"Be–benar, 'kan, apa yang aku bilang, Boss!" seru Bobby tiba-tiba. Perasaannya menjadi gugup sendiri. Dirinya juga sebenarnya tidak menyangka, kemungkinan besar tebakannya benar. Di hadapan mereka saat ini tak lain adalah Gilang yang selama ini disangka telah tewas. Ardi menoleh ke arah Bobby. Begitu juga Rayyan dan juga Toni. "Ada apa ini, Mas Bobby? Mas Bobby bilang apa memangnya?" tanya Toni merasa bingung dan penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi pada semua orang di ruang tersebut. Pria itu tidak terlalu mengenal sosok Gilang, sebab ia lebih sering mobile ke sana kemari karena urusan kantor. Dirinya jarang dan mungkin hampir tidak pernah bertemu dengan Gilang. Rayyan masih terdiam di sana. Ia benar-benar merasa shock dengan apa yang Ardi sampaikan saat ini. "Mmm ... kalau Mas sendiri siapa? Mas kenal dengan saya juga?" tanya Ardi kepada Bobby. Kedua alisnya bertautan dengan kencang. Bobby kembali menoleh ke arah sang atasan sekali lagi. "Boss," panggilnya. Ia merasa k
Di Desa Mandiri ...."Assalamualaikum!" ucap Harun ketika masuk ke dalam rumahnya. Pria tua itu sampai ketika hari sudah gelap, tepatnya pukul 20.15 WIB.Terdengar jawaban salam dari bagian kamar Delia dan suaminya. Wanita muda itu gegas berlari kecil menghampiri. Meski baru seharian, ia sudah merasa rindu kepada sang suami. Akan tetapi, senyumnya yang tadi terkembang pun tiba-tiba meredup. "Loh, Bah? Kok, Abah sendirian? Bang Ardi mana?" tanyanya kepada Harun sambil celingak-celinguk ke arah pintu yang sudah ditutup rapat dan dikunci oleh sang kakek.Harun berjalan terus dan langsung menuju ke ruang dapur sekaligus ruang makan mereka tanpa menjawab. Delia mengekori kakeknya dengan perasaan yang penuh tanda tanya. Hal itu karena hari ini Harun pulang agak terlambat. Biasanya jika seusai dari kota, tak lama setelah waktu magrib tiba, Harun bakalan sudah sampai di rumah. Namun, berbeda dengan hari ini, lelaki tua itu terlambat lebih dari satu jam lamanya. Tadi di perjalanan, Harun ha
Sepulang dari masjid untuk beribadah shalat subuh, Harun menuju ke dalam kamarnya untuk bersiap-siap berangkat ke kota. Delia juga sudah menyiapkan bekal untuk mereka sarapan di jalan nantinya. Wanita itu menghampiri sang kakek ke dalam kamarnya yang terbuka. "Abah udah ngomong ke Pak RT?" tanyanya to the point. "Udah. Tapi, Pak RT nggak bisa. Dia mesti ke rumah keluarganya, mau ada acara hajatan keluarga. Jadi, Abah minta tolong ke si Ujang. Ini kita langsung turun," jawab Harun sambil mengganti baju kokonya dengan kemeja. "Loh, kok, ke Kang Ujang?" Delia merasa heran. Mestinya Harun meminta tolong ke orang yang punya kendaraan roda empat. Sementara Ujang hanya punya motor. Begitu pikirnya. "Ujang rupanya baru beli mobil bekas buat dia usaha." "Oh, gitu." Delia pun mengangguk. Ia baru tahu tentang hal itu. "Kamu udah siap?" Harun menaikkan alisnya ke arah sang cucu. Lelaki itu sudah siap akan berangkat. "Udah, Bah. Makanan buat sarapan juga udah aku siapin. Sekarang biar aku m
"Bob, nanti kamu belikan HP buat Gilang biar dia bisa hubungi siapa? Abah Harun ya namanya, Lang?" Rayyan menoleh ke arah sang adik yang duduk di sampingnya di bagian belakang mobil yang mereka kendarai sekarang. Ia memastikan nama orang yang telah menolong Gilang selama ini. Saat ini mereka semua berencana untuk membawa Gilang ke rumah sakit yang direkomendasikan oleh Bobby. Yakni seorang dokter kenalan Rayyan sendiri. "Ah, iya, Mas. Abah Harun, namanya," sahut Gilang sembari tersenyum canggung. Di dalam kepala pria itu ada sesuatu yang ia pikirkan saat ini. "Oke, Boss," balas Bobby yang duduk di sebelah Toni, sang sopir atas perintah dari boss besarnya. "Abang," ujar Rayyan menoleh ke arah adiknya. Hal itu membuat Gilang terlihat bingung, "kamu biasanya manggil saya, Abang," lanjut Rayyan menjelaskan maksudnya. "Oh, oke, Bang." Gilang baru paham mengapa tiba-tiba Rayyan berkata 'abang' tadi. Rayyan menarik kedua sudut bibirnya ke atas dengan lebar. "Nanti boleh kamu carikan ju
"Yang saya bawa kemari untuk melanjutkan perawatan itu, Gilang," lanjut Rayyan menyampaikan kepada sang dokter. "Apa? Saya ... saya nggak paham maksudnya, Pak Ray?" Sang dokter berusaha mencerna apa yang Rayyan maksudkan. Sebelumnya ia hanya diberitahu oleh Rayyan, kalau ia ingin membawa seseorang yang menderita patah kaki untuk dirawat setelah dioperasi di rumah sakit lain, tetapi tanpa persiapan rujukan, sebab semuanya serba terburu-buru. Oleh karena, sang dokter pernah berutang budi kepada Rayyan di masa lampau, maka ia tentu saja langsung menyambut untuk membantu. "Iya, Dok. Selama ini 'kan, jenazah adik saya nggak pernah ditemukan. Ternyata dia masih hidup sampai sekarang. Sopir kantor saya nggak sengaja menabraknya di area pasar. Dan ternyata lagi, Gilang selama ini terkena amnesia. Makanya dia nggak kembali ke rumah kami." Sang dokter tampak terperangah di sana. Ia seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja diceritakan oleh Rayyan. Hal itu terdengar seperti cerita fiksi.
