mana golongan darah B lagi. Jarang itu mah, Boss!" keluh Bobby dari seberang sana. "Aku nggak mau tahu. Kamu cari ke seluruh karyawan perusahaan saya. Nggak mungkin nggak ada! Gitu aja nggak bisa mikir kamu!" cetus Rayyan keras. "Eh, iya juga ya. Emang buat siapa, Boss?" "Kamu banyak tanya banget! Buat Tari! Di Rumah Sakit Fathimah ya! Kalau sampai karyawan yang punya golongan darah B nggak mau donor. Akan saya pecat!!!" ancam Rayyan tegas. "Eeh. I–iya, Boss. Okee! Segera aku–" Klik! Rayyan langsung mematikan saluran teleponnya tanpa mau mendengar lagi ocehan Bobby. "Gimana, Pak? Sudah ada pendonornya?" tanya seorang perawat yang tiba-tiba saja sudah berada di samping Rayyan. "Eh, Sus. Be–lum ... tapi sebentar lagi pasti ada," jawab Rayyan gugup. "Maaf, Pak. Ibunya sudah kritis. Kita kehabisan sto
"Maaf ... pasien mesti istirahat. Sebisanya satu orang aja ya yang jaga malam ini," ujar salah seorang perawat setelah memindahkan Lestari ke ruang perawatan VIP sesuai permintaan Rayyan. Ia membenarkan posisi infus yang tergantung di sebuah tiang di samping brankar. Nunung pun berjalan maju mendekat ke brankar sang nyonya. Ia yang ingin menjaga sang nyonya. Akan tetapi– "Bi," panggil Rayyan membuat Nunung menoleh ke arahnya. "Iya, Tuan?" "Bibi pulang. Biar saya yang jaga Tari sekarang," suruh Rayyan kepada sang ART. Nunung mengalihkan pandangan ke arah Lestari dengan sorot mata yang ragu. Ia ingat, tadi setelah makan malam, sang nyonya bertengkar dengan tuannya itu, hingga menyebabkan wanita muda tersebut mengalami pendarahan dan keguguran seperti sekarang. Namun, tentu ia tidak bisa menolak perintah majikannya. Sementara Lestari, ia menolehkan kepala dan pandangannya ke arah lain. Ia malas untuk melihat semua orang di sana. Wanita itu hanya diam, pandangannya kosong ke arah s
Rayyan melihat wajah sang istri yang akhirnya menoleh ke arahnya dengan perasaan yang sangat kacau. Sungguh, ketakutan yang tadi seakan-akan kembali membayanginya saat ini. "Please, Tari ... kamu ja–ngan ti–tinggalin aku ya. A–Aku nggak tahu bakal gimana ka–kalau kamu pergi. Mungkin aku ... aku nggak bakal sanggup! Aku ng–gak pu–punya siapa-siapa lagi selain ka–mu, Tari ...." Rayyan menundukkan kepalanya dan ia benar-benar menangis tersedu sedan di sana. Melihat Rayyan yang selama ini ia kenal sebagai pria yang tegas, gagah, dan keras menangis terisak seperti demikian, seketika saja membuat Lestari merasaaa ... entah. Sungguh, ia tidak tahu apa pikirannya saat ini. Ia tidak pernah menyangka sang pria bisa serapuh ini. 'Benarkah Mas takut kehilangan aku?' bisik hati Lestari seakan tak percaya. Namun, ini nyata. Rayyan terlihat begitu lemah dan kalah kali ini. Mungkin seperti inilah yang pria itu rasakan saat kehilangan Gilang. Ya, Lestari kembali teringat akan pria muda yang per
"Oh, iya. Baik, Pak Gilang." Fatir pun bangkit dari duduknya dan lelaki itu mengangguk ke arah Rayyan yang memasang wajah dingin seperti biasanya itu untuk berpamitan. "Permisi, Pak Rayyan ...," ucapnya."Silakan!" sahut Rayyan singkat.Setelah Fatir pergi, Gilang menoleh tanpa melihat wajah sang kakak. "Kenapa?" tanyanya tak mau berbasa-basi."Abang senang kamu nggak bawa urusan pribadi kita ke pekerjaan dan masih mau masuk kerja," ujar Rayyan kepada adiknya."Aku bukan anak kecil yang merajuk mainannya diambil," cetus Gilang dengan nada dingin.Rayyan melipat bibirnya. "Kamu masu marah?" Lelaki itu menatap lekat ke arah adik kesayangannya. "Sudahlah, toh, kalian sudah pergi dari rumahku, 'kan? Mana tanpa pamit!" sindir Gilang."Abang bukan nggak mau pamit. Lagian barang-barang kami masih ada di sana. Nanti juga Abang mau jemput Bi Nunung.""Oke, bawa aja semua barang-barang kalian." Gilang masih tidak mau melihat wajah kakaknya. Sungguh, di dalam hatinya kini bercampur perasaan kec
