"Bob, nanti kamu belikan HP buat Gilang biar dia bisa hubungi siapa? Abah Harun ya namanya, Lang?" Rayyan menoleh ke arah sang adik yang duduk di sampingnya di bagian belakang mobil yang mereka kendarai sekarang. Ia memastikan nama orang yang telah menolong Gilang selama ini. Saat ini mereka semua berencana untuk membawa Gilang ke rumah sakit yang direkomendasikan oleh Bobby. Yakni seorang dokter kenalan Rayyan sendiri. "Ah, iya, Mas. Abah Harun, namanya," sahut Gilang sembari tersenyum canggung. Di dalam kepala pria itu ada sesuatu yang ia pikirkan saat ini. "Oke, Boss," balas Bobby yang duduk di sebelah Toni, sang sopir atas perintah dari boss besarnya. "Abang," ujar Rayyan menoleh ke arah adiknya. Hal itu membuat Gilang terlihat bingung, "kamu biasanya manggil saya, Abang," lanjut Rayyan menjelaskan maksudnya. "Oh, oke, Bang." Gilang baru paham mengapa tiba-tiba Rayyan berkata 'abang' tadi. Rayyan menarik kedua sudut bibirnya ke atas dengan lebar. "Nanti boleh kamu carikan ju
"Yang saya bawa kemari untuk melanjutkan perawatan itu, Gilang," lanjut Rayyan menyampaikan kepada sang dokter. "Apa? Saya ... saya nggak paham maksudnya, Pak Ray?" Sang dokter berusaha mencerna apa yang Rayyan maksudkan. Sebelumnya ia hanya diberitahu oleh Rayyan, kalau ia ingin membawa seseorang yang menderita patah kaki untuk dirawat setelah dioperasi di rumah sakit lain, tetapi tanpa persiapan rujukan, sebab semuanya serba terburu-buru. Oleh karena, sang dokter pernah berutang budi kepada Rayyan di masa lampau, maka ia tentu saja langsung menyambut untuk membantu. "Iya, Dok. Selama ini 'kan, jenazah adik saya nggak pernah ditemukan. Ternyata dia masih hidup sampai sekarang. Sopir kantor saya nggak sengaja menabraknya di area pasar. Dan ternyata lagi, Gilang selama ini terkena amnesia. Makanya dia nggak kembali ke rumah kami." Sang dokter tampak terperangah di sana. Ia seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja diceritakan oleh Rayyan. Hal itu terdengar seperti cerita fiksi.
"Jangan nangis terus, Delia. Abah yakin, nanti juga Ardi bakal kasih kabar ke kita ...," bujuk Harun kepada sang cucu. Meski dirinya juga cemas, tetapi pria tua itu berusaha untuk terlihat tenang. Setiap kali Delia berbicara dengan kakeknya, ia kembali mengungkit tentang hilangnya Ardi. Ini sudah hari kedua semenjak ia ke rumah sakit dan mendapati Ardi telah pergi. Dan sampai hari ini pun sang suami belum ada kabar sama sekali. "Abah kenapa sih, sampe nggak ingat mesti minta nomor hape orang yang nabrak Bang Ardi. Kalau mereka punya niat jahat gimana, Bah?" kesal Delia. Wajah cantiknya telah bersimbah air mata. Kedua kelopak matanya terlihat membengkak karena terlalu sering menangis dari hari kemarin. "Iya, Abah lupa. Abah minta maaf," ucap Harun dengan raut menyesal. "Aku nggak bisa tenang sampe Bang Ardi pulang ke rumah dengan keadaan baik-baik aja. Aku ... aku takut terjadi apa-apa di luar sana." Air mata Delia menganak sungai. Hal itu membuat Harun semakin merasa bersalah
