"Maaf ... pasien mesti istirahat. Sebisanya satu orang aja ya yang jaga malam ini," ujar salah seorang perawat setelah memindahkan Lestari ke ruang perawatan VIP sesuai permintaan Rayyan. Ia membenarkan posisi infus yang tergantung di sebuah tiang di samping brankar. Nunung pun berjalan maju mendekat ke brankar sang nyonya. Ia yang ingin menjaga sang nyonya. Akan tetapi– "Bi," panggil Rayyan membuat Nunung menoleh ke arahnya. "Iya, Tuan?" "Bibi pulang. Biar saya yang jaga Tari sekarang," suruh Rayyan kepada sang ART. Nunung mengalihkan pandangan ke arah Lestari dengan sorot mata yang ragu. Ia ingat, tadi setelah makan malam, sang nyonya bertengkar dengan tuannya itu, hingga menyebabkan wanita muda tersebut mengalami pendarahan dan keguguran seperti sekarang. Namun, tentu ia tidak bisa menolak perintah majikannya. Sementara Lestari, ia menolehkan kepala dan pandangannya ke arah lain. Ia malas untuk melihat semua orang di sana. Wanita itu hanya diam, pandangannya kosong ke arah s
Rayyan melihat wajah sang istri yang akhirnya menoleh ke arahnya dengan perasaan yang sangat kacau. Sungguh, ketakutan yang tadi seakan-akan kembali membayanginya saat ini. "Please, Tari ... kamu ja–ngan ti–tinggalin aku ya. A–Aku nggak tahu bakal gimana ka–kalau kamu pergi. Mungkin aku ... aku nggak bakal sanggup! Aku ng–gak pu–punya siapa-siapa lagi selain ka–mu, Tari ...." Rayyan menundukkan kepalanya dan ia benar-benar menangis tersedu sedan di sana. Melihat Rayyan yang selama ini ia kenal sebagai pria yang tegas, gagah, dan keras menangis terisak seperti demikian, seketika saja membuat Lestari merasaaa ... entah. Sungguh, ia tidak tahu apa pikirannya saat ini. Ia tidak pernah menyangka sang pria bisa serapuh ini. 'Benarkah Mas takut kehilangan aku?' bisik hati Lestari seakan tak percaya. Namun, ini nyata. Rayyan terlihat begitu lemah dan kalah kali ini. Mungkin seperti inilah yang pria itu rasakan saat kehilangan Gilang. Ya, Lestari kembali teringat akan pria muda yang per
"Kamu serius?!" tanya Rayyan memastikan kepada bawahannya. "Elaah, Booss. Masak aku bohong? Ngapain juga?" seru Bobby terdengar sebal, "kata pihak rumah sakit, sekitar setengah jam yang lalu mertua Boss sadar," lanjutnya menjelaskan. "Hmm, oke. Ya sudah. Makasih infonya." Klik! Rayyan pun menutup sambungan telepon selulernya. "Mas!" "Hah?" Pria itu terkesiap karena panggilan Lestari. Beberapa detik tadi ia sempat melamun. Entah apa yang ia pikirkan. "Sini, aku mau ngobrol!" seru Lestari memanggil sang suami dari muka pintu kamar. Kemudian lelaki itu pun melenggang menghampiri istri kesayangannya di dalam kamar. Lestari langsung merangkul lengan pria itu dan menyenderkan kepalanya manja. "Mas, boleh nggak aku kasih tanaman bunga di pojok situ?" tanya wanita itu sambil menunjuk sudut ruangan di dekat jendela kaca yang mengarah ke taman samping rumah itu. "Mmm, boleh. Kamu atur aja," jawab Rayyan singkat. "Oke. Aku sebenarnya suka gambar-gambar bunga atau pemandangan dulu. Uda
