"Bukan begitu, Pak Dinar," sahut Rayyan membantah. Dinar menyimak apa yang ingin disampaikan oleh menantu lelakinya itu. "Jadi begini ... rencana saya mau mengolah tanah itu saja, kita tanami. Kita jadikan perkebunan yang nanti hasilnya bisa kita produksi dan pasarkan." "Memangnya mau tanam apa kira-kira, Mas?" tanya Dinar makin penasaran. Lestari diam saja menyimak kedua orang suami dan ayahnya bicara di sana. "Menurut saya, saat ini market coklat selalu bagus. Begitu juga kopi. Selama ini perusahaan saya mengambil suply dari orang lain. Jadi, ada baiknya kalau saya juga memiliki perkebunan sendiri. Tentu lebih menguntungkan," lanjut Rayyan menjelaskan. Dinar tampak berpikir, sedetik kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. "Perusahaan Mas juga memproduksi coklat?" sela Lestari. Selama ini ia tidak terlalu memahami usaha apa saja yang dijalani suaminya. Yang ia tahu, di kota ini sang suami mengurus produksi kertas dan buku, juga beberapa kali ia mendengar tentang perkembang
Di tempat lain di sebuah desa bernama Desa Mandiri. Lokasi desa ini terhalang dua buah desa lagi dari Desa Harapan. Terlihat seorang pria bertopi coklat yang tengah membersihkan rumput dengan cangkul di perkebunan pepaya milik lelaki tua yang dikenal dengan panggilan Abah Harun. Kemudian pria yang berwajah manis itu sekaligus meninggikan tanah di dekat tiap-tiap akar pohon pepaya tersebut. "Assalamualaikum Bang, makan dulu." Seorang perempuan muda berusia 19 tahun yang baru saja datang memanggil pria itu. Tampak di sebelah tangannya memegang satu set rantang aluminium berisi makanan dan di tangan satunya membawa termos kecil. "Wa alaikumus sallam. Ah, kamu, Dek," sahut pria tersebut sambil menyusut keringat yang mengucur deras dari dahinya. Ia memang tidak pernah sarapan dulu sebelum bekerja. Akan tetapi, apabila sudah pukul sembilanan, sang istri akan membawakan makanan untuknya. Keduanya baru saja dua pekan menikah. Meski sebenarnya sang pria belum merasa cukup siap untuk berum
"Terus sejak kapan, dong, naksirnya?" pancing sang suami sembari membasuh tangan karena sudah selesai makan. "Kira-kira setelah dua atau tiga hari Abang siuman, deh. Soalnya Bang Ardi ngomongnya teratur gitu, kayaknya pinter!" puji Delia, "wajah Abang juga jadi lebih manis setelah lukanya mulai kering." Sang wanita muda kembali terkikik. Ardi pun tertawa mendengar cerita istri kecilnya. *** "Abang berangkat dulu ya, Dek!" pamit Ardi kepada sang istri ketika ia hendak pergi ke kota untuk ketiga kalinya. Ia akan membawa hasil panen buah pepaya ke pasar tradisional di kota bersama Harun. "Iya, Bang. Hati-hati di jalan. Abah juga ya!" seru Delia sambil memberikan bekal air kepada suaminya itu. Matanya bergiliran menatap ke arah Ardi dan juga kakeknya. "Iya, kamu hati-hati di rumah. Nanti kalau kami sudah sampai di pasar, Abah kirim WA," ucap Harun. "Iya, Bah. Jangan lupa kabari Delia nanti. Soalnya Abah suka lupa!" sahut Delia seraya mengerucutkan bibirnya. "Iya iyaaa ...." Sang k
"Ya Allah, maaf! Saya nggak sengaja!" Orang yang menabrak Ardi langsung turun dari mobil dan ia mendekati korbannya. "Kalau nyetir jangan sembarangan, woy, Pak!" Seseorang mendorong bahu sopir mobil yang wajahnya seketika saja menjadi pias. "Kamu gimana, Di? Kaki kananmu kayaknya patah itu!" seru Harun panik sambil merangkul pundak Ardi. "Aakh! Nggak tahu, Bah. Sakiit bangeet!" keluh Ardi terlihat meringis kesakitan. Harun teringat dulu waktu menemukan Ardi di sungai, lelaki muda itu juga dalam keadaan patah tulang. Hanya saja tangan kirinya yang patah. Waktu itu Harun membawa Ardi ke sinse kampung yang tak jauh dari rumahnya saja. Akan tetapi, kali ini ia berada jauh dari desanya. Sopir mobil pick up pengangkut pepayanya tadi berjanji nanti pukul 2 siang baru bisa menjemput kembali dan itu masih cukup lama. "Ayo tolong, angkat ke mobil saya! Biar dibawa ke rumah sakit!" seru sang sopir kendaraan roda empat yang telah menabrak Ardi cemas. "Ah, iya! Tolong angkatkan cucu saya!"