Harun tampak menarik napas panjang dan mengembuskan udaranya perlahan. Ia mengerti dengan apa yang Delia rasakan. Akan tetapi, ia juga mewajarkan apa yang disampaikan oleh sang cucu menantu. Memang saat ini, ia harusnya disibukkan dengan proses panen buah di kebun dan mendistribusikannya. Akan tetapi, karena kejadian kecelakaan Ardi, makanya pekerjaannya pun menjadi tertunda. Namun, sekali lagi. Meskipun demikian, Harun sebenarnya tidak masalah jika mesti menunda pekerjaan jika sekadar sehari atau dua hari saja. Ia bisa minta pengertian para pelanggan, sebab hal ini juga merupakan sesuatu yang bersifat insidentil. Hening .... Gilang diam di seberang sana. Itu membuat Delia tersadar. Ia merasa sang suami mungkin marah kepadanya saat ini, sebab dirinya telah membantah. Selama ini, kadang memang wanita cantik itu masih biasa membantah apa yang dikatakan suaminya. Mungkin karena usianya yang masih sangat muda. "Mmm, Bang ...," panggil wanita muda itu kepada suaminya. Gilang masi
Sepekan telah berlalu semenjak Gilang dipindah rawat di rumah sakit pimpinan dr. Haryanto. Pria itu sudah dua hari rawat jalan. Gilang sudah dibolehkan pulang, tetapi mesti tetap rutin check-up dan melakukan terapi di rumah sakit tersebut. Oleh karena itu, Rayyan menyewa sebuah apartemen kecil tak jauh dari sana. "Iya, Bob, perkembangannya bagus kalau gitu. Kamu pastiin Gilang aman dan nyaman. Dia butuh apa, kasih aja ya," ujar Rayyan kepada Bobby di saluran telepon. "Mas!" Deg! Jantung Rayyan seakan berhenti mendadak karena mendengar suara sang istri yang tiba-tiba mendekat. Lelaki yang baru saja mandi pagi itu refleks berbalik badan menghadap wanita kesayangannya itu. Wajahnya kontan terlihat sedikit panik, ia khawatir kalau Lestari mendengar dirinya tadi menyebut nama Gilang. "Hmm, kenapa, Mas?" Lestari menyadari keanehan dari ekspresi sang suami. "E–eh, nggak apa-apa," jawab Rayyan kaku, "Bob, udah ya! Saya mau siap-siap dulu." Rayyan langsung menutup sambungan telepon
Setelah sarapan bersama istri dan juga mertua, Rayyan pun pamit untuk berangkat kerja. Akan tetapi, ia justru menuju ke apartemen sewaannya yang kini ditempati oleh sang adik angkat. Tiga hari ini ia sibuk di kantor, sehingga urusan Gilang, ia serahkan sepenuhnya kepada Bobby. "Gimana keadaan kamu, Lang?" tanya Rayyan kepada adik kesayangannya. Lelaki itu mendaratkan bobotnya ke atas sofa di ruang tamu sekaligus ruang tengah apartemen tersebut. "Alhamdulillah baik, Bang. Abang gimana juga kabarnya? Sibuk ya beberapa hari ini?" Balik Gilang yang bertanya. "Ya, lumayan. Kamu kalau butuh apa-apa bilang aja sama Bobby ya, Lang. Jangan malu-malu." Gilang mengukir senyuman dan sedikit menunduk. 'Aku ternyata punya abang pengusaha kaya seperti ini. Di desa aku capek kerja di kebun. Jomplang sekali keadaan kami,' ujarnya dalam hati merasa miris. "Mas Bobby bilang, aku sebenarnya mengajar di Desa Harapan namanya. Aku guru honor di sebuah SMP. Benar itu, Bang?" Rayyan menaikkan ke
"Bang, gimana? Masak belum boleh pulang juga sama dokternya? Ini udah lebih dari seminggu, loh! Aku udah nggak sabar lagi buat ketemu Abang. Aku kangeeeen ...," rajuk Delia kepada Gilang. "Iya, Dek. Sabar dulu. Mudah-mudahan nggak lama lagi Abang dibolehin pulang. Adek mesti sabar .... Lagian, 'kan, kita bisa teleponan tiap hari," bujuk Gilang. Pria itu berbohong kepada sang istri. Entah mengapa pria itu masih saja menutupi kenyataan kalau dirinya sudah bertemu dengan keluarganya sendiri. Gilang memang selama ini merasa sedikit tertekan semenjak orang-orang menuntutnya untuk menikahi Delia. Padahal ia sama sekali tidak mencintai perempuan itu. Memang ... Gilang merasa sayang kepada Delia. Akan tetapi, sebenarnya hanya sebatas teman, atau hanya sebagai adik saja. Meskipun ia tidak memungkiri kalau Delia merupakan perempuan yang cantik, tetapi ia merasa terlalu terburu-buru untuk mereka memutuskan menikah, di mana dirinya masih belum mengingat siapa sebenarnya keluarganya, bahkan