"Iya, benar, Sayang ...," sahut Rayyan. Kemudian senyum pria itu berubah menjadi lebih hangat ketika melihat kebahagiaan yang teramat besar dari sorot mata sang istri saat ini. Lestari menghambur memeluk dengan begitu erat suaminya. Tanpa terasa air mata pun jatuh dan mengalir begitu saja di kedua pipi wanita muda itu. Keharuan kini melingkupi hatinya. Lestari benar-benar merasa bahagia sekali. Ia sudah tidak sabar ingin kembali bertemu dengan sang ayah tercinta. *** "Ayah! Akhirnya Ayah sadar!" Lestari memeluk tubuh sang ayah yang masih terbaring di atas brankarnya. "Ta–Tari ...," lirih Dinar Abdullah menyebut nama putri semata wayangnya. Air bening pun meleleh dari sudut mata lelaki tua itu. Lestari kemudian mengurai pelukannya. Ia menatap wajah keriput ayahnya yang terlihat masih lemah di sana. Wanita itu menyusut air yang jatuh di pipinya sendiri. Lalu ia juga menghapus air mata di wajah sendu sang ayah. Rayyan melipat bibirnya sembari memasukkan kedua tangan ke dalam s
Lestari terlihat gusar. Ia ingin merawat ayahnya dalam masa pemulihan ini. Akan tetapi, ia tidak yakin ayahnya akan betah di rumah orang lain. Karena ia tahu kalau sang ayah memang kurang suka tinggal jauh dari kampung halamannya sendiri. Mungkin kalau untuk sementara, sekadar berkunjung dan menginap beberapa hari, orang tua itu akan menerima. Namun, berbeda jika dalam waktu yang lama."O–oke, Mas. Nanti ... nanti aku coba tanya ayah dulu. Mudah-mudahan ayah mau tinggal di sini sementara," pungkas wanita itu akhirnya.Rayyan hanya menganggukkan kepala.***"Ayah nggak mau menyusahkan suamimu, Tari," ujar Dinar ketika Lestari menyampaikan maksudnya.Lestari berusaha menarik kedua sudut bibirnya ke atas dengan lebar. "Justru ini Mas Rayyan yang menawarkan, Yah," pungkasnya.Dinar tampak menimbang-nimbang. "Tapi, Ayah nggak enak. Apalagi sekarang keadaan Ayah kayak begini," balas Dinar terlihat sedih. Ia menundukkan pandangan menyadari keadaan dirinya sendiri yang sekarang masih belum bi
"Apa Mas Rayyan memperlakukan kamu dengan baik selama ini?" tanya Dinar lagi. Mendengar pertanyaan sang ayah, sebenarnya Lestari heran. Apalagi raut wajah ayahnya tampak serius di sana. "Tentu, Yah. Tari bahagia menikah dengan Mas Rayyan. Dia baik sama Tari. Dia juga perhatian sama keluarga kita," jawab wanita muda itu sembari menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Dinar menatap putrinya dengan begitu lekat. Ia ingin melihat sorot mata itu lebih dalam. Sejurus kemudian, lelaki itu pun berkata, "Syukurlah kalau gitu, Nak. Ayah ikut senang kalau kamu bahagia dalam pernikahanmu ini. Memang itu yang Ayah harapkan." Kedua alis Lestari bertautan. Ia merasa sang ayah tampak berbeda semenjak sadar dari komanya. Dinar terlihat lebih pendiam dibandingkan sebelum kejadian kecelakaannya dulu. "Ayah nggak usah khawatir sama Tari lagi. In syaa Allah Tari udah bahagia hidup sama Mas Rayyan sekarang. Mas Rayyan mencintai Tari, dan Tari pun begitu," pungkas wanita muda itu meyakinkan ayahnya.