"Mas, Pak Rayyan sudah tahu belum soal masalah ini?" tanya Toni masih dengan raut yang cemas, "saya takut Pak Rayyan marah, Mas ...." "Iya, udah tahu si boss," sahut Bobby masih menatap ke arah lift yang sudah tertutup di sana. Dahinya berkerut kencang sebab berusaha mengingat-ingat di mana ia pernah melihat wajah korban yang ditabrak Toni itu. "Terus gimana, Mas? Pasti Pak Rayyan marah, nih. Nanti saya dipecat lagi." Toni terlihat panik. "Marah ya pasti marahlah, Pak. Bapak nyetir gimana, sih, sampe nabrak orang?" cetus Bobby sebal. Kini ia menoleh ke arah Toni yang terlihat merasa bersalah. "Maklum, pasarnya rame, Mas. Jalanan jadi sempit. Saya nggak sengaja terlalu ke pinggir bawa mobilnya. Lagian trotoar dipake pedagang buat jualan, Mas!" keluh Toni panjang lebar. "Ya udah, Pak. Nanti kita urus orang itu," tukas Bobby malas untuk memperpanjang lagi. Ia hanya kesal, karena masalah yang dibuat Toni ini jadi menambah pekerjaannya saja. "Biaya operasi orang itu gimana, Mas
'Hmm ... Ardi. Kayaknya aku nggak pernah punya teman atau kenalan yang bernama Ardi,' ucap Bobby di dalam hati. Akan tetapi, tetap saja ia merasa heran. Sebab sepertinya ia benar-benar familiar dengan wajah pria yang ditabrak oleh Toni itu.Tiba-tiba terdengar suara dering ponsel Bobby. Pria itu pun segera menyambutnya. "Hallo, Boss?""Bob, gimana? Belum selesai kamu ngurus orang itu?" Ternyata yang menelepon adalah Rayyan."Orangnya masih dioperasi, Boss," jawab Bobby apa adanya.Toni dan sang putri hanya melihat ke arah Bobby yang tengah bercakap dengan atasannya itu. Mereka juga sedang menunggui sang korban yang kini tengah ditangani dokter."Ngapain kamu nunggu di situ? Nanti aja balik lagi. Kerjaanmu masih banyak di sini!" cetus Rayyan terdengar sebal.'Ya elaah si boss ini. Nggak bisa liat orang lagi seneng deket cewek cantik,' gerutu Bobby di dalam hati. Matanya melirik ke arah Windi. "Okelah, Boss. Aku meluncur ke sana sekarang."Rayyan langsung memutus panggilan dari seberang
Rayyan mengernyitkan dahinya dengan kencang. "Dia mirip sekali dengan ini, Boss!" seru Bobby lagi sambil menunjuk foto yang ada di tangannya kini. Rayyan kemudian bangkit, lantas mendekat ke arah Bobby. Ia langsung merampas frame tersebut dan meletakkan benda itu kembali ke atas rak di sana. "Muka orang mirip ya wajar. Muka kamu aja pasaran gitu," ujar pria itu cuek. "Ya Allah, Boss. Beneran ini, mirip bangettt!" cetus Bobby dengan wajah serius. Rayyan menoleh kembali ke arah Bobby. Kini ia terdiam di tempatnya berdiri. 'Si Bobby kelihatan serius sekali. Tapi, apa mungkin itu benar Gilang?' Hatinya bertanya-tanya. "Emang kulitnya keliatan lebih gelap, sihq. Tapi, itu kayak sering terpapar matahari, doang. Tapi, aku yakin banget itu orang mirip sekali sama Mas Gilang," lanjut Bobby dengan penjelasannya, "kalau emang mirip tapi bukan kembar, nggak mungkin juga plek ketiplek begitu, Boss. Lagian mayat Mas Gilang 'kan, hilang dan nggak pernah diketemukan sampai sekarang. Iya, 'kan?"
"Bener, 'kan, Boss? Mirip banget!" bisik Bobby di dekat telinga sang presiden direktur. Kedua mata Bobby kemudian mencari-cari sosok Windi, tetapi gadis manis itu ternyata tidak ada di ruangan itu. 'Mana si manis tadi? Udah pulang apa yak?' tanyanya membatin. 'Aku tak percaya ini. Benarkah dia Gilang ...?' bisik hati Rayyan merasa tak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini. Toni heran melihat gelagat aneh boss besar di perusahaan tempatnya bekerja itu. Ia segera bangkit dari duduknya. Begitu juga Ardi. Bibir pria itu tadinya tersenyum. Namun, sontak saja Ardi menurunkan kedua sudut bibirnya. Ia juga merasa heran sekaligus bingung dengan tatapan aneh dari mata orang asing yang baru saja masuk itu ke arahnya. 'Kenapa orang itu melihatku seperti itu?' tanyanya membatin. "Ekhem, Mas Ardi, perkenalkan, ini ... presiden direktur kami. Pak Rayyan Yudistira," ucap Toni memperkenalkan Rayyan kepada Ardi. Lelaki 40 tahunan itu bergerak maju beberapa langkah ke arah brankar Ardi. Ia meras