Pertanyaan Rayyan sengaja ingin memancing. Entah mengapa, dalam hati pria itu menginginkan kalau Gilang jatuh cinta dengan perempuan lain saja. Biar adiknya itu benar-benar melupakan cintanya pada sang istri. "Ahahahaa ...." Rayyan tertawa sumbang. "Entahlah, Bang. Aku ... belum ada tertarik sama perempuan, sih. Entahlah ...." "Kata kamu Delia cantik?" "Yaaa, dia memang cantik. Cuma menurutku dia masih terlalu kecil, Bang." "Kamu suka yang usia berapa memang?" Rayyan menahan-nahan napasnya. Entah mengapa hatinya merasa gusar. Padahal dirinya sendiri yang terus memancing Gilang. Gilang menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kemudian lelaki itu mencebik dan menaikkan alisnya. "Mungkin yang 21 sampai 25 tahun itu lebih pas. Aku juga hampir 30 tahun, 'kan, kata Abang." Pria itu teringat Rayyan yang pernah menyebutkan umurnya yang hampir 29 tahun. "Sebelum tahu umurku yang sebenarnya pun jujur aja ... aku memang ngerasa udah di atas seperempat abad. Hahahahaaa! Ternyata benar ...." M
"Loh? Nyonya mau pergi ke mana? Memangnya sudah dibeli rumah barunya?" Nunung bertanya heran, sebab sang majikan wanita berpamitan dengan beberapa koper yang sudah disiapkan di dekat mereka."Iya, Bi. Sudah beli rumah. Tapi, ini nggak langsung pindah ke rumah itu. Saya dan Tari mau ke tempat teman saya dulu." Jawaban itu justru keluar dari lisan Rayyan, "Bibi sementara di sini dulu. Kalau kami sudah benar-benar pindah ke rumah yang baru, Bibi akan saya jemput," lanjut lelaki itu menjelaskan."O–oh, gitu, Tuan?" Meski masih merasa heran karena kepergian majikannya yang mendadak seperti ini, Nunung hanya bisa menuruti.Lestari memilih diam dari tadi, sebab ia mengikuti suaminya saja. Saat ini, ia hanya ingin segera pergi dari rumah itu."Bi, aku pamit dulu ya ...." Lestari mendekati sang ART, kemudian memeluk wanita tua yang selama ini telah ia anggap seperti ibunya sendiri."I–iya, Nya. Hati-hati di jalan. Nyonya kabari saya kalau sudah sampai di rumah temen Tuan ya! Nyonya juga jangan
Terdengar suara isakan dari Lestari membuat Rayyan seolah baru tersadar. Lelaki itu kemudian berjalan mendekat ke arah tempat duduk istrinya, lalu merangkul pundak wanita itu. "Tari ... kamu ... nggak apa-apa?" 'Ck! Pertanyaan bodoh! Nggak apa-apa gimana? Dia sedih, Gobl0k!' Batin Rayyan memarahi dirinya sendiri sebab mengucapkan pertanyaan yang ia anggap tidak perlu itu. Lestari bangkit berdiri dengan perlahan-lahan. Kakinya terasa begitu lemas rasanya. Ia lalu berjalan pelan dan lunglai menuju ke arah kamarnya. Rayyan bingung dengan apa yang mesti ia lakukan. Lelaki itu hanya bisa mengiringi sang istri menuju ke arah kamar mereka. Sesampainya di dalam kamar. Lestari menuju ke arah ranjangnya dan merebahkan diri sembari kembali menangis di atas bantalnya. Sungguh, ia merasa begitu sedih, sebab telah membuat Gilang sangat kecewa seperti saat ini. Sementara Rayyan, pria itu hanya bisa duduk di pinggir ranjang tersebut dengan kepala yang terasa berdenyut. Ia benar-benar tidak tahu