"Tap–Tapi tanah itu, 'kan ... udah sepenuhnya milik Mas," kilah Lestari kepada sang suami. Sungguh ia tidak mengerti, apa benar sang suami menyerahkan tanah itu kembali kepada keluarganya begitu saja? "Ya, aku kasih lagi ke kalian," jawab Rayyan santai sembari memasukkan kemeja kotor yang baru dilepasnya ke dalam keranjang di depan kamar mandi. "Mas, tu–unggu!" Tari menangkap pergelangan tangan sang suami, mencegah lelaki itu berjalan maju ke menuju kamar mandi. Rayyan pun menoleh ke arah wajah sang istri yang tampak resah di sana. Ia paham apa yang dipikirkan istrinya. Ia tahu, Lestari bukanlah wanita yang serakah akan harta. Pria itu lalu menarik sebelah sudut bibirnya. "Kamu mau ikut mandi?" "Hah?" Lestari terperangah mendengar pertanyaan suaminya. "Ayo!" ajak pria itu sembari tiba-tiba menarik tangan sang istri dan ia pun menyeretnya ke dalam kamar mandi. "Ee–eeh, bu–bukan itu mak–maksud aku, Mas!" seru Lestari yang seketika saja merasa panik karena Rayyan telah menutu
"Bukan begitu, Pak Dinar," sahut Rayyan membantah. Dinar menyimak apa yang ingin disampaikan oleh menantu lelakinya itu. "Jadi begini ... rencana saya mau mengolah tanah itu saja, kita tanami. Kita jadikan perkebunan yang nanti hasilnya bisa kita produksi dan pasarkan." "Memangnya mau tanam apa kira-kira, Mas?" tanya Dinar makin penasaran. Lestari diam saja menyimak kedua orang suami dan ayahnya bicara di sana. "Menurut saya, saat ini market coklat selalu bagus. Begitu juga kopi. Selama ini perusahaan saya mengambil suply dari orang lain. Jadi, ada baiknya kalau saya juga memiliki perkebunan sendiri. Tentu lebih menguntungkan," lanjut Rayyan menjelaskan. Dinar tampak berpikir, sedetik kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. "Perusahaan Mas juga memproduksi coklat?" sela Lestari. Selama ini ia tidak terlalu memahami usaha apa saja yang dijalani suaminya. Yang ia tahu, di kota ini sang suami mengurus produksi kertas dan buku, juga beberapa kali ia mendengar tentang perkembang
"Oh, iya. Baik, Pak Gilang." Fatir pun bangkit dari duduknya dan lelaki itu mengangguk ke arah Rayyan yang memasang wajah dingin seperti biasanya itu untuk berpamitan. "Permisi, Pak Rayyan ...," ucapnya."Silakan!" sahut Rayyan singkat.Setelah Fatir pergi, Gilang menoleh tanpa melihat wajah sang kakak. "Kenapa?" tanyanya tak mau berbasa-basi."Abang senang kamu nggak bawa urusan pribadi kita ke pekerjaan dan masih mau masuk kerja," ujar Rayyan kepada adiknya."Aku bukan anak kecil yang merajuk mainannya diambil," cetus Gilang dengan nada dingin.Rayyan melipat bibirnya. "Kamu masu marah?" Lelaki itu menatap lekat ke arah adik kesayangannya. "Sudahlah, toh, kalian sudah pergi dari rumahku, 'kan? Mana tanpa pamit!" sindir Gilang."Abang bukan nggak mau pamit. Lagian barang-barang kami masih ada di sana. Nanti juga Abang mau jemput Bi Nunung.""Oke, bawa aja semua barang-barang kalian." Gilang masih tidak mau melihat wajah kakaknya. Sungguh, di dalam hatinya kini bercampur perasaan kec
Setelah makan siang di rumah Bobby, Rayyan dan Lestari memutuskan untuk berbelanja berbagai macam furniture untuk mengisi rumah baru mereka. Akan tetapi, keduanya masih memutuskan untuk menginap di rumah Bobby di malam harinya."Kenapa kita nggak nginap di hotel aja sih, Mas? Aku nggak enak sama Mas Bobby," ucap Lestari setelah merebahkan badan ke atas ranjang.Rayyan menyusul ikut merebah di samping wanita cantik itu. "Bawaan kita banyak, jadi nggak leluasa kalau ke hotel. Lagian kita di sini hanya semalam aja. 'Kan, kita sudah sedikit mengisi rumah baru kita tadi," sahut lelaki itu.Lestari menghela napas, kemudian mengangguk memahami. "Besok pagi-pagi ya, Mas, kita pindahnya. Aku nggak mau terlalu lama ngerepotin di rumah ini," pungkas Lestari lagi."Oke," jawab Rayyan singkat.Lestari kemudian beringsut merapatkan tubuhnya pada sang suami. Ia ingin memeluk pria kesayangannya itu demi sedikit meredakan sebak di dada, sebab masih terus terngiang-ngiang dengan ucapan dan tudingan dar