Setelah makan siang di rumah Bobby, Rayyan dan Lestari memutuskan untuk berbelanja berbagai macam furniture untuk mengisi rumah baru mereka. Akan tetapi, keduanya masih memutuskan untuk menginap di rumah Bobby di malam harinya."Kenapa kita nggak nginap di hotel aja sih, Mas? Aku nggak enak sama Mas Bobby," ucap Lestari setelah merebahkan badan ke atas ranjang.Rayyan menyusul ikut merebah di samping wanita cantik itu. "Bawaan kita banyak, jadi nggak leluasa kalau ke hotel. Lagian kita di sini hanya semalam aja. 'Kan, kita sudah sedikit mengisi rumah baru kita tadi," sahut lelaki itu.Lestari menghela napas, kemudian mengangguk memahami. "Besok pagi-pagi ya, Mas, kita pindahnya. Aku nggak mau terlalu lama ngerepotin di rumah ini," pungkas Lestari lagi."Oke," jawab Rayyan singkat.Lestari kemudian beringsut merapatkan tubuhnya pada sang suami. Ia ingin memeluk pria kesayangannya itu demi sedikit meredakan sebak di dada, sebab masih terus terngiang-ngiang dengan ucapan dan tudingan dar
Di tempat yang berbeda, Harun baru saja selesai bertransaksi kepada seorang pemilik toko buah di pasar kota. Ketika pria tua itu hendak kembali menuju parkiran mobil pick-up milik temannya yang mengangkut hasil panen pepaya, tak sengaja matanya menangkap sesosok yang seperti tak asing baginya. Orang itu sedang berbelanja sayur-mayur bersama seorang wanita di sampingnya. Kedua alis Harun bertaut kencang. "Itu ... itu bukannya bapak-bapak yang pernah menabrak Ardi?" bisiknya pada diri sendiri. Setelah meyakinkan diri, Harun melangkahkan kakinya dengan lebih kencang menuju ke arah sana. Tangannya kemudian terulur ke pundak pria yang tengah memilah sayuran tersebut. Kontan saja pria itu menoleh ke arah Harun. "Pak Harun?" ucapnya menyebut nama pria tua itu. Dengan sangat tipis Harun berusaha menarik kedua sudut bibirnya. Jantungnya sedikit berdebar sebab rasa yang membuncah. Ia yakin, pria di hadapannya ini bisa membawanya bertemu kembali dengan cucu menantunya yang selama ini dicari
"Loh? Nyonya mau pergi ke mana? Memangnya sudah dibeli rumah barunya?" Nunung bertanya heran, sebab sang majikan wanita berpamitan dengan beberapa koper yang sudah disiapkan di dekat mereka."Iya, Bi. Sudah beli rumah. Tapi, ini nggak langsung pindah ke rumah itu. Saya dan Tari mau ke tempat teman saya dulu." Jawaban itu justru keluar dari lisan Rayyan, "Bibi sementara di sini dulu. Kalau kami sudah benar-benar pindah ke rumah yang baru, Bibi akan saya jemput," lanjut lelaki itu menjelaskan."O–oh, gitu, Tuan?" Meski masih merasa heran karena kepergian majikannya yang mendadak seperti ini, Nunung hanya bisa menuruti.Lestari memilih diam dari tadi, sebab ia mengikuti suaminya saja. Saat ini, ia hanya ingin segera pergi dari rumah itu."Bi, aku pamit dulu ya ...." Lestari mendekati sang ART, kemudian memeluk wanita tua yang selama ini telah ia anggap seperti ibunya sendiri."I–iya, Nya. Hati-hati di jalan. Nyonya kabari saya kalau sudah sampai di rumah temen Tuan ya! Nyonya juga jangan
Terdengar suara isakan dari Lestari membuat Rayyan seolah baru tersadar. Lelaki itu kemudian berjalan mendekat ke arah tempat duduk istrinya, lalu merangkul pundak wanita itu. "Tari ... kamu ... nggak apa-apa?" 'Ck! Pertanyaan bodoh! Nggak apa-apa gimana? Dia sedih, Gobl0k!' Batin Rayyan memarahi dirinya sendiri sebab mengucapkan pertanyaan yang ia anggap tidak perlu itu. Lestari bangkit berdiri dengan perlahan-lahan. Kakinya terasa begitu lemas rasanya. Ia lalu berjalan pelan dan lunglai menuju ke arah kamarnya. Rayyan bingung dengan apa yang mesti ia lakukan. Lelaki itu hanya bisa mengiringi sang istri menuju ke arah kamar mereka. Sesampainya di dalam kamar. Lestari menuju ke arah ranjangnya dan merebahkan diri sembari kembali menangis di atas bantalnya. Sungguh, ia merasa begitu sedih, sebab telah membuat Gilang sangat kecewa seperti saat ini. Sementara Rayyan, pria itu hanya bisa duduk di pinggir ranjang tersebut dengan kepala yang terasa berdenyut. Ia benar-benar tidak tahu