"Jadi, kamu sudah ingat tentang Tari?" tanya Rayyan tak mau lagi berbasa-basi."Bi, nggak apa-apa, kok. Bibi lanjutin kerjaan Bibi lagi, gih," bisik Lestari lirih ke arah Nunung di sebelahnya."Eeh, i–iya. Baik, Nyonya," sahut Nunung tergagap. Akan tetapi, wanita tua itu tetap menurut. Ia pun berbalik dan melenggang kembali ke teras belakang rumah.Lestari kembali mengarahkan pandangan ke arah Gilang dan juga Rayyan yang tengah berbicara di sana dengan perasaan yang tidak menentu. 'Apa benar, Mas Gilang sudah mengingat tentang kami?' bisik hatinya bertanya-tanya."Yaaah, begitulah. Aku bahkan sudah ingat kata-kata kamu malam itu, Tari." Gilang terus melihat ke arah sang wanita.Lestari mencoba mengingat apa yang pernah ia katakan. "Kata-kataku?" Rayyan ikut menoleh ke arah sang istri dengan sorot penasaran."Ya, kamu ingat di depan Burhan kamu bilang cinta sama Mas, 'kan? Burhan bilang, nggak lama dari berita kematian Mas, kamu memang batal menikah dengan Fadil, si anak kepala desa i
Meski hatinya terasa panas, Rayyan hanya bisa menyunggingkan senyuman dengan terpaksa. Ia tidak mau rasa cemburunya itu tertangkap oleh sang istri. "Mudah-mudahan aja rumah yang ditawarkan ke Bobby kemarin cocok buatku dan Lestari nanti," lirih ucapan Rayyan pada diri sendiri. Ya, tadi Bobby bilang mereka sudah janjian untuk melakukan survey ke sebuah rumah besok. Lokasi rumah tersebut hanya sekitar dua puluh menit dari kantor pusat perusahaan Rayyan ini. Memang harganya cukup tinggi, tetapi kalau cocok, Rayyan tidak mau menunda lagi untuk mengurus kepindahannya. Ia ingin segera memboyong Lestari menjauh dari Gilang. 'Kalau lebih lama lagi aku melihat kebersamaan mereka. Aku bisa gila!' keluh pria itu membatin. *** "Kakak iparku ini mau ke mana? Pagi-pagi udah cantik aja?" sapa Gilang, ketika langkah kakinya baru sampai di ruang makan. Ia hendak bergabung dengan Rayyan dan Lestari yang sudah lebih dulu berada di sana. Mata Gilang melirik sebentar melihat ekspresi sang kakak le
Lima hari belakangan ini, ketika sedang berada di kantor, Rayyan terlihat gusar dan tidak fokus dengan pekerjaannya. Gilang sudah tiga hari ikut ke kantornya dan belajar bekerja di sana. Ia didampingi langsung oleh Bobby. Lelaki itu terlihat serius dalam belajar. "Bos yakin dengan keputusan akan memberikan posisi CEO pada Mas Gilang?" tanya Bobby kepada sang atasan. Mereka kini sedang berada di ruangan presiden direktur, yakni Rayyan sendiri. Pria itu baru saja menyampaikan kepada asisten setianya untuk mengajari Gilang agar ke depan bisa menduduki posisi CEO yang saat ini dirangkap oleh Rayyan sendiri selain ia juga sebagai owner sekaligus presiden direktur di perusahaan itu. Selama ini Rayyan memang cukup sibuk karena jabatan yang dirangkapnya itu. Meskipun demikian, selama ini ia mampu sebab didukung oleh Bobby yang selalu bisa ia andalkan. "Ya, kamu mesti ajari dia yang bener, Bobb. Gilang sebaiknya tidak usah melanjutkan jadi guru lagi. Aku nggak mau dia dihina orang lagi s
Wanita cantik yang kini wajahnya terlihat agak pucat itu mengangguk cepat. Lestari baru sadar kalau tangannya sendiri terasa sangat dingin ketika sang suami meraih dan menggenggamnya saat ini. "Ini jarimu kenapa?" tanya Rayyan ketika melihat dan meraba jari telunjuk tangan kanan Lestari yang dibalut plaster. "Ini, nggak sengaja kena pisau, Mas. Nggak apa-apa, kok! Luka kecil aja." "Kamu lain kali hati-hati," pesan sang suami. Lestari tersenyum kikuk ketika sadar kalau sedari tadi Gilang mencuri-curi pandang ke arahnya. "A–ku siapin makan siang dulu, Mas," ujarnya kepada sang suami seraya berbalik badan dan langsung berjalan ke arah dapur menyusul Nunung. Rayyan menyembunyikan helaan napasnya ketika melihat punggung sang istri yang menjauh. Di dalam hati entah mengapa ia merasa timbul kesedihan. Ia menebak kalau benar, sang istri sepertinya masih menyimpan perasaan kepada adik angkatnya. "Naah, ini diaa! Terima kasih, Bi Nunung yang caeeem ...!" seru Bobby menarik Rayyan kembali