"Jangan nangis terus, Delia. Abah yakin, nanti juga Ardi bakal kasih kabar ke kita ...," bujuk Harun kepada sang cucu. Meski dirinya juga cemas, tetapi pria tua itu berusaha untuk terlihat tenang. Setiap kali Delia berbicara dengan kakeknya, ia kembali mengungkit tentang hilangnya Ardi. Ini sudah hari kedua semenjak ia ke rumah sakit dan mendapati Ardi telah pergi. Dan sampai hari ini pun sang suami belum ada kabar sama sekali. "Abah kenapa sih, sampe nggak ingat mesti minta nomor hape orang yang nabrak Bang Ardi. Kalau mereka punya niat jahat gimana, Bah?" kesal Delia. Wajah cantiknya telah bersimbah air mata. Kedua kelopak matanya terlihat membengkak karena terlalu sering menangis dari hari kemarin. "Iya, Abah lupa. Abah minta maaf," ucap Harun dengan raut menyesal. "Aku nggak bisa tenang sampe Bang Ardi pulang ke rumah dengan keadaan baik-baik aja. Aku ... aku takut terjadi apa-apa di luar sana." Air mata Delia menganak sungai. Hal itu membuat Harun semakin merasa bersalah
Harun tampak menarik napas panjang dan mengembuskan udaranya perlahan. Ia mengerti dengan apa yang Delia rasakan. Akan tetapi, ia juga mewajarkan apa yang disampaikan oleh sang cucu menantu. Memang saat ini, ia harusnya disibukkan dengan proses panen buah di kebun dan mendistribusikannya. Akan tetapi, karena kejadian kecelakaan Ardi, makanya pekerjaannya pun menjadi tertunda. Namun, sekali lagi. Meskipun demikian, Harun sebenarnya tidak masalah jika mesti menunda pekerjaan jika sekadar sehari atau dua hari saja. Ia bisa minta pengertian para pelanggan, sebab hal ini juga merupakan sesuatu yang bersifat insidentil. Hening .... Gilang diam di seberang sana. Itu membuat Delia tersadar. Ia merasa sang suami mungkin marah kepadanya saat ini, sebab dirinya telah membantah. Selama ini, kadang memang wanita cantik itu masih biasa membantah apa yang dikatakan suaminya. Mungkin karena usianya yang masih sangat muda. "Mmm, Bang ...," panggil wanita muda itu kepada suaminya. Gilang masi
Sepekan telah berlalu semenjak Gilang dipindah rawat di rumah sakit pimpinan dr. Haryanto. Pria itu sudah dua hari rawat jalan. Gilang sudah dibolehkan pulang, tetapi mesti tetap rutin check-up dan melakukan terapi di rumah sakit tersebut. Oleh karena itu, Rayyan menyewa sebuah apartemen kecil tak jauh dari sana. "Iya, Bob, perkembangannya bagus kalau gitu. Kamu pastiin Gilang aman dan nyaman. Dia butuh apa, kasih aja ya," ujar Rayyan kepada Bobby di saluran telepon. "Mas!" Deg! Jantung Rayyan seakan berhenti mendadak karena mendengar suara sang istri yang tiba-tiba mendekat. Lelaki yang baru saja mandi pagi itu refleks berbalik badan menghadap wanita kesayangannya itu. Wajahnya kontan terlihat sedikit panik, ia khawatir kalau Lestari mendengar dirinya tadi menyebut nama Gilang. "Hmm, kenapa, Mas?" Lestari menyadari keanehan dari ekspresi sang suami. "E–eh, nggak apa-apa," jawab Rayyan kaku, "Bob, udah ya! Saya mau siap-siap dulu." Rayyan langsung menutup sambungan telepon