Di tempat yang berbeda, Harun baru saja selesai bertransaksi kepada seorang pemilik toko buah di pasar kota. Ketika pria tua itu hendak kembali menuju parkiran mobil pick-up milik temannya yang mengangkut hasil panen pepaya, tak sengaja matanya menangkap sesosok yang seperti tak asing baginya. Orang itu sedang berbelanja sayur-mayur bersama seorang wanita di sampingnya. Kedua alis Harun bertaut kencang. "Itu ... itu bukannya bapak-bapak yang pernah menabrak Ardi?" bisiknya pada diri sendiri. Setelah meyakinkan diri, Harun melangkahkan kakinya dengan lebih kencang menuju ke arah sana. Tangannya kemudian terulur ke pundak pria yang tengah memilah sayuran tersebut. Kontan saja pria itu menoleh ke arah Harun. "Pak Harun?" ucapnya menyebut nama pria tua itu. Dengan sangat tipis Harun berusaha menarik kedua sudut bibirnya. Jantungnya sedikit berdebar sebab rasa yang membuncah. Ia yakin, pria di hadapannya ini bisa membawanya bertemu kembali dengan cucu menantunya yang selama ini dicari
"Loh? Nyonya mau pergi ke mana? Memangnya sudah dibeli rumah barunya?" Nunung bertanya heran, sebab sang majikan wanita berpamitan dengan beberapa koper yang sudah disiapkan di dekat mereka."Iya, Bi. Sudah beli rumah. Tapi, ini nggak langsung pindah ke rumah itu. Saya dan Tari mau ke tempat teman saya dulu." Jawaban itu justru keluar dari lisan Rayyan, "Bibi sementara di sini dulu. Kalau kami sudah benar-benar pindah ke rumah yang baru, Bibi akan saya jemput," lanjut lelaki itu menjelaskan."O–oh, gitu, Tuan?" Meski masih merasa heran karena kepergian majikannya yang mendadak seperti ini, Nunung hanya bisa menuruti.Lestari memilih diam dari tadi, sebab ia mengikuti suaminya saja. Saat ini, ia hanya ingin segera pergi dari rumah itu."Bi, aku pamit dulu ya ...." Lestari mendekati sang ART, kemudian memeluk wanita tua yang selama ini telah ia anggap seperti ibunya sendiri."I–iya, Nya. Hati-hati di jalan. Nyonya kabari saya kalau sudah sampai di rumah temen Tuan ya! Nyonya juga jangan
Terdengar suara isakan dari Lestari membuat Rayyan seolah baru tersadar. Lelaki itu kemudian berjalan mendekat ke arah tempat duduk istrinya, lalu merangkul pundak wanita itu. "Tari ... kamu ... nggak apa-apa?" 'Ck! Pertanyaan bodoh! Nggak apa-apa gimana? Dia sedih, Gobl0k!' Batin Rayyan memarahi dirinya sendiri sebab mengucapkan pertanyaan yang ia anggap tidak perlu itu. Lestari bangkit berdiri dengan perlahan-lahan. Kakinya terasa begitu lemas rasanya. Ia lalu berjalan pelan dan lunglai menuju ke arah kamarnya. Rayyan bingung dengan apa yang mesti ia lakukan. Lelaki itu hanya bisa mengiringi sang istri menuju ke arah kamar mereka. Sesampainya di dalam kamar. Lestari menuju ke arah ranjangnya dan merebahkan diri sembari kembali menangis di atas bantalnya. Sungguh, ia merasa begitu sedih, sebab telah membuat Gilang sangat kecewa seperti saat ini. Sementara Rayyan, pria itu hanya bisa duduk di pinggir ranjang tersebut dengan kepala yang terasa berdenyut. Ia benar-benar tidak tahu