"Kenapa sih, Nya? Nyonya sejak pagi tadi keliatan nggak fokus gitu?" tanya Nunung ketika Lestari baru saja menumpahkan air yang ia tuang dari sebuah teko. Sebelumnya Lestari juga tak sengaja mengiris jarinya sendiri ketika menyiangi sayuran. Keduanya memasak lebih banyak hari ini sebab Rayyan tadi malam mengatakan akan membawa Gilang ke rumah tersebut. Ya, sejak itu, entah mengapa Lestari menjadi gugup sendiri. Ia juga heran, sebenarnya apa yang sedang terjadi pada dirinya. Padahal ia yakin, kalau hatinya kini telah dimiliki oleh Rayyan Yudistira, sebagai lelaki yang berstatus suaminya. "E–eh, ma–af, Bi. Biar aku yang bersihkan. Bibi lanjut nata perlengkapan makannya aja!" tukas Lestari sembari meraih gagang pel yang dipegang Nunung dan mulai mengelap air yang membasahi lantai ruang makan tersebut. Nunung pun menghela napas dan melipat bibirnya sejenak. Lalu ia menata piring dan sendok di atas meja makan seperti perintah sang nyonya. "Assalamualaikum." Deg! Degup jantung Lesta
Bobby mencebikkan bibirnya. "Nggak ada, Boss. Makanya aku bilang, kayaknya ingatan Mas Gilang masih setengah-setengah," ujar lelaki itu lagi. Rayyan menghela napas sedikit lega. Akan tetapi, kekhawatiran di wajahnya masih menyelimuti. "Gimana kalau suatu saat dia ingat semuanya, ya, Bobb? Apa yang harus saya katakan soal Tari?" Lelaki tampan itu menatap pelas ke arah sang asisten. Ia berharap bisa mendapatkan pencerahan dari Bobby. "Ya mau gimana. Ini sudah takdir, Boss. Sekarang Boss udah nikahin cewek yang Mas Gilang taksir. Mau nggak mau, Mas Gilang juga mesti menerima itu!" Ucapan Bobby terdengar tanpa beban di telinga Rayyan. Rayyan menunduk, kemudian menekan kepala dengan dua tangannya. Entah mengapa kepalanya kini terasa berdenyut tiba-tiba seperti ini. Pikirannya terasa sangat penuh. "Mbak Tari sendiri kira-kira gimana kalau tahu Mas Gilang sebenarnya masih hidup ya, Boss?" tanya Bobby kepada yang atasan yang wajahnya mulai kusut itu. "Tari sudah tahu." "Hah?!" Bobby tam
Bobby menghela napas panjang. Ia menimbang-nimbang. "Pak, apa nggak bisa diundur bulan depannya lagi ya, kami keluar dari sana?" Bobby hanya ingin mengantisipasi waktu saja. Khawatir kalau nanti ia butuh waktu lebih lama untuk mengurus kepindahan Gilang. "Aduh, Mas, maaf sekali lagi. Kayaknya nggak bisa. Soalnya itu apartemen mau dipake anak orang yang beli itu. Bulan depan tanggal 7, dia sudah masuk kuliah. Jadinya sebelum itu dia harus pindahan dan prepare semua urusan dia secepatnya. Begitu katanya, Mas!" Kembali Bobby menghela napas panjang. "Oh, iyalah, Pak. Saya nanti koordinasi dulu sama sodara saya itu. Nanti saya kabari lagi perkembangannya ke Bapak," ucap lelaki itu akhirnya. "Oke, Mas Bobby. Maaf sekali lagi. Semoga dimudahkan ya, Mas!" Keduanya pun memutuskan sambungan telepon seluler tersebut. "Aku mesti langsung kasih tahu si Boss ini!" seru Bobby sembari menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku jas. Setelah itu, ia langsung menjalankan kembali motor besarnya men