"Jadi, kamu sudah ingat tentang Tari?" tanya Rayyan tak mau lagi berbasa-basi."Bi, nggak apa-apa, kok. Bibi lanjutin kerjaan Bibi lagi, gih," bisik Lestari lirih ke arah Nunung di sebelahnya."Eeh, i–iya. Baik, Nyonya," sahut Nunung tergagap. Akan tetapi, wanita tua itu tetap menurut. Ia pun berbalik dan melenggang kembali ke teras belakang rumah.Lestari kembali mengarahkan pandangan ke arah Gilang dan juga Rayyan yang tengah berbicara di sana dengan perasaan yang tidak menentu. 'Apa benar, Mas Gilang sudah mengingat tentang kami?' bisik hatinya bertanya-tanya."Yaaah, begitulah. Aku bahkan sudah ingat kata-kata kamu malam itu, Tari." Gilang terus melihat ke arah sang wanita.Lestari mencoba mengingat apa yang pernah ia katakan. "Kata-kataku?" Rayyan ikut menoleh ke arah sang istri dengan sorot penasaran."Ya, kamu ingat di depan Burhan kamu bilang cinta sama Mas, 'kan? Burhan bilang, nggak lama dari berita kematian Mas, kamu memang batal menikah dengan Fadil, si anak kepala desa i
Meski hatinya terasa panas, Rayyan hanya bisa menyunggingkan senyuman dengan terpaksa. Ia tidak mau rasa cemburunya itu tertangkap oleh sang istri. "Mudah-mudahan aja rumah yang ditawarkan ke Bobby kemarin cocok buatku dan Lestari nanti," lirih ucapan Rayyan pada diri sendiri. Ya, tadi Bobby bilang mereka sudah janjian untuk melakukan survey ke sebuah rumah besok. Lokasi rumah tersebut hanya sekitar dua puluh menit dari kantor pusat perusahaan Rayyan ini. Memang harganya cukup tinggi, tetapi kalau cocok, Rayyan tidak mau menunda lagi untuk mengurus kepindahannya. Ia ingin segera memboyong Lestari menjauh dari Gilang. 'Kalau lebih lama lagi aku melihat kebersamaan mereka. Aku bisa gila!' keluh pria itu membatin. *** "Kakak iparku ini mau ke mana? Pagi-pagi udah cantik aja?" sapa Gilang, ketika langkah kakinya baru sampai di ruang makan. Ia hendak bergabung dengan Rayyan dan Lestari yang sudah lebih dulu berada di sana. Mata Gilang melirik sebentar melihat ekspresi sang kakak le
Lima hari belakangan ini, ketika sedang berada di kantor, Rayyan terlihat gusar dan tidak fokus dengan pekerjaannya. Gilang sudah tiga hari ikut ke kantornya dan belajar bekerja di sana. Ia didampingi langsung oleh Bobby. Lelaki itu terlihat serius dalam belajar. "Bos yakin dengan keputusan akan memberikan posisi CEO pada Mas Gilang?" tanya Bobby kepada sang atasan. Mereka kini sedang berada di ruangan presiden direktur, yakni Rayyan sendiri. Pria itu baru saja menyampaikan kepada asisten setianya untuk mengajari Gilang agar ke depan bisa menduduki posisi CEO yang saat ini dirangkap oleh Rayyan sendiri selain ia juga sebagai owner sekaligus presiden direktur di perusahaan itu. Selama ini Rayyan memang cukup sibuk karena jabatan yang dirangkapnya itu. Meskipun demikian, selama ini ia mampu sebab didukung oleh Bobby yang selalu bisa ia andalkan. "Ya, kamu mesti ajari dia yang bener, Bobb. Gilang sebaiknya tidak usah melanjutkan jadi guru lagi. Aku nggak mau dia dihina orang lagi s
Wanita cantik yang kini wajahnya terlihat agak pucat itu mengangguk cepat. Lestari baru sadar kalau tangannya sendiri terasa sangat dingin ketika sang suami meraih dan menggenggamnya saat ini. "Ini jarimu kenapa?" tanya Rayyan ketika melihat dan meraba jari telunjuk tangan kanan Lestari yang dibalut plaster. "Ini, nggak sengaja kena pisau, Mas. Nggak apa-apa, kok! Luka kecil aja." "Kamu lain kali hati-hati," pesan sang suami. Lestari tersenyum kikuk ketika sadar kalau sedari tadi Gilang mencuri-curi pandang ke arahnya. "A–ku siapin makan siang dulu, Mas," ujarnya kepada sang suami seraya berbalik badan dan langsung berjalan ke arah dapur menyusul Nunung. Rayyan menyembunyikan helaan napasnya ketika melihat punggung sang istri yang menjauh. Di dalam hati entah mengapa ia merasa timbul kesedihan. Ia menebak kalau benar, sang istri sepertinya masih menyimpan perasaan kepada adik angkatnya. "Naah, ini diaa! Terima kasih, Bi Nunung yang caeeem ...!" seru Bobby menarik Rayyan kembali