"Jadi, kamu sudah ingat tentang Tari?" tanya Rayyan tak mau lagi berbasa-basi."Bi, nggak apa-apa, kok. Bibi lanjutin kerjaan Bibi lagi, gih," bisik Lestari lirih ke arah Nunung di sebelahnya."Eeh, i–iya. Baik, Nyonya," sahut Nunung tergagap. Akan tetapi, wanita tua itu tetap menurut. Ia pun berbalik dan melenggang kembali ke teras belakang rumah.Lestari kembali mengarahkan pandangan ke arah Gilang dan juga Rayyan yang tengah berbicara di sana dengan perasaan yang tidak menentu. 'Apa benar, Mas Gilang sudah mengingat tentang kami?' bisik hatinya bertanya-tanya."Yaaah, begitulah. Aku bahkan sudah ingat kata-kata kamu malam itu, Tari." Gilang terus melihat ke arah sang wanita.Lestari mencoba mengingat apa yang pernah ia katakan. "Kata-kataku?" Rayyan ikut menoleh ke arah sang istri dengan sorot penasaran."Ya, kamu ingat di depan Burhan kamu bilang cinta sama Mas, 'kan? Burhan bilang, nggak lama dari berita kematian Mas, kamu memang batal menikah dengan Fadil, si anak kepala desa i
Meski hatinya terasa panas, Rayyan hanya bisa menyunggingkan senyuman dengan terpaksa. Ia tidak mau rasa cemburunya itu tertangkap oleh sang istri. "Mudah-mudahan aja rumah yang ditawarkan ke Bobby kemarin cocok buatku dan Lestari nanti," lirih ucapan Rayyan pada diri sendiri. Ya, tadi Bobby bilang mereka sudah janjian untuk melakukan survey ke sebuah rumah besok. Lokasi rumah tersebut hanya sekitar dua puluh menit dari kantor pusat perusahaan Rayyan ini. Memang harganya cukup tinggi, tetapi kalau cocok, Rayyan tidak mau menunda lagi untuk mengurus kepindahannya. Ia ingin segera memboyong Lestari menjauh dari Gilang. 'Kalau lebih lama lagi aku melihat kebersamaan mereka. Aku bisa gila!' keluh pria itu membatin. *** "Kakak iparku ini mau ke mana? Pagi-pagi udah cantik aja?" sapa Gilang, ketika langkah kakinya baru sampai di ruang makan. Ia hendak bergabung dengan Rayyan dan Lestari yang sudah lebih dulu berada di sana. Mata Gilang melirik sebentar melihat ekspresi sang kakak le
Lima hari belakangan ini, ketika sedang berada di kantor, Rayyan terlihat gusar dan tidak fokus dengan pekerjaannya. Gilang sudah tiga hari ikut ke kantornya dan belajar bekerja di sana. Ia didampingi langsung oleh Bobby. Lelaki itu terlihat serius dalam belajar. "Bos yakin dengan keputusan akan memberikan posisi CEO pada Mas Gilang?" tanya Bobby kepada sang atasan. Mereka kini sedang berada di ruangan presiden direktur, yakni Rayyan sendiri. Pria itu baru saja menyampaikan kepada asisten setianya untuk mengajari Gilang agar ke depan bisa menduduki posisi CEO yang saat ini dirangkap oleh Rayyan sendiri selain ia juga sebagai owner sekaligus presiden direktur di perusahaan itu. Selama ini Rayyan memang cukup sibuk karena jabatan yang dirangkapnya itu. Meskipun demikian, selama ini ia mampu sebab didukung oleh Bobby yang selalu bisa ia andalkan. "Ya, kamu mesti ajari dia yang bener, Bobb. Gilang sebaiknya tidak usah melanjutkan jadi guru lagi. Aku nggak mau dia dihina orang lagi s
Wanita cantik yang kini wajahnya terlihat agak pucat itu mengangguk cepat. Lestari baru sadar kalau tangannya sendiri terasa sangat dingin ketika sang suami meraih dan menggenggamnya saat ini. "Ini jarimu kenapa?" tanya Rayyan ketika melihat dan meraba jari telunjuk tangan kanan Lestari yang dibalut plaster. "Ini, nggak sengaja kena pisau, Mas. Nggak apa-apa, kok! Luka kecil aja." "Kamu lain kali hati-hati," pesan sang suami. Lestari tersenyum kikuk ketika sadar kalau sedari tadi Gilang mencuri-curi pandang ke arahnya. "A–ku siapin makan siang dulu, Mas," ujarnya kepada sang suami seraya berbalik badan dan langsung berjalan ke arah dapur menyusul Nunung. Rayyan menyembunyikan helaan napasnya ketika melihat punggung sang istri yang menjauh. Di dalam hati entah mengapa ia merasa timbul kesedihan. Ia menebak kalau benar, sang istri sepertinya masih menyimpan perasaan kepada adik angkatnya. "Naah, ini diaa! Terima kasih, Bi Nunung yang caeeem ...!" seru Bobby menarik Rayyan kembali